Pacarku Gila “Karaoke”

Lesmana (bukan nama sebenarnya), 47 tahun, Surakarta:

Waktu masih kuliah, ada satu pengalaman yang tak terlupakan dalam hidupku. Aku pernah pacaran, tapi dalam situasi yang menurutku membingungkan. Bagaimana ceritanya? Simak saja yaa … Mohon maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan.


Selama kuliah, aku tinggal di sebuah rumah kos yang masih baru. Tempatnya nyaman, tenang karena di sekitarnya masih banyak persawahan. Hanya ada satu dua rumah penduduk saja, itupun tempatnya berjauhan. Perabotnya baru semua. Harga sewa per bulannya murah lagi. Selain itu, jumlah kamarnya tidak banyak, hanya 8, sehingga tidak terlalu berisik.

Salah satu teman kosku namanya Diar (nama samaran). Ia berasal dari Jakarta. Suatu hari Diar pergi dan ketika pulang membonceng seorang cewek yang cantik sekali. Bodinya pun bagus. Ia memakai celana jins ketat hingga terlihat lekuk tubuhnya yang aduhai. Dandannya pun “wah”. Maklum, ia kuliah di akademi sekretaris. Katanya, berdandan adalah salah satu persyaratan di kampusnya. Semula kukira ia pacar Diar yang baru.

Di ruang tamu kos, Diar mengenalkan cewek itu pada penghuni kos yang lain yang ada saat itu, termasuk aku. Ternyata cewek itu, sebut saja namanya Anggi, bukan pacar Diar. Ia satu alumni dengan Diar di sebuah SMA ternama di Jakarta, tapi tidak satu angkatan. Diar mengajak Anggi ke kos kami karena ingin pamer tempat kosnya yang nyaman itu.

Setelah mengantar Anggi pulang, Diar cerita banyak tentang Anggi kepadaku, tapi yang membuat aku deg-degan, Anggi bilang ke Diar kalau ia suka sama aku. Katanya aku lucu dan ganteng. Tapi cerita Diar ke aku yang terakhir itu hanya kuanggap angin lalu. Lagipula, Diar juga cerita kalau Anggi sudah punya pacar, sebut saja namanya Ferry, seorang pengusaha muda yang cukup sukses. Kuanggap Diar hanya menggodaku, karena aku jomblo dan sedang berduka karena habis diputusin pacarku.

Dua hari kemudian, Anggi diajak lagi ke kos kami, tentunya bersama Diar. Setelah ngobrol sejenak di ruang tamu kos, Diar pergi lagi karena akan ke kos temannya untuk pinjam catatan kuliah, sehingga tinggal aku berdua dengan Anggi. Saat itulah Anggi dengan terus terang bicara padaku. Katanya, ia suka padaku waktu pertama kali bertemu. Aku agak kaget sekaligus GR juga “ditembak” cewek secantik Anggi. Aku agak gelagapan juga, karena mimpi pun tak pernah mengalami situasi seperti ini. Lagipula, aku belum berencana untuk pacaran lagi karena masih trauma dengan kandasnya hubunganku dengan pacarku sebelumnya.

Tapi dengan munculnya Anggi yang sekonyong-konyong dan menggetarkan itu, aku harus me-reset rencanaku. Aku tak mempersoalkan statusnya yang sudah punya pacar. Toh belum jadi suami istri, pikirku. Dan entah bagaimana awalnya, tahu-tahu kami sudah berciuman. Ternyata Anggi sangat piawai melakukannya. Lidahnya menari-nari di rongga mulutku. Aku pun mengimbanginya. Cukup lama kami berciuman hingga nafasku tersengal-sengal. Yang membuat imanku makin rontok, tangan Anggi dengan beraninya bergerilya di bagian bawah tubuhku, meremas-remas dengan gemasnya. Ia tak melepaskan genggamannya meski kami rehat ciuman untuk menghirup udara segar.

Kami baru benar-benar berhenti berciuman dan saling meraba ketika terdengar deru suara motor Diar.

Beberapa hari kemudian, Diar mengajakku ke kos Anggi. Katanya, Anggi pengen aku sekali-sekali main ke kosnya. Selama ngobrol dengan Anggi, tatapan matanya padaku sungguh membuatku salah tingkah. Begitu mesra, seperti cewek kalau lagi “kepengen” gitu lah. Sebelum kami pulang, Anggi memberiku sebuah T-shirt. “Biar kangen sama aku terus”, ceplosnya. Diar yang melihat itu hanya nyengir kuda.

Saat kunjungan Anggi ke kosku lagi,tentunya dengan dibonceng Diar, aku sedang bersiap untuk mandi sore. Diar langsung berbaur dengan teman kos yang lain, sedangkan Anggi kusuruh menunggu di kamarku. Kebiasaanku adalah, setiap selesai mandi selalu hanya bersarung handuk. Begitu masuk ke kamar, kulihat Anggi rebahan di kasur. Kuurungkan niatku untuk memakai baju. Kuhampiri Anggi dan kami pun berciuman dengan liarnya. Sambil berciuman, tangan Anggi menyusup ke handuk penutup tubuh bagian bawahku. Spontan kulepas handuk itu untuk memberi Anggi kesempatan seluas-luasnya menjamah “milik”ku. Aku pun tak kalah agresif. Kubuka kancing baju Anggi agar jemariku bisa merasakan langsung dua tonjolan daging lembut di dadanya.

Aku berniat untuk mencumbui dada Anggi ketika tiba-tiba ia mendorongku agar rebah diranjang. Seketika itu juga mulutnya langsung bekerja di bagian bawah tubuhku dengan amat “rakus”. Ternyata Anggi sangat piawai melakukan itu. Sesekali lidahnya yang bermain, sesekali kepalanya naik turun dan melakukan hisapan hingga aku menggelinjang antara geli dan nikmat.

Aku cuma pasrah ketika Anggi menepis tanganku yang bergerak menggerayangi bagian bawah tubuhnya yang mengenakan rok jins selutut, seolah tak ingin bagian itu kuganggu. Sempat kurasakan cairan hangat di celana dalamnya sebelum kemudian Anggi merapatkan kedua kakinya. Tampaknya ia sudah sangat basah dan ia terus saja melakukan “karaoke”. Aku tak tahan untuk tidak masuk ke tahap akhir. Aku mendorong tubuh Anggi sebagai siyarat agar ia yang gantian rebahan hingga aku bisa menuntaskan “tugasku”. Tapi Anggi bergeming. Ia makin gencar “berkaraoke”. Dan ketika aku mau “keluar” kukatakan padanya agar ia menghentikan serangannya. Justru Anggi makin bersemangat, hingga akhirnya “tumpah” di dalam mulut Anggi.

Aku terkapar dalam kenikmatan, sementara Anggi masih melakukan hisapan-hisapannya dengan lembut sampai “tumpahanku” habis. Selesai melakukan itu, Anggi berbaring di dadaku yang terengah-engah. Tapi tangannya itu, tampaknya tak bisa jauh dari bagian bawah tubuhku. Dielusnya dengan lembut seakan-akan itu adalah mainan favoritnya.

Sejak saat itu, setiap bertemu Anggi selalu “mengkaraoke”ku. Entah itu di kamar kosku, di halaman depan kosnya yang ditumbuhi tanaman rimbun dan gelap kalau malam, atau di dalam gedung bioskop.

Aku pernah sekali bertemu Anggi dan Ferry waktu aku dan teman-teman kosku jalan-jalan ke pasar malam. Menurutku, pacar Anggi lumayan ganteng, walau tubuhnya kecil. Lebih pendek sedikit dari Anggi, mungkin karena Anggi pakai high heels. Pertemuan itu berlangsung sebentar dan kami (aku dan Anggi) bersikap biasa-biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami. Ia bahkan terlihat sangat mesra pada Ferry. Tangannya tak pernah lepas menggelayut di lengan Ferry.

Pernah sekali waktu, Anggi pinjam mobil ke pacarnya. Lalu mobil itu dipakai ke tempat kosku dan ia memintaku mengemudi untuk mengantar salah satu teman kosnya yang sakit ke kota asalnya sejauh 1,5 jam perjalanan. Dalam perjalanan pulang dari sana, Anggi melakukan “karaoke” padaku sampai 2 kali, karena jauhnya perjalanan. Sambil menyetir, aku mengerang dan menggeliat penuh kenikmatan mengimbangi perlakuan Anggi yang menurutku luar biasa itu.

Pokoknya tiada hari tanpa “karaoke” setiap kali kami bertemu. Dan itu selalu Anggi yang berinisiatif lebih dulu untuk melakukan. Aku hanya ho’oh-ho’oh saja.

Karena kesibukan kuliahku menjelang akhir semester, juga aktifitasku di organisasi kemahasiswaan, aku mulai jarang bertemu Anggi. Dua kali ia datang ke kosku saat aku ada di luar kota untuk kegiatan sosial. Ditambah kemudian dengan liburan semester yang panjang, aku pulang kampung menghabiskan waktu di sana. Praktis aku tak pernah lagi bertemu Anggi.

Sekitar 2 bulan tak bertemu, aku datangi kos Anggi. Aku kaget waktu diberitahu kalau ia sudah tidak tinggal di sana. Kata teman kosnya, Anggi sudah lulus dan kembali ke Jakarta. Memang saat kulongok ke dalam kamar Anggi, sudah berubah dekorasinya. Berarti sudah ditempati orang lain. Sejak saat itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Bahkan Diar yang sangat dekat hubungannya pun tak tahu kalau Anggi sudah lulus.

Mungkin kalau waktu itu sudah ada ponsel atau internet, hubungan kami mungkin masih berlanjut walaupun tanpa status yang jelas, entah seperti apa.

Saat dalam kesendirian, aku kerap bertanya-tanya dalam hati, apa yang diinginkan Anggi dariku? Pacarnya ganteng, sukses lagi, kenapa ia masih mau denganku? Kenapa juga ia selalu menolak saat aku ingin melakukan “penetrasi”, padahal ia juga sudah sangat bernafsu? Apakah aku hanya dijadikan pelampiasan nafsunya, sementara ia harus mempertahankan keperawanannya untuk pacarnya? Adakah rasa cinta padaku hingga ia memperlakukan aku seperti itu atau sekedar menyalurkan hasratnya yang terpendam? Kenapa tidak dengan pacarnya saja?

Aku benar-benar penasaran. Tapi rasa penasaranku tak pernah kusampaikan ke Anggi. Kusimpan saja dalam hati. Aku khawatir justru akan menyinggung perasaannya dan ia menjauhiku.

Sampai sekarang, pertanyaan itu kadang muncul di benakku. Ya, Anggi telah menggoreskan sebuah kenangan tersendiri di memori otakku, sekaligus teka-teki yang tak terjawab. (*)

Artikel Terkait Curhat