Susahnya Punya Pacar Posesif

Ringo (nama samaran), 17 tahun, Pelajar, Bogor:


Setahun yang lalu aku punya pacar, sebut saja namanya Fifi. Ia adalah mantan teman SMP yang bertemu waktu bubaran sholat Ied di Cimahi. Waktu itu aku lagi mudik dan ikut sholat Ied di sana karena paling dekat rumah orang tuaku. Ia yang pertama melihat dan menyapaku. Ternyata, setelah lulus SMP dia pindah ke Cimahi dan melanjutkan SMA di sana.

Setelah pertemuan itu, kami sering berkomunikasi, baik melalui SMS maupun facebook. Sebulan sekali aku pulang kampung dan selalu kusempatkan menemui Fifi karena ia sosok yang menyenangkan kalau diajak ngobrol.

Sekali waktu saat libur semesteran, seperti biasa aku mudik. Kujemput Fifi , kuajak dia makan di restoran cepat saji. Saat itulah ia “menembakku”. Dengan terang-terangan ia bilang kalau cinta sama aku dan setiap hari selalu terbayang wajahku. Akhirnya kami pun jadian di situ.

Setelah putar-putar kota dengan motor kakakku, aku mengantar Fifi pulang. Malam itu adalah pengalaman pertamaku berciuman dengan cewek. Kami melakukannya waktu aku hendak pamit pulang dan ia mengantarku sampai ke pagar depan rumahnya.

Hingga 6 bulan berikutnya hubungan kami berjalan lancar-lancar saja. Fifi sangat perhatian padaku. Justru ia yang aktif mengirim SMS kepadaku, sekedar untuk mengingatkan agar aku tidak terlambat makan. Mulanya aku senang diperlakukan seperti itu. Tapi lama-lama aku merasa tak nyaman. Ia makin berani mengaturku, tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Bahkan setiap kali ketemuan, ia selalu mengomentari penampilanku.

Yang paling membuatku kesal, ia getol sekali memeriksa HP-ku. Aku dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan manakala ia temukan aku mengirim atau menerima SMS dari cewek. Hingga suatu ketika kami ribut yang berujung pada keluarnya kata-kata “putus” darinya. Aku yang sudah muak dengan sikapnya langsung bilang, “Oke, kita putus!” sambil berlalu meninggalkan rumahnya.

Beberapa minggu kemudian Fifi mengirim SMS. Ia minta maaf dan ingin balik lagi sama aku. Sebenarnya aku pun kangen padanya, tapi kalau ingat perlakuannya padaku seperti itu, aku jadi ragu. Ia memang berjanji untuk merubah sikapnya, tapi aku tak yakin. Sengaja tak kujawab SMS-nya. Dua hari kemudian ia mengirim SMS lagi. “Yayang masih marah ya”, begitu katanya. Lagi-lagi aku tak menjawab.

Lama-lama ia tak pernah berkirim SMS atau nulis di facebook lagi. Aku pun sudah tidak mengharap lagi karena kangenku padanya sudah hilang. Baru pacaran saja sudah mengatur seperti itu, bagaimana kalau kawin nanti, itu yang kutekankan dalam hati setiap kali aku ingat padanya.

Baru ketika mudik lebaran kemarin aku dapat kabar dari temanku yang juga satu SMP denganku, kalau Fifi sudah punya pacar lagi. Syukurlah, kataku dalam hati. Semoga saja ia cocok dengan pacar barunya. (*)

Artikel Terkait Curhat ,Relationship