Pertengahan tahun 2000-an aku lulus kuliah, dan setelah melamar kesana kemari akhirnya aku diterima di sebuah perusahaan swasta nasional di Jakarta. Waktu itu usiaku 25 tahun. Sebetulnya orang tuaku kurang setuju, karena mereka ingin aku menemani mereka yang hanya tinggal berdua di Banyuwangi. Kakak-kakakku yang semuanya laki-laki sudah menikah semua dan hijrah ke kota lain. Ada yang di Jakarta, Surabaya, dan Manado.
Ayahku bahkan sudah menemui salah seorang mantan rekan sekantornya untuk menerimaku bekerja di perusahaannya yang ada di ujung timur pulau Jawa itu. Tapi aku bersikeras. Toh selama ini kedua orang tuaku sudah biasa hidup berdua saja, karena aku menempuh pendidikan sarjanaku di Surabaya. Lagipula di Jakarta ada kakakku yang bisa kutumpangi untuk tinggal.
Untungnya aku ditempatkan di kantor cabang Denpasar yang berarti dekat dengan kota kelahiranku. Karena jatah dari perusahaan hanya cukup untuk kos, oleh orang tuaku aku dikontrakkan sebuah rumah sederhana dengan 3 kamar tidur. Alasannya, kalau mereka mengunjungiku tak perlu menginap di hotel. Selain itu aku juga dapat bantuan sebuah mobil Corolla keluaran tahun 80’an yang dulu biasa dipakai salah seorang kakakku.
Sejak menempati rumah kontrakan, kerabatku silih berganti datang ke sana. Biasanya bertepatan dengan liburan sekolah. Maklum, Bali adalah tujuan wisata favorit.
Setahun setelah aku bekerja aku dapat telepon dari ibuku kalau Herlin (nama samaran) akan datang ke Denpasar untuk urusan kerjaan dan ibuku menawarinya menginap di tempatku. Herlin adalah anak dari kakaknya istri omku. Artinya ia masih ada hubungan keluarga denganku. Semacam saudara sepupu, tapi jauh begitulah. Tak lupa ibu berpesan agar aku tidak menanyakan suaminya, karena suami Herlin sudah meninggal setahun lalu karena infeksi usus.
Waktu aku masih kecil aku beberapa kali bertemu dengan Herlin, terutama saat acara arisan keluarga. Seingatku, ia lebih besar dariku. Usianya bertaut sekitar 3 atau 4 tahun di atasku. Terakhir kami bertemu di arisan keluarga waktu aku kelas 5 SD, sedangkan ia sudah SMP. Begitu keluarganya pindah ke Jakarta, kami lama tak pernah bertemu lagi. Meski begitu, orang tuaku dan orang tuanya cukup aktif berkomunikasi, terutama ibuku, karena ibunya Herlin pernah bekerja di instansi yang sama dengan ibuku.
Untuk menyambut kedatangan Herlin aku mengambil cuti sehari, agar bisa menjemputnya di bandara. Karena lama tak bertemu, aku sempat tak mengenalinya di antara kerumunan penumpang yang baru datang. Untung membawa secarik kertas bertuliskan namanya waktu menunggu di bandara,
Herlin datang dengan mengajak serta 2 anaknya, yang sulung perempuan, sebut saja namanya Dea, usianya 7 tahun, sedangkan si bungsu laki-laki, sebut saja namanya Deo, masih balita. Herlin mengajak mereka karena sedang liburan sekolah. Kebetulan ia ada tugas ke Denpasar dan anak-anaknya belum pernah pergi ke Bali. Jadi sambil jalan-jalan, katanya. Sebetulnya Herlin hanya perlu 1 hari di Denpasar, tapi karena anak-anaknya ikut, ia mengambil cuti 2 hari hingga mereka punya banyak waktu untuk menikmati Bali sampai 3 hari. Aku tak masalah karena sudah biasa menerima kehadiran kerabat di rumahku.
Begitu datang mereka langsung kuajak makan siang sebelum menuju ke kantor cabang Herlin. Sambil menunggu Herlin menyelesaikan urusannya, kuajak kedua anaknya jalan-jalan keliling Denpasar.
Malam harinya, ketika aku sedang asyik membaca novel sambil tiduran, Herlin muncul di depan pintu kamarku. Aku memang terbiasa membuka pintu kamar kalau tidak sedang tidur.
“Lagi sibuk ya, Gun?” kata Herlin.
“Ah, nggak. Cuma baca-baca aja. Masuk aja, Lin”, kataku.
“Ya deh. Aku suka susah tidur kalau ada di tempat baru”, ujar Herlin sambil melangkah masuk.
“Jam segini udah pada tidur”, tandasnya ketika kutanya anak-anak di mana.
Aku agak sedikit canggung ketika Herlin langsung merebahkan tubuhnya, tengkurap di sebelahku. Tempat tidurku memang yang ukuran “king size”. Tapi karena ia masih tergolong saudara, aku akhirnya bisa bersikap biasa saja. DI situ kami banyak ngobrol tentang masa kanak-kanak dulu. Kata Herlin, dulu ia suka gemas padaku karena aku gemuk. Kalau kelelahan habis lari-lari dengan saudara-saudaraku yang lain, aku suka ngompol, katanya. Aku tertawa saja mendengar ceritanya.
Karena pernah punya pengalaman di masa lalu, kami jadi tak kehabisan bahan obrolan. Sesekali kami tertawa bersama. Kadang ia mencubitku kala aku cerita kejadian yang tak terlupakan, misalnya ketika ia kecebur got karena terlalu asyik main layang-layang sambil berjalan mundur. Begitu juga waktu ia kejeblos kursi gara-gara bantalan kursinya diambil oleh sepupuku yang lain saat ia mau duduk. Herlin juga tak segan memujiku. Katanya aku ganteng, padahal waktu kecil dulu gemuk dan ompong. Tanpa terasa, jam di dinding menunjukkan pukul 12.30 malam.
Terus terang, selama ngobrol itu gairah kelelakianku tergugah karena sesekali kulit kaki kami beberapa bersentuhan. Betapa tidak. Aku hanya memakai celana pendek berbahan kaus, sedangkan Herlin mengenakan daster tank top terusan selutut. Apalagi tercium olehku aroma wangi tubuhnya. Aku belum pernah dalam situasi seperti ini sebelumnya, berbaring berdua dengan seorang wanita dewasa. Kecuali ibuku tentunya.
Lalu kejadian tak terduga pun terjadi. Secara tak sengaja pinggul Herlin menyenggol “senjataku” yang setengah “berdiri”. Spontan aku mengaduh. Herlin tampaknya tahu betul benda apa yang tersenggol itu dan ia buru-buru minta maaf.
“Kamu tegang ya?”, tanyanya sambil tersenyum.
“Udah deh. Aku tidur dulu ya. Lagian besok kamu kerja ‘kan?”, kata Herlin sambil beringsut dari tempat tidur.
Saat itulah aku kehilangan kontrol. Serta-merta kugamit lengannya, lalu kupagut bibirnya. Herlin tampak kaget, tapi aku tak peduli. Denyutan di bagian bawah tubuhku mendorongku untuk melampiaskannya. Aku tak peduli Herlin marah setelah ini.
Dan yang membuatku makin gencar, Herlin mengimbangi ciumanku. Sambil berciuman, ia merubah posisinya dari tengkurap menjadi telentang dengan tubuhku terus menempel erat di tubuhnya. Aku jadi makin berani beraksi. Kuraba seluruh lengan, perut, pinggul dan kakinya.
Beberapa saat kemudian Herlin mengisyaratkan agar aku melepaskan pelukan dan ciumanku.
“Tutup dulu dong pintunya”, katanya sambil duduk di tepi ranjang dan menoleh ke arah pintu yang masih terbuka lebar.
Buru-buru aku bangkit untuk menutup pintu dan menguncinya. Pikiranku sudah benar-benar melayang merasakan kenikmatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Ya, hingga usiaku 25 tahun aku tak pernah punya pacar. Memang aku naksir pada salah seorang teman kuliahku, tapi aku tak pernah berani mengungkapkannya. Aku hanya berani mengkhayalkannya.
Sambil berjalan kembali ke ranjang, kulepas t-shirtku, berlutut dihadapan Herlin lalu kusergap tubuhnya yang duduk di tepi ranjang dan kami kembali saling berciuman. Desahan Herlin, ditambah lagi karena itu adalah pertama kalinya mencumbui perempuan, membuatku tak bisa mencegah cairan hangatku memancar dan membasahi celanaku. Tapi itu tak menyurutkan hasratku untuk melanjutkan cumbuan. Aku tak ingin kehilangan momen indah yang selama ini hanya ada dalam imajinasiku.
Kurebahkan Herlin ke ranjang, kupagut leher, dada dan lengannya, sementara tanganku bergerilya dari bawah. Menyusup ke balik dasternya, meraba apapun yang bisa kuraba, kemudian naik ke dada, menyusup ke dalam BH-nya. Hal ini tentu saja membuat daster Herlin tersingkap hingga perut. Kusingkap lagi daster Herlin hingga aku bisa menjelajahkan lidah dan mulutku di dada Herlin yang putih dan ranum.
Kulampiaskan semua fantasi terliarku pada Herlin. Itu adalah kali pertama aku mendengar perempuan mendesah secara live (biasanya hanya melalui video porno), kemudian menggelinjang hingga pinggulnya terangkat saat aku mencumbui celana dalamnya yang berwarna putih, serasi dengan kulit tubuhnya yang putih bersih. Kupuaskan lidahku menari-nari di celana dalam Herlin sampai basah. Kemudian pelan-pelan kulolosi celana dalam Herlin hingga aku bisa merasakan langsung.
Herlin memekik lirih, tangannya menjambak rambutku, manakala aku mempermainkan bagian bawah tubuhnya dengan lidahku. Sekali lagi kupuaskan fantasi terliarku yang selama ini hanya kulihat dalam video, hingga Herlin, entah sadar atau tidak, mengangkat dan membuka kedua kakinya lebar-lebar, persis seperti di video.
Kelelakianku kembali bereaksi. Kulepas celanaku dan mengelap cairan di sekitar selangkanganku sambil lidahku terus saja bekerja. Beberapa saat kemudian Herlin merapatkan kedua kakinya dan menahan kepalaku agar tak bergerak. Tubuhnya menegang, kedua kakinya merapat saat kuangkat kepalaku. Mulutnya tak henti-hentinya mengerang.
Ketika aku akan mencumbui dadanya lagi, Herlin mendorongku agar aku rebah di kasur. Begitu aku rebah, ia naik di atasku dan langsung mencumbuku. Saat itulah Herlin menggerak-gerakkan pinggulnya, mencari posisi yang tepat, dan ketika “milikku” tepat menempel di “miliknya”, pelan-pelan ia menghunjamkan tubuhnya sambil merintih lirih. Sungguh pengalaman yang mendebarkan saat ku rasakan hangatnya “milikku” telah berada di dalam “milik” Herlin. Kemudian Herlin mulai menggerakkan pinggulnya, sesekali naik turun, sesekali maju mundur. Sambil melakukan itu, bibirnya tak pernah lepas di bibirku. Sesekali ia melepas pagutannya saat mulutnya mengeluarkan desahan dan erangan. Aku benar-benar hanyut dalam kenikmatan dunia.
Lama-lama Herlin mempercepat gerakan pinggulnya. Dan seolah sudah naluri, aku pun mengimbangi gerakannya. Ku juga tak kuasa menahan eranganku, hingga kami sama-sama mengeluarkan suara-suara yang bersahut-sahutan akibat terbakar api birahi yang akan mencapai puncak.
Bersamaan dengan mengejangnya tubuh Herlin di atas tubuhku, aku merasakan cairanku kembali memancar disertai erangan panjang. Herlin merapatkan tubuhnya padaku. Aku bisa merasakan kalau pinggulnya masih bergerak, meski pelan, diselingi kejangan kecil. Kurasa Herlin telah mencapai klimaksnya dan diam-diam tumbuh rasa bangga dalam hatiku bisa membuatnya orgasme.
Herlin merebahkan dirinya di sampingku sambil membenahi BH dan dasternya. Matanya terpejam, sementara bibirnya terbuka disertai nafas menderu. Aku pun terengah-engah, terpana dalam kejutan yang nikmat itu.
Kami sama-sama terkapar dalam kelelahan. Pikiranku melayang-layang, tak mengira bakal melakukan ini untuk pertama kali justru dengan sepupuku sendiri yang seorang janda pula. Kemudian pikiranku mengarah pada Herlin yang diliputi pertanyaan, kenapa ia tak menolak ciumanku di awal tadi? Apakah karena ia merasa sebagai orang yang numpang menginap di rumah kontrakanku dan sebagai rasa terima kasihnya ia pasrahkan tubuhnya padaku? Atau apakah karena ia terangsang saat terjadi kontak dengan “milikku”?
Aku tak mau pikiranku hanyut makin berkepanjangan. Kupalingkan tubuhku hingga menempel di tubuh Herlin. Ia menoleh dan memelukku. Kucium rambutnya yang panjang terurai. Kami tak berkata apa-apa selain hanya saling berpelukan. Entah apa yang dipikirkan oleh Herlin saat itu.
Setelah nafas kami kembali normal, Herlin bangkit dari tempat tidur sambil memungut celana dalamnya.
“Aku balik ke kamar ya, Gun”, ujarnya sambil melangkahi tubuh telanjangku. Ia menyempatkan diri mengecup bibirku untuk kemudian berlalu dari kamarku, sementara aku tetap rebah dalam keletihan. Aku masih tidak percaya kalau itu benar-benar terjadi. Agaknya aku ketiduran karena ketika paginya aku mendapati diriku masih telanjang.
Kukenakan kembali baju dan celanaku bermaksud untuk ke kamar mandi. Pikiranku sempat berkecamuk, bingung harus bersikap bagaimana andai bertemu Herlin nanti. Dan ternyata Herlin dan anak-anaknya sudah bangun juga. Mereka sedang ngobrol di teras rumah. Bergegas aku ke kamar mandi, lalu menemui mereka.
Aku agak salah tingkah saat bertatapan muka dengan Herlin. Ia pun tampak agak berbeda sikapnya dari waktu pertama bertemu. Kelihatan agak kikuk dan gugup saat menyapaku. Namun suasananya mencair begitu Dea dan Deo berceloteh.
Kuputuskan untuk mengambil cuti saja agar bisa mengajak Herlin dan anak-anaknya jalan-jalan, dan ketika hal itu kusampaikan pada Herlin, ia tak sependapat. Ia tak ingin kehadirannya mengganggu pekerjaanku. Ia akan naik taksi saja kalau nanti ingin jalan-jalan.
Di kantor, pikiranku tak bisa fokus pada pekerjaan. Aku jadi banyak melamun, memikirkan kejadian semalam, memikirkan tubuh Herlin yang tanpa busana dan memikirkan setiap momen yang kami lakukan bersama di ranjang.
Tiba-tiba muncul satu gagasan “gila” di benakku. Sepulang kerja, aku mampir di toko obat Cina, seperti yang kurencanakan di kantor. Aku beli krim “tahan lama” yang selama ini tak pernah terbayang akan membelinya. Ya, aku berharap kejadian semalam terulang lagi dan aku sudah siap membuat Herlin menggelepar lagi, berkali-kali. Pikiranku terus saja tertuju ke situ.
Malamnya, setelah mandi sekitar jam 8, kuoleskan krim itu ke “milikku”. Saat itu Herlin dan anak-anaknya sudah masuk ke kamar mereka. Di kamarku, aku berbaring sambil membaca novel. Tapi aku tak benar-benar membacanya. Novel itu tidak menarik lagi bagiku. Pikiranku sepenuhnya tertuju pada Herlin. Jantungku berdetak kencang, menanti ia muncul di depan pintu dan mengajakku ngobrol lagi.
Kutunggu sampai jam 10 Herlin tak kunjung nongol. Aku pun tak tahan untuk tak bangkit dari ranjang. Kuhampiri kamarnya yang dipisahkan kamar mandi dengan kamarku. Kubuka perlahan-lahan pintunya, dan di sela-sela pintu kulihat Herlin sudah tertidur di samping Dea dan Deo.
Entah kesal, entah malu berharap kejadian kemarin terulang lagi, aku lalu kembali ke kamar. Tapi pikiranku tak tenang. Jantungku terus saja berdebar. Dan yang membuatku resah, “milikku” menegang gara-gara memikirkan kejadian semalam. Akhirnya, aku nekad kembali ke kamar Herlin. Begitu sampai di dalam, kucumbui lengan dan pipi Herlin yang tidur menghadap ke anak-anaknya. Herlin menggeliat dan kemudian membuka matanya.
“Oh, ada apa, Gun?”, ujarnya sambil mengusap matanya yang mengantuk.
Aku tak menjawab. Aku yang sudah “horny” langsung menyergap bibirnya dengan lembut. Sejenak Herlin balas memagutku sebelum kemudian melepaskan pagutannya, lalu bangkit dari tempat tidurnya seraya mengajak untuk ke kamarku.
Begitu kututup pintu kamar, kami langsung bercumbu sambil melolosi baju masing-masing. Di sela ciuman aku bisa melihat ke cermin, tubuh telanjang kami menempel erat satu sama lain. Sambil terus saling mencumbu, pelan-pelan kami berjalan menuju ranjang untuk melanjutkan pertarungan.
Dan malam itu aku berhasil menunjukkan keperkasaanku, sekaligus mewujudkan fantasiku bercinta dalam berbagai gaya. Bahkan Herlin pun mulai menunjukkan agresifitasnya dengan melakukan “oral”. Ia pun tak segan melepas sendiri daster dan baju dalamnya hingga aku bisa memuaskan dahagaku mencumbui seluruh bagian tubuh Herlin.
Usai pergumulan, Herlin cerita tentang perjalanan hidupnya, termasuk suaminya. Waktu suaminya masih hidup, ia tak bekerja karena ingin mengurus sendiri anak-anaknya. Gajinya lumayan besar hingga ia bisa membeli sebuah rumah di Bekasi. Begitu suaminya meninggal, rumah itu dijual dan ia bersama anak-anaknya kembali ke rumah orang tuanya di Jakarta. Tujuannya, agar orang tuanya bisa mengawasi anak-anaknya sementara ia bekerja. Herlin sempat berpacaran dengan mantan teman kuliahnya yang beda keyakinan, tapi bubar karena orang tuanya tidak setuju.
Herlin melotot tak percaya kalau belum pernah pacaran, waktu ia tanya siapa pacarku. Ia menjuluki pembohon kelas berat dan mencubitiku meski aku bersikeras mengatakan kalau aku belum pernah pacaran.
Sambil tersipu, Herlin bilang kalau sebenarnya ia ingin datang lagi ke kamarku. Tapi ia takut dianggap perempuan “gatal”, hingga akhirnya mengurungkan niatnya lalu tidur bersama anak-anaknya.
Selesai ngobrol kami melanjutkan pertarungan ronde kedua sebelum Herlin kembali ke kamarnya. Tenagaku benar-benar terkuras habis, tapi aku puas dan bangga. Puas bisa mewujudkan semua fantasi terliarku, bangga karena bisa membuat Herlin orgasme berkali-kali, hingga tak sadar mencakar punggungku.
Keesokan harinya aku mengambil cuti untuk mengantar Herlin dan anak-anaknya ke bandara. Tak ada lagi kecanggungan di antara kami waktu pagi hari kami bertatap muka. Justru aku merasa berada dalam sebuah keluarga, di mana ada suami, istri dan anak-anak. Ternyata Herlin juga piawai memasak. Pagi-pagi ia minta diantar ke supermarket untuk beli bahan-bahannya.
Dadaku terasa sesak ketika melepas Herlin, Dea dan Deo di bandara. Berat rasanya melepas mereka. Meski hanya 3 hari bersama, kedekatan kami rasanya seperti sudah lama. Begitu tiba kembali di rumah kontrakan, aku tiba-tiba merasa sangat kesepian. Beda rasanya ketika kerabat-kerabatku yang lain datang dan pergi. Tak ada kesan khusus seperti yang ditinggalkan oleh Herlin dan anak-anaknya. Terutama Herlin tentunya. Begitu mendalam, hingga aku merasa kehilangan ketika ia tiada. Hanya saja aku gamang, apakah rasa kehilangan itu karena aku jatuh cinta padanya atau karena tak ada lagi kehangatan ranjang untuk direguk.
Aku benar-benar merindukan Herlin. Hari-hariku kulalui tanpa sedikitpun wajah Herlin hilang dari ingatan. Suatu malam, saat kerinduanku makin menyesakkan dada, kuberanikan diri meneleponnya. Ketika yang menerima ibunya aku sempat gelagapan berkata-kata. Setelah sedikit basa-basi, akhirnya ia memanggil Herlin. Tapi sungguh, aku tak bisa ngomong selancar ketika bertemu dulu. Hanya bicara sekedarnya, kemudian selesai.
Sejak itu aku tak berani lagi menelepon Herlin. Aku khawatir orang tuanya akan curiga, karena biasanya aku tak pernah saling kontak, tiba-tiba jadi rajin menelepon.
Aku sangat senang ketika perusahaan menugaskan ke Jakarta untuk meeting di sana. Aku memang bisa ke Jakarta untuk urusan kerjaan, tapi tak sesenang saat itu. Aku berencana mengundang Herlin ke hotel aku biasa menginap. Tak lupa kusiapkan pula krim “tahan lama”ku. Namun rencanaku berantakan, karena ternyata ibu menelepon ke ibunya Herlin kalau aku mau ke Jakarta dan ibunya Herlin menyuruhku menginap di rumahnya. Tadinya aku menolak perintah ibu. Alasanku, aku lebih suka menginap di hotel daripada di rumah saudara sendiri, termasuk kakakku. Memang aku tak pernah menginap di rumah kakak karena dapat uang akomodasi dari perusahaan. Lagipula, rumah kakakku sangat jauh dari kantor pusat. Begitu pun dengan rumah orang tua Herlin. Tapi karena ibu mendesakku, akhirnya kuturuti perintahnya.
Seperti yang kuduga, khayalanku untuk bercinta lagi dengan Herlin kandas. Suasananya sangat tidak memungkinkan. Selain itu, aku bertemu Herlin hanya malam hari saja, karena ia bekerja dan aku ke kantor pusat. Dua hari di sana, aku hanya bertemu Herlin satu kali, karena ia pulang kerja hampir larut malam. Praktis aku harus cukup puas hanya bisa bertemu muka dengan Herlin dan ber”cipika-cipiki” saat aku pamit kembali ke Denpasar.
Tahun 2004 aku pindah tugas ke Surabaya sampai tahun 2009 dan menikah dengan gadis teman kantor yang kupacari sejak 1 tahun sebelumnya. Dua tahun kemudian kudengar kabar dari ibu kalau Herlin pun sudah menikah lagi. Sayang aku tak bisa menghadiri pernikahannya karena menunggui kelahiran anak pertamaku.
Satu hal yang membuatku tiba-tiba ingat lagi pada kenangan bersama Herlin, ketika di TV menampilkan suatu acara di mana ada salah satu band yang jadi pengisi acara, yaitu Geisha. Aku sempat tertegun dan kutatap dalam-dalam wajah Momo, vokalis Geisha. Ya, wajah Momo sangat mirip dengan Herlin, wanita yang telah memberiku kenangan tersendiri di sudut relung hatiku. (*)



