Jadi Saksi Perselingkuhan Ibu Temanku

Septa, 48 tahun, Banjarmasin:


Kejadian yang paling tak bisa kulupakan adalah ketika umurku 13 tahun. Waktu itu aku masih duduk di bangku SMP di sebuah desa di Gombong, Jawa Tengah.

Salah satu teman yang akrab denganku adalah Warsito (nama samaran). Selain karena rumah kami berdekatan, juga karena ia gemar bermain sepakbola seperti halnya aku. Rumah kami berdekatan bukan berarti berdampingan, karena jarak antara satu rumah dengan rumah lain bisa sampai 100 meter. Maklum di desa. Kebanyakan setiap rumah berhalaman luas. Ada yang dijadikan kebun buah-buahan, ada juga yang hanya ditumbuhi pepohonan liar.

Bapaknya Warsito, sebut saja namanya pak Karto, bekerja sebagai mandor pabrik di Gombong. Karena jaraknya jauh, ia pulang ke desa seminggu sekali, sedangkan ibu Warsito, sebut saja namanya bu Warsih, bekerja sebagai guru SD honorer. Warsito adalah anak tunggal.

Warsito tak hanya gemar bermain sepakbola. Ia sudah keranjingan, hingga jadi malas belajar. Padahal sebenarnya ia tergolong pandai. Bila siang hari pulang sekolah ia tidak boleh keluyuran oleh ibunya, tapi harus mengulang pelajaran yang hari itu diajarkan. Ia baru boleh keluar rumah kalau sudah sore.

Untuk memenuhi nafsu gila bolanya, Warsito membuat sebuah jalan rahasia, yang berupa sebuah gedek (dinding bambu) di bawah meja belajarnya yang bisa digeser dan tembus ke bekas kandang kambing yang diubah fungsinya jadi gudang kayu-kayu bekas dan genteng. Kandang tersebut berada di bagian belakang rumahnya. Begitu tahu ibunya tidur siang di kamarnya yang ada di bagian depan rumah, ia segera kabur melalui gedek berukuran sekitar 70 cm kali 50 cm itu.

Hanya aku yang diberitahu oleh Warsito perihal jalan rahasia itu. Agar tak terlihat, gedek itu ditutupi dengan tumpukan buku pelajaran Warsito. Ia membuatnya sejak tiga tahun sebelumnya dan tak pernah ketahuan.

Suatu hari, sepulang sekolah kudatangi rumah Warsito lewat belakang rumahnya dan langsung menyelinap di antara kayu-kayu bekas yang ada di bekas kandang kambing itu. Masuknya dengan tiarap dan menggeser tubuh pelan-pelan di atas tanah seperti tentara berlatih perang.

Begitu sampai di gedek penutup lubang dengan hati-hati kugeser. Saat itulah kudengar suara “aneh”. Suara perempuan mendesah-desah dan derit tempat tidur yang bergerak-gerak. Aku yakin itu suara bu Warsih saat kudengar ia mengatakan “terus, mas” dengan nafas terengah-engah beberapa kali. Karena penasaran, kugeser lagi gedek itu hingga terbuka lebih lebar. Biasanya yang kulihat di antara tumpukan buku adalah kaki Warsito yang duduk di depan meja belajar atau belajar sambil berbaring di tempat tidur. Kali ini yang tampak olehku adalah kaki seseorang menghadap ke tempat tidur. Kakinya berada di lantai dan tertutup oleh celana coklat yang melorot.

Karena tempat tidur Warsito berada di dinding seberang dinding yang ada lubang rahasianya, aku jadi bisa melihat kejadian di tempat tidur Warsito dengan jelas, walaupun agak tertutup tumpukan buku. Ternyata kaki itu milik seorang laki-laki yang sedang “mendorong maju-mundur” tubuh seorang perempuan di hadapannya yang duduk di tepi tempat tidur. Kedua tangannya memeluk erat tubuh laki-laki itu, sementara kaki-kakinya mengangkang. Seketika aku aku bisa melihat kalau yang duduk itu adalah bu Warsih. Ia tak pakai apa-apa alias telanjang bulat. Kuamati-amati laki-laki itu yang tak lain adalah guruku waktu SD. Namanya pak Suko (bukan nama sebenarnya). Ia mengajar kesenian dan olah raga. Jantungku berdetak kencang melihat apa yang mereka lakukan.

Aku takut sekali waktu itu. Dengan tangan gemetar kugeser gedek itu ke posisi semula dan pelan-pelan aku merayap mundur kembali ke gudang. Pikiranku kacau balau, bingung tak tahu harus berbuat apa. Lalu kuputuskan untuk pergi ke lapangan, siapa tahu Warsito sudah ada di sana.

Ternyata Warsito tak ada di antara anak-anak yang bermain sepakbola. Begitu melihatku, mereka yang juga teman-temanku meneriakiku untuk ikut bermain juga. Tapi aku enggan. Aku masih memikirkan kejadian di kamar Warsito. Sambil teriak kutanyakan tentang Warsito pada temanku yang bertugas menjadi kiper. Katanya, Warsito tadi lewat lapangan dan akan pergi ke warung dulu karena disuruh ibunya. Karena jalan dari warung le rumah Warsito melewati lapangan, maka kutunggu ia di bawah pohon dekat gawang di pinggir lapangan.

Beberapa saat kemudian di kejauhan tampak olehku Warsito berlari-lari kecil. Tangannya menenteng sebuah bungkusan. Segera kuhampiri Warsito. Ternyata ia disuruh oleh ibunya untuk beli kue buat suguhan pak Suko yang datang bertamu ke rumahnya. Aku pun mengikuti langkah Warsito menuju rumahnya.

Sampai di depan rumah Warsito ada sebuah sepeda motor yang kutahu milik pak Suko. Jantungku kembali berdebar saat Warsito mengajakku masuk ke rumahnya. Apa jadinya kalau perbuatan pak Suko dan ibunya dipergoki oleh Warsito? Bisa geger desaku.

Ternyata dugaanku salah. Pak Suko sudah ada di ruang tamu. Ia menyapaku dan Warsito. Warsito langsung menuju ke belakang rumah untuk menemui ibunya, sementara aku duduk menemani pak Suko. Bibirku terasa kaku saat ia mengajakku berbincang-bincang.

Tak lama kemudian bu Warsih muncul diikuti oleh Warsito. Begitu bu Warsih menghampiri kami, pak Suko langsung berpamitan pulang. Anehnya, saat Warsito minta ijin untuk bermain sepakbola, ibunya langsung mengijinkan. Padahal biasanya marah. Lebih aneh lagi, kue-kue yang dibeli Warsito tidak disuguhkan kepada pak Suko. Dengan riang Warsito berlari dan kuikuti dari belakang.

Seiring dengan bertambahnya waktu, pengetahuanku tentang hal-hal seperti yang dilakukan oleh pak Suko dan bu Warsih yang seharusnya boleh dilakukan oleh suami istri yang sah. Itu namanya nyeleweng (dulu istilah selingkuh belum ada). Aku tak tahu apakah sampai saat aku mengerti itu (saat aku kelas 3 SMP) mereka masih melakukan perbuatan mesum seperti ketika kupergoki atau sudah tidak. Yang jelas, keadaan di desaku masih adem-ayem saja.

Keributan baru terjadi ketika aku sudah SMA. Aku tak tahu kejadian pastinya, karena waktu itu aku sedang sekolah. Tapi dari rumor yang kudengar, bu Warsih tertangkap basah sedang berdua dengan pak Suko di sebuah hotel diGombong. Yang menangkap basah adalah pak Karto sendiri bersama beberapa warga desa.

Konon kabarnya, banyak warga desa yang beberapa kali melihat pak Suko membonceng bu Warsih dengan sepeda motornya. Terakhir, ada warga berpapasan dengan pak Suko dan bu Warsih di jalan desa menuju Gombong dan menanyakan tujuan mereka. Pak Suko menjawab kalau hendak ke kantor Depdikbud (sekarang Diknas) mengantar bu Warsih mengurus pengangkatan sebagai guru tetap.

Karena merasa curiga, warga tersebut, sebut saja namanya pak Paidi, mendatangi tempat kerja pak Karto. Untuk memastikan kebenarannya, pak Karto ditemani pak Paidi pergi ke kantor Depdikbud Gombong. Di sana mereka tak menemukan pak Suko dan bu Warsih. Dari kantor Depdikbud, pak Karto pulang. Ternyata di rumah pun bu Warsih tak ada.

Merasa ada gelagat yang tak baik, pak Karto mengatur siasat dengan beberapa warga desa. Pak Karto minta kepada warga desa untuk mengawasi rumahnya.

Sekitar tiga minggu setelah itu, begitu melihat pak Suko datang ke rumah Warsito dan kemudian pergi dengan membonceng bu Warsih, salah satu warga desa menuju kantor kepala desa untuk menelepon pak Karto di kantornya untuk stand by, sementara beberapa lainnya mengikuti pak Suko dan bu Warsih.

Begitu melihat kedua pasangan dimabuk asmara itu masuk ke hotel, warga yang bertugas mengikuti segera menelepon pak Karto untuk datang ke hotel itu. Benar saja. Saat pintu kamar didobrak, pak Suko dan bu Warsih sedang duduk di ranjang. Keduanya telanjang. Karuan saja pak Karto murka. Ia perintahkan warga desa mengarak pasangan mesum itu ke desa.

Pak Kades dan seluruh perangkat desa turun tangan. Mereka meneruskan perkara itu ke instansi di mana pak Suko dan bu Warsih bernaung, yaitu Depdikbud.

Sebagai teman, aku sangat iba pada Warsito. Aku mencoba menemuinya, tapi ia tak pernah ada di rumahnya setelah kejadian itu. Ada yang bilang kalau ia dibawa bapaknya ke Jakarta, ada yang bilang ke desa bapaknya di Temanggung. Beritanya simpang siur. Yang jelas, rumahnya kosong. Tak sampai 3 bulan kemudian, rumah itu sudah berganti penghuni baru. Mungkin pak Karto telah menjualnya.

Akan halnya pak Suko dan bu Warsih, kudengar mereka dipecat dari pekerjaannya. Sebagaimana Warsito dan bapaknya, kedua pasangan selingkuh itu tak diketahui lagi keberadaannya setelah itu. Kabar yang beredar mengatakan kalau mereka tak menjalani hukuman penjara karena pak Karto mencabut pengaduannya ke polisi. Entah kenapa, tapi hal itu membuat warga kecewa. (*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Kasih Tak Sampai

Layla (nama samaran), 26 tahun, Karyawati Swasta, Surabaya:

Masa SMA adalah masa yang seharusnya indah dan menyenangkan, tapi bagiku sebaliknya. Aku punya kenangan sedih ketika SMA.


Waktu lulus SMP sebetulnya aku berniat untuk mendaftar di SMA negeri terdekat dengan rumahku yang berada di pinggiran kota Surabaya. Pertimbangan utamanya adalah untuk menghemat ongkos transport. Maklumlah, kedua orang tuaku tergolong ekonomi lemah. Bapakku seorang tenaga honorer di kantor kelurahan, sedangkan ibu berjualan nasi bungkus di depan gang rumahku. Namun karena desakan teman-temanku, aku mendaftar di sebuah SMA yang tergolong favorit. Lucunya, aku diterima, sedangkan beberapa temanku yang mengajakku mendaftar justru gagal.

Sebagai anak orang tak mampu, aku sempat minder bersekolah di situ. Teman-temanku kebanyakan datang dengan diantar mobil, sebagian lainnya naik sepeda motor sendiri. Bahkan ada beberapa yang membawa mobil sendiri. Untungnya mereka semua baik padaku, entah karena tak tahu latar belakangku atau karena memang betul-betul tulus kebaikannya.

Memang ada juga beberapa yang senasib denganku dan kemudian bersahabat denganku. Yang paling dekat denganku bernama Fitri (bukan nama sebenarnya). Dengan Fitri aku sudah seperti saudara sendiri. Kami saling curhat mengenai masalah pribadi tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Ada satu teman sekelas, sebut saja namanya Romy, tiap berangkat dan pulang selalu diantar mobil. Kudengar banyak cewek-cewek yang naksir padanya. Dia inilah yang paling sering jadi bahan obrolan kami. Menurutku, Romy adalah anak yang sombong karena jarang sekali menyapaku, sementara dengan yang lainnya bisa demikian akrab. Tapi Fitri punya pendapat lain. Menurutnya, justru Romy baik dan suka merendah.

“Kamu saja yang sok jual mahal, nunggu disapa duluan sama Romy. Kalau aku belum punya pacar, pasti sudah ikut ngantri jadi pacarnya”, ujar Fitri dengan nada menggoda.

Ia menambahkan, “Kalau memang dia sombong, pasti ke sekolah setir mobil sendiri. Buktinya, lihat saja. Ia diantar jemput ‘kan?”

“Kalau tidak sombong, kenapa ke sekolah nggak naik angkot saja?!”, ujarku sengit, meskipun sebenarnya dalam hati aku bisa menerima pendapat Fitri. Fitri hanya diam mendengar ocehanku. Biasanya ia selalu begitu, karena tak ingin kami jadi ribut.

Namun pendirianku tetap sama, ia sombong. Aku tak mau menyapa duluan karena takut dikira naksir dia. Anggapan itu lama-kelamaan menumbuhkan kebencian dalam diriku. Entah kenapa aku selalu muak setiap kali melihatnya bercanda-canda dengan teman-teman yang lain. Terlebih ia sangat royal, suka mentraktir di kantin sekolah. Pernah suatu ketika kuhardik Fitri saat ia menyeretku untuk ikutan ke kantin karena mau ditraktir Romy saat jam istirahat. Katanya, Romy ulang tahun. Meskipun miskin, aku tak mau makan pemberian orang, begitu kataku kepada Fitri waktu itu. Fitri pun akhirnya mengalah dan menemaniku ngobrol di dalam kelas.

Rasa sebelku makin bertambah waktu kenaikan kelas. Aku dan Romy berada di kelas yang sama. Sayangnya Fitri tidak. Aku ingat betul yang dikatakan Romy saat mengetahui hal itu. “Kamu seneng nggak sekelas lagi sama aku?”, katanya sambil cengar-cengir. Fitri yang ada di belakang Romy ikutan nyengir lebar menggodaku. “Nggak!”, jawabku ketus sambil berlalu dari papan pengumuman. Ia hanya tertawa melihatku. Fitri mencubit lenganku dan mengingatkanku agar tidak bersikap seperti itu.

Suatu pagi, ketika aku membantu ibuku menyiapkan meja dagangan di mulut gang sebelum berangkat sekolah, sebuah mobil mewah berhenti di seberang jalan. Aku tak begitu memperhatikannya. Tapi ketika ada suara seseorang memanggilku, baru aku melihat ke arah mobil itu. Ternyata Romy. Ia menawariku tumpangan dengan berteriak di depan mobilnya berhenti. Aku hanya menjawab singkat “Nggak usah!” lalu meneruskan pekerjaanku. Aku masuk lagi ke gang untuk mengambil dagangan ibuku. Romy tak kuhiraukan. Saat keluar gang, mobil Romy sudah tidak ada.

Gangguan Romy tak berhenti sampai di situ. Waktu bubaran sekolah lagi-lagi ia menawariku tumpangan pulang. Lagi-lagi juga aku menolak. Dikiranya aku tergiur pada mobil mewahnya, pikirku.

Beberapa minggu kemudian, tanpa kuduga-duga, Romy nongol di depan pintu rumahku. Saat itu malam minggu dan aku sedang nonton TV bersama adik-adikku. Aku kaget bukan kepalang. Adik-adikku melongo melihat kehadiran Romy. Semerbak parfumnya menyebar ke dalam rumahku yang kecil dan berhimpitan dengan rumah tetangga. Bukannya mempersilakannya masuk, aku malah berdiri dan keluar rumah. Ia ingin mengajakku makan di luar dan saat itu teman-teman yang lain sudah menunggu di restoran, jawabnya ketika kutanyakan maksud kedatangannya. Tanpa pikir panjang langsung kutolak ajakan Romy. Kukatakan kalau aku mengantuk dan mau tidur. Romy sempat memaksaku tapi akhirnya menyerah karena kutinggalkan begitu saja masuk ke dalam kamar.

Saat berbaring di ranjang, aku menyesali perbuatanku. Kupikir-pikir, tak pernah sekalipun ia menyakitiku. Aku saja yang kelewat gengsi untuk menutupi kekuranganku. Kebencian yang kupupuk dalam hatiku semata-mata mungkin karena rasa iri melihatnya begitu populer di sekolah yang kutafsirkan karena ia anak orang kaya. Jika miskin, mungkin akan seperti aku yang terkungkung dalam rasa minder yang berlebihan yang membuatku membatasi diri dalam pergaulan di sekolah.

Aku tak berani menceritakan kedatangan Romy ke rumahku kepada Fitri. Aku enggan jadi bahan candaannya yang akan didengar teman-teman yang lain, apalagi Romy.

Hari-hari berikutnya di sekolah, kuperhatikan Romy agak lebih pendiam dari biasanya. Aku sering memergokinya sedang murung, sementara teman-temanku lainnya bercanda ria. Apa karena aku telah menyakiti hatinya, pikirku. Tapi, meskipun aku berusaha untuk tidak peduli, tetap saja pikiran itu menghantuiku. Keseringan memikirkan Romy berdampak buruk pada diriku. Di luar kesadaranku, aku jadi suka membayangkan berpacaran dengannya di sebuah taman penuh bunga. Kemudian ia menciumku dengan lembut. Setiap kali muncul khayalan itu, aku mengutuk dalam hati. Membodoh-bodohkan diriku sendiri yang membiarkan larut dalam jebakan asmara Romy. Bisa jadi, murungnya itu hanya sebagai penarik simpatiku agar aku minta maaf padanya.

Setiap menjelang tidur, perang batin berkecamuk dalam diriku. Kadang aku mempertanyakan pada diriku sendiri, kenapa waktu itu ia berhenti di seberang jalan untuk mengajakku pergi ke sekolah bersama-sama, sedangkan itu bukan jalur dari rumahnya ke sekolah? Kenapa ia mau menjemputku malam minggu itu untuk makan bersama-sama dengan teman-teman yang lain, padahal ia bisa langsung ngomong padaku atau Fitri di sekolah tanpa perlu repot-repot menjemputku?

Pertanyaan-pertanyaanku memang terjawab dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, tapi dalam situasi yang membuatku menyesal seumur hidup. Penyesalan yang terlambat dan hingga kini masih sering meresahkan pikiranku, terutama saat reunian.

Betapa tidak. Malam itu, hari Jumat, sekitar jam 8, Romy datang lagi ke rumahku. Terus terang, bukan lagi sebel yang muncul dalam hatiku, tapi berbunga-bunga. Entah kenapa, untuk pertama kali sejak mengenalnya aku jadi berubah seperti itu. Tapi aku gengsi menunjukkannya. Sikap yang kutunjukkan padanya justru sebaliknya. Dengan muka masam kutanyakan apa keperluannya malam-malam datang ke rumahku. Ia bilang mau pinjam bukuku untuk melengkapi catatan pelajarannya.

Sesaat aku sempat heran ia mengenakan jaket, padahal sebelumnya tidak pernah. Masak naik mobil pakai jaket tebal seperti itu, pikirku nyinyir. Aku bergegas masuk kamar untuk mengambil buku yang ia maksud, tanpa menyuruhnya duduk. Ia berdiri saja di depan pintu rumahku. Kudengar ia menyapa adik-adikku yang sedang mengerjakan PR di lantai.

Kuberikan bukuku padanya. Kulihat ia jadi salah tingkah dan tak bicara apa-apa ketika kutanyakan apalagi buku yang mau dipinjamnya. Karena ia diam, akupun ikut diam sambil menyandarkan bahuku ke pintu. Tak dapat kusangkal kalau jantungku berdebar saat mencuri pandang dirinya.

Jantungku makin berdetak tak karuan saat ia bilang ingin mengajakku jalan-jalan malam minggu besoknya. Tapi aku berusaha menahan diri agar tak terlihat ‘excited’ menjawab ajakannya. Aku bilang, “Lihat-lihat besok lah. Kalau aku nggak ada acara”. Kulihat matanya berbinar mendengar jawabanku yang mungkin diartikan aku setuju.

Aku yang penasaran kenapa ia memakai jaket diam-diam mengikutinya hingga ke ujung gang. Aku nyaris tak percaya kalau ternyata ia naik sepeda motor untuk ke rumahku, padahal rumahnya lumayan jauh. Buru-buru aku sembunyi di balik gerobak bakso saat ia menaiki motornya dan berlalu hingga hilang dari pandanganku. Tumben, pikirku.

Seperti yang sudah-sudah, kurahasiakan kedatangan Romy ke rumahku, juga ajakannya untuk jalan-jalan malam minggu, kepada Fitri. Sebetulnya aku ingin sekali cerita, tapi kutahan. Daripada digojlok habis-habisan olehnya, lebih baik aku diam. Lebih baik kunikmati sendiri getar-getar aneh dalam hatiku yang makin hari makin sulit menghilangkan Romy dari benakku.

Yang membuat hatiku melambung ke langit, Romy mengembalikan buku catatanku sambil berpesan kalau ada sesuatu di dalamnya. Karena penasaran, kubuka halaman demi halaman mencari “sesuatu” yang dimaksud Romy. Di halaman tengah kutemukan secarik kertas bertuliskan “I love you” dengan gambar sekumpulan bunga membentuk lambang hati. Usai kubaca, kulihat Romy keluar kelas karena saat itu jam istirahat. Cepat-cepat kulipat kertas itu dan kumasukkan ke dalam kantong tas begitu

Ada yang tak biasa yang kurasakan ketika Sabtu pagi tiba. Sekolahku libur, tapi aku merasa tak senang, padahal biasanya tak sabar menunggu hari Sabtu dan Minggu. Wajah Romy terus saja menghiasi pikiranku. Aku takut mengakui kalau aku jatuh cinta padanya, tapi merasa kehilangan jika sehari saja tak bertemu. Makin siang aku makin gelisah. Rasanya lama sekali datangnya malam hari. Aku juga bingung mencari-cari baju yang cocok untuk pergi dengan Romy.

Begitu usai sholat Maghrib aku sudah sibuk di depan cermin, mematut-matut diriku dengan baju yang kukenakan. Adik-adikku yang tak biasa melihatku seperti itu keheranan menatap tingkahku. Mereka tak beranjak dari pintu kamarku meski ibuku beberapa mengatakan agar tak menggangguku.

“Mbak Layla mau pacaran. Kalian main di luar sana”, kata ibu menggodaku. Aku hanya bisa merajuk malu.

Usai berdandan, aku nonton TV di ruang tamu ditemani adik-adikku. Belum lama aku duduk, tiba-tiba hujan menguyur dengan derasnya. Aku yang sejak tadi berdebar-debar makin sulit menyembunyikan keresahanku. Bapak yang sibuk mengutak-atik motor bututnya menyuruhku untuk menyiapkan payung. Batinku yang tak tenang enggan beranjak dari kursi. Kusuruh adikku untuk mengambilkannya.

Hingga jam setengah sembilan malam tak ada tanda-tanda kedatangan Romy. Hanya gemuruh suara atap rumah tertimpa air hujan yang terdengar, bersaing dengan suara TV yang dikencangkan suaranya oleh adikku.

Satu jam kemudian aku masuk kamar untuk berganti baju. Setelah itu kuhempaskan diriku di kasur karena kesal. Betapa tidak, saat aku tak mengharapkan kehadirannya, Romy datang, tapi begitu ditunggu-tunggu tak juga nongol. Dugaan-dugaan buruk segera saja mencuat di benakku. Mungkin saat itu Romy tengah tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya karena berhasil mempermainkan aku sebagai balas dendam atas sikapku padanya selama ini. Kuambil secarik kertas pemberiannya dan kurobek-robek hingga menjadi serpihan kecil, lalu kubuang ke luar jendela. Derasnya hujan membuat serpihan kertas itu langsung hanyut ke got dan lenyap.

Malam itu aku tak bisa tidur. Rasa marah dan malu campur aduk jadi satu. Aku mengutuk kebodohanku sendiri yang membiarkan diriku larut dalam permainan Romy yang membuat timbulnya secercah harapan untuk jadi pacarnya malam itu.

Pagi harinya, ketika sedang membantu ibuku mengatur dagangannya, Fitri datang dibonceng pacarnya. Matanya basah oleh air mata. Dengan tergopoh-gopoh ia mendatangiku dan langsung memelukku. Tangisnya tumpah. Kuusap-usap punggungnya untuk menenangkannya. Kupikir ia ribut lagi sama pacarnya. Kulihat Yusuf (nama samaran), pacar Fitri, hanya duduk saja di motornya sambil memandangi kami.

“Ada apa lagi, Fit? Ribut lagi sama Yusuf ya?”, bisikku di telinganya.

“Romy, La. Romy meninggal …”, kata Fitri terbata-bata. Bagai disambar petir rasanya waktu itu. Tapi aku masih berusaha untuk tenang.

“Jangan bercanda kamu, Fit”, ujarku. Suaraku parau.

Kemudian Fitri mengajakku duduk di bangku panjang tempat biasa ibuku duduk menunggu pelanggan. Tubuhku terasa limbung ketika Fitri menceritakan kalau semalam Romy mengalami kecelakaan sepeda motor. Motor milik sopirnya itu dipinjamnya untuk pergi ke suatu tempat. Tak ada satupun keluarganya yang tahu ke mana tujuannya.

Spontan pandanganku gelap. Aku pingsan. Begitu sadar, aku sudah berada di kasur kamarku. Kulihat bapak, ibu, Fitri dan pacarnya memandangiku. Ibu memberiku segelas air putih. Ternyata saat aku tak sadarkan diri, ibu cerita kalau Romy sudah dua kali datang ke rumahku dan terakhir mengajakku jalan-jalan malam Minggu. Ajakan yang tak pernah terpenuhi. Fitri menyesalkan kenapa aku tak pernah cerita padanya. Kata Fitri, seandainya ia tahu sejak awal, ceritanya akan lain. Ia akan dengan senang hati membantuku jadi comblang. Tapi karena aku selalu bersikap ketus pada Romy, ia urungkan niatnya.

Setelah aku cukup kuat berdiri, bapak memboncengku mengikuti Fitri dan Yusuf menuju rumah Romy. Di sana sudah ramai orang. Kulihat teman-teman sekolahku bergerombol di salah satu sudut halaman rumah Romy yang luas. Semua teman cewek menangis, sementara yang cowok tertunduk sedih. Tak ada yang bicara saat aku datang. Aku langsung masuk ke dalam ruang tamu bersama Fitri di mana jenazah Romy terbaring. Air mata yang kutahan sejak dalam perjalanan tak dapat lagi kubendung. Isak tangisku meledak saat kusalami kedua orang tua Romy dan keluarganya yang ada di sekeliling jenazah.

Dalam hati aku berjanji akan rajin mengunjungi makam Romy kelak, tapi dugaanku meleset. Hari itu jenazah Romy diterbangkan ke Ujung Pandang untuk dimakamkan di makam keluarganya di sana. Kupendam dalam-dalam rasa kecewaku.

Beberapa hari setelah Romy tiada, teman-teman sekelas masih ramai membicarakan perilakunya yang tak biasa akhir-akhir ini. Menurut informasi yang mereka dapatkan dari pihak keluarga, diam-diam Romy minta sopirnya mengajari mengendarai sepeda motor. Kata sang sopir, Romy ingin sekolah naik motor sendiri agar tidak dikira sombong. Aku yang mendengar itu jadi diliputi rasa bersalah yang amat sangat. Untung ada Fitri yang selalu menghibur dan membesarkan hatiku dengan mengatakan kalau semua itu adalah takdir Allah.

Kini, aku sudah menikah dan punya satu anak. Tapi kisah cintaku yang tak kesampaian dan berakhir tragis rasanya sulit sekali kulupakan. Terutama jika saat aku berkumpul dengan mantan teman-teman SMA-ku. (*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Bagaimana Mengatur Semangat Kerja?

BMB, Semarang:

Saya adalah seorang pekerja di bidang teknik dan telah bekerja di satu perusahaan hingga memiliki pengalaman puluhan tahun.

Mungkin saya menjadi bangga diri dengan keterampilan dan pengalaman saya. Namun demikian, di kantor tempat kerja saya saat ini saya menjadi seringkali tak bergairah. Rasanya semua pekerjaan saya sehari-hari menjadi rutinitas yang membosankan. Akibatnya, energi saya berlebihan.

Bahkan, jauh sebelum waktu jam pulang saya sudah menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan saya tanpa kepuasan yang berarti. Hal ini telah berjalan satu tahun terakhir dan saya merasa tidaklah mungkin keadaan ini saya alami terus-menerus.

Apa yang harus saya lakukan agar saya dapat semangat kerja lagi ? Sebelumnya saya haturkan terima kasih.


Jawab:

BMB di Semarang, saya cukup salut dengan loyalitas Anda untuk bekerja pada satu perusahaan hingga meraih keterampilan di bidang teknik yang Anda tekuni.

Memang semangat atau motivasi kerja dalam diri seseorang selalu mengalami naik-turun. Banyak faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari.

Salah satu faktor adalah adanya goal atau tujuan yang jelas dan realistis. Akan lebih baik lagi bila Anda memiliki tujuan-tujuan dalam sebuah catatan yang dapat setiap saat Anda lihat.

Selain itu, menciptakan lingkungan yang nyaman juga dapat mempengaruhi semangat kita bekerja. Lingkungan yang segar, bersih dan wangi dengan sirkulasi udara yang sehat dapat membantu kita berpikir dan mendapatkan ide-ide yang kreatif.

Demikian juga menciptakan dan meningkatkan hubungan sosial, berolahraga maupun berekreasi dapat memberikan angin segar setelah seharian Anda berkutat dalam rutinitas kerja Anda.

Yang tak kalah penting adalah menelaah kembali penyebab yang menjadikan Anda merasa bosan di tempat kerja Anda. Lihatlah kembali kebijakan maupun sistem di tempat kerja yang mungkin menjadikan Anda merasa tidak puas dan tidak tertantang lagi.

Memang diperlukan keberanian untuk mengidentifikasi kembali keinginan dan tujuan hidup Anda dengan tetap mempertimbangkan kesempatan dan keterampilan yang Anda miliki.

Selain itu, cobalah Anda lihat kembali peran Anda di tempat kerja dan apakah peranan itu telah menjadi tujuan Anda dalam berkarir ? Kemungkinan apa saja yang dapat Anda raih di tempat kerja Anda? Hal ini dapat ditanyakan pada atasan Anda atau bagian personalia dapat membantu memberikan penjelasan tentang kesempatan karir Anda.

Bila Anda telah mendapatkan catatan tentang tujuan hidup, tujuan berkarir, dan keinginan-keinginan yang realistis maka langkah selanjutnya adalah mencari dukungan dari lingkungan kerja Anda.

Jalinlah kerja sama dengan orang-orang yang memiliki satu visi dengan Anda dan jangan pernah lelah membuka diri terhadap kritik maupun penilaian orang lain. Karena, dari hubungan sosial dan lingkungan tersebut akan didapat ide-ide kreatif yang belum pernah Anda pikirkan.

Hal ini juga dapat Anda bicarakan dengan pasangan dan keluarga Anda sebagai sumber penyemangat hidup melalui penetapan tujuan karir yang jelas dan mampu diterima oleh semua pihak.

Selamat bekerja, semoga Anda sukses selalu. (Sumber:Fakta)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Hanya Dalam Khayalan

Ojie, 21 tahun:


Aku tidak tahu apakah aku ini menderita kelainan atau memang normal untuk laki-laki seusiaku. Aku suka sekali melihat cewek memakai baju dalam atau bikini seksi, yang bagian samping celana dalamnya berupa tali.

Selama ini aku hanya menikmati “pemandangan menggairahkan” itu melalui internet. Tapi secara tak terduga aku melihat sendiri, walaupun tidak “langsung” alias tertutup baju.

Waktu itu aku mengantar mama dan adikku ke Carrefour. Karena sudah berkali-kali ke situ, aku jadi bosan. Mama dan adikku masuk untuk berbelanja, aku duduk-duduk menunggu di depan deretan kasir.

Aku duduk membelakangi kasir dan melihat-lihat berbagai kios makanan yang ada di dalam gedung Carrefour. Tanpa kuduga-duga, aku melihat seorang cewek mengenakan gaun terusan ketat berbahan kaus berwarna merah hati sedang mengantri di depan kios penjual kentang goreng.

Saking ketatnya baju yang dia pakai, celana dalam (maaf) cewek itu ngecap (membekas pada baju). Yang membuat jantungku sedut-senut, model celdamnya adalah seperti yang kusukai, yaitu bertali di bagian samping.

Otak ngeresku langsung membayangkan cewek yang kebetulan lumayan cakep itu tanpa busana. Pastilah sangat seksi. Apalagi kulitnya putih dengan rambut panjang lurus terurai seperti itu.

Beberapa saat lamanya mataku memandanginya dengan nanar. Tapi kemudian aku sadar kalau aku sedang berada di tempat umum. Sesekali kualihkan pandanganku, pura-pura melihat-lihat ke tempat lain, namun kembali lagi memandangi cewek itu.

Aku beruntung karena posisi dudukku hanya berjarak sekitar 5 meter darinya, sehingga mata dan imajinasiku terpuaskan menelanjanginya. Apalagi ia mengantri cukup lama sebelum tiba gilirannya untuk pesan kentang goreng.

Tampaknya ia merasa kalau kupandangi, karena sesekali ia menoleh ke arahku. Saat itu terjadi, aku menoleh ke tempat lain agar tidak “tertangkap basah” tengah menikmati keindahan ngecapnya.

Aku berkhayal, aku mendekatinya, lalu memperkenalkan diriku. Lalu kukatakan kalau aku ingin ngomong sesuatu sambil memintanya agar tidak marah pada omonganku. Yang ingin kukatakan padanya adalah, “Celana dalammu seksi”.

Yah, itu cuma khayalanku saja. Jelas aku tak berani ngomong begitu. Bisa-bisa ditamparnya. Lebih celaka lagi kalau aku diteriaki maling.

Yang kulakukan cuma duduk manis sambil menelan ludah dan sesekali mencuri pandang padanya.

Sayang sekali mama dan adikku keburu selesai belanja dan membayar di kasir. Padahal cewek itu masih di sana. Sayang sekali. (*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Seputar Wanita Karir

Tips Menemukan Pasangan Selagi Menjadi Wanita Karir

Ladies, sebagai wanita modern, kebanyakan dari kita ingin mencoba meniti karir dan mencapai cita-cita yang kita inginkan setinggi-tingginya. Selagi masih single, kita ingin bisa meraih banyak hal seperti kesuksesan finansial, aktualisasi diri dan sebagainya.

Namun hal ini seringkali membuat kita lupa pada hal yang cukup esensial, yaitu mencari pasangan. Karena sibuk bekerja, seringkali kita sering kehilangan banyak waktu, jarang bersosialisasi dengan lingkungan baru dan sebagainya.

Agar Anda tak 'kecolongan masa muda', ada baiknya mencoba beberapa tips berikut ini.

Berhenti Menjadi Sosok Yang Terlalu Sibuk

Pekerjaan seharusnya tak membelenggu kehidupan Anda. Bila pekerjaan menyita banyak waktu Anda, maka ada dua kemungkinan. Yang pertama adalah Anda belum bisa mengatur manajemen waktu dan yang kedua adalah Anda memilih pekerjaan yang kurang tepat bagi kehidupan Anda.

Sesibuk apapun, pastikan Anda punya waktu pribadi dan quality time untuk diri Anda sendiri. Dengan demikian akan memperlebar kesempatan Anda bertemu dengan jodoh.

Lebih Percaya Diri

Meski ini bisa menjadi masalah bagi siapapun, namun wanita karir juga rawan dirundung ketidak pedean. Cinta itu memang melihat bibit, bebet dan bobot. Namun dengan menjadi sosok yang percaya diri, Anda lebih mudah disukai oleh lingkungan.

Cobalah untuk lebih percaya bahwa diri Anda juga memiliki kelebihan yang tak dimiliki orang lain. Tidak ada orang yang dilahirkan untuk menjadi bukan siapa-siapa.

Sedikit Tricky

Mungkin ini bukanlah saran yang sepenuhnya baik. Namun setidaknya kita tak menutup mata bahwa kehidupan cinta dipenuhi trik-trik yang harus pintar-pintar kita baca. Jangan terlalu naif memandang cinta dan sesekali jaga jarak Anda untuk mengembangkan kerinduan seseorang pada Anda.

Sering-sering sharing dengan sesama teman wanita dan mendengarkan berbagai topik obrolan percintaan. Maka Anda akan mendengar banyak hal baru yang mungkin belum pernah Anda dengar sebelumnya.

Menjadi Pribadi Yang Hangat

Jangan sampai kesibukan kerja mencuri kehangatan personality Anda. Tetaplah menjadi wanita yang baik dan ramah. Pancarkan senyum penuh percaya diri yang Anda miliki sehingga orang lain tak ragu untuk mendekat.

Dengan mencoba beberapa tips di atas, karir tak akan menjadi penghalang nasib percintaan Anda. Selamat mencoba, Ladies. (Sumber: http://www.vemale.com)


Wanita Sering Remehkan Pria yang Gajinya Lebih Rendah

Vemale.com - Di masa kini, banyak wanita yang memutuskan untuk bekerja sebelum dan setelah menikah. Persaingan antar pria dan wanita untuk urusan karir makin membara.

Wanita sudah banyak menunjukkan prestasi dan kemampuan, baik dari posisi karir dan gaji yang lebih besar daripada pria.

Faktanya, hal ini justru tidak disukai pria. Saat gaji pacar atau istri lebih besar, biasanya mereka tidak suka. Misalnya saja kisah sahabat kami yang bernama Laras.

"Waktu gajiku naik, aku langsung memberitahu pacarku. Maksudku baik, supaya kami bisa merencanakan keuangan sebelum menikah. Tetapi pacarku justru tidak suka. Mungkin karena gajiku yang sekarang lebih besar. Padahal aku tidak bermaksud pamer atau meremehkan gajinya. Kenapa ya dia jadi begitu?"

Pria Merasa Gagal Jika Gajinya Lebih Rendah

Jawabannya mungkin ada dalam hasil penelitian terbaru yang ditulis dalam The Journal of Personality and Social Psychology, dilansir Geniusbeauty.com, Selasa (10/9). Para ilmuwan menyimpulkan bahwa istri atau pacar yang lebih sukses memberi kesan yang negatif pada pria.

Hal ini akan membuat pria mengevaluasi diri mereka dan menganggap keberhasilan pasangannya sebagai hal yang buruk. Pria juga berpikir bahwa keberhasilan pasangannya adalah kekalahan bagi dirinya. Hal ini akan diperparah dengan kecenderungan wanita yang meremehkan pria dengan gaji yang lebih sedikit. Sikap itu akan membuat harga diri pria turun dan hilangnya sisi superior dalam diri pria.

Maka jangan heran jika pacar atau suami Anda bersikap aneh atau tidak suka dengan fakta gaji Anda lebih besar, atau jabatan Anda lebih tinggi. (Sumber: vem/yel/ http://www.vemale.com)


Patuhi 3 Aturan Ini Agar Jadi Wanita Karir yang Sukses

Jakarta - Di era globalisasi ini, semakin banyak wanita yang ingin sukses berkarir sesuai dengan passion mereka. Apabila Anda salah satunya, coba patuhi tiga peraturan di bawah ini, seperti dikutip dari iDiva.

1. Izin dari Pasangan

Belum lama ini ada penelitian yang mengungkapkan bahwa wanita lebih mementingkan karir ketimbang cinta. Padahal, keduanya bisa diseimbangkan jika telah mendapat izin dari pasangan.

Jika Anda sudah menikah, cobalah meminta bantuan dan membagi tanggung jawab mengenai pekerjaan rumah tangga dengan pasangan, termasuk di dalamnya mengurus anak. Sebab jika suami keberatan, biasanya wanita memang harus merelakan salah satu antara keluarga atau karir yang dikorbankan.

2. Belajar Berkata Tidak

Tak sedikit wanita yang merasa kesulitan untuk menolak hanya karena merasa tidak enak dengan bos di kantor. Padahal, berkata tidak pada suatu hal bisa menuntun Anda ke jalan lain yang lebih baik. Apabila Anda disuruh melakukan sesuatu yang tidak mampu Anda lakukan, maka cobalah untuk berkata tidak.

3. Memanjakan Diri

Wanita karir yang sukses tak selalu berlama-lama mengerjakan pekerjaannya. Mereka juga memiliki waktu untuk memanjakan diri. Oleh karena itu, mulai saat ini, sesibuk apapun Anda, tetaplah memiliki waktu untuk istirahat, jalan-jalan, atau melakukan perawatan tubuh.

Jangan menjadikan kesibukan sebagai alasan untuk meninggalkan gaya hidup sehat. Ketika Anda sakit, Anda justru akan semakin repot dan pekerjaan juga akan terbengkalai. (Sumber: rma/rma/ http://wolipop.detik.com/)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Suami Penguras Harta


Vira, 53 tahun, somewhere:

Sebagai perempuan, aku termasuk terlambat menikah. Aku menikah saat menginjak usia 37 tahun. Kusadari sepenuhnya, bahwa itu adalah resiko dari kesibukanku pada pekerjaan. Ya, aku terlalu sibuk mengejar karir, hingga urusan asmara terbengkalai. Namun pengorbananku tak sia-sia. Karirku melejit cukup bagus. Begitu juga dari segi ekonomi. Aku bisa membeli mobil dan rumah sendiri dari hasil jerih payahku. Selain itu tabunganku di bank lumayan banyak. Juga perhiasan emas simpananku.

Perkenalan dengan suamiku, sebut saja namanya Yono, terjadi karena diatur oleh salah seorang kerabatku. Setelah pertemuan itu aku merasa cocok dengannya. Begitu juga dengan Yono. Kami pun kemudian berpacaran. Yono adalah seorang duda beranak satu. Anaknya, Sebut saja namanya Heri, waktu itu masih duduk di bangku SD kelas 6. Menurut pengakuan Yono, ia bekerja di sebuah perusahaan distributor buku pelajaran sekolah.

Setelah yakin pada pilihanku, kami pun menikah. Sayangnya aku tak dikaruniai anak dari pernikahanku itu. Maka tak heran kalau perhatianku kucurahkan pada Heri.

Beberapa tahun kemudian aku dipindahtugaskan ke kantor pusat yang letaknya cukup jauh (sebut saja nama kotanya X) dari kantor cabang tempat aku mengawali karir di kota Y. Akibatnya, aku dan Yono harus tinggal terpisah. Di kota X aku mengontrak sebuah rumah sederhana yang tak jauh dari kantor. Yono sendiri kemudian memutuskan untuk boyongan ke rumahku, sementara rumahnya dikontrakkan.

Untuk mengobati rasa kangen, kadang aku yang datang ke kota X, kadang Yono dan Heri yang mendatangiku.

Rupanya, tinggal terpisah mendatangkan bencana bagiku.

Suatu ketika Yono dan Heri datang ke kotaku dengan mengendarai mobil baru. Aku senang karena kupikir usaha Yono berkembang pesat. Dengan mobil itu pula lah aku kemudian ikut Yono dan Heri kembali ke kota Y untuk menikmati cutiku.

Sampai di rumah, kulihat ada sepeda motor baru di garasi. Kata Yono itu milik Heri sebagai hadiah karena diterima di SMA negeri. Sebagai istri tentu saja aku bangga mendengar penuturan Yono.

Tak cuma itu. Ternyata di dalam rumah juga ada TV dan kulkas yang semuanya baru. Juga sofa untuk ruang tamu.

Aku mengingatkan Yono agar tidak terlalu menghambur-hamburkan uang. Kusarankan untuk menabungnya agar bisa digunakan untuk hal-hal lain yang jauh lebih penting.

Sekitar 2 bulan kemudian aku ditelepon adik perempuanku, sebut saja namanya Rina, yang tinggal di kota Y. Dia bilang mau pinjam perhiasanku untuk dipakai menghadiri acara kondangan. Di keluargaku memang sudah biasa seperti itu. Saling pinjam baju atau perhiasan saat ada acara-acara tertentu. Seperti biasa, kusuruh Rina untuk langsung saja mengambil di rumahku. Ia sudah tahu di mana aku meletakkan kunci brankas tempat aku menyimpan perhiasan-perhiasanku di dalam almari pakaian.

Satu jam kemudian ia kembali meneleponku. Katanya, perhiasanku telah berkurang banyak. Ia mengira aku menjualnya sebagian. Tentu saja aku kaget. Sudah lama aku tidak membuka brankas perhiasanku, baik untuk menambah, apalagi menjualnya. Kejadian itu membuat keluargaku geger. Betapa tidak. Jika dihitung-hitung, nilai perhiasanku itu tak kurang dari empat ratus juta rupiah.

Untuk memastikan keadaan, aku mengambil cuti dan pulang ke kota Y. Ternyata benar. Perhiasanku hilang lebih dari setengah, terutama yang terbuat dari emas. Kata Yono, beberapa bulan lalu ada seseorang yang kepergok olehnya masuk ke rumah, tapi keburu kabur. Ketika kutanyakan kenapa tidak memberitahuku, ia menjawab kalau tidak perlu karena tidak ada barang yang hilang. Menurut pengakuannya, ia tidak tahu kalau ada brankas di dalam almari pakaian.

Tapi aku tidak percaya begitu saja pada ceritanya. Kukaitkan dengan adanya mobil, sepeda motor, TV, kulkas dan sofa yang semuanya baru, timbul kecurigaanku pada Yono. Ditambah lagi dengan cerita dari salah seorang kerabatku kalau Yono sudah tidak bekerja lagi di perusahaan pemasok ATK untuk kantor cabang tempat aku dulu bekerja.

Berbekal informasi itu, aku melakukan penyelidikan. Kudatangi kantor Yono. Ternyata memang ia sudah tidak bekerja di sana sejak setahun lalu. Ia dipecat dengan tidak hormat karena melakukan penggelapan uang tagihan. Batinku hancur mendengar itu. Yang lebih menyakitkan, rumah yang dulu ditempati Yono ternyata adalah rumah temannya yang kosong karena ditinggal ke luar negeri. Bukan rumahnya sendiri seperti yang selama ini dikatakan kepadaku. Jadi, sejak awal kami sepakat untuk berumah tangga aku telah dibohongi oleh Yono.

Dengan didampingi saudara-saudaraku, kuajak Yono bicara baik-baik. Mula-mula menyangkal dengan marah-marah. Ia tidak terima dituduh mencuri perhiasanku. Mobil dan semua yang ia beli adalah hasil dari pesangon yang ia terima. Hal itu membuat emosiku meledak. Bagaimana mungkin dapat pesangon kalau ia dipecat karena melakukan korupsi? Aku mengancamnya akan melaporkan ke polisi kalau ia masih saja berkelit.

Ancamanku membuahkan hasil. Ia mengakui semua perbuatannya. Yang membuatku kesal, ia melakukan itu karena sebagai suami, ia merasa berhak atas perhiasan itu.

Saat itu aku langsung merasa kalau Yono bukanlah suami yang tepat untukku. Ia tak lebih dari penipu dan maling. Aku mengajukan gugatan cerai. Mobil yang ia beli kujual lagi dan kutabung, sedangkan sepeda motor untuk Heri kuikhlaskan. Hitung-hitung sebagai sedekah.

Aku harus mulai dari nol lagi untuk menabung sebagai persiapan menghadapi hari tuaku. Aku tak ingin menggantungkan hidup pada orang lain, sekalipun itu keluargaku sendiri. Bahkan saat aku menua kelak.

Kini, di saat-saat kesendirianku, aku merasakan betapa hampa hidupku. Yang kutakutkan adalah, tak lama lagi aku pensiun yang artinya akan tinggal di rumah. Sendiri. Tak ada siapapun yang menemani sisa hidupku.

Aku selalu iri saat melintas sekolah taman kanak-kanak. Di sana banyak ibu-ibu bercengkerama sambil menunggui anaknya. Kegiatan yang selama ini kuimpikan, tapi tak pernah kualami. Kadang timbul sesal dalam hatiku, yang terlalu sibuk berkarir hingga melewatkan saat-saat indah sebagai seorang wanita pada umumnya. Menjadi ibu.

Aku sadar, mungkin ini sudah takdirku. Dan aku tak mau makin tenggelam dalam kegalauanku sendiri. Kupersiapkan baik-baik segala sesuatunya untuk menghadapi pensiun nanti. Aku bertekad untuk terus menyibukkan diri, mungkin dengan berwiraswasta atau berkebun. Atau setidaknya menyalurkan hobi melukisku yang sejak memasuki dunia kerja dulu kutinggalkan. (*)

Seperti diceritakan ybs kepada Tim JBSs. Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Hotnya Om dan Tanteku

Anjasmara (nama samaran), 25 tahun, somewhere:

Om Frans (bukan nama sebenarnya) adalah adik bungsu papaku yang bersaudara 3 orang. Selisih usia antara papa dan om Frans sekitar 5 tahun. Papa sudah pensiun setahun lalu. Berarti usia om Frans sekitar 50 tahunan lah. Tapi meski sudah setengah abad umurnya, ia masih hot lho. Aku sendiri membuktikannya.

Ceritanya, untuk melengkapi data-data yang kubutuhkan dalam menyelesaikan tugas akhir kuliahku aku minta bantuan om Frans yang bekerja di sebuah instansi pemerintah di kota G. Untuk pergi ke sana aku naik bus antar kota, kemudian naik taksi ke rumah om Frans. Di rumah om Frans aku disambut tante Yana (juga bukan nama sebenarnya), istri om Frans, karena om Frans sedang ngantor. Menurutku tante Yana Lumayan cantik, tapi tubuhnya sudah melar meski tidak tepat juga kalau disebut gendut. Hehehe… Yah, semi langsing deh.

Om Frans dan tante Yana punya anak semata wayang yang baru lulus SMA dan sejak 2 bulan sebelumnya melanjutkan pendidikan sarjana di kota pelajar. Sebut saja namanya Dedy. Praktis di rumah itu hanya ada om Frans dan tante Yana saja.

Aku berencana menginap di rumah om Frans tak lebih dari 2 hari, karena kukira sudah cukup aku memperoleh data-data yang kuinginkan dalam kurun waktu tersebut. Oleh tante Yana aku disuruh menempati kamar Dedi di lantai 2 rumahnya.

Esok paginya aku diajak om Frans ke kantornya untuk menghimpun data yang kubutuhkan. DI sana aku seharian dan pulangnya bareng om Frans lagi saat bubaran kerja.

Selesai mandi dan makan malam aku minta ijin om Frans dan tante Yana untuk mengerjakan pengolahan data.

Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam. Aku mengantuk sekali, tapi mungkin karena udara dingin, perutku jadi lapar. Aku pun turun untuk mencari makanan di kulkas, siapa tahu ada biskuit atau apa pun yang bisa mengganjal perutku. Aku memang tidak bisa tidur kalau kelaparan.

Saat sampai di belokan tangga, kulihat ada cahaya yang berasal dari TV di ruang tamu yang remang-remang, karena kalau malam lampu di situ dimatikan. Kupikir om Frans dan tante Yana sedang nonton acara TV. Tapi yang bikin perasaanku tak enak, suara yang kudengar seperti desahan perempuan yang mengingatkanku pada film porno. Begitu kulongokkan kepalaku dari belokan tangga, kulihat TV memang sedang menyala. Tapi karena ukuran TV yang besar (kalau tidak salah 32 inch) dan jarak yang tidak terlalu jauh dari posisiku, aku bisa melihat kalau TV itu sedang menayangkan film porno yang pastinya dari DVD.

Kupikir om Frans yang sedang menonton. Tapi betapa kagetnya aku waktu melihat di sofa. Dalam keremangan cahaya yang hanya diterangi cahaya TV aku melihat tante Yana duduk dipangkuan om Frans. Keduanya telanjang bulat! Mereka sedang bercinta ternyata.

Aku yang tak menyangka akan melihat adegan itu, pelan-pelan melangkah mundur lalu menapaki anak tangga dengan berjingkat. Tapi baru beberapa langkah, rasa penasaran mengusikku. Sayang rasanya melewatkan adegan yang biasanya hanya kusaksikan di komputer. Pelan-pelan aku turun lagi hingga ke belokan tangga lalu jongkok. Melalui celah buku-buku di rak yang jadi penyekat antara tangga dengan ruang keluarga aku menyaksikan adegan percintaan antara om Frans dan tante Yana.

Beberapa menit setelah pangku-pangkuan, mereka berganti posisi jadi “doggy style”. Jantungku berdeguk kencang melihat aktifitas mereka berdua. Pasti mereka mengira aku sudah tidur hingga merasa leluasa melakukannya di ruang keluarga. Kulihat meja kaca di tengah ruang yang dikelilingi sofa dipinggirkan. Sebagai gantinya sebuah kasur busa diletakkan di atas karpet.

Setelah puas ber”doggy”, tante Yana berbaring di kasur, disusul om Frans menindihnya dan mulai melakukan aksinya. Dalam hati aku salut pada om Frans. Sudah berusia setengah abad, tapi masih memiliki power seperti anak muda. Begitu pun tante Yana. Desahan dan erangannya, meski lirih dan berbaur dengan suara TV, terdengar begitu intens. Sesekali kedua kakinya diangkat tinggi-tingggi, sesekali mendekap erat tubuh om Frans yang terus saja bergoyang. Meski perutnya buncit, tapi om Frans kelihatan energik sekali.

Yang membuat aku makin takjub pada mereka berdua, saat om Frans “keluar”, ia bergegas menggeser tubuhnya ke atas tante Yana hingga ke wajah tante Yana. Kemudian dengan sigap tante Yana meraih “milik” om Frans dan memasukkan ke dalam mulutnya! Kudengar Om Frans mengerang panjang, lalu rebahan di sisi tante Yana. Mereka saling berpelukan dengan mesra. Samar-samar kudengar nafas mereka memburu.

Kupikir mereka telah selesai, tapi aku belum berani beringsut dari tempatku. Aku khawatir mereka memergokiku. Aku jongkok saja di situ. Beberapa menit kemudian kuintip lagi mereka, siapa tahu sudah mulai beres-beres lokasi “pertarungan”, dan aku bisa segera kembali ke kamar. Kakiku sudah kesemutan karena kelamaan jongkok.

Ternyata om Frans memainkan tangannya di sela paha tante Yana. Kedua kaki tante Yana yang semula merapat pelan-pelan membuka, hingga jemari om Frans leluasa “bekerja” di bagian sensitif tante Yana. Lama-lama gerakan tangan om Frans makin cepat. Kulihat tante Yana menggeliat dan mengerang. Kedua kakinya makin terbuka lebar. Kemudian mereka saling berpagutan, sementara jemari om Frans terus saja beraksi. Hal ini membuat tubuh tante Yana meregang hingga pinggul terangkat dan bergoyang mengimbangi gerakan tangan om Frans.

Tampaknya mereka sangat bergairah gara-gara nonton video itu dan kemudian mempraktekkannya. Seperti sepasang pengantin baru yang tengah menikmati bulan madu. Mungkin sejak mereka hanya tinggal berdua saja di rumah menjadi leluasa melakukan aktifitas hubungan suami istri dan seolah menjadi bulan madu kedua.

Tak lama kemudian kedua kaki tante Yana kembali merapat dan pinggulnya pelan-pelan turun. Tangan om Frans masih terjepit di selangkangan tante Tana. TanteYana mencium om Frans lalu samar-samar kudengar tante Yana berkata “Enak sekali, pa” beberapa kali di sela nafasnya yang memburu.

Aku yang hanya nonton pun ikut terengah-engah, dan dadaku makin terasa sesak karena aku harus menahan deru nafasku. Begitu om Frans dan tante Yana mulai membereskan ruang keluarga, pelan-pelan aku menaiki tangga menuju kamar.

Aku agak menyesal ketinggalan adegan pembukaan percintaan om Frans dan tante Yana. Aku berharap besok malamnya mereka melakukannya lagi dan aku sudah siap jadi penonton gelap.


Usia makan malam esok harinya, aku ngobrol sebentar dengan om Frans dan tante Yana sambil nonton TV. Setelah itu, dengan alasan mengantuk, aku pamit kembali ke kamar. Padahal itu trikku agar mereka mengira aku segera tertidur dan mereka punya kesempatan untuk berasyik masyuk lagi di ruang keluarga.

Pintu kamar sengaja tak kututup rapat agar jika ada suara-suara “mencurigakan” aku bisa langsung menuju lokasi pengintaian. Namun kutunggu hingga jam 11 malam, keadaan masih saja lengang. Aku keluar kamar untuk memastikan ada tidaknya suara-suara itu. Ternyata memang tidak ada apa-apa. Suasana ruang keluarga gelap. Hanya ada cahaya lampu dari luar rumah.

Dengan hati kecewa aku rebahkan diri ke tempat tidur. Tapi mataku sulit terpejam karena membayangkan adegan ranjang om Frans dan tante Yana secara live yang kuharapkan terjadi lagi. Mungkin mereka pindah arena di dalam kamar, atau mungkin memang sedang tidak ada jadwal “bertempur” hari itu.

Pagi harinya aku berpamitan pada tante Yana untuk kembali ke kota asalku. Om Frans mengantarku sampai ke terminal bus, kemudian langsung ke kantornya.

Itulah sekelumit pengalaman rahasiaku yang tak terlupakan dan mungkin tidak akan pernah terjadi untuk kedua kalinya. (*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Susahnya Punya Pacar Posesif

Ringo (nama samaran), 17 tahun, Pelajar, Bogor:


Setahun yang lalu aku punya pacar, sebut saja namanya Fifi. Ia adalah mantan teman SMP yang bertemu waktu bubaran sholat Ied di Cimahi. Waktu itu aku lagi mudik dan ikut sholat Ied di sana karena paling dekat rumah orang tuaku. Ia yang pertama melihat dan menyapaku. Ternyata, setelah lulus SMP dia pindah ke Cimahi dan melanjutkan SMA di sana.

Setelah pertemuan itu, kami sering berkomunikasi, baik melalui SMS maupun facebook. Sebulan sekali aku pulang kampung dan selalu kusempatkan menemui Fifi karena ia sosok yang menyenangkan kalau diajak ngobrol.

Sekali waktu saat libur semesteran, seperti biasa aku mudik. Kujemput Fifi , kuajak dia makan di restoran cepat saji. Saat itulah ia “menembakku”. Dengan terang-terangan ia bilang kalau cinta sama aku dan setiap hari selalu terbayang wajahku. Akhirnya kami pun jadian di situ.

Setelah putar-putar kota dengan motor kakakku, aku mengantar Fifi pulang. Malam itu adalah pengalaman pertamaku berciuman dengan cewek. Kami melakukannya waktu aku hendak pamit pulang dan ia mengantarku sampai ke pagar depan rumahnya.

Hingga 6 bulan berikutnya hubungan kami berjalan lancar-lancar saja. Fifi sangat perhatian padaku. Justru ia yang aktif mengirim SMS kepadaku, sekedar untuk mengingatkan agar aku tidak terlambat makan. Mulanya aku senang diperlakukan seperti itu. Tapi lama-lama aku merasa tak nyaman. Ia makin berani mengaturku, tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Bahkan setiap kali ketemuan, ia selalu mengomentari penampilanku.

Yang paling membuatku kesal, ia getol sekali memeriksa HP-ku. Aku dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan manakala ia temukan aku mengirim atau menerima SMS dari cewek. Hingga suatu ketika kami ribut yang berujung pada keluarnya kata-kata “putus” darinya. Aku yang sudah muak dengan sikapnya langsung bilang, “Oke, kita putus!” sambil berlalu meninggalkan rumahnya.

Beberapa minggu kemudian Fifi mengirim SMS. Ia minta maaf dan ingin balik lagi sama aku. Sebenarnya aku pun kangen padanya, tapi kalau ingat perlakuannya padaku seperti itu, aku jadi ragu. Ia memang berjanji untuk merubah sikapnya, tapi aku tak yakin. Sengaja tak kujawab SMS-nya. Dua hari kemudian ia mengirim SMS lagi. “Yayang masih marah ya”, begitu katanya. Lagi-lagi aku tak menjawab.

Lama-lama ia tak pernah berkirim SMS atau nulis di facebook lagi. Aku pun sudah tidak mengharap lagi karena kangenku padanya sudah hilang. Baru pacaran saja sudah mengatur seperti itu, bagaimana kalau kawin nanti, itu yang kutekankan dalam hati setiap kali aku ingat padanya.

Baru ketika mudik lebaran kemarin aku dapat kabar dari temanku yang juga satu SMP denganku, kalau Fifi sudah punya pacar lagi. Syukurlah, kataku dalam hati. Semoga saja ia cocok dengan pacar barunya. (*)

readmore »»  

Rahasia Antara Aku dan Sepupuku

Gugun (nama samaran), 39 tahun, Swasta, somewhere:

Pertengahan tahun 2000-an aku lulus kuliah, dan setelah melamar kesana kemari akhirnya aku diterima di sebuah perusahaan swasta nasional di Jakarta. Waktu itu usiaku 25 tahun. Sebetulnya orang tuaku kurang setuju, karena mereka ingin aku menemani mereka yang hanya tinggal berdua di Banyuwangi. Kakak-kakakku yang semuanya laki-laki sudah menikah semua dan hijrah ke kota lain. Ada yang di Jakarta, Surabaya, dan Manado.

Ayahku bahkan sudah menemui salah seorang mantan rekan sekantornya untuk menerimaku bekerja di perusahaannya yang ada di ujung timur pulau Jawa itu. Tapi aku bersikeras. Toh selama ini kedua orang tuaku sudah biasa hidup berdua saja, karena aku menempuh pendidikan sarjanaku di Surabaya. Lagipula di Jakarta ada kakakku yang bisa kutumpangi untuk tinggal.

Untungnya aku ditempatkan di kantor cabang Denpasar yang berarti dekat dengan kota kelahiranku. Karena jatah dari perusahaan hanya cukup untuk kos, oleh orang tuaku aku dikontrakkan sebuah rumah sederhana dengan 3 kamar tidur. Alasannya, kalau mereka mengunjungiku tak perlu menginap di hotel. Selain itu aku juga dapat bantuan sebuah mobil Corolla keluaran tahun 80’an yang dulu biasa dipakai salah seorang kakakku.

Sejak menempati rumah kontrakan, kerabatku silih berganti datang ke sana. Biasanya bertepatan dengan liburan sekolah. Maklum, Bali adalah tujuan wisata favorit.

Setahun setelah aku bekerja aku dapat telepon dari ibuku kalau Herlin (nama samaran) akan datang ke Denpasar untuk urusan kerjaan dan ibuku menawarinya menginap di tempatku. Herlin adalah anak dari kakaknya istri omku. Artinya ia masih ada hubungan keluarga denganku. Semacam saudara sepupu, tapi jauh begitulah. Tak lupa ibu berpesan agar aku tidak menanyakan suaminya, karena suami Herlin sudah meninggal setahun lalu karena infeksi usus.

Waktu aku masih kecil aku beberapa kali bertemu dengan Herlin, terutama saat acara arisan keluarga. Seingatku, ia lebih besar dariku. Usianya bertaut sekitar 3 atau 4 tahun di atasku. Terakhir kami bertemu di arisan keluarga waktu aku kelas 5 SD, sedangkan ia sudah SMP. Begitu keluarganya pindah ke Jakarta, kami lama tak pernah bertemu lagi. Meski begitu, orang tuaku dan orang tuanya cukup aktif berkomunikasi, terutama ibuku, karena ibunya Herlin pernah bekerja di instansi yang sama dengan ibuku.

Untuk menyambut kedatangan Herlin aku mengambil cuti sehari, agar bisa menjemputnya di bandara. Karena lama tak bertemu, aku sempat tak mengenalinya di antara kerumunan penumpang yang baru datang. Untung membawa secarik kertas bertuliskan namanya waktu menunggu di bandara,

Herlin datang dengan mengajak serta 2 anaknya, yang sulung perempuan, sebut saja namanya Dea, usianya 7 tahun, sedangkan si bungsu laki-laki, sebut saja namanya Deo, masih balita. Herlin mengajak mereka karena sedang liburan sekolah. Kebetulan ia ada tugas ke Denpasar dan anak-anaknya belum pernah pergi ke Bali. Jadi sambil jalan-jalan, katanya. Sebetulnya Herlin hanya perlu 1 hari di Denpasar, tapi karena anak-anaknya ikut, ia mengambil cuti 2 hari hingga mereka punya banyak waktu untuk menikmati Bali sampai 3 hari. Aku tak masalah karena sudah biasa menerima kehadiran kerabat di rumahku.

Begitu datang mereka langsung kuajak makan siang sebelum menuju ke kantor cabang Herlin. Sambil menunggu Herlin menyelesaikan urusannya, kuajak kedua anaknya jalan-jalan keliling Denpasar.

Malam harinya, ketika aku sedang asyik membaca novel sambil tiduran, Herlin muncul di depan pintu kamarku. Aku memang terbiasa membuka pintu kamar kalau tidak sedang tidur.

“Lagi sibuk ya, Gun?” kata Herlin.

“Ah, nggak. Cuma baca-baca aja. Masuk aja, Lin”, kataku.

“Ya deh. Aku suka susah tidur kalau ada di tempat baru”, ujar Herlin sambil melangkah masuk.

“Jam segini udah pada tidur”, tandasnya ketika kutanya anak-anak di mana.

Aku agak sedikit canggung ketika Herlin langsung merebahkan tubuhnya, tengkurap di sebelahku. Tempat tidurku memang yang ukuran “king size”. Tapi karena ia masih tergolong saudara, aku akhirnya bisa bersikap biasa saja. DI situ kami banyak ngobrol tentang masa kanak-kanak dulu. Kata Herlin, dulu ia suka gemas padaku karena aku gemuk. Kalau kelelahan habis lari-lari dengan saudara-saudaraku yang lain, aku suka ngompol, katanya. Aku tertawa saja mendengar ceritanya.

Karena pernah punya pengalaman di masa lalu, kami jadi tak kehabisan bahan obrolan. Sesekali kami tertawa bersama. Kadang ia mencubitku kala aku cerita kejadian yang tak terlupakan, misalnya ketika ia kecebur got karena terlalu asyik main layang-layang sambil berjalan mundur. Begitu juga waktu ia kejeblos kursi gara-gara bantalan kursinya diambil oleh sepupuku yang lain saat ia mau duduk. Herlin juga tak segan memujiku. Katanya aku ganteng, padahal waktu kecil dulu gemuk dan ompong. Tanpa terasa, jam di dinding menunjukkan pukul 12.30 malam.

Terus terang, selama ngobrol itu gairah kelelakianku tergugah karena sesekali kulit kaki kami beberapa bersentuhan. Betapa tidak. Aku hanya memakai celana pendek berbahan kaus, sedangkan Herlin mengenakan daster tank top terusan selutut. Apalagi tercium olehku aroma wangi tubuhnya. Aku belum pernah dalam situasi seperti ini sebelumnya, berbaring berdua dengan seorang wanita dewasa. Kecuali ibuku tentunya.

Lalu kejadian tak terduga pun terjadi. Secara tak sengaja pinggul Herlin menyenggol “senjataku” yang setengah “berdiri”. Spontan aku mengaduh. Herlin tampaknya tahu betul benda apa yang tersenggol itu dan ia buru-buru minta maaf.

“Kamu tegang ya?”, tanyanya sambil tersenyum.

“Udah deh. Aku tidur dulu ya. Lagian besok kamu kerja ‘kan?”, kata Herlin sambil beringsut dari tempat tidur.

Saat itulah aku kehilangan kontrol. Serta-merta kugamit lengannya, lalu kupagut bibirnya. Herlin tampak kaget, tapi aku tak peduli. Denyutan di bagian bawah tubuhku mendorongku untuk melampiaskannya. Aku tak peduli Herlin marah setelah ini.

Dan yang membuatku makin gencar, Herlin mengimbangi ciumanku. Sambil berciuman, ia merubah posisinya dari tengkurap menjadi telentang dengan tubuhku terus menempel erat di tubuhnya. Aku jadi makin berani beraksi. Kuraba seluruh lengan, perut, pinggul dan kakinya.

Beberapa saat kemudian Herlin mengisyaratkan agar aku melepaskan pelukan dan ciumanku.

“Tutup dulu dong pintunya”, katanya sambil duduk di tepi ranjang dan menoleh ke arah pintu yang masih terbuka lebar.

Buru-buru aku bangkit untuk menutup pintu dan menguncinya. Pikiranku sudah benar-benar melayang merasakan kenikmatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Ya, hingga usiaku 25 tahun aku tak pernah punya pacar. Memang aku naksir pada salah seorang teman kuliahku, tapi aku tak pernah berani mengungkapkannya. Aku hanya berani mengkhayalkannya.

Sambil berjalan kembali ke ranjang, kulepas t-shirtku, berlutut dihadapan Herlin lalu kusergap tubuhnya yang duduk di tepi ranjang dan kami kembali saling berciuman. Desahan Herlin, ditambah lagi karena itu adalah pertama kalinya mencumbui perempuan, membuatku tak bisa mencegah cairan hangatku memancar dan membasahi celanaku. Tapi itu tak menyurutkan hasratku untuk melanjutkan cumbuan. Aku tak ingin kehilangan momen indah yang selama ini hanya ada dalam imajinasiku.

Kurebahkan Herlin ke ranjang, kupagut leher, dada dan lengannya, sementara tanganku bergerilya dari bawah. Menyusup ke balik dasternya, meraba apapun yang bisa kuraba, kemudian naik ke dada, menyusup ke dalam BH-nya. Hal ini tentu saja membuat daster Herlin tersingkap hingga perut. Kusingkap lagi daster Herlin hingga aku bisa menjelajahkan lidah dan mulutku di dada Herlin yang putih dan ranum.

Kulampiaskan semua fantasi terliarku pada Herlin. Itu adalah kali pertama aku mendengar perempuan mendesah secara live (biasanya hanya melalui video porno), kemudian menggelinjang hingga pinggulnya terangkat saat aku mencumbui celana dalamnya yang berwarna putih, serasi dengan kulit tubuhnya yang putih bersih. Kupuaskan lidahku menari-nari di celana dalam Herlin sampai basah. Kemudian pelan-pelan kulolosi celana dalam Herlin hingga aku bisa merasakan langsung.

Herlin memekik lirih, tangannya menjambak rambutku, manakala aku mempermainkan bagian bawah tubuhnya dengan lidahku. Sekali lagi kupuaskan fantasi terliarku yang selama ini hanya kulihat dalam video, hingga Herlin, entah sadar atau tidak, mengangkat dan membuka kedua kakinya lebar-lebar, persis seperti di video.

Kelelakianku kembali bereaksi. Kulepas celanaku dan mengelap cairan di sekitar selangkanganku sambil lidahku terus saja bekerja. Beberapa saat kemudian Herlin merapatkan kedua kakinya dan menahan kepalaku agar tak bergerak. Tubuhnya menegang, kedua kakinya merapat saat kuangkat kepalaku. Mulutnya tak henti-hentinya mengerang.

Ketika aku akan mencumbui dadanya lagi, Herlin mendorongku agar aku rebah di kasur. Begitu aku rebah, ia naik di atasku dan langsung mencumbuku. Saat itulah Herlin menggerak-gerakkan pinggulnya, mencari posisi yang tepat, dan ketika “milikku” tepat menempel di “miliknya”, pelan-pelan ia menghunjamkan tubuhnya sambil merintih lirih. Sungguh pengalaman yang mendebarkan saat ku rasakan hangatnya “milikku” telah berada di dalam “milik” Herlin. Kemudian Herlin mulai menggerakkan pinggulnya, sesekali naik turun, sesekali maju mundur. Sambil melakukan itu, bibirnya tak pernah lepas di bibirku. Sesekali ia melepas pagutannya saat mulutnya mengeluarkan desahan dan erangan. Aku benar-benar hanyut dalam kenikmatan dunia.

Lama-lama Herlin mempercepat gerakan pinggulnya. Dan seolah sudah naluri, aku pun mengimbangi gerakannya. Ku juga tak kuasa menahan eranganku, hingga kami sama-sama mengeluarkan suara-suara yang bersahut-sahutan akibat terbakar api birahi yang akan mencapai puncak.

Bersamaan dengan mengejangnya tubuh Herlin di atas tubuhku, aku merasakan cairanku kembali memancar disertai erangan panjang. Herlin merapatkan tubuhnya padaku. Aku bisa merasakan kalau pinggulnya masih bergerak, meski pelan, diselingi kejangan kecil. Kurasa Herlin telah mencapai klimaksnya dan diam-diam tumbuh rasa bangga dalam hatiku bisa membuatnya orgasme.

Herlin merebahkan dirinya di sampingku sambil membenahi BH dan dasternya. Matanya terpejam, sementara bibirnya terbuka disertai nafas menderu. Aku pun terengah-engah, terpana dalam kejutan yang nikmat itu.

Kami sama-sama terkapar dalam kelelahan. Pikiranku melayang-layang, tak mengira bakal melakukan ini untuk pertama kali justru dengan sepupuku sendiri yang seorang janda pula. Kemudian pikiranku mengarah pada Herlin yang diliputi pertanyaan, kenapa ia tak menolak ciumanku di awal tadi? Apakah karena ia merasa sebagai orang yang numpang menginap di rumah kontrakanku dan sebagai rasa terima kasihnya ia pasrahkan tubuhnya padaku? Atau apakah karena ia terangsang saat terjadi kontak dengan “milikku”?

Aku tak mau pikiranku hanyut makin berkepanjangan. Kupalingkan tubuhku hingga menempel di tubuh Herlin. Ia menoleh dan memelukku. Kucium rambutnya yang panjang terurai. Kami tak berkata apa-apa selain hanya saling berpelukan. Entah apa yang dipikirkan oleh Herlin saat itu.

Setelah nafas kami kembali normal, Herlin bangkit dari tempat tidur sambil memungut celana dalamnya.

“Aku balik ke kamar ya, Gun”, ujarnya sambil melangkahi tubuh telanjangku. Ia menyempatkan diri mengecup bibirku untuk kemudian berlalu dari kamarku, sementara aku tetap rebah dalam keletihan. Aku masih tidak percaya kalau itu benar-benar terjadi. Agaknya aku ketiduran karena ketika paginya aku mendapati diriku masih telanjang.

Kukenakan kembali baju dan celanaku bermaksud untuk ke kamar mandi. Pikiranku sempat berkecamuk, bingung harus bersikap bagaimana andai bertemu Herlin nanti. Dan ternyata Herlin dan anak-anaknya sudah bangun juga. Mereka sedang ngobrol di teras rumah. Bergegas aku ke kamar mandi, lalu menemui mereka.

Aku agak salah tingkah saat bertatapan muka dengan Herlin. Ia pun tampak agak berbeda sikapnya dari waktu pertama bertemu. Kelihatan agak kikuk dan gugup saat menyapaku. Namun suasananya mencair begitu Dea dan Deo berceloteh.

Kuputuskan untuk mengambil cuti saja agar bisa mengajak Herlin dan anak-anaknya jalan-jalan, dan ketika hal itu kusampaikan pada Herlin, ia tak sependapat. Ia tak ingin kehadirannya mengganggu pekerjaanku. Ia akan naik taksi saja kalau nanti ingin jalan-jalan.

Di kantor, pikiranku tak bisa fokus pada pekerjaan. Aku jadi banyak melamun, memikirkan kejadian semalam, memikirkan tubuh Herlin yang tanpa busana dan memikirkan setiap momen yang kami lakukan bersama di ranjang.

Tiba-tiba muncul satu gagasan “gila” di benakku. Sepulang kerja, aku mampir di toko obat Cina, seperti yang kurencanakan di kantor. Aku beli krim “tahan lama” yang selama ini tak pernah terbayang akan membelinya. Ya, aku berharap kejadian semalam terulang lagi dan aku sudah siap membuat Herlin menggelepar lagi, berkali-kali. Pikiranku terus saja tertuju ke situ.

Malamnya, setelah mandi sekitar jam 8, kuoleskan krim itu ke “milikku”. Saat itu Herlin dan anak-anaknya sudah masuk ke kamar mereka. Di kamarku, aku berbaring sambil membaca novel. Tapi aku tak benar-benar membacanya. Novel itu tidak menarik lagi bagiku. Pikiranku sepenuhnya tertuju pada Herlin. Jantungku berdetak kencang, menanti ia muncul di depan pintu dan mengajakku ngobrol lagi.

Kutunggu sampai jam 10 Herlin tak kunjung nongol. Aku pun tak tahan untuk tak bangkit dari ranjang. Kuhampiri kamarnya yang dipisahkan kamar mandi dengan kamarku. Kubuka perlahan-lahan pintunya, dan di sela-sela pintu kulihat Herlin sudah tertidur di samping Dea dan Deo.

Entah kesal, entah malu berharap kejadian kemarin terulang lagi, aku lalu kembali ke kamar. Tapi pikiranku tak tenang. Jantungku terus saja berdebar. Dan yang membuatku resah, “milikku” menegang gara-gara memikirkan kejadian semalam. Akhirnya, aku nekad kembali ke kamar Herlin. Begitu sampai di dalam, kucumbui lengan dan pipi Herlin yang tidur menghadap ke anak-anaknya. Herlin menggeliat dan kemudian membuka matanya.

“Oh, ada apa, Gun?”, ujarnya sambil mengusap matanya yang mengantuk.

Aku tak menjawab. Aku yang sudah “horny” langsung menyergap bibirnya dengan lembut. Sejenak Herlin balas memagutku sebelum kemudian melepaskan pagutannya, lalu bangkit dari tempat tidurnya seraya mengajak untuk ke kamarku.

Begitu kututup pintu kamar, kami langsung bercumbu sambil melolosi baju masing-masing. Di sela ciuman aku bisa melihat ke cermin, tubuh telanjang kami menempel erat satu sama lain. Sambil terus saling mencumbu, pelan-pelan kami berjalan menuju ranjang untuk melanjutkan pertarungan.

Dan malam itu aku berhasil menunjukkan keperkasaanku, sekaligus mewujudkan fantasiku bercinta dalam berbagai gaya. Bahkan Herlin pun mulai menunjukkan agresifitasnya dengan melakukan “oral”. Ia pun tak segan melepas sendiri daster dan baju dalamnya hingga aku bisa memuaskan dahagaku mencumbui seluruh bagian tubuh Herlin.

Usai pergumulan, Herlin cerita tentang perjalanan hidupnya, termasuk suaminya. Waktu suaminya masih hidup, ia tak bekerja karena ingin mengurus sendiri anak-anaknya. Gajinya lumayan besar hingga ia bisa membeli sebuah rumah di Bekasi. Begitu suaminya meninggal, rumah itu dijual dan ia bersama anak-anaknya kembali ke rumah orang tuanya di Jakarta. Tujuannya, agar orang tuanya bisa mengawasi anak-anaknya sementara ia bekerja. Herlin sempat berpacaran dengan mantan teman kuliahnya yang beda keyakinan, tapi bubar karena orang tuanya tidak setuju.

Herlin melotot tak percaya kalau belum pernah pacaran, waktu ia tanya siapa pacarku. Ia menjuluki pembohon kelas berat dan mencubitiku meski aku bersikeras mengatakan kalau aku belum pernah pacaran.

Sambil tersipu, Herlin bilang kalau sebenarnya ia ingin datang lagi ke kamarku. Tapi ia takut dianggap perempuan “gatal”, hingga akhirnya mengurungkan niatnya lalu tidur bersama anak-anaknya.

Selesai ngobrol kami melanjutkan pertarungan ronde kedua sebelum Herlin kembali ke kamarnya. Tenagaku benar-benar terkuras habis, tapi aku puas dan bangga. Puas bisa mewujudkan semua fantasi terliarku, bangga karena bisa membuat Herlin orgasme berkali-kali, hingga tak sadar mencakar punggungku.

Keesokan harinya aku mengambil cuti untuk mengantar Herlin dan anak-anaknya ke bandara. Tak ada lagi kecanggungan di antara kami waktu pagi hari kami bertatap muka. Justru aku merasa berada dalam sebuah keluarga, di mana ada suami, istri dan anak-anak. Ternyata Herlin juga piawai memasak. Pagi-pagi ia minta diantar ke supermarket untuk beli bahan-bahannya.

Dadaku terasa sesak ketika melepas Herlin, Dea dan Deo di bandara. Berat rasanya melepas mereka. Meski hanya 3 hari bersama, kedekatan kami rasanya seperti sudah lama. Begitu tiba kembali di rumah kontrakan, aku tiba-tiba merasa sangat kesepian. Beda rasanya ketika kerabat-kerabatku yang lain datang dan pergi. Tak ada kesan khusus seperti yang ditinggalkan oleh Herlin dan anak-anaknya. Terutama Herlin tentunya. Begitu mendalam, hingga aku merasa kehilangan ketika ia tiada. Hanya saja aku gamang, apakah rasa kehilangan itu karena aku jatuh cinta padanya atau karena tak ada lagi kehangatan ranjang untuk direguk.

Aku benar-benar merindukan Herlin. Hari-hariku kulalui tanpa sedikitpun wajah Herlin hilang dari ingatan. Suatu malam, saat kerinduanku makin menyesakkan dada, kuberanikan diri meneleponnya. Ketika yang menerima ibunya aku sempat gelagapan berkata-kata. Setelah sedikit basa-basi, akhirnya ia memanggil Herlin. Tapi sungguh, aku tak bisa ngomong selancar ketika bertemu dulu. Hanya bicara sekedarnya, kemudian selesai.

Sejak itu aku tak berani lagi menelepon Herlin. Aku khawatir orang tuanya akan curiga, karena biasanya aku tak pernah saling kontak, tiba-tiba jadi rajin menelepon.

Aku sangat senang ketika perusahaan menugaskan ke Jakarta untuk meeting di sana. Aku memang bisa ke Jakarta untuk urusan kerjaan, tapi tak sesenang saat itu. Aku berencana mengundang Herlin ke hotel aku biasa menginap. Tak lupa kusiapkan pula krim “tahan lama”ku. Namun rencanaku berantakan, karena ternyata ibu menelepon ke ibunya Herlin kalau aku mau ke Jakarta dan ibunya Herlin menyuruhku menginap di rumahnya. Tadinya aku menolak perintah ibu. Alasanku, aku lebih suka menginap di hotel daripada di rumah saudara sendiri, termasuk kakakku. Memang aku tak pernah menginap di rumah kakak karena dapat uang akomodasi dari perusahaan. Lagipula, rumah kakakku sangat jauh dari kantor pusat. Begitu pun dengan rumah orang tua Herlin. Tapi karena ibu mendesakku, akhirnya kuturuti perintahnya.

Seperti yang kuduga, khayalanku untuk bercinta lagi dengan Herlin kandas. Suasananya sangat tidak memungkinkan. Selain itu, aku bertemu Herlin hanya malam hari saja, karena ia bekerja dan aku ke kantor pusat. Dua hari di sana, aku hanya bertemu Herlin satu kali, karena ia pulang kerja hampir larut malam. Praktis aku harus cukup puas hanya bisa bertemu muka dengan Herlin dan ber”cipika-cipiki” saat aku pamit kembali ke Denpasar.

Tahun 2004 aku pindah tugas ke Surabaya sampai tahun 2009 dan menikah dengan gadis teman kantor yang kupacari sejak 1 tahun sebelumnya. Dua tahun kemudian kudengar kabar dari ibu kalau Herlin pun sudah menikah lagi. Sayang aku tak bisa menghadiri pernikahannya karena menunggui kelahiran anak pertamaku.

Satu hal yang membuatku tiba-tiba ingat lagi pada kenangan bersama Herlin, ketika di TV menampilkan suatu acara di mana ada salah satu band yang jadi pengisi acara, yaitu Geisha. Aku sempat tertegun dan kutatap dalam-dalam wajah Momo, vokalis Geisha. Ya, wajah Momo sangat mirip dengan Herlin, wanita yang telah memberiku kenangan tersendiri di sudut relung hatiku. (*)
readmore »»  

Pacarku Gila “Karaoke”

Lesmana (bukan nama sebenarnya), 47 tahun, Surakarta:

Waktu masih kuliah, ada satu pengalaman yang tak terlupakan dalam hidupku. Aku pernah pacaran, tapi dalam situasi yang menurutku membingungkan. Bagaimana ceritanya? Simak saja yaa … Mohon maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan.


Selama kuliah, aku tinggal di sebuah rumah kos yang masih baru. Tempatnya nyaman, tenang karena di sekitarnya masih banyak persawahan. Hanya ada satu dua rumah penduduk saja, itupun tempatnya berjauhan. Perabotnya baru semua. Harga sewa per bulannya murah lagi. Selain itu, jumlah kamarnya tidak banyak, hanya 8, sehingga tidak terlalu berisik.

Salah satu teman kosku namanya Diar (nama samaran). Ia berasal dari Jakarta. Suatu hari Diar pergi dan ketika pulang membonceng seorang cewek yang cantik sekali. Bodinya pun bagus. Ia memakai celana jins ketat hingga terlihat lekuk tubuhnya yang aduhai. Dandannya pun “wah”. Maklum, ia kuliah di akademi sekretaris. Katanya, berdandan adalah salah satu persyaratan di kampusnya. Semula kukira ia pacar Diar yang baru.

Di ruang tamu kos, Diar mengenalkan cewek itu pada penghuni kos yang lain yang ada saat itu, termasuk aku. Ternyata cewek itu, sebut saja namanya Anggi, bukan pacar Diar. Ia satu alumni dengan Diar di sebuah SMA ternama di Jakarta, tapi tidak satu angkatan. Diar mengajak Anggi ke kos kami karena ingin pamer tempat kosnya yang nyaman itu.

Setelah mengantar Anggi pulang, Diar cerita banyak tentang Anggi kepadaku, tapi yang membuat aku deg-degan, Anggi bilang ke Diar kalau ia suka sama aku. Katanya aku lucu dan ganteng. Tapi cerita Diar ke aku yang terakhir itu hanya kuanggap angin lalu. Lagipula, Diar juga cerita kalau Anggi sudah punya pacar, sebut saja namanya Ferry, seorang pengusaha muda yang cukup sukses. Kuanggap Diar hanya menggodaku, karena aku jomblo dan sedang berduka karena habis diputusin pacarku.

Dua hari kemudian, Anggi diajak lagi ke kos kami, tentunya bersama Diar. Setelah ngobrol sejenak di ruang tamu kos, Diar pergi lagi karena akan ke kos temannya untuk pinjam catatan kuliah, sehingga tinggal aku berdua dengan Anggi. Saat itulah Anggi dengan terus terang bicara padaku. Katanya, ia suka padaku waktu pertama kali bertemu. Aku agak kaget sekaligus GR juga “ditembak” cewek secantik Anggi. Aku agak gelagapan juga, karena mimpi pun tak pernah mengalami situasi seperti ini. Lagipula, aku belum berencana untuk pacaran lagi karena masih trauma dengan kandasnya hubunganku dengan pacarku sebelumnya.

Tapi dengan munculnya Anggi yang sekonyong-konyong dan menggetarkan itu, aku harus me-reset rencanaku. Aku tak mempersoalkan statusnya yang sudah punya pacar. Toh belum jadi suami istri, pikirku. Dan entah bagaimana awalnya, tahu-tahu kami sudah berciuman. Ternyata Anggi sangat piawai melakukannya. Lidahnya menari-nari di rongga mulutku. Aku pun mengimbanginya. Cukup lama kami berciuman hingga nafasku tersengal-sengal. Yang membuat imanku makin rontok, tangan Anggi dengan beraninya bergerilya di bagian bawah tubuhku, meremas-remas dengan gemasnya. Ia tak melepaskan genggamannya meski kami rehat ciuman untuk menghirup udara segar.

Kami baru benar-benar berhenti berciuman dan saling meraba ketika terdengar deru suara motor Diar.

Beberapa hari kemudian, Diar mengajakku ke kos Anggi. Katanya, Anggi pengen aku sekali-sekali main ke kosnya. Selama ngobrol dengan Anggi, tatapan matanya padaku sungguh membuatku salah tingkah. Begitu mesra, seperti cewek kalau lagi “kepengen” gitu lah. Sebelum kami pulang, Anggi memberiku sebuah T-shirt. “Biar kangen sama aku terus”, ceplosnya. Diar yang melihat itu hanya nyengir kuda.

Saat kunjungan Anggi ke kosku lagi,tentunya dengan dibonceng Diar, aku sedang bersiap untuk mandi sore. Diar langsung berbaur dengan teman kos yang lain, sedangkan Anggi kusuruh menunggu di kamarku. Kebiasaanku adalah, setiap selesai mandi selalu hanya bersarung handuk. Begitu masuk ke kamar, kulihat Anggi rebahan di kasur. Kuurungkan niatku untuk memakai baju. Kuhampiri Anggi dan kami pun berciuman dengan liarnya. Sambil berciuman, tangan Anggi menyusup ke handuk penutup tubuh bagian bawahku. Spontan kulepas handuk itu untuk memberi Anggi kesempatan seluas-luasnya menjamah “milik”ku. Aku pun tak kalah agresif. Kubuka kancing baju Anggi agar jemariku bisa merasakan langsung dua tonjolan daging lembut di dadanya.

Aku berniat untuk mencumbui dada Anggi ketika tiba-tiba ia mendorongku agar rebah diranjang. Seketika itu juga mulutnya langsung bekerja di bagian bawah tubuhku dengan amat “rakus”. Ternyata Anggi sangat piawai melakukan itu. Sesekali lidahnya yang bermain, sesekali kepalanya naik turun dan melakukan hisapan hingga aku menggelinjang antara geli dan nikmat.

Aku cuma pasrah ketika Anggi menepis tanganku yang bergerak menggerayangi bagian bawah tubuhnya yang mengenakan rok jins selutut, seolah tak ingin bagian itu kuganggu. Sempat kurasakan cairan hangat di celana dalamnya sebelum kemudian Anggi merapatkan kedua kakinya. Tampaknya ia sudah sangat basah dan ia terus saja melakukan “karaoke”. Aku tak tahan untuk tidak masuk ke tahap akhir. Aku mendorong tubuh Anggi sebagai siyarat agar ia yang gantian rebahan hingga aku bisa menuntaskan “tugasku”. Tapi Anggi bergeming. Ia makin gencar “berkaraoke”. Dan ketika aku mau “keluar” kukatakan padanya agar ia menghentikan serangannya. Justru Anggi makin bersemangat, hingga akhirnya “tumpah” di dalam mulut Anggi.

Aku terkapar dalam kenikmatan, sementara Anggi masih melakukan hisapan-hisapannya dengan lembut sampai “tumpahanku” habis. Selesai melakukan itu, Anggi berbaring di dadaku yang terengah-engah. Tapi tangannya itu, tampaknya tak bisa jauh dari bagian bawah tubuhku. Dielusnya dengan lembut seakan-akan itu adalah mainan favoritnya.

Sejak saat itu, setiap bertemu Anggi selalu “mengkaraoke”ku. Entah itu di kamar kosku, di halaman depan kosnya yang ditumbuhi tanaman rimbun dan gelap kalau malam, atau di dalam gedung bioskop.

Aku pernah sekali bertemu Anggi dan Ferry waktu aku dan teman-teman kosku jalan-jalan ke pasar malam. Menurutku, pacar Anggi lumayan ganteng, walau tubuhnya kecil. Lebih pendek sedikit dari Anggi, mungkin karena Anggi pakai high heels. Pertemuan itu berlangsung sebentar dan kami (aku dan Anggi) bersikap biasa-biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami. Ia bahkan terlihat sangat mesra pada Ferry. Tangannya tak pernah lepas menggelayut di lengan Ferry.

Pernah sekali waktu, Anggi pinjam mobil ke pacarnya. Lalu mobil itu dipakai ke tempat kosku dan ia memintaku mengemudi untuk mengantar salah satu teman kosnya yang sakit ke kota asalnya sejauh 1,5 jam perjalanan. Dalam perjalanan pulang dari sana, Anggi melakukan “karaoke” padaku sampai 2 kali, karena jauhnya perjalanan. Sambil menyetir, aku mengerang dan menggeliat penuh kenikmatan mengimbangi perlakuan Anggi yang menurutku luar biasa itu.

Pokoknya tiada hari tanpa “karaoke” setiap kali kami bertemu. Dan itu selalu Anggi yang berinisiatif lebih dulu untuk melakukan. Aku hanya ho’oh-ho’oh saja.

Karena kesibukan kuliahku menjelang akhir semester, juga aktifitasku di organisasi kemahasiswaan, aku mulai jarang bertemu Anggi. Dua kali ia datang ke kosku saat aku ada di luar kota untuk kegiatan sosial. Ditambah kemudian dengan liburan semester yang panjang, aku pulang kampung menghabiskan waktu di sana. Praktis aku tak pernah lagi bertemu Anggi.

Sekitar 2 bulan tak bertemu, aku datangi kos Anggi. Aku kaget waktu diberitahu kalau ia sudah tidak tinggal di sana. Kata teman kosnya, Anggi sudah lulus dan kembali ke Jakarta. Memang saat kulongok ke dalam kamar Anggi, sudah berubah dekorasinya. Berarti sudah ditempati orang lain. Sejak saat itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Bahkan Diar yang sangat dekat hubungannya pun tak tahu kalau Anggi sudah lulus.

Mungkin kalau waktu itu sudah ada ponsel atau internet, hubungan kami mungkin masih berlanjut walaupun tanpa status yang jelas, entah seperti apa.

Saat dalam kesendirian, aku kerap bertanya-tanya dalam hati, apa yang diinginkan Anggi dariku? Pacarnya ganteng, sukses lagi, kenapa ia masih mau denganku? Kenapa juga ia selalu menolak saat aku ingin melakukan “penetrasi”, padahal ia juga sudah sangat bernafsu? Apakah aku hanya dijadikan pelampiasan nafsunya, sementara ia harus mempertahankan keperawanannya untuk pacarnya? Adakah rasa cinta padaku hingga ia memperlakukan aku seperti itu atau sekedar menyalurkan hasratnya yang terpendam? Kenapa tidak dengan pacarnya saja?

Aku benar-benar penasaran. Tapi rasa penasaranku tak pernah kusampaikan ke Anggi. Kusimpan saja dalam hati. Aku khawatir justru akan menyinggung perasaannya dan ia menjauhiku.

Sampai sekarang, pertanyaan itu kadang muncul di benakku. Ya, Anggi telah menggoreskan sebuah kenangan tersendiri di memori otakku, sekaligus teka-teki yang tak terjawab. (*)

readmore »»