Rahasia Antara Aku dan Majikanku

Zaenab (nama samaran), 45 tahun:

Waktu umurku 18 tahun aku merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Setelah beberapa hari di Jakarta aku dapat pekerjaan sebagai penjaga toko alat-alat listrik. Majikanku adalah perantauan dari luar Jawa, Yenny namanya (bukan nama sebenarnya). Sebenarnya ia baik, hanya agak galak dan bicaranya ceplas-ceplos. Suaminya juga seorang perantauan, sebut saja namanya Harun. Usianya kuperkirakan sekitar 50 tahunan, sementara Bu Yenny lebih muda darinya. Pak Harun punya usaha toko sendiri, berjualan bahan bangunan. Pak Harun dan Bu Yenny tidak punya anak.

Setiap 3 bulan sekali aku diberi ijin untuk pulang kampung ke Jawa Tengah. Di sana aku punya pacar, sebut saja namanya Jito.

Umur 25 tahun aku menikah dengan Jito. Sebetulnya, waktu pamit mau menikah aku sekaligus mengundurkan diri dari pekerjaanku, tapi Bu Yenny keberatan. Katanya ia sudah cocok denganku. Kerjaku dinilai bagus. Ia memintaku untuk kembali ke Jakarta jika mas Jito mengijinkanku.

Setelah menikah aku tak kembali ke Jakarta, karena tidak diijinkan oleh mas Jito. Aku menurut saja, karena nafkah yang diberikan olehnya kuanggap sudah cukup. Mas Jito punya usaha pembibitan ikan lele.

Beberapa bulan kemudian hasil yang diperoleh mas Jito menurun karena banyaknya pesaing bermodal besar yang bermunculan. Nafkah yang diberikannya pun berkurang. Akibatnya aku dan mas Jito sering bertengkar. Apalagi kemudian aku hamil. Karena tekanan ekonomi yang makin menghimpit, mas Jito akhirnya mengijinkan aku bekerja jadi buruh di sebuah pabrik di kota dekat desa tempat tinggalku.

Sayangnya, saat kandunganku berusia 6 bulan aku mengalami keguguran. Aku sedih sekali waktu itu. Yang membuatku makin tertekan, mas Jito menyalahkan aku yang dianggapnya terlalu ngotot bekerja. Karena tidak terima disalahkan, aku memaksakan diri untuk kembali ke Jakarta, bekerja di tempat bu Yenny. Semula mas Jito melarang, tapi karena keadaan ekonomi yang makin memburuk, ia mengalah. Aku diijinkan ke Jakarta, dengan syarat harus pulang sebulan sekali.

Cobaan kembali menghadangku ketika aku menemui bu Yenny. Ia sudah dapat pegawai baru. Artinya tak ada lowongan lagi buatku. Tapi bu Yenny menawarkan pekerjaan lain yang sayangnya hanya sementara, meskipun bu Yenny menjanjikan gaji lebih besar, yaitu merawat pak Harun. Kata bu Yenny, 3 minggu sebelumnya pak Harun mengalami patah kaki akibat kecelakaan lalu-lintas dan baru pulang dari rumah sakit seminggu kemudian. Meski begitu ia masih harus menjalani rawat jalan di rumah. Tadinya bu Yenny mempekerjakan perawat dari rumah sakit yang dibayar khusus untuk merawat pak Harun, tapi perawat itu ditarik kembali oleh rumah sakit. Jadi untuk sementara pak Harun dirawat oleh salah seorang kerabatnya.

Semula aku ragu dengan pekerjaan itu karena tak tahu cara merawat orang sakit, apalagi yang kurawat itu laki-laki. Bu Yenny meyakinkanku kalau ia akan mendatangkan perawat yang dulu merawat pak Harun untuk mengajariku. Akhirnya kuterima tawaran bu Yenny. Aku pun diberi sepetak kamar di rumahnya yang mentereng untuk kutempati.

Sebetulnya pekerjaan baruku tidak terlalu berat. Hanya butuh ketelatenan dan kesabaran melayani pak Harun, mulai dari menyiapkan makanan, obat-obatan dan membasuh tubuhnya setiap pagi dan sore. Untungnya pak Harun tidak bawel. Aku yang tadinya merasa tak cocok dengan pekerjaan itu, lama-lama terbiasa. Lagi pula, permintaanku untuk diberi ijin pulang ke Jawa Tengah disetujui oleh bu Yenny, asalkan tidak terlalu lama. Selainku upahku dibayar penuh, aku pun diberinya uang saku dan uang transport, sehingga upahku utuh. Saat aku tak ada, pak Harun dirawat oleh kerabatnya.

Setiap 3 hari sekali aku turut mengantar pak Harun kontrol ke dokter spesialis yang merawatnya. Sekitar 4 bulan kemudian kaki pak Harun sudah bisa digerakkan. Aku dapat tugas tambahan melakukan terapi pada pak Harun setelah mendapat pelatihan singkat dari rumah sakit. Setiap pagi dan sore aku mendampingi pak Harun berlatih berjalan di kamar. Awalnya masih tertatih-tatih, sehingga aku harus memegangi tubuhnya erat-erat agar pak Harun tak jatuh. Entah. kenapa, saat bersentuhan dengan pak Harun yang semula biasa-biasa saja, lambat laun memunculkan getaran yang sulit kuhindari. Ada rasa nyaman yang tak seharusnya tak boleh kubiarkan berlarut-larut.

Suatu kali pernah terjadi pak Harun terjatuh dan aku tak kuat menahan tubuhnya. Kami berdua terjerembab di lantai. Untungnya lantai kamar pak Harun dilapisi karpet agak tebal dan jatuhnya pak Harun menimpa tubuhku. Dengan susah payah kubantu pak Harun berdiri dan berjalan menuju ranjang sambil aku minta maaf. Pak Harun tidak marah. Justru ia tertawa ngakak dan minta maaf padaku karena menimpaku.

Aku ikut naik ke ranjang untuk membantu pak Harun bersandar di sandaran ranjang. Setelah itu aku bermaksud memberesi alat bantu jalan yang tergeletak di lantai. Tiba-tiba pak Harun memegang tanganku erat-erat, maksudnya agar aku tidak turun dari ranjang. Ia bilang terima kasih telah membantunya selama ini. Sambil berkata begitu ia menarik tanganku hingga mau tak mau aku mendekat dan duduk di dekatnya. Aku berdebar-debar karena ia memandangiku dengan tatapan penuh arti.

Di saat aku salah tingkah dan ingin cepat-cepat turun dari ranjang, tangan pak Harun meraba dadaku dengan lembut, tepat di bagian payudaraku. Ingin rasanya aku berkata “Jangan, pak” dan menepis tangannya, tapi tenggorokanku tercekat. Tak terucap satu katapun dari mulutku. Bahkan ketika pak Harun membuka kancing bajuku, aku tak mampu menolaknya. Setelah beberapa kancing terbuka, kembali tangan pak Harun meraba dadaku. Kali ini disertai remasan lembut. Jujur kukatakan, aku suka dengan cara pak Harun merabaku.

Setelah meraba dadaku, tangan pak Harun beralih ke pahaku dan pelan-pelan menyusup ke balik rok yang kukenakan hingga kurasakan sentuhannya di celana dalamku. Diam-diam ada rasa nikmat menjalar ke sekujur tubuhku. Aku berusaha menahan diri untuk tidak mendesah. Sementara jari-jari pak Harun menari-nari di bagian bawah tubuhku, satu tangan pak Harun meraih tanganku dan membimbingnya ke bagian bawah tubuhnya yang menggembung. Berdesir darahku saat kurasakan “milik” pak Harun yang membesar dan keras di balik celana piyamanya. Bukan sekali dua kali aku melihat “milik” pak Harun. Sering bahkan, yaitu ketika aku memegangi pispot untuk dia buang air kecil atau mencebokinya saat ia usai buang air besar yang dilakukan di ranjang. Dulu aku sempat risih dan jijik melakukan itu, tapi jika terbayang upah yang kuperoleh dari bu Yenny, kubuang jauh-jauh rasa jijik itu.

Dari gerakan tangan pak Harun aku tahu ia ingin aku meremas “milik”nya,tapi aku takut dan terbayang rasa bersalah pada mas Jito. Tapi dari cara pak Harun membimbingku, lama-lama aku malah menikmatinya. Pak Harun melepaskan tangannya dan membiarkanku meremas tanpa bimbingannya. Kedua tangan pak Harun kemudian melepas sisa kancing bajuku dan melucuti bajuku. Terakhir, ia turunkan tali BH-ku dan mulai meremas lagi payudaraku. Rasa takut dan bersalah yang menggelayutiku berganti dengan letupan-letupan gairah yang membuat remasan tanganku di “milik” pak Harun makin kencang. Aku bahkan tak sungkan memasukkan tanganku ke dalam celana piyama pak Harun karena terdorong hasrat untuk menyentuh langsung “miliknya”.

Akal sehatku sudah terselimuti kabut nafsu. Aku tak lagi menahan desahan merasakan remasan pak Harun di dadaku dan remasanku di “miliknya”. Saat tangan pak Harun menyusup ke dalam rokku dan hendak melepas celana dalamku, kuangkat sedikit pantatku agar ia tak mengalami kesulitan. Begitu celana dalamku lepas, pak Harun langsung memainkan jari-jarinya di kemaluanku. Pak Harun begitu pandai melakukan itu hingga aku terdorong untuk melepas celana piyamanya. Rangsangan yang diciptakan pak Harun padaku membuatku lupa diri. Kutundukkan kepalaku dan mulai mengulum “miliknya” dengan penuh nafsu. Berkali-kali pak Harun mendesah merasakan kulumanku.

Akhirnya aku tak tahan lagi. Tanpa diminta pak Harun, aku beranjak, berlutut di atasnya sambil mengangkat rokku dan kutancapkan “milik” pak Harun ke dalam “milikku” yang sudah basah. Spontan rasa nikmat menyeruak dan membuatku bergoyang di atas tubuh pak Harun, sementara kedua tangannya bermain-main di payudaraku yang mengencang.

Aku memekik saat kucapai puncak kenikmatan. Kusorongkan wajahku ke dekat wajah pak Harun dan kulumat-lumat bibirnya. Kurasakan “milik” pak Harun masih tegak berdiri di dalam “milikku”. Kugoyang lagi tubuhku dengan nafas memburu dan nafsu menggelegak. Untuk kedua kalinya aku mencapai orgasme. Herannya, pak Harun belum “keluar” juga. Rupanya ia termasuk laki-laki perkasa. Padahal aku sudah “banjir” dan habis-habisan “menggenjotnya” hingga aku kelelahan sendiri. Kurebahkan tubuhku di atas tubuh pak Harun. Nafas kami sama-sama memburu.

Tak lama kemudian pak Harun menyuruhku berganti posisi jadi berjongkok membelakanginya. Kedua tangannya merengkuh pinggulku dan mulai menggoyang-goyang tubuhku. Aku pun mengikuti kemauannya. Baru kali itu kulakukan dengan gaya seperti itu. Dengan mas Jito belum pernah. Rasanya luar biasa. Dengan jongkok aku bisa lebih leluasa mengatur gerakan yang menghasilkan kenikmatan lebih besar. Goyangan pantatku makin kencang seiring dengan kenikmatan yang makin meningkat. Sementara itu kulihat kedua kaki pak Harun menegang diiringi dengan erangan panjang. Sekejap kemudian aku mendapatkan orgasme ketiga. Tampaknya pak Harun juga sudah “keluar”. Kududukkan diriku di atas pak Harun, sementara kedua kakiku kuregangkan ke belakang untuk merasakan detik-detik kenikmatan terakhir.

Pak Harun merengkuhku agar rebah di dadanya. Kurasakan baju piyamanya basah oleh peluh. Nafasnya memburu seperti halnya aku. Kabut birahi yang tadi mengaburkan akal sehatku pelan-pelan sirna. Terbayang olehku wajah mas Jito yang menungguku nun jauh di sana, bergantian dengan wajah bu Yenny, sementara aku jatuh dalam pelukan majikanku. Muncul rasa bersalah dan penyesalan yang membuatku segera bangkit dan mengenakan kembali pakaianku untuk kemudian meninggalkan kamar pak Harun.

Kurebahkan tubuhku di ranjang kamarku. Tangisku pecah akibat hantaman penyesalan yang menggedor relung hatiku yang paling dalam. Aku merasa kotor. Hina. Aku merasa jadi wanita murahan yang telah begitu mudahnya menyerahkan tubuhku pada laki-laki yang bukan suamiku. Pikiranku terpecah. Di satu sisi timbul keinginan untuk meninggalkan pekerjaanku dan kembali ke Jawa, sementara di sisi lain ada masalah keuangan yang mendesak untuk dipenuhi.

Untuk menenangkan diri, aku pergi ke kamar mandi. Kuguyur sekujur tubuhku berkali-kali. Segarnya air membuat pikiranku kembali jernih. Bertepatan dengan keluarnya aku dari kamar mandi, telepon berdering. Pasti bu Yenny, sebagaimana kebiasaannya untuk memonitor suaminya, memastikan apakah aku sudah menyiapkan makan buat pak Harun berikut obatnya atau belum dan semacam itu.

Kukuatkan batinku saat masuk ke kamar pak Harun membawakannya makan siang. Aku tak mempedulikan ucapannya yang minta maaf padaku, walaupun dalam hatiku bergemuruh. Aku bersikap seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa antara aku dengannya dan aku sudah bertekad tak akan tergoda lagi untuk kedua kalinya. Setelah pak Harun selesai makan dan minum obatnya bergegas aku keluar. Begitupun sore hari ketika harus membasuh tubuh pak Harun. Tak sepatah kata pun kuucapkan selain sibuk dengan kegiatan rutin melayaninya. Tampaknya pak Harun tahu apa yang kurasakan. Ia juga tak banyak bicara kecuali mengucapkan terima kasih seperti biasanya saat aku usai menjalankan tugasku.

Genap 2 bulan setelah itu pak Harun sudah bisa berjalan sendiri, meski belum bisa dikatakan normal. Ia masih harus menggunakan kruk (alat bantu berjalan), tapi sudah mulai bekerja kembali. Dan seperti yang telah disepakati di awal, pekerjaanku pun selesai. Bu Yenny tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepadaku. Katanya, berkat ketelatenanku, pak Harun bisa pulih. Selain membayar upah terakhirku, bu Yenny juga memberiku seperangkat perhiasan sebagai ungkapan rasa syukur atas kesembuhan suaminya. Perhiasan itulah yang kemudian jadi modal mas Jito untuk membuka usaha baru dan berjalan baik hingga kini.

Akan halnya yang terjadi antara aku dan majikanku, biarlah menjadi rahasia yang hanya aku, pak Harun dan Tuhan yang tahu. (*)

Pengalaman ini dikisahkan kembali berdasarkan penuturan ybs kepada tim JBSS tahun 2010.

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.

Artikel Terkait Curhat