Dilema Asmara

Rama (nama samaran), 36 tahun, Pekerja Seni:


Pertemuan tak terduga dengan Siwi (bukan nama sebenarnya) di stasiun Gubeng, Surabaya, 5 tahun yang lalu membawaku pada sebuah pengalaman mengesankan namun berujung dilema.

Waktu itu, sore hari menjelang petang, aku sedang duduk di peron stasiun sambil menikmati rokokku, menunggu kedatangan kereta api yang akan membawaku kembali ke Jogja. Aku berada di Kota Pahlawan untuk menghadiri sebuah pagelaran seni. Tiba-tiba ada seorang perempuan muda, usianya sekitar 20 tahun, menyapaku. Ia menyebut namaku sambil menyunggingkan senyum. Merasa tak kenal, aku hanya diam menatapnya. Secara spontan pula, naluri kelelakianku langsung menilai penampilannya. Wajahnya lumayan manis dengan rambut ikal sebahu. Dan dadanya itu, wah … Untuk gadis seusianya, ukuran dadanya termasuk di atas rata-rata. Terpampang jelas di mataku karena ia mengenakan T-shirt ketat yang dibungkus dengan jaket terbuka.

Mungkin karena merasa aku tak mengenalnya, ia pun mencoba mengingatkanku dengan menyebutkan namanya, Siwi. Lagi-lagi aku merasa asing dengan namanya, karena sepengetahuanku, aku tak punya teman bernama Siwi. Tapi ketika kemudian dia menyinggung tentang suatu masa dan kejadian sekitar 10 tahun sebelumnya, memoriku pun berangsur terungkap. Ya, 10 tahun yang lalu aku pernah mengikuti sebuah kegiatan sosial yang diadakan di sebuah desa di Jawa Timur oleh ormas tempat aku bernaung. Kembali terngiang dalam ingatanku celoteh anak-anak desa mengikuti salah satu kegiatan permainan di balai desa. Dan Siwi, satu di antara beberapa bocah yang masih kuingat namanya, adalah yang paling aktif.

Dengan gaya khas remaja, kemudian Siwi yang saat itu bersama dengan 2 temannya, semuanya perempuan, duduk di sebelahku dan bercerita tentang acara bakti sosial itu. Adanya kebersamaan di masa lalu itulah aku, Siwi dan kedua temannya, sebut saja namanya Dewi dan Ratna, jadi cepat akrab. Perbedaan usia seakan tak menghalangi kami untuk mengumbar cerita dan tak mempedulikan orang yang lalu lalang di depan kami.

Kata Siwi, ia dan kedua temannya akan berlibur ke Bandung, kota asal Dewi. Mereka kuliah di satu perguruan tinggi swasta di Malang.

Aku dan Siwi saling bertukar nomor ponsel sesaat setelah terdengar pengumuman bahwa kereta yang akan kami tumpangi memasuki stasiun. Begitu kereta api datang dan berhenti di peron kami berpisah karena dapat tempat duduk di gerbong yang berbeda. Memang aku terkesan pada Siwi saat itu, betapa ia telah tumbuh jadi gadis remaja yang cantik dan bertubuh ideal, tapi setelah itu aku tak memikirkannya lagi. Nomor ponselnya yang kucatat di ponselku pun sebenarnya tak hanya basa-basiku saja, karena Siwi yang meminta. Ketika kereta api jurusan Bandung yang kutumpangi tiba di stasiun Tugu, Jogja, aku sudah lupa sama sekali pada Siwi.

Tak sampai seminggu kemudian ponselku berdering. Dari Siwi. Ia bilang kalau sedang dalam perjalanan menuju Jogja dan minta tolong padaku untuk menjemputnya, karena kereta api yang ditumpanginya akan tiba tengah malam. Sendirian, karena Ratna masih ingin menghabiskan waktu di Bandung bersama Dewi. Aku yang saat itu sedang kongkow-kongkow dengan rekan-rekan sesama pekerja seni di sebuah studio langsung menyanggupinya, meski dengan satu pertanyaan yang masih menggantung: Mau menginap di mana dia?

Benar saja. Saat aku menanyakan hal itu padanya, Siwi tampak terdiam. Sambil berjalan menuju tempat parkir sepeda motor akhirnya Siwi mengatakan kalau ia tidak tahu harus menginap di mana, karena uang sakunya nyaris ludes. Aku tak mungkin mengajaknya menginap di tempat kosku, karena bakal jadi bahan pergunjingan sesama penghuni kos, atau lebih tepatnya ledekan. Penghuni kos di tempatku semuanya adalah laki-laki dan berstatus mahasiswa, sehingga praktis aku yang tertua di situ hingga dijuluki Kepala Suku.

Aku tak sampai hati melihat Siwi yang terlihat kebingungan. Tapi aku juga sempat ngedumel dalam hati: Kalau memang tak punya cukup uang buat apa kluyuran dengan tujuan tak jelas. Aku harus segera mengambil keputusan, karena sesekali terdengar gemuruh di langit pertanda akan hujan. Waktu itu memang lagi musim hujan. Akhirnya kuputuskan untuk menginapkannya di hotel. Tentunya hotel yang termurah. Memang 2 hari sebelumnya aku dapat uang dari hasil penjualan karya seniku dan itu cukup untuk hidup selama 3 sampai 4 bulan, tapi dengan kehadiran Siwi, kemungkinan tak akan sampai selama itu. Pikiranku langsung tertuju pada sebuah hotel yang pernah kutempati ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di Jogja sekitar 4 bulan sebelumnya. Tempatnya nyaman, ada TV, AC dan kamar mandi dalam, dan yang terpenting: Murah. Sebelum menuju ke hotel Siwi kutawari untuk makan dulu di alun-alun, tapi ia menolak. Meski begitu kusempatkan mampir di sebuah minimarket yang buka 24 jam untuk membeli roti dan air mineral untuk Siwi.

Sampai di hotel dan setelah ngobrol sebentar, kutinggalkan Siwi. Aku berjanji besok pagi-pagi datang padanya dan mengajaknya jalan-jalan keliling kota. Tapi baru beberapa meter sepeda motorku melaju melewati gerbang hotel, ponselku bergetar. Dari Siwi. Aku menepi dan menjawab teleponnya. Siwi bilang kalau ia takut sendirian di hotel. Aku tercenung sesaat, lalu kularikan sepeda motorku kembali ke hotel.

Di hotel aku berusaha menghibur Siwi, membangkitkan keberaniannya, karena kupikir, ia berani pergi dari Bandung ke Jogja sendirian, masa tinggal sendirian di hotel tak berani. Nyatanya, Siwi ngotot aku menemaninya dan membuatku luluh. Karena kamarnya berisi single bed, mau tak mau aku harus keluar uang lagi untuk extra bed.

Waktu kami bersiap akan tidur setelah asyik ngobrol sambil nonton TV, hujan turun dengan derasnya. Gelegar petir bersahut-sahutan sesekali terdengar memekakkan telinga.

Aku sudah setengah terpejam ketika kurasakan seseorang berbaring di sebelahku. Spontan aku menoleh. Katanya, dia takut mendengar suara petir, makanya pindah seranjang denganku. Aku terperangah dan tak mampu berkata apa-apa selain beringsut memberi Siwi ruang di sebelahku. Karuan saja, dadaku bergemuruh, seakan mengalahkan dentuman suara guruh di luar sana. Siwi berbaring membelakangiku, hingga ia tak melihat betapa gugupnya aku saat itu.

Di usiaku yang 30 tahun waktu itu memang aku sudah pernah pacaran, tapi tak sampai ke kegiatan ranjang, meski hubunganku telah demikian dekatnya. Kupikir, urusan ranjang harus dilalui dalam sebuah perkawinan yang sakral. Aku masih berharap akan seperti itu.

Di hadapkan pada situasi seperti itu membuatku sulit terpejam. Aku tak bisa mengerti kenapa gadis seperti Siwi begitu beraninya berada dalam satu kamar dengan seorang laki-laki yang baru ditemuinya meski punya kesamaan pengalaman di masa kecilnya dulu. Mungkinkah karena kebersamaan singkat di masa lalu sudah cukup membuatnya merasa aman bersamaku?

Dalam kesimpangsiuran pikiran yang membingungkan, serta keadaan yang begitu romantis, diam-diam hasrat kelelakianku bangkit. Kumiringkan tubuhku menghadap ke punggung Siwi. Sayup-sayup kudengar suara nafasnya yang teratur. Ia mungkin sudah hanyut dalam mimpinya. Pelan tapi pasti, kudekapkan tanganku di tubuhnya. Aroma rambutnya yang harum mendorongku untuk menciumnya. Siwi bergeming. Gemuruh di dadaku makin menderu, merasuk dalam ke relung birahi yang tak tertahankan. Tanganku yang semula mendekapnya, mulai menjalari dadanya. Kurasakan seonggok daging lembut di balik baju tidurnya, tanpa BH. Aku sudah bisa melihatnya ketika ia membukakan pintu tadi. Baju tidurnya yang longgar bergambar Hello Kitty besar tak dapat menyembunyikan dua bukit indah dengan (maaf) putingnya yang juga tampak menonjol.

Remasan lembut yang kulakukan di dadanya masih membuatnya tak bereaksi. Aku yang sudah dirasuki nafsu birahi merasa mendapat angin segar untuk beranjak ke level berikutnya. Kusingkirkan selimut yang menutupi tubuh kami berdua. Rabaanku beralih lokasi ke paha Siwi. Berawal dari bawah, perlahan naik hingga menyusup ke balik baju tidurnya. Gelora nafsuku makin menggelegak ketika kurasakan jemariku sampai di celana dalam Siwi dan tersentuh olehku sesuatu yang lembut. Gairahku yang meletup-letup bagai debur ombak pantai selatan. Organ kejantananku yang telah tegak berdiri saat pertama kali kusentuh tubuh Siwi menempel ketat di bagian belakang tubuhnya. Rasa nikmat yang sulit diungkapkan dengan kata-kata membuatku semakin hanyut. Aku berharap Siwi terbangun dan mengimbangiku. Tapi ia masih bergeming, meskipun dapat kurasakan degup jantungnya yang lebih kencang dari sebelumnya.

Entah berapa lama kumanjakan birahiku dalam setiap sentuhan di tubuh Siwi hingga tiba-tiba aku tersadar. Aku merasa telah lancang menggerayanginya di saat ia sedang tidur, padahal seharusnya aku melindunginya. Mungkin ia tahu tapi diam saja karena merasa tak enak menolakku yang telah memberinya tempat bernaung malam itu. Tiba-tiba saja aku merasa malu sendiri. Kuhentikan rabaanku dan kubenahi selimut Siwi. Aku membalikkan tubuh membelakanginya.

Hujan masih belum reda, tapi gelegar petir sudah tak terdengar lagi. Aku berusaha sekuat tenaga untuk memejamkan mata, tapi tak pernah bisa. Benakku dijejali dengan berbagai pemikiran-pemikiran. Aku tak menduga bakal terjebak pada situasi seperti ini yang kuperburuk dengan “pelecehan seksual” terhadap Siwi.

Saat tengah melamun, kurasakan Siwi beringsut merubah posisi tidurnya. Aku langsung pura-pura tidur. Tak berapa lama, tangan Siwi memegang pinggulku dan merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Mungkin aku dianggapnya sebagai guling, tapi itu sudah cukup membuat jantungku kembali berdebar. Debaran jantungku makin kencang saat tangan Siwi bergeser ke celana pendekku yang juga berfungsi sebagai celana dalam. Tanpa kuduga, jemari Siwi merayap tepat di bagian kemaluanku. Aku bisa berpura-pura tidur, tapi tidak bisa menghentikan aliran darah yang tiba-tiba mengalir deras ke bagian yang kini dalam genggaman Siwi, hingga kembali mengeras. Sekejap kemudian, Siwi tak cuma menggenggam, tapi meremas-remas dengan cengkeraman lembut. Aku masih berpura-pura tidur ketika tangan Siwi menyusup ke dalam celana pendekku. Rasa sesal yang sebelumnya sempat menggelayut dalam diriku berubah jadi keinginan untuk membalas perlakuannya tadi. Aku tetap saja pura-pura tidur, seolah tak terpancing dengan “provokasinya” yang nikmat itu. Kuberi dia kesempatan untuk mempermainkan “senjataku” dengan mengempiskan sedikit perutku sehingga tangan Siwi bisa bebas “bekerja”.

Sungguh mati aku hampir tak tahan untuk tak membalikkan tubuhku dan mereguk kenikmatan yang ditawarkan oleh Siwi, ketika ia menarik pinggulku hingga aku berbaring dalam posisi telentang. Mataku masih terpejam untuk menikmati remasan jari-jemari Siwi. Bisa kudengar dengar jelas nafasnya memburu.

Sesaat kemudian Siwi bangun lalu melepas celanaku. Kupicingkan sebelah mataku sedikit untuk melihat apa yang akan dilakukannya. Setelah melepas celanaku, ia melepas baju tidurnya. Jantungku terasa berhenti berdetak saat kulihat sepasang bukit yang besar dan kencang menggantung dengan indahnya di dada perempuan yang dulu kukenal masih ingusan. Kemudian Siwi menunduk tepat di bawahku dan segera kurasakan “senjataku” terbenam dalam mulutnya. Semula aku masih diam seolah tak tahu apa yang dilakukan Siwi padaku. Tapi permainan mulutnya yang sesekali menghisap dan menjilat membuatku harus menghentikan sandiwaraku. Kubuka mataku dengan ekspresi seperti orang kaget dan sekejap kemudian kurengkuh kepalanya yang bergerak naik turun. Setelah itu kubuka T-shirt yang kukenakan. Pada saat yang sama Siwi melepas celana dalamnya sambil berlutut, kemudian mendudukkan dirinya di atasku.

Aku mengerang panjang ketika kurasakan tubuh kami menyatu dalam balutan gelombang birahi yang memabukkan. Terlebih saat Siwi mulai menggerakkan tubuhnya pelan-pelan. Kepalanya tengadah seakan merasakan kenikmatan luar biasa seperti yang kurasakan.

Dua bukit yang menggantung di dada Siwi bagaikan sebuah magnet yang sangat kuat hingga menarikku untuk duduk dan mencumbui lehernya. Kemudian ia mencondongkan tubuhnya ke belakang, memberiku kesempatan untuk memuaskan mulut dan lidahku di dua bukitnya itu, sementara ia terus bergerak naik-turun.

Beberapa menit kemudian Siwi mendorongku agar rebah kembali. Rupanya ia sudah sangat ingin menuntaskan ledakan hasratnya dengan melakukan goyangan yang semakin kencang. Mulutnya sesekali menganga, sesekali mengatup. Tak lama setelah itu tubuhnya ambruk di dadaku. Kedua kakinya mengejang, menindih kuat-kuat pahaku. Nafasnya memburu, seirama dengan jantungnya yang berdetak kencang. Kupeluk tubuh Siwi. Kubiarkan ia mengatur nafasnya.

Tak lama setelah itu Siwi membaringkan tubuhnya di sampingku. Begitu ia berbaring, aku bangkit dan melakukan “serangan balasan”. Kudengar Siwi memekik lirih saat “senjataku” menembusnya. Sebelum memulai “push up” kudekatkan wajahku ke wajah Siwi. Melihat itu Siwi langsung membuka mulutnya dan memagut bibirku. Kami hanyut dalam ciuman yang panas dan menggairahkan, sementara tubuh kami bergoyang pelan. Setelah itu Siwi mendorongku seolah mengisyaratkan agar aku mulai “beraksi”.

Suara gemercik air hujan membuat kami leluasa mengumbar desah dan erangan sepanjang pendakian menuju puncak kenikmatan, hingga akhirnya sama-sama terhempas dalam keletihan.

Siwi dan aku bergantian ke kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah itu berbaring lagi dalam balutan selimut tanpa berpakaian lebih dahulu. Tak banyak yang kami obrolkan saat itu. Hanya rabaan-rabaan lembut dalam hangatnya pelukan. Aku lebih banyak bermain-main dengan pikiranku sendiri. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau aku akhirnya jatuh dalam pelukan gadis belia itu. Yang paling kupikirkan adalah kepiawaiannya bercinta, padahal usianya masih tergolong muda. Aku bertanya-tanya dalam hati, apa saja yang telah terjadi padanya dalam kurun waktu sekitar 10 tahun ini, sehingga ia tampak begitu biasa melakukan ini? Kenapa ia begitu berani datang sendirian menemuiku, sementara semestinya ia ikut bersenang-senang dengan kedua temannya di Bandung?

Aku tak berani mengusiknya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Biarlah tetap jadi misteri sesaat. Aku yakin, cepat atau lambat, akan terjawab seiring dengan berjalannya waktu. Dan menjelang pagi itu kuhabiskan waktu bersama Siwi mereguk kenikmatan duniawi untuk kedua kalinya hingga terkapar dalam buaian kepuasan yang meletihkan.

Bunyi ponselku membangunkanku. Jam 11 siang. Dari temanku yang menanyakan kenapa aku tak hadir dalam acara pembukaan pameran seni. Aku tergagap. Kukatakan bahwa semalam aku tak enak badan dan obat yang kuminum membuatku tidur pulas hingga aku bangun kesiangan. Aku berjanji akan datang ke pamerannya sesegera mungkin. Selama menelepon kudengar debur air di kamar mandi. Rupanya Siwi bangun lebih dulu dari aku dan langsung mandi. Begitu aku selesai bicara di ponsel, Siwi keluar dari kamar mandi dengan berbalut handuk putih milik hotel. Rambutnya basah.

Sekejap kemudian Siwi melepas handuknya dan langsung mengusap-usap rambutnya dengan handuk itu. Wangi shampoonya merebak ke penjuru kamar. Tercium juga olehku aroma kopi. Tubuh telanjangnya membuatku menelan ludah. Aku yang juga telanjang duduk bersila di ranjang dan terus memandanginya. Ia tak jengah sama sekali kupandangi seperti itu. Setelah itu ia berjalan menuju meja, mengambil secangkir kopi yang masih mengepulkan asap dan memberikannya kepadaku. Kusruput kopi itu sedikit demi sedikit, sementara Siwi duduk di dekatku dan menyandarkan punggungnya di tempat tidur. Ganti ia yang memandangiku meminum kopi. Kutawari ia kopiku. Siwi mengangguk dan menyorongkan bibirnya ke cangkir yang kupegang. Setelah beberapa sruputan, Siwi menyorongkan bibirnya ke bibirku dan kami berpagutan. Mula-mula saling kecup, tapi itu sudah cukup membuatku gairahku bangkit kembali.

Kuletakkan cangkir di lantai dan pada saat bersamaan Siwi membaringkan tubuhnya di ranjang yang kusut masai. Tampaknya ia pun punya keinginan yang sama denganku. Kurebahkan tubuhku di atasnya dan kami kembali saling bercumbu. Lidah dan bibirku menjalar ke sekujur tubuh Siwi yang begitu harum, hingga akhirnya aku sampai di bagian bawah tubuhnya. Pelan-pelan Siwi membuka ke dua kakinya dan secara naluri kubenamkan kepalaku di situ. Gadis itu mendesah saat lidahku terjulur-julur menggapai organ sensitifnya. Kaki-kaki Siwi makin terbuka lebar, seiring dengan gencarnya cumbuanku di situ. Diam-diam aku ketagihan untuk terus dan terus memainkan lidah dan mulutku, karena itu membuat Siwi semakin kehilangan kendali. Pinggulnya bergoyang-goyang mengikuti irama yang kumainkan, hingga akhirnya ia memintaku untuk rebah dan berganti posisi. Giliran Siwi yang melakukannya padaku sebelum kemudian membenamkan “milikku” dalam-dalam.

Dalam waktu tak sampai 12 jam terakhir itu aku belajar banyak tentang urusan ranjang dari Siwi yang notabene usianya jauh lebih muda dariku. Aku tahu itu salah, tapi Siwi dengan tubuh indah dan kepiawaian bercinta telah membuatku mabuk kepayang. Sekembali dari menghadiri pameran dan jalan-jalan keliling kota, kami kembali terlibat dalam panasnya gelora birahi.

Kebersamaan bersama Siwi jadi terasa begitu singkat ketika keesokan harinya ia berniat kembali ke Malang. Berat rasanya aku melepaskannya di stasiun. Hanya janji untuk saling mengontak lewat ponsel yang membuatku sedikit terhibur.

Siwi menepati janjinya. Begitu tiba di Malang ia langsung mengabariku. Begitupun hari-hari selanjutnya. Ia yang lebih sering meneleponku daripada aku meneleponnya. Dengan cara itu aku dan Siwi melepas kerinduan, seakan kami adalah sepasang kekasih. Padahal selama bersamanya, tak pernah sekalipun terucap kata cinta di antara kami. Hanya tubuh basah bertabur keringat dan desah kenikmatanlah yang menyatukan kami.

Dalam kerinduan yang semakin memuncak, suatu ketika kusempatkan diriku datang ke Malang. Selama 2 hari di sana kulepaskan hasrat yang telah lama terpendam dan menjadi sebuah kebutuhan yang sulit dihindari bersama Siwi. Ia pun memberikan pelayanan terbaiknya, sebagaimana ia lakukan ketika di Jogja.

Namun pertemuan itu seakan menjadi pertemuan terakhirku dengan Siwi. Lama ia tak meneleponku setelah aku kembali ke Jogja. Teleponku pun tak pernah dijawabnya. Misteri tentangnya yang dulu selalu mengusik benakku, bertambah semakin membingungkan. Aku terpuruk dalam tanda tanya besar. Seorang gadis remaja membuat hidupku goyah. Kesibukan pekerjaan tak membuatku bisa mengusir rasa penasaran itu, sampai akhirnya kuputuskan untuk pergi ke Malang lagi 2 bulan kemudian.

Di sana aku mencoba menelusuri keberadaan Siwi melalui kampusnya. Alamat kos yang kuperoleh dari bagian kemahasiswaan jadi informasi berharga sekaligus mengejutkan. Informasi berharga itu adalah alamat kos Siwi. Yang mengejutkan, Siwi mengambil cuti kuliah selama 1 semester. Alasan yang diajukan ke kampusnya adalah karena ada urusan keluarga.

Kudatangi alamat kos Siwi yang tak jauh dari kampus. Dari penghuni kos kuperoleh kabar bahwa Siwi sudah tidak kos di situ lagi. Aku tak kehilangan akal. Kutanyakan tentang Dewi dan Ratna yang kata Siwi satu kos dengannya. Ratna sedang pulang ke Surabaya karena ayahnya sakit, sedangkan Dewi ada kuliah hari itu. Karena Dewi adalah satu-satunya harapan yang bisa menghubungkan dengan Siwi, kutunggu dia di sebuah warung tak jauh dari rumah kos.

Baru saja aku menyulut rokok kedua, kulihat Dewi lewat dengan mengendarai sepeda motor. Buru-buru kubayar es campur yang kupesan. Dewi yang hendak masuk ke kamar kosnya tampak kaget, tapi ia masih ingat padaku. Di ruang tamu kos Dewi menceritakan semua tentang Siwi dan menguak fakta yang selama ini menjadi misteri bagiku. Aku kaget, tertegun dan lunglai mendengar penuturan Dewi.

Ternyata sebenarnya Siwi sudah punya pacar, lama sebelum bertemu denganku di stasiun Gubeng. Saat itu ia bertengkar hebat dengan pacarnya, hingga akhirnya memutuskan untuk menghibur diri dengan pergi ke Bandung bersama Dewi dan Ratna. Yang membuatku terhenyak di tempat dudukku adalah bahwa Siwi mengambil cuti kuliah karena menikah. Ia menikah karena dihamili pacarnya! Siwi kembali ke desanya untuk melahirkan di sana. Desa yang sama yang dulu pernah kukunjungi.

Kata Dewi, Siwi hamil 4 bulan. Artinya, saat terakhir bertemu dan bercinta denganku 2 bulan sebelumnya, ia sudah “berisi” 2 bulan. Lidahku kelu. Tak sedikitpun terbersit dalam benakku bahwa jawaban dari misteri itu akan seperti ini. Kembali terbayang kenangan saat-saat kebersamaan dengan Siwi. Ia terlihat begitu mesra dan pasrah kepadaku, seakan-akan aku adalah satu-satunya laki-laki terhebat dalam hidupnya.

Aku memang tak pernah memimpikan bahwa suatu saat Siwi akan menjadi pendamping hidupku, tapi juga tak menyangka kalau akhirnya akan seperti ini. Ia telah mencuri perhatianku, memberi warna dalam hidupku, serta menyita waktuku dengan terus memikirkannya dan kini lenyap begitu saja tanpa ada kata perpisahan, seolah-olah aku hanyalah batu loncatan baginya dalam menjalani hari-hari berikutnya.

Sekarang, setelah hampir 5 tahun berlalu, kadang aku masih memikirkannya. Hubunganku dengan Siwi memang singkat, tapi kenangan bersamanya akan panjang. Mungkin sepanjang hidupku. Termasuk penilaianku tentang perempuan. (*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.

Artikel Terkait Curhat