Beberapa tahun yang lalu aku pernah tinggal di kota S. Di sana aku punya tetangga yang sangat populer di antara warga. Sebut saja namanya Tante Debby. Usianya waktu itu mungkin 40-an. Meski bisa dikatakan tidak muda lagi, tapi gaya dandannya tak kalah dengan gadis belia. Kegemarannya adalah mengenakan baju ketat, hingga mempertontonkan lekuk liku tubuhnya yang bahenol. Tak heran jika ia jadi bahan pergunjingan. Bagi ibu-ibu warga, Tante Debby dianggap tak tahu diri dengan gaya dandanannya, sedangkan bagi bapak-bapak dan pemuda jelas merupakan obyek cuci mata.
Yang menghebohkan justru di kalangan remaja seusiaku. Konon kabarnya Tante Debby gemar tidur sambil telanjang. Entah dari mana sumbernya, yang jelas beredar dari mulut ke mulut dan menyebar dengan cepat.
Tentang suaminya, tak ada informasi yang jelas. Ada yang bilang suaminya bekerja sebagai chef (koki) di kapal pesiar di luar negeri. Ada juga yang mengatakan kalau ia istri simpanan dan hanya sekali-sekali saja dikunjungi suaminya. Pokoknya simpang siur lah kebenarannya. Yang jelas, ada seorang pembantu perempuan agak tua, sebut saja namanya Bi Tifah, yang menemaninya tinggal di situ.
Di antara warga, aku tergolong masih baru. Aku tinggal di situ karena diminta kakakku untuk menempatinya sambil menunggu ia pindahan satu bulan kemudian. Kebetulan kakakku dapat rumah kontrakan milik Tante Debby yang letaknya bersebelahan dengan rumahnya. Karena itulah aku punya penilaian sendiri tentang Tante Debby. Memang benar ia suka pakai baju ketat, tapi masih dalam batas wajar. Banyak perempuan seusianya yang juga begitu ‘kan? Terlepas dari itu, ia seorang wanita yang baik dan ramah. Sebagai pengontrak rumahnya, ia tawarkan bantuan apa saja yang bisa ia bantu.
Tentang adanya rumor yang mengatakan kalau ia punya kebiasaan suka tidur telanjang, sebagai anak muda, terus terang aku penasaran. Aku sempat tergelitik untuk membuktikan dengan memanfaatkan sebuah pintu yang ada di belakang rumah yang terhubung ke rumah Tante Debby. Selama aku tinggal, pintu itu tak pernah terkunci. Tapi melihat kebaikannya, kutepis jauh-jauh niatku itu. Aku menghormatinya sebagaimana aku menghormati orang yang lebih tua dariku.
Minggu kedua menempati rumah kontrakan kakakku, air ledeng mampet. Masalah ini merupakan awal dari suatu kejadian yang merubah penilaianku tentang Tante Debby dan menjadi pengalaman tak terlupakan seumur hidupku.
Saat menyadari air tak mengalir, aku langsung melaporkan hal itu pada Tante Debby yang ditindaklanjuti dengan dengan memanggil tukang ledeng. Ternyata jaringan pipa ledeng di rumah yang dikontrakkan itu menggunakan pipa besi yang sudah tua, sehingga harus diganti dengan PVC semua. Sementara ledeng diperbaiki, Tante Debby mengijinkanku untuk mandi dan mengambil air dari rumahnya. Sebetulnya aku lebih suka mandi di kamar mandi Bi Tifah yang ada di belakang rumah Tante Debby, tapi Tante Debby menyuruhku untuk mandi di kamar mandi dalam. Katanya ia malu kamar mandi Bi Tifah kotor. Aku pun menurut saja.
Memang benar mandi di kamar mandi dalam terasa nyaman. Tempatnya luas dan pastinya bersih. Ada air hangatnya pula. Cuma yang jadi masalah, kamar mandi itu hanya dipisahkan oleh tirai plastik dengan toilet. Dan toilet itu tak berpintu. Aku bisa mendengar gemercik air kran wastafel dengan jelas yang artinya ada orang sedang mencuci tangan di situ. Dan orang itu, siapa lagi kalau bukan Tante Debby. Hal itu membuat aku berdebar-debar.
Hari kedua ledeng di rumah kontrakan kakakku diperbaiki, aku pulang agak malam karena usai kuliah mampir dulu ke rumah untuk minta tambahan uang saku ke mama, setelah itu bermain futsal. Aku lupa kalau ledengnya masih bermasalah. Kalau ingat, aku pasti mandi dulu di rumah orang tuaku selesai futsal. Sampai di rumah kontrakan, bi Tifah mendatangiku dan menyampaikan pesan dari Tante Debby agar aku tak usah sungkan kalau mau mandi. Rupanya ia mendengar deru motorku saat aku datang. Tawaran yang sudah kutunggu-tunggu tentunya, karena seharian kuliah dan sorenya bermain futsal membuat badan terasa lengket karena keringat.
Selesai mandi, Tante Debby memintaku menemaninya makan malam. Aku berbasa-basi menolak dan untungnya ia memaksa, sehingga aku bisa menghemat uang saku, hehehe … Sambil makan aku dan Tante Debby ngobrol banyak hal, kecuali satu. Ia tak pernah sedikitpun cerita tentang suaminya. Di dinding rumahnya terpampang beberapa foto Tante Debby dan seorang lelaki setengah baya yang aku yakin suaminya, tapi Tante Debby tak pernah menyinggung sama sekali. Obrolan kami lanjutkan sambil nonton TV dan setelah itu aku pamit kembali ke rumah kontrakan. Sebelum pamit aku minta ijin untuk numpang mandi pagi-pagi karena ada acara di kampus.
Sekitar jam 5 pagi keesokan harinya, seperti biasa aku lewat pintu belakang nyelonong ke halaman belakang rumah Tante Debby. Aku berbasa-basi pada bi Tifah yang sedang mencuci baju di depan kamar mandinya. Ketika melewati kamar Tante Debby, kupikir ia sudah bangun karena pintunya terbuka lebar. Aku bermaksud melongok untuk sekedap permisi padanya. Tapi begitu mataku menatap ke dalam kamar, akuterkesiap. Rumor yang beredar selama ini ternyata benar. Tampak olehku Tante Debby tidur setengah telungkup di tempat tidurnya tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Sejenak aku terpaku di tempatku melihat pemandangan menggiurkan itu, tapi buru-buru aku berlalu dan masuk ke kamar mandi. Jantungku berdegup kencang membayangkan tubuh mulus Tante Debby, apalagi di kamar mandi ada celana dalam Tante Debby berwarna putih tergantung di gantungan baju. Otomatis organ sensitifku menegang. Tanpa pikir panjang kuambil celana dalam itu, kuciumi sambil melakukan onani. Setelah itu kuguyur tubuhku dengan air, melanjutkan mandi.
Selesai mandi, saat sedang membasuh tubuhku dengan handuk, tiba-tiba terdengar suara gemercik air di wastafel, lalu suara orang gosok gigi. Rupanya Tante Debby sudah bangun. Mungkin ia terbangun mendengar debur air di kamar mandi. Ketika kusibak tirai plastik dan bermaksud keluar kamar mandi, aku kembali terpana. Mulutku terkunci, padahal tadinya aku mau bilang selamat pagi padanya. Kulihat Tante Debby sedang berkumur-kumur menghadap ke cermin. Ia mengenakan kamerjas (baju tidur model kimono) hitam yang amat sangat tipis, hingga aku bisa melihat dengan jelas kalau ia tak memakai apa-apa di balik kamerjasnya itu. Tante Debby tersenyum sambil meletakkan gelas di wastafel lalu menatapku melalui cermin. Aku merasakan tubuhku gemetar. Aku makin gugup ketika ia berbalik dan mendekatiku. Ia ambil gayung berisi perlengkapan mandiku, meletakkannya di wastafel, lalu tiba-tiba menciumku.
Pagutan Tante Debby makin gencar yang membuat gairah mudaku menggelegak. Kubalas ciumannya dengan tak kalah panasnya sambil kugerayangi sekujur tubuhnya. Tante Debby pun tak mau kalah. Tangannya bergerak cepat melepas T-shirt yang kukenakan kemudian menyusup tangannya ke balik celana pendekku dan meremas-remas organ vitalku dengan sangat bergairah. Meski begitu, kelaminku tak langsung bereaksi karena habis kuonani tadi. Sejurus kemudian Tante Debby melepaskan ciumannya dan menarikku ke dalam kamar, lalu menutup pintunya. Kembali kami saling berpagutan sebelum kemudian Tante Debby melolosi tali kamerjas tipisnya dan berbaring di tempat tidur dengan posisi menantang. Sebagai laki-laki normal, apalagi melihat organ sensitifnya yang dicukur habis, aku langsung bereaksi. Kutindih Tante Debby dan kuserang dengan ciuman gencar di bibir, leher, dan dadanya. Tante Debby menggeliat dan mendesah. Tangannya menggapai celanaku, memelorotkannya dan meremas-remas kemaluanku.
Entah mimpi apa aku semalam, mendapat “rejeki nomplok” seperti itu. Saat aku tengah asyik mencumbui kedua “bukitnya”, Tante Debby menggeser tubuhnya hingga posisi kepalaku tepat berada di depan organ vitalnya. Ia merenggangkan kedua kakinya lebar-lebar. Rupanya Tante Debby ingin aku mengerjai bagian itu. Aku yang sudah dikuasai nafsu spontan mendaratkan lidahku di situ. Sudah lama aku memimpikan melakukan itu, ingin tahu bagaimana rasa dan aromanya. Ternyata benar-benar sensasional. Kutumpahkan rasa penasaranku dengan serangan lidah yang bertubi-tubi, seolah-olah itu adalah bibir Tante Debby. Tante Debby tampak menikmati permainan lidahku. Berkali-kali ia mengerang dan sesekali memekik disertai desisan yang menambah gairahku makin meletup-letup. Sesekali tangannya meremas-remas sendiri payudaranya, seakan ingin menyempurnakan kenikmatan yang dirasakannya.
Tante Debby mengerang panjang saat kumasukkan jariku ke dalam “miliknya” yang basah sambil terus kucumbui bagian atasnya. Pinggulnya sesekali menegang, sesekali menggelinjang liar, menari-nari mengikuti irama jilatan lidah dan permainan jariku. Rasanya tak ingin aku berhenti melakukannya, hingga kemudian pinggul Tante Debby bergerak naik turun dengan cepat lalu meregang. Kedua tangannya merengkuh kuat-kuat rambutku, mengisyaratkan agar aku berhenti. Tapi aku tak peduli. Aku terus saja menjilatinya seperti bocah menjilati es krim. Pinggul Tante Debby yang tadinya meregang kembali bergoyang-goyang disertai dengan lenguhan dan rintihan yang menggelorakan nafsuku.
Saat aku sibuk dengan “es krimku”, Tante Debby menggeser tubuhnya hingga posisi kepalanya berada di bagian bawah tubuhku. Serta merta kumiringkan tubuhku agar Tante Debby bisa merenggut “senjataku” dengan mulutnya. Dalam posisi “69” seperti itu aku tak bisa bertahan lama. “Lahar panasku” menyembur saat berada dalam mulut Tante Debby. Kurasakan denyutan “milikku” dalam hisapan Tante Debby. Aku terkapar dalam sejuta kenikmatan yang untuk pertama kalinya kurasakan. Tante Debby membaringkan tubuhnya di sampingku dan memelukku.
“Jilatanmu luar biasa, Gun”, katanya setengah berbisik sambil tersenyum nakal. Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku senang bisa memuaskannya dan berharap ada kesempatan lagi di waktu berikutnya.
“Tapi yang keluar kok cuma sedikit ya?”, lanjutnya. Keintiman yang terjadi antara aku dan Tante Debby membuatku tak malu untuk berterus terang.
“Iya, Tante. Habis tadi aku lihat Tante tidur telanjang, aku jadi terangsang. Sambil mandi tadi aku onani”, jawabku sambil tersipu. Spontan Tante Debby mencubitku.
“Idih, kenapa sih kok dibuang-buang? Kenapa nggak langsung aja masuk ke kamar Tante. Tahu nggak, Tante sebetulnya sudah bangun dan waktu dengar kamu ngomong sama Tifah, langsung Tante buka pintu kamar”, ujar Tante Debby dengan wajah cemberut.
Kami masih sempat ngobrol beberapa saat sebelum aku meninggalkan Tante Debby untuk berangkat ke kampus. Tante Debby mengajakku sarapan dulu, tapi aku menolaknya karena harus buru-buru. Saat aku berpakaian, Tante Debby memberiku semacam salep dan menyuruhku untuk mengoleskannya ke “milikku” setiap kali habis mandi. “Bisa bikin tahan lama”, katanya.
Pengalamanku dengan Tante Debby pagi itu membuat hidup terasa indah. Langkahku ringan. Ada semacam rasa bangga, di mana saat orang-orang, terutama kaum laki-laki di sekitar rumah kontrakan kakakku mungkin hanya bisa membayangkan bercumbu dengan Tante Debby, aku sudah melakukannya. Dan aku juga sudah membuktikan kalau rumor yang mengatakan Tante Debby suka tidur telanjang itu benar adanya. Aku menduga, bi Tifah yang paling mungkin membocorkan hal itu. Mungkin saja ia tak sengaja cerita ke sesama pembantu yang lain dan akhirnya menyebar.
Hubungan gelapku dengan Tante Debby pun berlanjut. Malam hari, ketika aku numpang mandi di rumahnya, ia pun turut mandi bersamaku. Sebelum mandi, Tante Debby mengoleskan salep pemberiannya ke milikku.Dan setelah menunggu sekitar 15 menit, kami pun bercinta di kamar mandi. Ternyata salep itu memang mujarab. Setelah Tante Debby orgasme 3 kali dalam 3 posisi yang berbeda, baru aku “keluar”.
Hari-hari berikutnya bisa ditebak. Ibarat kata, tiada hari tanpa “bertempur” melawan Tante Debby. Dan kegiatan favoritku adalah “main bawah”, memainkan lidahku selama mungkin di “milik” Tante Debby dan menikmati erangan, desahan dan geliat pinggulnya yang begitu mengasyikkan. Hanya saja, semua yang telah dimulai, pada gilirannya, harus berakhir. Setidaknya, tidak terlalu lancar, yang diawali dengan selesainya perbaikan pipa ledeng di rumah kontrakan kakakku. Aku dan Tante Debby harus mengatur siasat agar bi Tifah tidak curiga. Kesempatanku hanya di malam hari, saat bi Tifah sudah tidur dan Tante Debby menghubungiku lewat telepon.
Gangguan kedua muncul saat Tante Debby mengatakan kalau suaminya akan datang. Di sini aku baru tahu kalau suami Tante Debby adalah seorang pejabat di kota metropolitan. Meskipun tidak secara eksplisit menceritakan hal itu, tapi bisa kusimpulkan kalau Tante Debby adalah istri kedua dari pejabat tersebut. Suami Tante Debby datang mengunjunginya paling tidak sebulan sekali. Itupun tidak datang ke rumahnya, tapi mereka ketemuan di hotel selama beberapa hari. Saat itu terjadi, aku “libur” dari “memacu adrenalin” dengan Tante Debby.
Kesempatan untuk mereguk kenikmatan bersama Tante Debby makin tertutup ketika kakakku bersama keluarganya datang dan mulai menempati rumah kontrakan itu. Artinya, sudah 1 bulan aku di situ. Mau tak mau aku harus hengkang dari situ karena tugasku selesai.
Sejak itu aku memang tak pernah bertemu Tante Debby lagi. Aku masih berharap ada kesempatan lagi untuk menikmati kebersamaan dengan Tante Debby, karena apa yang kulakukan bersamanya sangat membekas dalam ingatanku. Tapi beberapa kali aku berkunjung ke rumah kontrakan kakakku, tak pernah sekalipun bersua dengan Tante Debby. Pintu rumahnya selalu tertutup rapat seperti biasanya.
Saat ini aku sudah menikah dan punya 1 anak. Meskipun begitu, aku masih saja membayangkan bercumbu dengan Tante Debby karena istriku tidak “segarang” Tante Debby saat bercinta. Apalagi ia sering menolak jika aku ingin melakukan oral padanya. Alasannya risih dan tidak pede. Padahal aku sudah sangat keranjingan sejak pertama kali melakukannya dengan Tante Debby. (*)
Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.





