Tengah malam, aku terbangun dari tidurku. Kulihat bu Diah tampak lelap di sampingku. Kusandarkan punggungku di dinding ranjang. Pikiranku sangat kacau. Aku merasa seperti sedang berada di gang buntu dengan tembok tebal dan tinggi. Aku tak bisa melanjutkan perjalanan kecuali kudobrak dinding itu. Ya, masalah yang kuhadapi bersama bu Diah tak akan pernah ada akhirnya kecuali salah satu pihak mengalah. Dan akulah yang seharusnya mengalah. Mungkin itulah saatnya aku mengambil keputusan. Keputusan yang sangat berat, ibarat makan buah simalakama. Jika kami nekad melanjutkan hubungan, bu Diah akan terus menghadapi keluarga almarhum suaminya yang tak rela aku menjadi bagian dari keluarga mereka. Di lain pihak, jika kami akhiri, bu Diah akan kehilangan untuk kedua kalinya.
Kupandangi wajah bu Diah dalam-dalam. Begitu tenang dan damai. Tiba-tiba dadaku kurasakan sesak. Sesak oleh keharuan atas jalan hidup bu Diah yang kini penuh dengan kerikil tajam. Kata hatiku kembali berperang, antara keinginan untuk meninggalkan bu Diah atau tetap bertahan. Tanpa kusadari, mataku terasa panas, kemudian basah. Aku menangis. Menangis untuk pertama kalinya sejak kutinggalkan desaku sekian tahun lalu. Aku tak pernah menyangka akan berada dalam keadaan yang dilematis seperti itu. Di satu sisi aku tak tega meninggalkan bu Diah yang akan sendirian menghadapi masalahnya, sementara di sisi lain aku tak yakin ia yang biasa hidup berkelimpahan harta akan mampu bertahan hidup denganku yang terbatas secara ekonomi. Kubaringkan kembali tubuhku, kukecup kening bu Diah lalu kupeluk erat-erat tubuhnya. Ia beringsut dan balas memelukku.
Pagi harinya, bu Diah mengantarkan bu Hendra dengan ditemani Ita pergi ke pasar naik mobil bu Diah yang terparkir di pinggir jalan, sementara aku berdiam diri di kamar. Merenung. Lamunanku dibuyarkan oleh suara ketukan di pintu. Ternyata pak Hendra. Ia bilang, ia ingin bicara denganku. Jantungku berdegup kencang. Kuikuti pak Hendra menuju beranda belakang rumahnya. Di situ pak Hendra mengatakan, kalau yang telepon semalam adalah adik dari almarhum suami bu Diah, sebut saja namanya pak Dicky. Pak Dicky berpesan pada pak Hendra untuk memisahkan bu Diah denganku, karena mereka menduga aku telah mengguna-gunai bu Diah. Aku tentu saja kaget dan geram setengah mati mendengar tuduhan itu. Lalu kuceritakan awal mula pertemuanku dengan bu Diah hingga berujung pada pernikahan siri itu.
Yang membuatku makin geram dan sempat tak percaya, ternyata yang melaporkan hubungan bu Diah denganku adalah pak Amin. Mulanya ia merasa curiga karena bu Diah selalu meminta tolong aku untuk memperbaiki perlistrikan di rumah dan villanya. Diam-diam ia mendatangi pak Kosim di rumah bu Diah saat bu Diah tak ada di rumah. Kecurigaannya makin besar ketika suatu siang ia melihat bu Diah semobil denganku keluar dari restoran. Diam-diam ia ikuti kami hingga ke kompleks perumahan yang kutinggali dan langsung menghubungi keluarga almarhum suami bu Diah. Memang waktu itu kami makan siang di luar, lalu setelah itu aku diantar bu Diah pulang. Bu Diah tidak mampir karena ada keperluan lain.
Aku baru sadar betapa licik pak Amin. Ia gagal memperistri bu Diah dan ketika melihat kedekatanku dengan wanita yang ditaksirnya itu, timbul sakit hatinya. Aku tercenung mendengar penuturan pak Hendra. Tadinya akan kuceritakan perihal pak Amin yang diam-diam ingin menyunting bu Diah untuk jadi istri keduanya, tapi kuurungkan. Kupikir, percuma membela diri dengan cara seperti itu, karena yang jadi inti permasalahan saat itu adalah bu Diah dan aku.
Kata pak Hendra, pagi itu ia sudah menghubungi pak Dicky dan minta agar seluruh keluarga besar almarhum pak Tyo untuk menerima siapapun yang jadi pendamping hidup bu Diah, tapi mereka bersikeras menolak. Atas dasar itu pak Hendra kemudian menyarankan agar “menghilang” sementara sampai semuanya reda. Dengan tegas kukatakan kalau aku akan tetap bersama bu Diah menghadapi permasalahan itu. Aku tak akan membiarkannya sendirian memperjuangkan haknya sebagai wanita yang bebas mencintai siapapun tanpa memandang status dan latar belakang kehidupan orang yang dicintainya. Beberapa kali kukatakan pada pak Hendra kalau aku sama sekali tak menginginkan harta bu Diah. Aku sudah punya pekerjaan dan meskipun gajinya kecil tapi cukup untuk hidup kami berdua.
Setelah tak ada lagi yang diperbincangkan, aku keluar rumah untuk menghirup udara segar. Kekalutan pikiranku membuat hasrat merokokku kembali timbul. Kudatangi toko kecil tak jauh dari rumah pak Hendra. Saat menyalakan rokok kulihat sebuah taksi berhenti di depan rumah pak Hendra, lalu bu Hendra dan Ita keluar dari dalam taksi. Perasaanku tiba-tiba saja tak enak melihat itu. Tadi berangkat diantar bu Diah, tapi kok pulang naik taksi tanpa bu Diah, tanyaku dalam hati. Bergegas kususul bu Hendra ke dalam rumah. Di ruang tamu bu Hendra dan pak Hendra sedang berbincang serius. Tanpa basa-basi kucecar bu Hendra dengan pertanyaan seputar keberadaan bu Diah.
Dengan bibir gemetar bu Hendra cerita kalau bu Diah dijemput beberapa kerabat pak Tyo di pasar. Kemungkinan mereka telah menunggu sejak dari rumah pak Hendra dan mengikuti hingga ke pasar. Kata bu Hendra, bu Diah menolak ajakan kerabat suaminya untuk kembali ke Bandung, tapi mereka mengancam akan mengadukanku ke polisi atas tuduhan menculik bu Diah. Darahku mendidih mendengar penuturan bu Hendra. Dengan ditemani Ita naik motor miliknya, aku ngebut menuju pasar. Tapi mereka sudah pasti tak ada di sana. Aku marah dan bingung tak tahu harus berbuat apa. Kuminta Ita untuk mengantarku ke terminal bus menuju Bandung, tapi Ita keberatan. Ia menyarankan lebih baik dibicarakan dulu dengan papanya (pak Hendra).
Pak Hendra melarangku untuk menyusul ke Bandung karena khawatir keadaan akan memanas dan berakibat pecahnya hubungan kekeluargaan antara keluarga besar pak Hendra dengan keluarga besar almarhum pak Tyo. Sekali lagi pak Hendra berjanji akan membantu menyelesaikan masalahku, dengan catatan aku harus “menghilang” dulu. Aku bersikeras untuk pergi ke Bandung saat itu, tapi hal itu justru memancing emosi pak Hendra. Nada bicaranya meninggi. Ia menyebutku sebagai orang bodoh yang tak tahu diri karena tindakanku akan merusak hubungan baik yang telah terjalin lama dengan pihak keluarga pak Tyo. Pak Hendra bahkan mengancamku, jika aku nekad menyusul bu Diah ke Bandung, ia tak akan mau lagi membantu. Dan sebaliknya, ia akan berpihak pada keluarga pak Tyo untuk melawanku.
Pikiranku benar-benar kalut menghadapi perkembangan yang tak terduga itu. Separuh jiwaku terasa hilang. Aku yang semula terbakar amarah, tiba-tiba saja lunglai tak berdaya. Kutinggalkan ruang tamu menuju kamar. Kukemasi barang-barangku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain pergi dari situ. Saat berpamitan kepada pak Hendra sekeluarga, pak Hendra lagi-lagi berpesan agar aku tak coba-coba pergi ke Bandung. Aku mengiyakan dan balik berpesan agar menjaga bu Diah baik-baik serta berjanji akan kembali untuknya. Setelah itu Ita mengantarku ke terminal.
Di terminal aku kebingungan, karena tak punya tujuan jelas hendak ke mana. Aku singgah di warung untuk ngopi dan merokok sambil memikirkan tujuanku. Belum lagi kopiku habis, kuputuskan untuk pergi ke Jogja menenangkan diri. Di sana ada salah satu kerabatku yang bisa kusinggahi.
Dalam perjalanan, aku tak dapat menahan keharuanku saat memikirkan bu Diah. Tanpa sadar, air mataku menitik. Aku telah mengalami banyak hal sejak meninggalkan desaku. Menggelandang, berkelahi dengan preman yang memalakku, ditabrak sepeda motor hingga harus dirawat di rumah sakit selama 4 hari, dan diselingkuhi pacar, semua itu kuhadapi dengan tegar. Tapi sejak mengenal bu Diah, aku telah menangis dua kali. Buru-buru kuhapus air mataku saat kulihat bocah kecil di pangkuan ibunya yang duduk di sampingku memandangiku terus.
Sampai di Jogja segera kudatangi alamat kerabatku, sebut saja namanya Tino. Ia mencari nafkah dengan berdagang alat-alat rumah tangga di pasar Beringharjo. Ia sudah menikah dan dikaruniai 4 anak. Kepada Tino kukatakan kalau aku sedang mencari pekerjaan. Di rumah Tino aku tidur di ruang tamu, karena rumahnya kecil. Sebagai tanda terima kasihku yang telah diberi tumpangan tidur, aku ikut membantunya menjaga kios di pasar, sekaligus untuk menghibur diriku sendiri yang merasa kesepian.
Hari ketiga aku tinggal di kota gudeg, Tino memberitahu kalau ada salah satu sahabatnya yang tinggal di Lampung jadi pengusaha sukses. Berbekal alamat pemberian Tino aku berangkat menuju Lampung. Sayangnya, tak ada posisi yang cocok dengan ketrampilan yang kumiliki. Semuanya sudah terisi. Tapi sahabat Tino tak serta merta membiarkanku kecewa. Ia berikan alamat salah satu saudaranya yang menjadi kepala bagian HRD di sebuah distributor komputer di Palembang.
Ternyata memang benar. Setelah melalui wawancara dan tes ketrampilan, aku diterima sebagai teknisi. Gajinya lumayan besar. Begitu juga dengan uang saku jika ada tugas keluar kota untuk melakukan maintenance di kantor pelanggan. Kusisihkan sebagian penghasilanku untuk kutabung. Aku mensyukuri betul anugerah itu. Aku yakin semua itu berkat doa-doa yang kupanjatkan usai sholat seperti yang diajarkan bu Diah. Aku juga tak berhenti belajar mengikuti perkembangan teknologi komputer yang begitu pesat.
Berkat kegigihanku, dalam waktu 2 tahun aku diangkat menjadi supervisor. Setahun kemudian, aku mengambil cuti untuk pergi ke Bekasi menemui pak Hendra. Aku ingin menepati janjiku sekaligus mencari informasi tentang bu Diah. Ternyata pak Hendra sudah meninggal beberapa bulan sejak aku pergi dari Bekasi, sementara Ita sudah menikah dan tetap tinggal di sana bersama suaminya. Ketika aku datang, bu Hendra dan Ita bersama bayinya yang menemuiku.
Aku merasakan ada sesuatu yang tidak mereka ceritakan tentang bu Diah padaku. Mereka hanya mengatakan kalau bu Diah baik-baik saja. Hubungan baiknya dengan pihak keluarga pak Tyo pun sudah pulih. Ketika kuutarakan keinginanku untuk bertemu bu Diah, bu Hendra tampak gugup menjawab. Katanya bu Diah sudah tidak tinggal di Bandung lagi, tapi tak menyebutkan pastinya di mana. Aku yang tak puas dengan jawabannya yang kunilai “mbulet” (berbelit-belit) mendesaknya. Tapi bu Hendra hanya diam membisu lalu matanya basah oleh air mata. Ita menengahi pembicaraan kami dan meminta ibunya untuk istirahat.
Dari Ita kuperoleh jawaban yang membuatku sangat kaget. Ternyata, ketika tahu aku tak lagi ada di Bekasi dan “menghilang”, kerabat pak Tyo membalikkan fakta dengan mengatakan kepada bu Diah kalau aku pergi tanpa pamit kepada pak Hendra sekeluarga. Mereka menyebutku sebagai laki-laki pengecut dan tak bertanggung jawab. Untuk menyempurnakan skenario itu, mereka memaksa agar keluarga pak Hendra membenarkan hal itu jika bu Diah bertanya kepada mereka. Dengan pertimbangan untuk menjaga hubungan baik, pak Hendra sekeluarga terpaksa memenuhi permintaan mereka.
Ita menangis saat menceritakan itu semua. Ia minta maaf padaku karena ia juga menjadi bagian dari skenario itu. Untuk menebus rasa bersalahnya ia katakan satu rahasia yang seharusnya tidak boleh dikatakan padaku. Ternyata, bu Diah dalam keadaan hamil saat itu! Untuk menjaga nama baik keluarga besarnya, bu Diah pindah ke Amerika mengikuti anak tirinya. Ia melahirkan di sana.
Aku terpana, tak percaya pada apa yang dikatakan Ita. Meskipun kemudian ia menunjukkan foto kepada, aku tetap saja tak percaya. Di foto itu tampak seorang wanita berjilbab bersama seorang bocah berusia sekitar tiga tahun. Kupandangi lekat-lekat foto itu. Wanita itu memang benar bu Diah, tapi bocah itu, benarkah anakku? Benarkah ia darah dagingku, buah cintaku dengan bu Diah?
Ita mengangguk pelan ketika kutanyakan apakah itu anakku. Kata Ita, namanya Ryan (bukan nama sebenarnya).
Jemariku gemetar, mataku terasa berkunang-kunang. Ada rasa bahagia menyeruak di relung hatiku, tapi sekaligus kalut. Kalut karena Ita tak mau memberi nomor telepon bu Diah. Ia dan seluruh keluarga besarnya telah berkomitmen untuk tidak mengganggu hidup bu Diah. Dan kehadiranku setelah sekian lama menghilang termasuk dalam kategori gangguan itu. Ita bersikeras pada pendiriannya yang membuatku nyaris hilang akal. Akhirnya kuberikan nomor telepon dan alamat rumahku padanya, berharap ia memberikannya pada bu Diah jika suatu saat menelepon atau kembali ke Indonesia. Foto itu pun kuminta sebagai pengobat rindu.
Sekujur tubuhku serasa tak bertulang saat meninggalkan rumah pak Hendra. Di dalam taksi otakku berputar-putar, hingga kuputuskan untuk langsung meluncur ke Bandung guna memastikan kebenaran cerita Ita.
Sampai di Bandung langsung kutuju rumah bu Diah. Lengang seperti biasa. Pak Kosim yang muncul membukakan pintu pagar masih mengingatku. Dan jawabannya sama dengan cerita Ita. Bu Diah pindah ke Amerika. Lagi-lagi aku lemas. Kuperintahkan sopir taksi menuju alamat di mana aku tinggal di rumah bu Diah yang satunya. Kompleks perumahan yang dulu sepi karena masih jarang penghuninya, saat itu sudah tampak ramai. Di depan rumah yang kutuju, kulihat sebuah mobil yang kuyakini bukan mobil bu Diah terparkir di halaman. Rasa penasaran yang mengusikku membuatku nekad turun dari taksi dan membunyikan bel yang ada di tembok samping pagar. Seorang wanita muda yang kuduga sebagai pembantu rumah tangga keluar menyambutku. Menurut penjelasannya, rumah itu dikontrak oleh keluarga dari Surabaya sejak 3 tahun silam. Akupun masuk ke dalam taksi.
Dalam kegalauan, kusuruh sopir taksi mengikuti arah jalan yang kutunjukkan. Aku ingin napak tilas kenanganku bersama bu Diah, seperti melewati depan hotel tempat kami berbulan madu, pertokoan di mana aku pernah diminta menemaninya belanja, hingga restoran favoritnya. Setelah itu aku ke bandara.
Sesampai di Palembang, foto bu Diah dan Ryan kuperbesar lalu kuberi pigura dan kupasang di dinding kamar rumah kontrakanku. Sulit rasanya mempercayai kalau aku punya seorang anak. Jika kuamati, anak itu mirip denganku. Rambutnya ikal, sementara kulitnya putih seperti bu Diah.
Hampir tiap satu minggu sekali aku menelepon Ita, menanyakan kalau-kalau bu Diah menghubunginya. Jawabannya selalu mengecewakanku. Apalagi setiap kali kudesak untuk memberitahu nomor telepon bu Diah di Amerika, Ita bungkam. Menurut dugaanku, bu Diah pastilah sesekali meneleponnya, tapi aku yakin kedatanganku ke Bekasi tak pernah diberitahukan kepada bu Diah.
Setiap hari aku berharap bu Diah meneleponku, tapi harapanku tinggal harapan. Hingga suatu ketika, belum genap 2 tahun aku menjadi supervisor, perusahaan memindahtugaskanku ke kantor cabangnya di Magelang yang dijadikan basis pemasaran untuk wilayah Jawa Tengah. Jabatanku pun naik jadi Asisten Manager Teknik. Sebuah rumah dan mobil disediakan untuk menunjang jabatanku. Aku senang, tapi juga sedih karena tak bu Diah dan Ryan. Seharusnya semua itu kupersembahkan padanya, dan anakku yang tak pernah kukenal.
Dorongan untuk bisa bertemu, atau setidaknya berkomunikasi dengan bu Diah dan anak kami, demikian kuatnya, hingga ketika boyongan ke Magelang kusempatkan mampir lagi ke Bekasi. Kepada Ita kuceritakan semua hasil jerih payahku yang kuharap bisa meluluhkan hatinya sehingga mau menghubungkanku dengan bu Diah. Sayangnya ia tetap saja bungkam. Aku berusaha sekuat tenaga meyakinkan Ita bahwa aku sangat mencintai bu Diah dan sangat ingin bicara sekali saja dengan dia dan anak kami, tapi Ita bergeming. Ia takut kehadiranku kembali dalam kehidupan bu Diah justru akan merusak kebahagiaannya. Lebih jauh Ita mengatakan, kalau dulu bu Diah sudah bersumpah tidak ingin bertemu denganku lagi karena meninggalkannya dalam keadaan hamil.
Aku benar-benar kehabisan kata-kata untuk memaksa Ita memberi nomor telepon bu Diah. Bahkan ketika kutanyakan apa bu Diah mengirimkan foto anak kami lagi, Ita menggeleng. Aku tahu ia berbohong, tapi aku tak bisa memaksanya. Aku sudah kehabisan akal. Seluruh keluarga besar bu Diah pun tampaknya tak akan pernah merestui hubunganku dengan bu Diah. Mereka lebih memilih mempertahankan hubungan baik dengan keluarga besar pak Tyo daripada menerima masuk menjadi anggota keluarga.
Pupus sudah harapanku.
Hari-hariku di Magelang kujalani dengan perasaan hampa. Rasanya semua yang kuraih ini tak ada artinya. Hal ini membuatku nyaris kehilangan semangat bekerja. Apalagi rumah dinas yang kutempati berdekatan dengan sekolah taman kanak-kanak (TK). Hatiku bagai tertusuk sembilu setiap melihat bocah-bocah lucu sedang bermain-main di halaman sekolah tiap aku berangkat kerja. Ryan pastilah sudah seusia mereka saat ini.
Pernah suatu ketika, aku berhenti di depan sekolah, memarkir mobilku, lalu turun dan berdiri di sisi luar pagar sekolah hanya untuk menyaksikan anak-anak itu berceloteh dan berlarian ke sana kemari, sementara para ibu muda pengantar mereka sibuk berbincang-bincang di bangku panjang yang disediakan di halaman sekolah. Mungkin tampangku seperti orang linglung saat itu, diam mematung mengamati mereka. Pedih sekali rasanya hatiku. Kubayangkan, bu Diah ada di antara ibu-ibu itu sementara Ryan bermain-main dengan teman-temannya.
Ternyata Tuhan tak membiarkanku terpuruk dalam kesepian yang berkepanjangan.
Biasanya aku pulang kantor di atas jam 7 malam, tapi petang itu aku pulang jam 6 karena tak enak badan. Aku baru saja turun dari mobil untuk membuka pagar rumah ketika kudengar jeritan beberapa anak kecil berbaju muslim yang tadi kulewati. Mungkin mereka pulang mengaji. Saat kutengok, ada sebuah sepeda motor terguling di dekat mereka. Sebuah tangisan pecah. Segera kuhampiri mereka. Kulihat seorang anak terduduk menangis di keliling teman-temannya, sementara gadis berseragam SMA pengendara sepeda motor tergopoh-gopoh menegakkan kembali motornya.
Kata gadis itu, motornya tiba-tiba oleh karena melindas batu lalu jatuh hingga menabrak bocah yang terduduk itu. Bocah yang menangis itu, yang kemudian kuketahui bernama Rangga (nama samaran), kugendong dan kubawa ke rumahku diikuti 4 temannya, sementara gadis SMA itu melanjutkan perjalanannya. Setelah kuperiksa, tak ada satupun luka lecet di tubuhnya. Ia hanya shock. Kuambilkan mereka beberapa gelas air mineral sementara aku buru-buru sholat Maghrib karena waktunya sudah hampir habis.
Usai sholat, kutanyakan alamat rumah mereka dan kutawari untuk kuantarkan. Ternyata mereka tinggal di kompleks perumahan tak jauh dari rumahku. Satu per satu kuserahkan anak-anak polos itu kepada orang tua mereka sambil menceritakan kejadian yang menimpa mereka. Karena rumahnya yang paling jauh, Rangga dapat giliran kuantar terakhir.
Seorang wanita muda berjilbab (sebut saja namanya Ratna) terlihat panik begitu ia membuka pintu rumahnya dan langsung dipeluk oleh Rangga. Seorang bocah kecil yang kuduga adik Rangga turut keluar menyambut kami. Seperti sebelumnya, kuceritakan padanya insiden kecil yang terjadi pada Rangga. Ia berbasa-basi menawariku untuk singgah, tapi kutolak dengan halus karena aku sedang tak enak badan.
Beberapa hari kemudian, ketika itu hari Sabtu sisi sentimentilku kambuh. Untuk mengisi waktu senggangku, aku berjalan kaki menuju sekolah TK demi mengobati kerinduanku pada bu Diah dan Ryan. Begitu sampai sekolah, tak ada satupun bocah yang bermain-main di halaman. Hanya ibu-ibu muda yang tengah bercengkerama. Tampaknya pelajaran sedang berlangsung.
Aku mencari tempat yang teduh dekat pedagang teh botol. Letaknya tak begitu jauh dari tempat ibu-ibu menunggu. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada salah seorang ibu muda berjilbab. Ibunya Rangga. Kebetulan saat itu ia juga melihatku. Ia segera berdiri mendekat pagar sekolah. Aku yang sebenarnya enggan berkomunikasi dan ingin memuaskan lamunanku, mau tak mau mendekat ke pagar untuk menemui wanita bernama Ratna itu.
Aku tergagap ketika ia tanya apakah anakku sekolah di situ juga. Aku tak punya jawaban lain selain mengatakan kalau aku hanya berteduh di situ setelah jalan-jalan mengisi libur Sabtu. Ratna yang saat itu menunggui adik Rangga, sebut saja namanya Rika, kemudian keluar dari halaman sekolah dan menemaniku. Kelihatan sekali kalau ia merasa berhutang budi padaku dengan sikapnya yang ramah. Kami pun kemudian ngobrol. Ratna ternyata wanita yang supel dan enak diajak ngobrol. Aku merasa terhibur olehnya. Obrolan kami terputus ketika terdengar bel tanda istirahat murid-murid TK. Ratna pamit padaku untuk masuk kembali ke halaman sekolah.
Sabtu berikutnya aku kembali bertemu Ratna. Pada pertemuan itu aku mulai terbuka padanya ketika ia menanyakan kenapa aku suka sekali berada di situ, padahal tidak sedang menunggui anak sekolah. Kuceritakan dengan terus terang kalau hubunganku dengan istriku tidak mendapat restu dari keluarganya dan memisahkan kami. Kukatakan juga kalau aku ke situ karena ingin melihat anak-anak yang sebaya dengan anakku. Ratna tampak trenyuh mendengar penuturanku. Hal itu tampaknya membuat ia terpancing untuk membuka diri. Ia cerita kalau telah bercerai 2 tahun lalu karena suaminya kecantol teman sekantornya. Mulanya mereka menikah diam-diam dan terbongkar atas laporan dari teman kantor mereka sendiri. Suaminya tetap bekerja di situ, tapi istri barunya harus keluar. Setelah bercerai Ratna pindah ke rumah orang tuanya di kompleks perumahan itu. Ia tinggal bersama ibunya, karena ayahnya sudah meninggal.
Kesamaan latar belakang itulah yang kemudian mendekatkanku pada Ratna. Kehadirannya dalam hidupku mampu mengusir rasa hampa yang selama ini menyelimutiku. Usia Ratna yang 30 tahun terbilang muda jika dibandingkan denganku, tapi sikapnya yang dewasa membuatku terpikat. Terlebih ibadahnya juga rajin.
Tak sampai 6 bulan aku memantapkan diri menikahinya karena iapun menyimpan rasa cinta padaku. Kuminta orang tuaku di kampung untuk datang melamar Ratna.
Tiga bulan kemudian kami menikah. Foto bu Diah dan Ryan kubungkus rapat dengan plastik dan kusimpan di gudang, kuganti dengan foto pernikahanku dengan Ratna. Aku bukan bermaksud menyingkirkan bu Diah dan Ryan dari hidupku. Aku hanya mencoba bersikap realistis. Aku punya kehidupan baru yang harus kujalani. Aku juga ingin menghormati Ratna beserta keluarganya. Aku ingin menjadi imam yang baik buat dia dan anak-anaknya yang kini jadi anak-anakku.
Meski begitu, jauh di lubuk hatiku aku tetap tak akan melupakan bu Diah, terutama budi baiknya dalam membekaliku dengan ilmu dunia dan akherat yang membuatku berhasil hingga saat ini. Aku tak pernah lupa mendoakan keselamatan, kesehatan dan kebahagiaan untuknya dan Ryan.
Satu pelajaran yang dapat kupetik dari bu Diah: di satu sisi, kekuatan cinta antara aku dengannya mampu menyatukan kami yang berbeda status, di sisi lain, kekuatan cinta keluarganya jugalah yang akhirnya memisahkan kami, juga karena perbedaan status.
Sekarang (ketika kisah ini diungkapkan), anakku bertambah satu buah pernikahanku dengan Ratna. Rangga dan Rika senang sekali menyambut adik baru mereka, seorang bayi laki-laki yang kami beri nama …. Ryan. (*)
Seperti diceritakan ybs kepada Tim JBSs. Curhat ini telah melalui proses dramatisasi di beberapa kejadian untuk menjaga kesinambungan alur cerita tanpa merubah substansinya.
Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»
Kupandangi wajah bu Diah dalam-dalam. Begitu tenang dan damai. Tiba-tiba dadaku kurasakan sesak. Sesak oleh keharuan atas jalan hidup bu Diah yang kini penuh dengan kerikil tajam. Kata hatiku kembali berperang, antara keinginan untuk meninggalkan bu Diah atau tetap bertahan. Tanpa kusadari, mataku terasa panas, kemudian basah. Aku menangis. Menangis untuk pertama kalinya sejak kutinggalkan desaku sekian tahun lalu. Aku tak pernah menyangka akan berada dalam keadaan yang dilematis seperti itu. Di satu sisi aku tak tega meninggalkan bu Diah yang akan sendirian menghadapi masalahnya, sementara di sisi lain aku tak yakin ia yang biasa hidup berkelimpahan harta akan mampu bertahan hidup denganku yang terbatas secara ekonomi. Kubaringkan kembali tubuhku, kukecup kening bu Diah lalu kupeluk erat-erat tubuhnya. Ia beringsut dan balas memelukku.
Pagi harinya, bu Diah mengantarkan bu Hendra dengan ditemani Ita pergi ke pasar naik mobil bu Diah yang terparkir di pinggir jalan, sementara aku berdiam diri di kamar. Merenung. Lamunanku dibuyarkan oleh suara ketukan di pintu. Ternyata pak Hendra. Ia bilang, ia ingin bicara denganku. Jantungku berdegup kencang. Kuikuti pak Hendra menuju beranda belakang rumahnya. Di situ pak Hendra mengatakan, kalau yang telepon semalam adalah adik dari almarhum suami bu Diah, sebut saja namanya pak Dicky. Pak Dicky berpesan pada pak Hendra untuk memisahkan bu Diah denganku, karena mereka menduga aku telah mengguna-gunai bu Diah. Aku tentu saja kaget dan geram setengah mati mendengar tuduhan itu. Lalu kuceritakan awal mula pertemuanku dengan bu Diah hingga berujung pada pernikahan siri itu.
Yang membuatku makin geram dan sempat tak percaya, ternyata yang melaporkan hubungan bu Diah denganku adalah pak Amin. Mulanya ia merasa curiga karena bu Diah selalu meminta tolong aku untuk memperbaiki perlistrikan di rumah dan villanya. Diam-diam ia mendatangi pak Kosim di rumah bu Diah saat bu Diah tak ada di rumah. Kecurigaannya makin besar ketika suatu siang ia melihat bu Diah semobil denganku keluar dari restoran. Diam-diam ia ikuti kami hingga ke kompleks perumahan yang kutinggali dan langsung menghubungi keluarga almarhum suami bu Diah. Memang waktu itu kami makan siang di luar, lalu setelah itu aku diantar bu Diah pulang. Bu Diah tidak mampir karena ada keperluan lain.
Aku baru sadar betapa licik pak Amin. Ia gagal memperistri bu Diah dan ketika melihat kedekatanku dengan wanita yang ditaksirnya itu, timbul sakit hatinya. Aku tercenung mendengar penuturan pak Hendra. Tadinya akan kuceritakan perihal pak Amin yang diam-diam ingin menyunting bu Diah untuk jadi istri keduanya, tapi kuurungkan. Kupikir, percuma membela diri dengan cara seperti itu, karena yang jadi inti permasalahan saat itu adalah bu Diah dan aku.
Kata pak Hendra, pagi itu ia sudah menghubungi pak Dicky dan minta agar seluruh keluarga besar almarhum pak Tyo untuk menerima siapapun yang jadi pendamping hidup bu Diah, tapi mereka bersikeras menolak. Atas dasar itu pak Hendra kemudian menyarankan agar “menghilang” sementara sampai semuanya reda. Dengan tegas kukatakan kalau aku akan tetap bersama bu Diah menghadapi permasalahan itu. Aku tak akan membiarkannya sendirian memperjuangkan haknya sebagai wanita yang bebas mencintai siapapun tanpa memandang status dan latar belakang kehidupan orang yang dicintainya. Beberapa kali kukatakan pada pak Hendra kalau aku sama sekali tak menginginkan harta bu Diah. Aku sudah punya pekerjaan dan meskipun gajinya kecil tapi cukup untuk hidup kami berdua.
Setelah tak ada lagi yang diperbincangkan, aku keluar rumah untuk menghirup udara segar. Kekalutan pikiranku membuat hasrat merokokku kembali timbul. Kudatangi toko kecil tak jauh dari rumah pak Hendra. Saat menyalakan rokok kulihat sebuah taksi berhenti di depan rumah pak Hendra, lalu bu Hendra dan Ita keluar dari dalam taksi. Perasaanku tiba-tiba saja tak enak melihat itu. Tadi berangkat diantar bu Diah, tapi kok pulang naik taksi tanpa bu Diah, tanyaku dalam hati. Bergegas kususul bu Hendra ke dalam rumah. Di ruang tamu bu Hendra dan pak Hendra sedang berbincang serius. Tanpa basa-basi kucecar bu Hendra dengan pertanyaan seputar keberadaan bu Diah.
Dengan bibir gemetar bu Hendra cerita kalau bu Diah dijemput beberapa kerabat pak Tyo di pasar. Kemungkinan mereka telah menunggu sejak dari rumah pak Hendra dan mengikuti hingga ke pasar. Kata bu Hendra, bu Diah menolak ajakan kerabat suaminya untuk kembali ke Bandung, tapi mereka mengancam akan mengadukanku ke polisi atas tuduhan menculik bu Diah. Darahku mendidih mendengar penuturan bu Hendra. Dengan ditemani Ita naik motor miliknya, aku ngebut menuju pasar. Tapi mereka sudah pasti tak ada di sana. Aku marah dan bingung tak tahu harus berbuat apa. Kuminta Ita untuk mengantarku ke terminal bus menuju Bandung, tapi Ita keberatan. Ia menyarankan lebih baik dibicarakan dulu dengan papanya (pak Hendra).
Pak Hendra melarangku untuk menyusul ke Bandung karena khawatir keadaan akan memanas dan berakibat pecahnya hubungan kekeluargaan antara keluarga besar pak Hendra dengan keluarga besar almarhum pak Tyo. Sekali lagi pak Hendra berjanji akan membantu menyelesaikan masalahku, dengan catatan aku harus “menghilang” dulu. Aku bersikeras untuk pergi ke Bandung saat itu, tapi hal itu justru memancing emosi pak Hendra. Nada bicaranya meninggi. Ia menyebutku sebagai orang bodoh yang tak tahu diri karena tindakanku akan merusak hubungan baik yang telah terjalin lama dengan pihak keluarga pak Tyo. Pak Hendra bahkan mengancamku, jika aku nekad menyusul bu Diah ke Bandung, ia tak akan mau lagi membantu. Dan sebaliknya, ia akan berpihak pada keluarga pak Tyo untuk melawanku.
Pikiranku benar-benar kalut menghadapi perkembangan yang tak terduga itu. Separuh jiwaku terasa hilang. Aku yang semula terbakar amarah, tiba-tiba saja lunglai tak berdaya. Kutinggalkan ruang tamu menuju kamar. Kukemasi barang-barangku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain pergi dari situ. Saat berpamitan kepada pak Hendra sekeluarga, pak Hendra lagi-lagi berpesan agar aku tak coba-coba pergi ke Bandung. Aku mengiyakan dan balik berpesan agar menjaga bu Diah baik-baik serta berjanji akan kembali untuknya. Setelah itu Ita mengantarku ke terminal.
Di terminal aku kebingungan, karena tak punya tujuan jelas hendak ke mana. Aku singgah di warung untuk ngopi dan merokok sambil memikirkan tujuanku. Belum lagi kopiku habis, kuputuskan untuk pergi ke Jogja menenangkan diri. Di sana ada salah satu kerabatku yang bisa kusinggahi.
Dalam perjalanan, aku tak dapat menahan keharuanku saat memikirkan bu Diah. Tanpa sadar, air mataku menitik. Aku telah mengalami banyak hal sejak meninggalkan desaku. Menggelandang, berkelahi dengan preman yang memalakku, ditabrak sepeda motor hingga harus dirawat di rumah sakit selama 4 hari, dan diselingkuhi pacar, semua itu kuhadapi dengan tegar. Tapi sejak mengenal bu Diah, aku telah menangis dua kali. Buru-buru kuhapus air mataku saat kulihat bocah kecil di pangkuan ibunya yang duduk di sampingku memandangiku terus.
Sampai di Jogja segera kudatangi alamat kerabatku, sebut saja namanya Tino. Ia mencari nafkah dengan berdagang alat-alat rumah tangga di pasar Beringharjo. Ia sudah menikah dan dikaruniai 4 anak. Kepada Tino kukatakan kalau aku sedang mencari pekerjaan. Di rumah Tino aku tidur di ruang tamu, karena rumahnya kecil. Sebagai tanda terima kasihku yang telah diberi tumpangan tidur, aku ikut membantunya menjaga kios di pasar, sekaligus untuk menghibur diriku sendiri yang merasa kesepian.
Hari ketiga aku tinggal di kota gudeg, Tino memberitahu kalau ada salah satu sahabatnya yang tinggal di Lampung jadi pengusaha sukses. Berbekal alamat pemberian Tino aku berangkat menuju Lampung. Sayangnya, tak ada posisi yang cocok dengan ketrampilan yang kumiliki. Semuanya sudah terisi. Tapi sahabat Tino tak serta merta membiarkanku kecewa. Ia berikan alamat salah satu saudaranya yang menjadi kepala bagian HRD di sebuah distributor komputer di Palembang.
Ternyata memang benar. Setelah melalui wawancara dan tes ketrampilan, aku diterima sebagai teknisi. Gajinya lumayan besar. Begitu juga dengan uang saku jika ada tugas keluar kota untuk melakukan maintenance di kantor pelanggan. Kusisihkan sebagian penghasilanku untuk kutabung. Aku mensyukuri betul anugerah itu. Aku yakin semua itu berkat doa-doa yang kupanjatkan usai sholat seperti yang diajarkan bu Diah. Aku juga tak berhenti belajar mengikuti perkembangan teknologi komputer yang begitu pesat.
Berkat kegigihanku, dalam waktu 2 tahun aku diangkat menjadi supervisor. Setahun kemudian, aku mengambil cuti untuk pergi ke Bekasi menemui pak Hendra. Aku ingin menepati janjiku sekaligus mencari informasi tentang bu Diah. Ternyata pak Hendra sudah meninggal beberapa bulan sejak aku pergi dari Bekasi, sementara Ita sudah menikah dan tetap tinggal di sana bersama suaminya. Ketika aku datang, bu Hendra dan Ita bersama bayinya yang menemuiku.
Aku merasakan ada sesuatu yang tidak mereka ceritakan tentang bu Diah padaku. Mereka hanya mengatakan kalau bu Diah baik-baik saja. Hubungan baiknya dengan pihak keluarga pak Tyo pun sudah pulih. Ketika kuutarakan keinginanku untuk bertemu bu Diah, bu Hendra tampak gugup menjawab. Katanya bu Diah sudah tidak tinggal di Bandung lagi, tapi tak menyebutkan pastinya di mana. Aku yang tak puas dengan jawabannya yang kunilai “mbulet” (berbelit-belit) mendesaknya. Tapi bu Hendra hanya diam membisu lalu matanya basah oleh air mata. Ita menengahi pembicaraan kami dan meminta ibunya untuk istirahat.
Dari Ita kuperoleh jawaban yang membuatku sangat kaget. Ternyata, ketika tahu aku tak lagi ada di Bekasi dan “menghilang”, kerabat pak Tyo membalikkan fakta dengan mengatakan kepada bu Diah kalau aku pergi tanpa pamit kepada pak Hendra sekeluarga. Mereka menyebutku sebagai laki-laki pengecut dan tak bertanggung jawab. Untuk menyempurnakan skenario itu, mereka memaksa agar keluarga pak Hendra membenarkan hal itu jika bu Diah bertanya kepada mereka. Dengan pertimbangan untuk menjaga hubungan baik, pak Hendra sekeluarga terpaksa memenuhi permintaan mereka.
Ita menangis saat menceritakan itu semua. Ia minta maaf padaku karena ia juga menjadi bagian dari skenario itu. Untuk menebus rasa bersalahnya ia katakan satu rahasia yang seharusnya tidak boleh dikatakan padaku. Ternyata, bu Diah dalam keadaan hamil saat itu! Untuk menjaga nama baik keluarga besarnya, bu Diah pindah ke Amerika mengikuti anak tirinya. Ia melahirkan di sana.
Aku terpana, tak percaya pada apa yang dikatakan Ita. Meskipun kemudian ia menunjukkan foto kepada, aku tetap saja tak percaya. Di foto itu tampak seorang wanita berjilbab bersama seorang bocah berusia sekitar tiga tahun. Kupandangi lekat-lekat foto itu. Wanita itu memang benar bu Diah, tapi bocah itu, benarkah anakku? Benarkah ia darah dagingku, buah cintaku dengan bu Diah?
Ita mengangguk pelan ketika kutanyakan apakah itu anakku. Kata Ita, namanya Ryan (bukan nama sebenarnya).
Jemariku gemetar, mataku terasa berkunang-kunang. Ada rasa bahagia menyeruak di relung hatiku, tapi sekaligus kalut. Kalut karena Ita tak mau memberi nomor telepon bu Diah. Ia dan seluruh keluarga besarnya telah berkomitmen untuk tidak mengganggu hidup bu Diah. Dan kehadiranku setelah sekian lama menghilang termasuk dalam kategori gangguan itu. Ita bersikeras pada pendiriannya yang membuatku nyaris hilang akal. Akhirnya kuberikan nomor telepon dan alamat rumahku padanya, berharap ia memberikannya pada bu Diah jika suatu saat menelepon atau kembali ke Indonesia. Foto itu pun kuminta sebagai pengobat rindu.
Sekujur tubuhku serasa tak bertulang saat meninggalkan rumah pak Hendra. Di dalam taksi otakku berputar-putar, hingga kuputuskan untuk langsung meluncur ke Bandung guna memastikan kebenaran cerita Ita.
Sampai di Bandung langsung kutuju rumah bu Diah. Lengang seperti biasa. Pak Kosim yang muncul membukakan pintu pagar masih mengingatku. Dan jawabannya sama dengan cerita Ita. Bu Diah pindah ke Amerika. Lagi-lagi aku lemas. Kuperintahkan sopir taksi menuju alamat di mana aku tinggal di rumah bu Diah yang satunya. Kompleks perumahan yang dulu sepi karena masih jarang penghuninya, saat itu sudah tampak ramai. Di depan rumah yang kutuju, kulihat sebuah mobil yang kuyakini bukan mobil bu Diah terparkir di halaman. Rasa penasaran yang mengusikku membuatku nekad turun dari taksi dan membunyikan bel yang ada di tembok samping pagar. Seorang wanita muda yang kuduga sebagai pembantu rumah tangga keluar menyambutku. Menurut penjelasannya, rumah itu dikontrak oleh keluarga dari Surabaya sejak 3 tahun silam. Akupun masuk ke dalam taksi.
Dalam kegalauan, kusuruh sopir taksi mengikuti arah jalan yang kutunjukkan. Aku ingin napak tilas kenanganku bersama bu Diah, seperti melewati depan hotel tempat kami berbulan madu, pertokoan di mana aku pernah diminta menemaninya belanja, hingga restoran favoritnya. Setelah itu aku ke bandara.
Sesampai di Palembang, foto bu Diah dan Ryan kuperbesar lalu kuberi pigura dan kupasang di dinding kamar rumah kontrakanku. Sulit rasanya mempercayai kalau aku punya seorang anak. Jika kuamati, anak itu mirip denganku. Rambutnya ikal, sementara kulitnya putih seperti bu Diah.
Hampir tiap satu minggu sekali aku menelepon Ita, menanyakan kalau-kalau bu Diah menghubunginya. Jawabannya selalu mengecewakanku. Apalagi setiap kali kudesak untuk memberitahu nomor telepon bu Diah di Amerika, Ita bungkam. Menurut dugaanku, bu Diah pastilah sesekali meneleponnya, tapi aku yakin kedatanganku ke Bekasi tak pernah diberitahukan kepada bu Diah.
Setiap hari aku berharap bu Diah meneleponku, tapi harapanku tinggal harapan. Hingga suatu ketika, belum genap 2 tahun aku menjadi supervisor, perusahaan memindahtugaskanku ke kantor cabangnya di Magelang yang dijadikan basis pemasaran untuk wilayah Jawa Tengah. Jabatanku pun naik jadi Asisten Manager Teknik. Sebuah rumah dan mobil disediakan untuk menunjang jabatanku. Aku senang, tapi juga sedih karena tak bu Diah dan Ryan. Seharusnya semua itu kupersembahkan padanya, dan anakku yang tak pernah kukenal.
Dorongan untuk bisa bertemu, atau setidaknya berkomunikasi dengan bu Diah dan anak kami, demikian kuatnya, hingga ketika boyongan ke Magelang kusempatkan mampir lagi ke Bekasi. Kepada Ita kuceritakan semua hasil jerih payahku yang kuharap bisa meluluhkan hatinya sehingga mau menghubungkanku dengan bu Diah. Sayangnya ia tetap saja bungkam. Aku berusaha sekuat tenaga meyakinkan Ita bahwa aku sangat mencintai bu Diah dan sangat ingin bicara sekali saja dengan dia dan anak kami, tapi Ita bergeming. Ia takut kehadiranku kembali dalam kehidupan bu Diah justru akan merusak kebahagiaannya. Lebih jauh Ita mengatakan, kalau dulu bu Diah sudah bersumpah tidak ingin bertemu denganku lagi karena meninggalkannya dalam keadaan hamil.
Aku benar-benar kehabisan kata-kata untuk memaksa Ita memberi nomor telepon bu Diah. Bahkan ketika kutanyakan apa bu Diah mengirimkan foto anak kami lagi, Ita menggeleng. Aku tahu ia berbohong, tapi aku tak bisa memaksanya. Aku sudah kehabisan akal. Seluruh keluarga besar bu Diah pun tampaknya tak akan pernah merestui hubunganku dengan bu Diah. Mereka lebih memilih mempertahankan hubungan baik dengan keluarga besar pak Tyo daripada menerima masuk menjadi anggota keluarga.
Pupus sudah harapanku.
Hari-hariku di Magelang kujalani dengan perasaan hampa. Rasanya semua yang kuraih ini tak ada artinya. Hal ini membuatku nyaris kehilangan semangat bekerja. Apalagi rumah dinas yang kutempati berdekatan dengan sekolah taman kanak-kanak (TK). Hatiku bagai tertusuk sembilu setiap melihat bocah-bocah lucu sedang bermain-main di halaman sekolah tiap aku berangkat kerja. Ryan pastilah sudah seusia mereka saat ini.
Pernah suatu ketika, aku berhenti di depan sekolah, memarkir mobilku, lalu turun dan berdiri di sisi luar pagar sekolah hanya untuk menyaksikan anak-anak itu berceloteh dan berlarian ke sana kemari, sementara para ibu muda pengantar mereka sibuk berbincang-bincang di bangku panjang yang disediakan di halaman sekolah. Mungkin tampangku seperti orang linglung saat itu, diam mematung mengamati mereka. Pedih sekali rasanya hatiku. Kubayangkan, bu Diah ada di antara ibu-ibu itu sementara Ryan bermain-main dengan teman-temannya.
Ternyata Tuhan tak membiarkanku terpuruk dalam kesepian yang berkepanjangan.
Biasanya aku pulang kantor di atas jam 7 malam, tapi petang itu aku pulang jam 6 karena tak enak badan. Aku baru saja turun dari mobil untuk membuka pagar rumah ketika kudengar jeritan beberapa anak kecil berbaju muslim yang tadi kulewati. Mungkin mereka pulang mengaji. Saat kutengok, ada sebuah sepeda motor terguling di dekat mereka. Sebuah tangisan pecah. Segera kuhampiri mereka. Kulihat seorang anak terduduk menangis di keliling teman-temannya, sementara gadis berseragam SMA pengendara sepeda motor tergopoh-gopoh menegakkan kembali motornya.
Kata gadis itu, motornya tiba-tiba oleh karena melindas batu lalu jatuh hingga menabrak bocah yang terduduk itu. Bocah yang menangis itu, yang kemudian kuketahui bernama Rangga (nama samaran), kugendong dan kubawa ke rumahku diikuti 4 temannya, sementara gadis SMA itu melanjutkan perjalanannya. Setelah kuperiksa, tak ada satupun luka lecet di tubuhnya. Ia hanya shock. Kuambilkan mereka beberapa gelas air mineral sementara aku buru-buru sholat Maghrib karena waktunya sudah hampir habis.
Usai sholat, kutanyakan alamat rumah mereka dan kutawari untuk kuantarkan. Ternyata mereka tinggal di kompleks perumahan tak jauh dari rumahku. Satu per satu kuserahkan anak-anak polos itu kepada orang tua mereka sambil menceritakan kejadian yang menimpa mereka. Karena rumahnya yang paling jauh, Rangga dapat giliran kuantar terakhir.
Seorang wanita muda berjilbab (sebut saja namanya Ratna) terlihat panik begitu ia membuka pintu rumahnya dan langsung dipeluk oleh Rangga. Seorang bocah kecil yang kuduga adik Rangga turut keluar menyambut kami. Seperti sebelumnya, kuceritakan padanya insiden kecil yang terjadi pada Rangga. Ia berbasa-basi menawariku untuk singgah, tapi kutolak dengan halus karena aku sedang tak enak badan.
Beberapa hari kemudian, ketika itu hari Sabtu sisi sentimentilku kambuh. Untuk mengisi waktu senggangku, aku berjalan kaki menuju sekolah TK demi mengobati kerinduanku pada bu Diah dan Ryan. Begitu sampai sekolah, tak ada satupun bocah yang bermain-main di halaman. Hanya ibu-ibu muda yang tengah bercengkerama. Tampaknya pelajaran sedang berlangsung.
Aku mencari tempat yang teduh dekat pedagang teh botol. Letaknya tak begitu jauh dari tempat ibu-ibu menunggu. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada salah seorang ibu muda berjilbab. Ibunya Rangga. Kebetulan saat itu ia juga melihatku. Ia segera berdiri mendekat pagar sekolah. Aku yang sebenarnya enggan berkomunikasi dan ingin memuaskan lamunanku, mau tak mau mendekat ke pagar untuk menemui wanita bernama Ratna itu.
Aku tergagap ketika ia tanya apakah anakku sekolah di situ juga. Aku tak punya jawaban lain selain mengatakan kalau aku hanya berteduh di situ setelah jalan-jalan mengisi libur Sabtu. Ratna yang saat itu menunggui adik Rangga, sebut saja namanya Rika, kemudian keluar dari halaman sekolah dan menemaniku. Kelihatan sekali kalau ia merasa berhutang budi padaku dengan sikapnya yang ramah. Kami pun kemudian ngobrol. Ratna ternyata wanita yang supel dan enak diajak ngobrol. Aku merasa terhibur olehnya. Obrolan kami terputus ketika terdengar bel tanda istirahat murid-murid TK. Ratna pamit padaku untuk masuk kembali ke halaman sekolah.
Sabtu berikutnya aku kembali bertemu Ratna. Pada pertemuan itu aku mulai terbuka padanya ketika ia menanyakan kenapa aku suka sekali berada di situ, padahal tidak sedang menunggui anak sekolah. Kuceritakan dengan terus terang kalau hubunganku dengan istriku tidak mendapat restu dari keluarganya dan memisahkan kami. Kukatakan juga kalau aku ke situ karena ingin melihat anak-anak yang sebaya dengan anakku. Ratna tampak trenyuh mendengar penuturanku. Hal itu tampaknya membuat ia terpancing untuk membuka diri. Ia cerita kalau telah bercerai 2 tahun lalu karena suaminya kecantol teman sekantornya. Mulanya mereka menikah diam-diam dan terbongkar atas laporan dari teman kantor mereka sendiri. Suaminya tetap bekerja di situ, tapi istri barunya harus keluar. Setelah bercerai Ratna pindah ke rumah orang tuanya di kompleks perumahan itu. Ia tinggal bersama ibunya, karena ayahnya sudah meninggal.
Kesamaan latar belakang itulah yang kemudian mendekatkanku pada Ratna. Kehadirannya dalam hidupku mampu mengusir rasa hampa yang selama ini menyelimutiku. Usia Ratna yang 30 tahun terbilang muda jika dibandingkan denganku, tapi sikapnya yang dewasa membuatku terpikat. Terlebih ibadahnya juga rajin.
Tak sampai 6 bulan aku memantapkan diri menikahinya karena iapun menyimpan rasa cinta padaku. Kuminta orang tuaku di kampung untuk datang melamar Ratna.
Tiga bulan kemudian kami menikah. Foto bu Diah dan Ryan kubungkus rapat dengan plastik dan kusimpan di gudang, kuganti dengan foto pernikahanku dengan Ratna. Aku bukan bermaksud menyingkirkan bu Diah dan Ryan dari hidupku. Aku hanya mencoba bersikap realistis. Aku punya kehidupan baru yang harus kujalani. Aku juga ingin menghormati Ratna beserta keluarganya. Aku ingin menjadi imam yang baik buat dia dan anak-anaknya yang kini jadi anak-anakku.
Meski begitu, jauh di lubuk hatiku aku tetap tak akan melupakan bu Diah, terutama budi baiknya dalam membekaliku dengan ilmu dunia dan akherat yang membuatku berhasil hingga saat ini. Aku tak pernah lupa mendoakan keselamatan, kesehatan dan kebahagiaan untuknya dan Ryan.
Satu pelajaran yang dapat kupetik dari bu Diah: di satu sisi, kekuatan cinta antara aku dengannya mampu menyatukan kami yang berbeda status, di sisi lain, kekuatan cinta keluarganya jugalah yang akhirnya memisahkan kami, juga karena perbedaan status.
Sekarang (ketika kisah ini diungkapkan), anakku bertambah satu buah pernikahanku dengan Ratna. Rangga dan Rika senang sekali menyambut adik baru mereka, seorang bayi laki-laki yang kami beri nama …. Ryan. (*)
Seperti diceritakan ybs kepada Tim JBSs. Curhat ini telah melalui proses dramatisasi di beberapa kejadian untuk menjaga kesinambungan alur cerita tanpa merubah substansinya.
Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.

























