Don Yuan (nama samaran), 32 tahun, Jakarta :Barangkali ini adalah pengalaman paling gila-gilaan sepanjang hidupku. Betapa tidak, dalam tempo satu hari aku bercinta dengan 3 cewek yang berbeda! Pertama: dengan pacarku sendiri, sebut saja namanya Mawar. Kedua: dengan tetangga sekampungku, sebut saja namanya Melati. Ketiga: dengan teman semasa kecilku, sebut Asoka. Bila mengingatnya, aku kadang merasa heran sendiri, kok bisa aku mengalami hal seperti itu.
 |
Setelah memastikan keadaan aman, kami pun mulai leluasa “beraksi” di ruang tamu. |
Ceritanya, setelah lulus SMA di “kota dingin” Batu aku mau melanjutkan kuliah di Malang, begitu juga dengan Mawar, pacarku. Sambil menunggu hasil tes masuk perguruan tinggi, aku dan Mawar mengikuti kursus komputer. Oh ya, terus terang aku dan Mawar berpacaran sejak kelas 1 SMA dan hubungan kami sudah kelewat jauh. Maksudku, kami sudah beberapa melakukan hubungan intim seperti layaknya suami istri sejak naik ke kelas 3 SMA. Biasanya kami lakukan di villa murahan yang kami sewa secara patungan. Kompak yach ...
Suatu hari sepulang kursus, seperti biasa aku mengantar Mawar pulang dan kami lanjutkan dengan ngobrol di rumahnya. Tapi yang tidak biasa adalah hari itu rumah Mawar sepi, padahal biasanya ada ibu dan kakak perempuannya. Ternyata ibu dan kakak Mawar pergi serta meninggalkan secarik pesan, yang mengatakan kalau mereka pergi ke kelurahan mengurus perpanjangan KTP, dan kunci pintu rumah di atas kusen pintu.
Kesempatan ini tak kami sia-siakan. Setelah memastikan keadaan aman, kami pun mulai leluasa “beraksi” di ruang tamu. Setelah selesai, kami bergegas ke teras dan ngobrol seperti biasa di sana sambil menunggu ibu dan kakak Mawar pulang.
Siang hari, dalam perjalanan pulang dari rumah Mawar aku melihat Melati sedang berdiri di pinggir jalan X yang merupakan daerah pertokoan. Karena kenal baik, aku menghentikan motorku tepat di depannya. Melati bilang kalau dia mau menemui ayahnya di kebun apel tempat ayahnya bekerja sebagai penjaga dan dia sedang menunggu angkot untuk menuju ke sana. Aku berbasa-basi menawarkan tumpangan, eh ternyata dia mau. Sebenarnya aku ngantuk setelah “bertempur” dengan Mawar tadi, tapi karena sudah terlanjur menawari, akupun membonceng Melati. Dia ingin menemui ayahnya karena mau pinjam uang untuk bayar ongkos perbaikan sepeda motornya.
Tentang Melati ini, usianya lebih tua 4 tahun dariku. Dia pernah menikah karena dihamili pacarnya waktu kelas 2 SMA, tapi bercerai setahun kemudian. Melati tidak meneruskan sekolahnya dan memilih untuk bekerja serabutan agar bisa menghidupi anak semata wayangnya.
Kembali ke laptop. Sesampai di kebun apel, kami langsung menuju gubuk di tengah kebun tempat biasanya ayah Melati beristirahat, karena kami lihat tak seorangpun di pintu masuk. Ternyata di gubuk pun sepi. Melati kemudian mengajakku berkeliling kebun sambil berteriak memanggil ayahnya. Kebun apel yang lumayan luas membuat kami ngos-ngosan, tapi kami terus mencari karena Melati sangat butuh bertemu ayahnya.
Ketika melompati pagar bambu, rok Melati tersangkut hingga tersingkap. Jantungku berdetak kencang saat terlihat olehku celana dalam Melati yang berwarna merah dan pahanya yang putih mulus. Gara-gara itu otakku jadi ngeres terus, hehehe ...
Karena ayahnya tak kunjung ketemu, Melati memutuskan untuk kembali ke gubuk, berharap ayahnya sudah kembali ke sana. Tapi, gubuk tetap sepi. Melati pun kemudian minta menunggu sebentar di situ karena kecapaian, begitu pun aku. Kami pun lalu ngobrol ngalor-ngidul.
Lagi asyik-asyiknya ngobrol, tiba-tiba Melati merebahkan tubuhnya dan meletakkan kepalanya di pangkuanku tanpa sungkan. Karena otakku sudah terlanjur ngeres, dan udara sejuk pegunungan yang melenakan, aku pun memberanikan diri membelai rambutnya, sambil celingukan, takut kalau-kalau ayahnya tiba-tiba muncul. Melati tampaknya menikmati belaianku, karena kulihat ia memejamkan matanya.
Tubuhku kurasakan menggigil karena hawa nafsu yang makin merasuki benakku. Belaianku kualihkan ke pipi Melati, lalu pelan-pelan turun ke lehernya. Melati bukannya menolak, malah balas membelai tanganku. Kuanggap itu sebagai isyarat kalau ia tak keberatan atas ulahku. Sejurus kemudian tanganku menyusup ke dalam t-shirtnya dan dengan lembut mulai melakukan aksi “pemerasan”. Kudengar Melati mendesah pelan yang berarti ia menikmati aksi “pemerasan”ku. Karena mendapat respon positif, aku jadi makin “brutal”, terlebih dada Melati berukuran di atas standar, jauh lebih besar dari punya Mawar. Dan ia tidak memakai bra!
Setelah puas menjelajahi dada ranum Melati dengan tanganku, aku lalu merebahkan diri di atas tubuh Melati sambil menyibak t-shirt dan langsung membenamkan wajahku di dadanya. Kini ganti lidahku yang menari-nari, menapaki setiap lekuk dadanya sambil sesekali menghisap kedua ujung yang meruncing.
Akhirnya, begitulah. Gubuk berdinding kayu dan berbentuk seperti rumah panggung berukuran sekitar 3 x 3 meter berguncang-guncang dan menjadi saksi bisu pergumulanku dengan Melati. Kuakui permainannya sungguh dahsyat, mungkin karena ia lama tak melakukan itu. Dan yang membuatku takjub, saat aku hendak mencapai klimaks, Melati langsung “menghisapku” hingga tak ada lagi cairan dariku yang tercecer. Luar biasa! Ini pengalaman baru buatku.
Aku beruntung karena sampai kami selesai, ayah Melati tak kunjung nongol, hingga Melati memutuskan untuk pulang. Yang membuat hidungku mekar karena bangga adalah ucapan Melati sesaat setelah usai tadi, “Kamu kuat juga ya, Don”. Bagaimana tidak kuat, sejak hubungan intimku dengan Mawar terjadi, aku rajin makan telur ayam kampung mentah dicampur madu.
Sebenarnya aku merasa iba pada Melati yang kepepet butuh uang untuk sevis motornya, tapi apa daya, aku bukan orang yang termasuk berkelebihan harta. Andai Melati belum memasukkan motornya ke bengkel, mungkin aku bisa membantu memperbaikinya, karena sedikit banyak aku tahu tentang mesin.
Setelah mengantar Melati, aku langsung pulang. Tubuhku terasa letih luar biasa, terutama setelah bercinta dengan Melati tadi. Sampai di rumah aku langsung rebah di kamar dan akhirnya tertidur, hingga tak sempat makan siang.
Aku terbangun ketika adikku mengguncang tubuhku dengan keras. Ternyata hari sudah sore dan ia diperintahkan ibuku untuk membangunkanku karena ada tamu yang kata adikku kukenal.
Buru-buru aku mandi dan setelah itu menuju ruang tamu. Aku agak tercengang karena tamunya adalah mantan tetanggaku sebelum aku dan keluargaku pindah ke sini. Namanya sebut saja Pak dan Bu Bas, dan mereka datang bersama anak gadis mereka yang sangat kukenal, Asoka. Aku terakhir bertemu Asoka ketika masih berumur 7-8 tahun yang artinya kami tak pernah bertemu selama sekitar 10 tahun waktu itu. Asoka terlihat sangat cantik. Kulitnya putih bersih. Ia tampak malu-malu saat kujabat tangannya.
Pak dan Bu Bas mampir ke rumahku karena menawarkan tanah milik mereka yang akan dijual. Lokasinya tak jauh dari rumah mereka. Ayahku menjanjikan akan menawarkan ke teman-temannya, siapa tahu ada di antara mereka ada yang berminat.
Singkat cerita, Pak dan Bu Bas pamit pulang. Entah kenapa secara spontan aku minta Asoka untuk tinggal dulu di rumahku karena aku masih ingin ngobrol banyak dengannya disertai janji akan mengantarnya pulang. Pak dan Bu Bas tak keberatan dan mereka pulang duluan naik angkot.
Asoka cerita kalau ia menunda melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena ingin membantu orang tuanya mengelola kebun sayuran milik mereka.
Karena tak punya bahan untuk ngobrol, Asoka kemudian pamit pulang ke orang tuaku. Rumah Asoka lumayan jauh juga, hingga hari sudah gelap ketika motor kubelokkan ke jalan menuju desa rumah Asoka. Berbeda dengan jalan sebelumnya, jalan menuju desa Asoka masih berbatu-batu hingga membuat Asoka mengencangkan pelukannya di tubuhku. Aku merasakan tonjolan daging lembut menekan punggungku.
Di sini setan kembali menggodaku. Aku melambatkan motorku agar waktu tempuh menuju rumah Asoka jadi panjang. Pelan tapi pasti, tangan kiriku kualihkan ke tangan Asoka yang memeluk erat perutku, lalu mengusapnya dengan lembut, seolah aku ini seorang don yuan sejati.
Gayung bersambut. Asoka merebahkan kepalanya di punggungku. Kontan birahiku menggelegak. Tanganku beralih ke paha kirinya dan lagi-lagi mengusapnya dengan lembut. Sayang ia memakai celana jeans, hingga aku merasa kurang puas.
Ketika melewati sebuah pelataran yang cukup luas (sehari-hari digunakan untuk mengumpulkan sayuran hasil panen petani) aku membelokkan motorku ke sana. Di ujung pelataran ada semacam rumah tapi tak berpintu. Bagian yang menghadap pelataran los tak berdinding. Ada beberapa meja serta kursi yang ditumpangkan ke atas meja.
Asoka sempat kaget dan menanyakan untuk apa ke situ. Aku menjawab, kalau aku masih ingin ngobrol lama dengannya sambil mengatakan, kalau ia tak setuju, aku akan membatalkan keinginanku. Rupanya Asoka tak keberatan, karena tampaknya ia pun tak ingin cepat-cepat pulang.
Kuparkir motorku agak merapat ke dinding samping bangunan agar tak terlihat dari jalan. Walaupun jalan itu sepi di malam hari, tapi aku tak ingin mengambil resiko. Setelah itu kugandeng Asoka masuk ke dalam bangunan. Di situ aku tak kuasa menahan diri. Kurengkuh tubuh Asoka dan mencium bibirnya. Mula-mula Asoka tampak tertegun, tapi aku tak peduli. Nafsuku sudah diubun-ubun. Kulumat bibirnya sembari tanganku menerobos ke balik bajunya dan merayapi punggungnya serta dadanya.
Lama-kelamaan Asoka tampaknya mulai menikmati ciumanku. Ia pun mengimbangi dengan ciuman yang tak kalah buasnya. Udara dingin yang menusuk tulang membuat birahi kami makin memuncak, hingga tanpa terasa kami sama-sama setengah telanjang. Bangku panjang di dalam bangunan itu menjadi sarana aksi panas kami sebagai pengganti tempat tidur.
Jam menunjukkan hampir pukul 9 malam ketika aku tiba kembali di rumah usai mengantar Asoka. Aku langsung makan dan setelah itu langsung masuk ke kamar. Cukup lama aku merenung dalam kamar, memikirkan kejadian yang kualami seharian ini. Aku tak pernah membayangkan akan bercinta dengan 3 wanita berbeda dalam 1 hari. Kalau dengan Mawar aku sudah biasa, tapi dengan Melati dan Asoka menimbulkan pertanyaan dalam benakku: kok bisa? Kenapa begitu mudahnya mereka memasrahkan tubuh mereka kepadaku? Apakah karena mereka sudah mengenalku dengan baik hingga muncul kedekatan emosi hingga lupa segala-galanya? Ah, entahlah.
Terus terang, hari-hari berikutnya sering muncul keinginan untuk mengulangi lagi nikmatnya bercinta dengan Melati dan Asoka. Tapi jelas tidak mungkin, karena untuk melakukan itu dengan sengaja aku butuh uang untuk sewa villa, sementara tak mungkin aku minta patungan seperti yang biasa kulakukan dengan Mawar. Jadilah kemudian aku harus cukup puas dengan Mawar.
Tak ada yang abadi di dunia ini, begitupun hubunganku dengan Mawar. Suatu ketika, saat kami keluar dari villa usai bercinta, tanpa sengaja kakak perempuan Mawar melintas dengan motornya di jalan depan villa. Kakak Mawar terlihat kaget bukan kepalang. Ia mencegat dan mendamprat kami habis-habisan. Setelah itu Mawar diboncengnya pulang, sementara aku termangu-mangu sendirian di pinggir jalan.
Tak sampai disitu, sorenya keluarga Mawar mendatangi orang tuaku. Intinya mereka ingin aku segera menikahi Mawar karena tahu hubungan kami sudah melampaui batas. Ayahku yang ingin aku melanjutkan kuliah tentu saja menolak mentah-mentah tuntutan dari keluarga Mawar. Keadaan sempat memanas dan akhirnya diputuskan, aku tak boleh lagi berhubungan dengan Mawar. Hal ini membuatku sangat terpukul, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa karena memang bersalah.
Ayahku marah besar atas perbuatanku. Ia kemudian mengirimku ke Surabaya dan menitipkanku pada kakakku yang tinggal di sana. Di Surabaya aku dikuliahkan di perguruan tinggi swasta tempat kakakku bekerja sebagai dosen. Semua biaya hidupku ditanggung olehnya.
Aku berhasil menyelesaikan kuliahku di fakultas Ekonomi dalam waktu 5 tahun, dan selama itu pula aku tak pernah lagi bertemu dengan Mawar, bahkan ketika aku mudik setiap lebaran.
Begitu lulus aku sempat bekerja di sebuah perusahaan swasta di daerah Sidoarjo, tapi tak lama karena aku kemudian diterima bekerja di Jakarta dengan gaji yang jauh lebih besar.
Bagaimana dengan Melati dan Asoka?
Dengan Melati aku menyimpan rasa was-was, karena dari desas-desus yang kudengar beberapa hari setelah kami bercinta, ia menjadi binal sejak bercerai dengan suaminya. Melati sering terlihat berganti-ganti pacar. Bahkan yang sempat membuat heboh, ia dikabarkan pernah menjadi simpanan pengusaha dari Surabaya, tapi entah kenapa tak bertahan lama. Hal ini yang membuatku tak berani lagi menemuinya, walaupun sebenarnya dalam hati aku sangat ingin melakukannya lagi dengannya jika mengingat betapa piawainya ia bercinta.
Di lain pihak, ada cerita tersendiri yang membuat kartuku mati di hadapan Asoka. Pernah sekali aku mengajaknya jalan-jalan sore, dengan maksud pulangnya bisa mengulangi lagi di tempat yang sama. Dan memang rencanaku berjalan lancar, karena kami tiba di tempat itu sudah gelap. Namun ketika kami mulai beraksi, tanpa sadar aku bertanya padanya, dengan siapa ia pernah “begituan” sebelum dengan aku. Kontan ia marah, mengenakan celana dalam, membenahi baju dan roknya, lalu bergegas meninggalkanku. Aku berusaha menyusulnya, tapi ia malah mengusir dan memaki-maki aku. Aku kaget ia bisa berkata kasar begitu karena selama mengenalnya tak pernah sekalipun begitu. Sejak itu aku tak pernah bertemu dengannya.
Saat ini aku masih menjomblo, meskipun teman wanitaku lumayan banyak. Tapi kebanyakan sudah pacar atau bahkan suami. Kehidupan sebagai orang kantoran, membuat aku tak punya banyak kesempatan untuk memperluas jaringan pertemanan dalam rangka mencari jodoh.
Selain itu aku masih belum bisa melupakan Mawar, cinta pertamaku. Aku mencoba mencarinya melalui facebook, tapi gagal. Tadinya aku ingin bertanya pada mantan teman-teman SMA-ku tentang Mawar, tapi kuurungkan. Aku tak ingin seorangpun tahu kalau aku masih menyimpan rasa cinta pada Mawar. (**)