Surya (nama samaran), 43 tahun, somewhere:Waktu kelas 2 SMA aku pernah beberapa kali diajak temanku, sebut saja namanya Tony, berlibur ke Jogja. Nginapnya di rumah kerabat Tony yang bernama mas Gunawan dan istrinya, mbak Susi. Mas Gunawan berprofesi sebagai guru SMA, sedangkan mbak Susi adalah murid mas Gunawan sendiri.
Waktu pertama kali ke sana mereka masih pengantin baru. Usia mbak Susi sebaya denganku dan Tony. Setelah dinikahi, mbak Susi memilih keluar dari sekolah dan menjadi ibu rumah tangga.
Mas Gunawan adalah seorang yang humoris dan murah tawa. Tubuhnya kurus tinggi berkacamata, sedangkan mbak Susi mungil, wajahnya ayu khas Jogja. Baru pertama berkenalan, kami sudah akrab.
Rumah mas Gunawan berbentuk seperti huruf L. Di bagian belakang ada 2 kamar tidur, kamar mandi, dapur, sedangkan di bagian depan ada 2 kamar tidur juga, ruang makan dan ruang tamu. Sebidang tanah kosong di depan rumah belakang dan depan digunakan untuk tempat jemuran yang kadang dipakai sebagai lapangan bulu tangkis oleh warga sekitar. Lokasinya terletak di perkampungan pinggiran kota Jogja. Suasananya seperti di pedesaan. Asri dan tenang, ditambah lagi dengan jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya agak saling berjauhan.
Selama tinggal di rumah mas Gunawan, kami menempati sebuah kamar di dekat ruang tamu yang berada di bagian utama rumah. Kamar itu tampaknya memang disediakan untuk tamu mereka yang menginap, sedangkan mas Gunawan dan mbak Susi menempati kamar di bagian belakang. Di sebelah kamar yang kami tempati ada satu lagi kamar bekas ditempati oleh kakak mbak Susi. Kakak mbak Susi sudah lulus SMA dan diterima kerja di Solo.
Di rumah itu juga tinggal ibu mbak Susi. Yang unik, semua kamar di situ tak ada pintunya. Hanya sehelai kain yang menjulur dari kusen ke atas lantai, berjarak sekitar 20 cm dari lantai. Untuk keluar masuk cukup dengan menyingkap kain itu.
Yang agak bikin rikuh adalah saat buang air besar. Karena dindingnya tak penuh ke langit-langit, maka jika BAB harus ditahan-tahan agar tidak sampai keluar suara kentut. Begitu pun dengan suara jatuhnya kotoran ke lubang WC, harus diatur agar tidak langsung masuk ke air di leher angsanya, tapi nempel dulu di keramiknya. Hal ini dimaksudkan agar suara “blung” tidak terdengar dari luar yang bersebelahan dengan dapur dan tempat cuci baju.
Di Jogja, dengan menggunakan mobil Tony, kami diajak oleh mas Gunawan dan mbak Susi mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada. Saat itu aku baru tahu kalau mas Gunawan penghobi berat dunia fotografi. Tak heran jika salah satu ruang di rumahnya digunakan sebagai “kamar gelap” untuk mencuci cetak hasil jepretannya.
Mas Gunawan dan mbak Susi sekali waktu juga pernah datang ke kotaku. Tujuannya untuk berbulan madu. Sebagai balas budi kebaikan mereka, aku bersama Tony meluangkan waktu menemani mereka mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada di kotaku. Mereka juga kuajak mampir ke rumahku untuk kukenalkan pada ibu dan ayahku.
Karena keakraban itulah kemudian jika aku ke Jogja, walaupun tanpa Tony, selalu kusempatkan mampir ke rumah mereka. Seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Waktu itu aku bersama keluargaku (ayah, ibu dan adikku) menghadiri acara pernikahan saudaraku di Jogja. Dua sebelumnya kami sudah tiba di kota pelajar itu untuk membantu persiapan acara pernikahan. Dalam dua hari itu kami berada di rumah calon mempelai, tapi menginapnya di hotel dekat ringroad.
Siang hari di hari kedua, aku minta ijin orang tuaku untuk bertandang ke rumah mas Gunawan dan mbak Susi, karena sudah cukup lama aku tidak bertemu. Aku meminjam motor saudaraku. Sampai tujuan, aku ditemui mbak Susi karena mas Gunawan sedang mengajar.
Darahku berdesir saat mbak Susi menyajikan es teh dan jajanan khas Jogja sambil menunduk. Tank top longgar yang dikenakannya otomatis jatuh hingga menampakkan sepasang “pepaya Thailand”nya yang menggantung tepat di depan mataku. Sekilas aku tertegun menatapnya, lalu buru-buru mengalihkan pandangan ke jajanan yang tersaji di meja.
Saat sedang asyik-asyiknya ngobrol, terdengar tangisan bayi. ternyata anak mbak Susi. Usianya belum genap 1 bulan. Mbak Susi bergegas masuk ke kamarnya dekat ruang tamu yang hanya ditutup kain korden.
Tak berapa lama ia keluar dengan menggendong bayi perempuan. Tanpa “peringatan dini”, dengan cueknya mbak Susi menyingsingkan kaus tank topnya, lalu mengeluarkan satu payudaranya untuk menyusui bayinya. Aku yang perjaka ting-ting tentu saja merasa jengah melihat “pemandangan” itu, walaupun dalam hati girang juga. Sambil menyusui, mbak Susi menceritakan tentang bayinya. Namanya Vina (bukan nama sebenarnya). Yang membuat aliran darah mudaku makin menderu-deru, saat menggeser bayinya mendekat ke payudaranya, rok mbak Susi tersingkap. Paha mulusnya membuatku salah tingkah.
Karena tak enak berada di situasi yang “menegangkan” itu, aku bermaksud pamit pulang, dengan alasan mbak Susi lagi repot. Tapi mbak Susi mencegahku. Ia bilang sama sekali tak repot kalau cuma mengurus bayi saja. Entah ia merasa atau tidak kalau wajahku tegang, menahan diri agar mataku tak lari ke dadanya yang mencuat sebelah.
Selesai menyusui dan bayinya kembali terlelap, mbak Susi menidurkannya lagi ke dalam kamar. Saat menunggu mbak Susi, aku gelisah. Otakku dipenuhi dengan fantasi “jorok” gara-gara mbak Susi. Hingga ketika mbak Susi kembali menemuiku, aku sudah tak bisa berpikir jernih lagi. Tapi aku berusaha menjaga sikapku karena bagaimanapun juga mbak Susi sekeluarga sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri,
Karena sudah lama ngobrolnya, aku pun pamit untuk pulang. Kali ini mbak Susi tak mencegahku, mungkin karena ia sudah mengantuk dan akan tidur siang. Tapi dugaanku salah. Bu Susi ingin nebeng aku karena ia ada keperluan ke rumah temannya. Dia menyuruhku menunggu sebentar untuk berganti pakaian. Aku duduk lagi di kursiku, sementara mbak Susi masuk kamar. Entah lupa atau menganggapku sudah seperti keluarga sendiri, mbak Susi tidak menggeser kain penutup kamarnya.
Dari tempat dudukku aku bisa melihat dengan jelas mbak Susi melepas tank top yang dikenakannya, kemudian roknya, hingga tinggal selembar celana dalam warna putih saja yang menutupi tubuhnya. Bentuk tubuhnya sungguh menggiurkan. Aku yang sudah “mupeng”, tak lagi jengah memandang. Justru kupuas-puaskan, karena kupikir, kapan lagi aku dapat “rejeki” seperti itu. Lagipula, mbak Susi seperti tak peduli aku melihat atau tidak. Ia kenakan bra yang sewarna dengan celana dalamnya, lalu celana jins. Setelah itu ia menyisir rambutnya yang panjang terurai.
Mbak Susi kemudian menemui ibunya untuk berpamitan dan menitipkan bayinya. Aku pun minta diri kepada ibu mbak Susi.
Saat berboncengan, mbak Susi menempelkan dadanya di punggungku begitu rapat dan melingkarkan tangannya di pinggangku. Tapi itu bukannya membuatku makin “mupeng”. Aku justru merasa tak enak karena berada di jalan raya. Aku khawatir ada teman atau kerabat mbak Susi yang melihat kami yang bisa berakibat fitnah. Tapi tampaknya mbak Susi cuek saja seperti itu sampai kami tiba di depan gang yang ditujunya. Begitu turun dari motor, ia berpesan agar aku menyempatkan diri mampir lagi ke rumahnya sebelum pulang ke kota asalku.
Selama mengikuti prosesi pernikahan yang memakan waktu 2 hari, sehari di rumah mempelai, sehari di gedung, benakku selalu dipenuhi bayang-bayang indah mbak Susi. Aku bahkan berkhayal, saat acara usai aku berkunjung lagi ke rumahnya dan bisa menikmati “pemandangan indah” untuk kedua kalinya.
Setelah acara pernikahan selesai, aku masih punya waktu 2 hari di Jogja sebelum kembali ke kota asalku. Pasca acara pernikahan yang melelahkan, ayah, ibu dan adikku ingin istirahat saja di hotel dan baru esok harinya jalan-jalan keliling Jogja. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Jam 10 pagi aku pamit untuk ke rumah mbak Susi dengan sepeda motor yang kusewa tak jauh dari hotel.
Setiba di sana, kulihat mbak Susi sedang menjemur baju-baju dan popok bayinya di halaman yang biasa dipakai bermain bulu tangkis. Ia mempersilakanku untuk masuk dulu ke ruang tamu. Beberapa saat kemudian ia menemuiku sambil membawa nampan dengan 2 gelas es teh dan sepiring kue-kue di atasnya. Aku sengaja duduk di kursi panjang yang kemarin kududuki agar bisa melihat lagi “pepaya Thailand” mbak Susi yang menggantung saat menunduk.
Dugaanku tak meleset. Daster tanpa lengan yang longgar tak menghalangi tatapan mata nakalku. Kali ini aku tak ingin kehilangan momen berharga. Aku tak peduli mbak Susi merasa atau tidak aku memandangi dadanya. Agak lama ia menunduk karena diselingi dengan merapikan dan membersihkan taplak meja yang sebenarnya sudah rapi dan bersih. Aku tak tahu apakah itu disengajanya untuk memberi kesempatan padaku menikmati sepasang bukitnya itu atau tidak. Yang jelas, gairah kelelakianku tergugah.
Ketika kutanyakan di mana Vina, sedang diasuh ibu di belakang, kata mbak Susi. Saat itu tiba-tiba aku punya ide untuk memancingnya dengan kata-kata yang “menjurus”.
“Vina sudah minum susu, mbak?”, tanyaku sambil cengengesan.
“Sudah, tadi pagi. Memangnya kenapa, dik?”, mbak Susi balik bertanya.
“Jam berapa kira-kira minum susu lagi?”
“Nanti jam 11. Kenapa sih kok tanya terus?”, ujarnya sambil mengernyitkan dahi diselingi senyum. Entah apa arti senyuman itu.
Aku berdiri dan merogoh kantung celanaku untuk mengambil kunci kontak sepeda motor seraya mengatakan, “Ya, sudah, mbak. Aku pergi dulu, nanti jam 11 ke sini lagi. Biar bisa lihat Vina menyusu lagi”.
Spontan mbak Susi tertawa lepas. Ucapan berikutnya dari mbak Susi membuatku merasa mendapat lampu hijau.
“Kepingin ya?”, tukas mbak Susi masih dengan senyuman penuh arti.
“Iya, mbak. Kelihatannya kok segerrr”, kataku sekenanya.
Mbak Susi tertawa lagi dan berkata, “Minta sama pacarnya sana lho”.
Aku nyengir, “Belum punya pacar, mbak”.
“Tenane?! Masa cakep gini nggak punya pacar?!”, ujar mbak Susi dengan ekspresi menggoda.
“Betul, mbak. Masih perjaka ting-ting nih”, selorohku. Lagi-lagi mbak Susi tertawa lepas.
Kemudian ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke belakang rumah. Tak lama kemudian ia kembali dengan menggendong bayinya dan langsung masuk ke kamar. Lagi-lagi aku bisa melihat kegiatannya di dalam kamar. Mula-mula ia baringkan bayinya di tempat tidur. Setelah itu melepas daster dan menggantinya dengan kaos “you can see”. Aku menahan nafas yang memburu saat melihat celana dalam hitam seksi yang dikenakannya sebelum ia mulai mengenakan rok sebatas lututnya. Begitu keluar, ia langsung menuju ke tempat dudukku. Saat hendak menjatuhkan pantat ke kursi, tangannya bertumpu di pahaku. Hal itu membuat darah mudaku “semriwing”, mengalir deras menggugah kelelakianku. Tapi aku bersikap wajar saja walaupun dalam hati bertanya, “Apa maksud mbak Susi?”.
GR-ku makin menjadi-jadi karena mbak Susi duduknya dekat sekali denganku, hingga ketika ia membungkuk hendak mengambil minumnya di meja, sudut mataku jelas melihat dua bukitnya di dalam kaos, menggantung bebas tanpa ada BH yang menahannya. Aku tahu ia tak memakai BH agar leluasa jika hendak menyusui anaknya.
Aku tak berhenti memandanginya mulai dari menyeruput es tehnya sampai meletakkannya kembali di atas meja. Tampaknya ia tahu itu.
“Kok ngeliatin aku terus, dik?”. Ia melirikku dengan senyum tersungging.
Dorongan libidoku meletup-letup hingga aku tak mampu berkata-kata. Langsung saja kukecup bahunya yang putih mulus. Ia hanya menatapku penuh arti saat kulakukan itu. Matanya pun mendadak terlihat sayu. Karena tak ada tanda-tanda penolakan, kuteruskan kecupanku, sementara tanganku meraba dadanya. Ia mendesah lirih. Desahanku itu membuatku makin bernafsu. Pelan-pelan kuturunkan satu sisi bahu you can see-nya dan tanpa ragu kuseruput bukit indahnya. Ia mendesah sambil mengusap dan sesekali meremas rambutku.
Beberapa saat lamanya ia biarkan aku melumat-lumat dadanya yang ranum, sementara tanganku mulai menjalar ke pahanya. Ia memberiku jalan untuk masuk ke dalam roknya dengan merenggangkan kedua pahanya. Sesekali ia mendesis dan mendesah menikmati cumbuanku, hingga kemudian ia mendorong lembut kepalaku agar berhenti.
“Jangan sekarang, dik. Mas Gunawan sebentar lagi datang”. Nafasnya agak tersengal.
Aku menurut. Aku tak begitu kecewa karena dengan mengatakan “jangan sekarang”, artinya ia tak keberatan jika lain kali ada kesempatan yang lebih besar. Mbak Susi membenahi rok dan kaosnya. Ketika kulihat ia beringsut akan berdiri, kugamit lengannya dan langsung mendaratkan bibirku ke bibirnya. Sesaat mbak Susi membalas ciumanku dengan penuh gairah sebelum dengan lembut melepaskannya. Ia lalu berdiri dengan satu tangannya mampir di bagian bawah tubuhku, meremasnya, untuk kemudian berlalu menuju kamar. Mataku tak lepas barang sedetikpun memandanginya. Ia melepas kaos you can see dan roknya. Saat berganti baju daster lagi, ia sengaja menghadap ke arahku, seakan memberiku isyarat bahwa suatu saat nanti aku boleh menikmati tubuh mungilnya yang padat berisi sepuasku. Aku hanya menghela nafas menyaksikan itu.
Karena aku merasa enggan berbasa-basi dengan mas Gunawan, aku tak menunggunya. Aku langsung pamit pada mbak Susi begitu keluar dari kamar. Semula ia menahanku dan menawariku untuk makan siang bersama-sama mas Gunawan, tapi kutolak.
Saat sampai di mulut gang aku berpapasan dengan mas Gunawan. Tapi karena aku mengenakan helm teropong, ia tak melihatku. Ia melajukan motornya masuk gang, sementara aku masuk ke jalan besar dan langsung memulangkan motor sewaanku.
Sejak saat itu aku terus saja dibayangi wajah mbak Susi. Sayang aku tak punya kesempatan untuk ke Jogja lagi. Tony pun sudah jarang mengajakku karena ia sudah sibuk dengan pacarnya.
Sekitar 2 minggu kemudian aku menerima sepucuk surat. Waktu kuperiksa pengirimnya, ternyata dari mbak Susi! Gemetar tanganku membuka dan kemudian membacanya. Hatiku berbunga-bunga seketika begitu membaca tulisannya yang mengatakan kalau ia kangen padaku dan selalu memikirkanku. Kata-katanya begitu puitis hingga tak bosan-bosannya aku mengulangi membacanya. Diakhir tulisannya ia berpesan, jika aku mau membalas suratnya agar dialamatkan ke rumah temannya yang ia tulis di situ yang tak lain adalah alamat di mana aku pernah mengantarnya dulu.
Dengan penuh semangat, kubuat surat balasannya untuknya. Kalimat-kalimatnya pun tak kalah puitis. Terang-terangan kutumpahkan perasaanku dalam tulisan-tulisan yang menjurus erotis. Kutulis di suratku, jika waktu itu aku bawa tustel, pasti sudah kufoto dirinya saat berganti baju.
Tampaknya mbak Susi menanggapi uneg-unegku dengan serius. Surat kedua yang kuterima darinya diselipi 2 lembar fotonya, dan semuanya membuat liurku menetes. Betapa tidak, foto yang dikirimnya adalah foto dirinya, satu dalam pose berbaring di ranjang tanpa busana, satu lagi saat ia mandi di shower! Menurut penjelasannya di surat, foto itu diambil di hotel ketika ia dan mas Gunawan datang ke kotaku beberapa waktu lalu. Saat itu ia habis bercinta dan mas Gunawan mengabadikannya dalam foto. Wow!
Waktu pun terus bergulir, hingga saat kelulusan SMA tiba. Artinya sudah lebih dari 5 bulan aku tak pernah ke Jogja lagi. Aku mulai mempesiapkan diri untuk masuk ke perguruan tinggi. Waktu pendaftaran, pilihan utamaku adalah universitas ternama di kotaku, sementara pilihan kedua di Solo. Ternyata aku diterima yang di Solo.
Semula aku agak enggan untuk mendaftar ulang di Solo karena tak ada teman, apalagi kerabat yang tinggal di sana. Namun daripada harus mendaftar di perguruan tinggi swasta yang mahal, lebih baik kumasuki saja perguruan tinggi negeri di Solo walaupun jurusannya kurang sesuai dengan minatku, dan berencana tahun berikutnya ikut tes lagi.
Tak sampai 2 minggu tinggal di Solo, aku mulai merasa betah. Apalagi aku dibolehkan orang tuaku membawa motorku. Kujelajahi setiap sudut kota Solo saat ada waktu senggang. Solo hampir mirip dengan Jogja. Kotanya relatif tenang, tak seperti kota asalku yang macet di mana-mana. Selain itu, aku dapat tempat kos yang nyaman. Halaman depannya luas dan ditumbuhi pohon-pohon rindang. Ada 15 kamar berderet menghadap jalan.
Suatu hari aku naik bus umum jurusan Jogja, bermaksud mengabarkan kepada mas Gunawan dan mbak Susi kalau aku kuliah di Solo, sekaligus menyambung tali silaturahmi. Kubawa 2 potong baju bersih karena aku ingin menginap di rumah mas Gunawan dan mbak Susi semalam.
Karena niatku adalah untuk bersilaturahmi, kutepis jauh-jauh keinginan untuk bercumbu dengan mbak Susi. Sikonnya jelas tak akan memungkinkan, sebab hari Sabtu mas Gunawan libur. Memang semenjak mendapat foto erotis mbak Susi, aku selalu saja membayangkan bercinta dengannya. Tapi saat itu aku tak berharap itu terjadi, karena aku sedang kesengsem pada salah seorang gadis, sebut saja namanya Wiwin, berasal dari Lampung, yang kos di dekat kos tempat tinggalku. Ia kuliah di perguruan tinggi swasta yang ada di Solo.
.
Sampai di halaman rumah mas Gunawan dan mbak Susi tak kulihat motor mas Gunawan. Aku mengira ia pergi dengan mbak Susi dan anaknya. Tapi itu tak mengurungkan niatku untuk bertamu. Toh aku bisa menunggu, pikirku. Tak berapa lama keluarlah ibu mbak Susi. Seperti biasa, ia menyambutku dengan ramah dan mempersilakanku masuk. Ternyata mas Gunawan mengikuti acara karyawisata dengan murid-muridnya ke Bandung sejak Jumat dan baru pulang Minggu malam. Mbak Susi dan Vina diajak serta.
Karena itulah aku tak berlama-lama di situ. Setelah berbasa-basi, aku berpamitan untuk kembali ke Solo sambil tak lupa menitip salam untuk mas Gunawan dan mbak Susi.
Tiga bulan kemudian aku jadian dengan Wiwin. Ini membuatku bisa melupakan mbak Susi.
Sayangnya, hubunganku dengan Wiwin tak bertahan lama. Hanya 4 bulan. Diam-diam hatinya tertambat pada pelatih teater mahasiswa di kampusnya. Batinku terguncang menghadapi kenyataan itu. Untuk menghalau kegalauanku, aku pergi ke Jogja. Aku berharap, pertemuan dengan mas Gunawan dan mbak Susi bisa menghiburku.
Ketika sampai di depan rumah mas Gunawan dan mbak Susi, suasana lengang. Motor mas Gunawan tak ada di tempat biasanya. Tapi karena hari itu bukan hari libur, kupikir ia sedang mengajar. Ibu mbak Susi yang kebetulan keluar dari pintu samping belakang rumahnya, mempersilakanku masuk ke ruang tamu. Kata beliau, mbak Susi sedang ke puskesmas untuk mengimunisasikan anaknya. Aku dimintanya menunggu, sementara ia pergi sebentar ke rumah tetangganya.
Selama menunggu, kuamati isi rumah mas Gunawan. Keadaannya masih sama seperti dulu. Hanya saja, di salah satu sudut ruang tamu ada sekeranjang mainan anak-anak yang diletakkan di samping kereta bayi. Dalam kesendirian, pikiranku menerawang ke beberapa bulan sebelumnya ketika aku duduk berdua dengan mbak Susi di situ, kemudian mencumbunya sebentar. Aku pun keasyikan melamun, hingga tak tahu kalau ibu mbak Susi sudah kembali dan muncul dari dapur membawa minum untukku. Ia kemudian duduk menemaniku.
Ketika kutanyakan bagaimana kabar mas Gunawan, ibu mbak Susi tampak agak gugup menjawab. Ia hanya mengatakan kalau mas Gunawan baik-baik saja dan sudah sejak 3 bulan ini tidak tinggal di situ lagi. Aku agak kaget mendengar itu. Kupikir mas Gunawan dan mbak Susi sudah punya rumah sendiri dan pindah ke rumah baru mereka. Perkiraanku keliru.
Ibu mbak Susi menjelaskan kalau mas Gunawan sudah bercerai dengan mbak Susi. Aku terhenyak di tempat dudukku. Aku tak berani bertanya lebih jauh tentang hal yang sensitif itu, tapi tampaknya ibu mbak Susi mengerti kalau aku penasaran. Lebih jauh ia menceritakan, mereka bercerai karena merasa sudah tidak cocok lagi. Hari-hari mereka lebih sering diisi dengan pertengkaran. Sebagai seorang ibu, ibu mbak Susi berusaha untuk mendamaikan mereka, tapi sia-sia. Satu hal yang kelihatan sekali kalau ibu mbak Susi tutupi adalah penyebab pertengkaran mereka. Ia sama sekali tak menyinggung-nyinggung soal itu. Aku pun tak berniat untuk mengorek keterangan lebih jauh, walau pun benakku dipenuhi dengan teka-teki mengenai prahara rumah tangga mas Gunawan dan mbak Susi.

Saat sedang asyik mengobrol, mbak Susi dan Vina datang. “Kok tumben?”, katanya begitu melihatku sambil menyunggingkan senyum khasnya. Karena aku sudah ada yang menemani, ibu mbak Susi masuk kembali ke belakang. Kulihat Vina sudah tumbuh jadi bocah mungil yang cantik. Ia tidur dalam gendongan ibunya. Mbak Susi masuk ke kamar dan membaringkan Vina di tempat tidur. Yang membuat darah mudaku berdesir, ia berganti baju tanpa menutup tirai kamarnya, persis seperti dulu. Mataku nyalang menatapnya, dan sekilas kulihat ia melirik ke arah aku duduk.
Aku agak canggung memulai pembicaraan ketika mbak Susi duduk di depanku. Suasananya sudah berbeda. Aku khawatir mbak Susi masih berduka soal perceraiannya dengan mas Gunawan. Kecanggunganku mencair saat mbak Susi membuka obrolan seputar kabarku, termasuk tentang aku yang kuliah dan kos di Solo. Ia masih murah senyum seperti dulu.
Obrolan kami terputus ketika ibu mbak Susi mengajakku dan mbak Susi untuk makan siang. Usai makan siang, kami lanjutkan lagi ngobrol di ruang makan. Aku yang semula berniat menginap, mengurungkannya karena kurasa situasinya tidak memungkinkan. Itulah sebabnya aku pamit untuk kembali ke Solo. Tapi mbak Susi bersikeras memaksaku untuk tinggal. Aku jadi bimbang karenanya. Kuutarakan padanya kalau sebenarnya aku ingin menginap di situ, tapi merasa tak enak akan merepotkannya. Mbak Susi hanya tertawa. Ia mengambil ranselku yang tergeletak di lantai dekat kursi dan meletakkannya di meja dalam kamar yang dulu biasa kutempati. Kemudian ia menyuruhku untuk istirahat di kamar.
Ada yang sedikit berbeda dengan kamar itu. Dulu ada dipan (tempat tidur), sekarang hanya kasur yang digelar di lantai dialasi karpet plastik. Rasanya jadi terlihat luas. Aku pun merebahkan diri di kasur, tapi tak langsung tidur. Kusandarkan kepalaku di dinding, merenung.
Aku merenungkan perkembangan tak terduga yang menimpa rumah tangga mas Gunawan dan mbak Susi. Betapa singkat usia perkawinan mereka, padahal ketika pertama bertemu dan pada pertemuan berikutnya dulu mereka tampak sangat bahagia, walaupun usia mereka terpaut cukup jauh. Aku ingat bagaimana mbak Susi menggelayut mesra di lengan mas Gunawan ketika bermain air di pantai Parangtritis. Saat ombak kembali menerjang, spontan mas Gunawan menggendong mbak Susi, tapi kemudian jatuh berdua. Aku dan Tony yang menyaksikan itu tertawa ngakak. Begitu juga dengan mereka yang basah kuyup.
Lamunanku beralih ke Wiwin. Hubunganku dengannya bisa dibilang sudah sampai pada tahap “nyerempet bahaya”. Sudah beberapa kali Wiwin kuajak ke kamar kosku dan kami bercumbu di sana dalam keadaan setengah telanjang. Aku lepas baju dan tinggal memakai celana panjang saja, sedangkan Wiwin nyaris polos kecuali celana dalam yang masih melekat di tubuhnya. Tapi meski begitu aku bisa menahan diri untuk tidak berbuat lebih jauh, walaupun Wiwin kulihat sudah sangat pasrah. Aku ingin menjaga agar Wiwin tak sampai ternoda sampai kami menikah nanti. Nyatanya, kami bubar di tengah jalan dan aku menyesali kenapa tidak kulakukan saja waktu itu (curhatku mengenai hubunganku dengan Wiwin akan kuceritakan tersendiri di lain waktu).
Tanpa terasa aku tertidur dan terbangun ketika terdengar celoteh anak kecil di ruang tamu. Kulihat jam menunjukkan pukul 5 sore. Aku bangkit dari pembaringan, mengambil handuk di ransel, lalu keluar kamar. Di ruang tamu mbak Susi tengah menyuapi Vina yang didudukkan di kereta bayi. Setelah berbasa-basi dengan mbak Susi, aku mandi.
Singkat cerita, jam 9 malam. Aku nonton TV di ruang tamu. Sendirian, karena mbak Susi menindurkan Vina di kamar. Ibu mbak Susi pun sejak jam 8 sudah masuk ke kamarnya setelah menemaniku sebentar.
Sejujurnya, aku tak terlalu konsentrasi pada acara TV yang memang tak menarik itu. Jantungku berdebar, memikirkan apa yang akan terjadi begitu mbak Susi keluar kamar dan menemaniku di ruang tamu. Korden jendela ruang tamu tertutup semua. Lampu ruang tamu pun tidak begitu terang. Dalam suasana seperti itu dan aku berdua saja dengan mbak Susi, sudah dapat dibayangkan apa yang akan terjadi berikutnya.
Satu-satunya yang bisa kulakukan saat itu adalah menunggu mbak Susi. Diam-diam, libidoku bangkit membayangkan bercumbu dengan mbak Susi di situ. Tunggu punya tunggu, sampai jam 10 ia tak kunjung keluar. Mungkin ketiduran waktu menyusui Vina, pikirku. Dengan perasaan kecewa, kumatikan TV dan aku ke kamar mandi untuk buang air kecil dan cuci muka.
Betapa kagetnya aku ketika kusibak kain penutup kamarku, di keremangan tampak olehku mbak Susi sudah berbaring di kasur dengan tubuhnya ditutupi selimut sampai ke dada. Sejenak aku terpaku di tempatku. Kami saling berpandangan. Di keremangan kamar, kulihat mata mbak Susi sayu menatapku. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah memintaku untuk segera mendekatinya.
Mungkin ia masuk ke kamarku saat aku ke kamar mandi, atau ketika aku duduk membelakangi kamar untuk nonton TV. Sebuah kejutan yang romantis dari mbak Susi dan ia berhasil.
Tanpa kata cinta atau rayuan sebagai pembuka, kudekati mbak Susi lalu kurebahkan tubuhku di sampingnya. Ketika kusibak selimutnya, lagi-lagi mbak Susi membuat kejutan. Ia bugil. Tanpa menunggu komando, aku pun melepas T-shirt dan celana pendekku. Mbak Susi tampaknya juga sudah tak mampu menahan nafsunya. Belum lagi celanaku terlepas dari kakiku, ia merengkuh kepalaku dan langsung mendaratkan bibirnya di bibirku.
Kejadian selanjutnya silakan Anda bayangkan sendiri. Yang jelas, saat terdengar ayam berkokok, kami sedang berjibaku dalam panasnya gejolak birahi, entah untuk yang keberapa kalinya.
Ada dua hal yang membuat terkesan malam itu.
Pertama, tak ada setetespun cairanku yang terbuang percuma. Semuanya menjadi penghuni perut mbak Susi. Ia melahapnya seperti orang kehausan.
Kedua, saat sedang berpacu dalam birahi dalam salah satu ronde yang kami mainkan, terdengar Vina merengek dari kamar sebelah. Semula mbak Susi tak mempedulikannya. Ia yang ketika itu sedang di atasku terus saja melakukan “goyang ngebor”. Tapi begitu rengekan Vina makin keras dan mulai menangis, mbak Susi beringsut sambil menarik tanganku agar mengikutinya. Sampai di kamarnya, mbak Susi menyusui Vina dengan posisi menungging. Ia menoleh ke arahku dan aku tahu apa yang diinginkannya. Agar tubuh mbak Susi tidak terlalu keras terguncang, aku melakukannya dengan pelan. Meski begitu, rasanya tak kalah nikmat. Justru bisa lebih lama, dan memberikan waktu pada Vina untuk tidur lagi. Kami pun bisa menyalurkan hajat meski dalam kondisi “darurat” seperti itu.
Keletihan yang mendera, membuatku tertidur pulas menjelang subuh.
Ketika sedang lelap, aku kembali merasakan nikmat. Dengan mata berat kubuka mataku. Cahaya matahari menyeruak di antara lubang angin yang ada di atas jendela dan korden, hingga kamarku agak terang. Kulihat mbak Susi sedang memainkan bagian bawah tubuhku dengan mulutnya. Kelelakianku bangkit, tapi aku masih sangat mengantuk. Aku pasrah saja dengan perlakuan mbak Susi. Lama ia “bekerja” di bawah sana sebelum kemudian berpindah posisi di atasku dan mulai “bekerja” lagi. Mataku terpejam, selain karena masih ngantuk, juga karena merasakan kenikmatan yang diciptakan oleh mbak Susi di setiap gerakan tubuhnya. Aku hanya mengimbangi ketika guncangannya makin keras dan begitu kukatakan kalau aku akan “meletup”, buru-buru ia berpindah ke sampingku sambil tangannya (maaf) mengocok milikku dengan cepat sementara mulutnya menganga “siap menyambut” letupanku.
Begitu usai, mbak Susi mengajakku untuk sarapan. Ternyata sudah jam 10. Sebelum sarapan aku mandi dulu. Usai sarapan aku beramah-tamah dengan ibu mbak Susi dan mbak Susi di ruang makan, dan setelah itu pamit untuk kembali ke Solo. Mbak Susi berpesan agar aku datang seminggu sekali ke rumahnya. Karena merasa tak enak dengan lingkungan sekitar dan ibu mbak Susi kalau terlalu rutin, kuusulkan sebulan sekali saja.
Karena masih merasa lelah luar biasa, sampai kamar kos aku langsung tidur lagi sampai sore.
Tiga minggu kemudian aku datang lagi di rumah mbak Susi. Menginap juga tentunya. Dan mbak Susi piawai membuat kejutan erotis yang sulit dilupakan. Sekali waktu, saat aku hendak “meletup”, mbak Susi cepat-cepat menyuruhku berdiri, sementara ia mengambil mangkuk kecil di meja. Kemudian ia “membantuku” memasukkan cairanku ke dalam mangkuk. Begitu tetes terakhir masuk ke mangkuk, ia menggoyang-goyang sebentar mangkuk itu lalu langsung menenggak isinya sampai habis. Sisa-sisa yang masih menempel di mangkuk dijilatinya hingga tak bersisa. Aku takjub melihatnya.
Sejak itu, lama aku tak bertemu mbak Susi karena aku disibukkan dengan persiapan mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri lagi, di samping ujian akhir semester. Mbak Susi sempat satu kali mengirimiku surat menanyakan kabarku, dan kubalas kalau aku sedang sibuk dan berjanji akan segera mengunjunginya begitu urusanku selesai.
Tapi janji tinggal janji. Aku diterima di perguruan tinggi negeri di kotaku dengan jurusan yang dari dulu kuincar. Artinya aku harus berbenah untuk pindah lagi. Sebetulnya, ketika keluargaku datang ke Solo untuk membantuku beres-beres, aku berencana untuk pergi ke Jogja. Tapi karena tiba-tiba ayah jatuh sakit, rencana itu tak terwujud. Aku beserta keluarga segera kembali ke kota asalku yang jaraknya sejauh 9 jam perjalanan.
Tanpa terasa, sudah 1 tahun lebih aku tak pernah bisa mewujudkan janjiku pada mbak Susi untuk mengunjunginya.
Suatu hari, sepulang kuliah aku diberitahu oleh ibu kalau ada seorang perempuan meneleponku dan berpesan agar aku menelepon di nomor yang dicatat ibu. Ternyata itu adalah nomor telepon hotel. Saat kuhubungi, operator yang menjawab dan aku disuruh menunggu sebentar. Tak lama kemudian, terdengar suara yang sangat familiar di telingaku. Suara mbak Susi. Aku pun meluncur ke hotel tempat ia menginap setelah mbak Susi memberitahu alamatnya.
Di hotel melati tempat mbak Susi menginap kami tumpahkan kerinduan kami dalam deru nafas kenikmatan duniawi yang lama tak tersalur.
Saat jeda, mbak Susi bilang kalau ia ingin menjadi TKW. Aku kaget mendengar itu. Hak asuh Vina diambil alih oleh mas Gunawan, kata mbak Susi ketika kutanyakan bagaimana dengan Vina andai mbak Susi jadi TKW. Mbak Susi yang tahu kalau ayahku pejabat bermaksud minta tolong untuk memuluskan rencananya. Aku tak bisa bicara banyak kecuali berjanji akan menyampaikannya kepada ayahku.
Ayahku marah besar begitu kukatakan hasil pembicaraanku dengan mbak Susi. Kata ayah, meskipun hubungan kami akrab, tapi aku tetap tak boleh ikut campur urusan keluarganya. Ketika kusampaikan hal itu pada mbak Susi, ia tampak kecewa. Ia kemudian memutuskan untuk kembali ke Jogja. Aku merasa tak enak padanya, tapi apa yang bisa kulakukan? Kuantar ia ke terminal, kubelikan tiket bus dan kuberikan semua uang yang ada di dompetku sebagai pegangannya.
Hanya berselang 2 hari kemudian, aku bertemu Tony dalam sebuah acara reunian kelas. Dengan berpura-pura tidak tahu, kutanyakan bagaimana kabar mas Gunawan dan mbak Susi. Aku pun pura-pura kaget ketika Tony cerita kalau mas Gunawan sudah bercerai dengan mbak Susi. Yang membuatku kaget betulan adalah ketika Tony mengungkapkan penyebab perceraian mereka.
Kata Tony, mas Gunawan menceraikan mbak Susi karena istrinya itu selingkuh. Terkuaknya perselingkuhan mbak Susi gara-gara mas Gunawan menerima surat kaleng dari seseorang. Mulanya mas Gunawan tidak percaya begitu saja pada surat kaleng itu, tapi pada surat kaleng berikutnya yang menyertakan foto “syur” mbak Susi, mas Gunawan jadi emosi. Selidik punya selidik, si pengirim surat kaleng tersebut adalah mantan selingkuhan mbak Susi yang sakit hati karena dicampakkan oleh mbak Susi. Mereka menjalin hubungan sejak mbak Susi berpacaran dengan mas Gunawan.
Tak hanya itu. Si pengirim surat kaleng juga membeberkan “kenakalan” mbak Susi sering di-booking om-om dengan bayaran uang.
Mas Gunawan langsung menceraikan mbak Susi. Semula ia bermaksud mengambil Vina dari mbak Susi, tapi karena anak semata wayangnya itu masih bayi, ia berikan waktu kepada mbak Susi untuk merawatnya. Begitu Vina berusia 2 tahun, baru mas Gunawan mengambilnya dari mbak Susi.
Aku termangu, antara percaya dan tidak, mendengar penuturan Tony. Mungkin itu sebabnya, baik mbak Susi maupun ibunya, tidak pernah menceritakan sebab-musabab perceraian mereka karena merasa malu. Mungkin itu juga sebabnya mbak Susi punya koleksi baju-baju seksi yang pernah ditunjukkan padaku ketika kami berduaan. Dan, mungkin itu juga sebabnya mbak Susi sangat “mahir” di ranjang, karena “jam terbangnya” banyak.
Meskipun itu cuma prasangkaku saja dan belum tentu kebenarannya, tapi mau tak mau aku harus berpikir ulang untuk memendam keinginan mereguk kenikmatan bersama mbak Susi lagi. Aku khawatir akan menjadi bumerang bagi diriku sendiri.
Sejak pertemuan di hotel itu, aku tak pernah lagi bertemu dengan mbak Susi. Kabar terakhir yang kudengar dari Tony setahun lalu, mas Gunawan tidak menikah lagi. Katanya ia ingin fokus memberikan perhatian pada Vina yang sudah menginjak remaja. Sementara itu, mbak Susi tak diketahui kabar beritanya. (*)
Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.