Ketika Imanku Diuji

Wim (nama samaran), 50 tahun, Pegawai BUMN:


Aku tak pernah menyangka di usia setengah abad ini aku mendapat ujian keimanan yang “menyenangkan” sekaligus “memusingkan”.

Betapa tidak. Ujian itu datang justru dari seorang gadis remaja, sebut saja namanya Nia, yang kuperkirakan usianya sama dengan usia anakku. Ia adalah seorang mahasiswi D3 dari sebuah institusi pendidikan swasta yang sedang magang di perusahaan tempat aku bekerja.

Kuakui, wajahnya di atas rata-rata. Ia yang paling laris digoda karyawan muda di tempatku, karena selain lumayan cantik, ia juga ramah dan cepat menyesuaikan diri. Selama magang, Nia ditempatkan di bagian administrasi kepegawaian, sementara aku sendiri di bagian IT. Walaupun beda bagian, tapi karena berada di satu lantai, kami jadi sering bertemu.

Kira-kira 2 minggu sejak mulai magang, aku rutin menerima pemberian kue darinya. Aku yang baru tiba di kantor mendapati kue itu dekat komputerku. Di atasnya ada tulisan di secarik kertas “Dari Nia”. Kuperiksa meja rekan-rekan kerja di sekitarku, barangkali mereka juga dapat kue seperti aku. Ternyata tak ada. Berarti hanya aku yang dapat.

Memang aku sempat bingung kenapa hanya aku yang diberi, sementara yang lain tidak. Tapi kuanggap saja kalau pemberian itu digilir, dan hari itu giliranku. Ketika berpapasan dengannya tak lupa kuucapkan terima kasih padanya. Ia menjawab sambil tersenyum manis, “Sama-sama, pak”.

Esoknya kudapati lagi kue yang berbeda, tapi masih dengan pesan yang sama, “dari Nia”. Begitu seterusnya hingga 1 minggu kemudian. Aku jadi merasa tak nyaman. Kutemui Nia di dan kuajak ke tempat yang agak sepi di sudut kantor. Kukatakan padanya kalau tak usah memberiku kue tiap hari. “Nanti kamu bangkrut”, imbuhku untuk mencairkan suasana, karena kulihat air muka Nia tampak kecewa. Ia minta maaf dan kemudian berlalu dariku.

Hari berikutnya tak ada lagi kue buatku. Sempat terpikir olehku untuk membalas kebaikannya dengan memberinya kue-kue juga, tapi karena aku khawatir akan menimbulkan fitnah jika ada yang melihat, kuurungkan niatku.

Kepalaku makin puyeng karena kemudian Nia berganti magang di bagianku, bersama 2 temannya. Puyeng karena setiap kali menandatangani buku laporannya, aku menemukan tulisan-tulisan kecil dengan pensil, seperti “Bapak cakep deh”, “Jaga kesehatan ya, pak”, “Boleh nggak besok Nia bawain nasi goreng masakan Nia?”, atau “Jangan merokok terus, pak. Nanti batuk lho”.

Mulanya aku tak ambil pusing dengan tulisan itu, karena kuanggap sebagai perhatian seorang anak kepada bapaknya. Tapi jujur dari hati kecilku, lama-lama aku terpengaruh juga. Apalagi ketika kubaca tulisan berikutnya “Nia sayang sama bapak”.

Apa maksudnya? Begitu pertanyaan dalam pikiranku setiap kali membaca tulisannya atau sikapnya padaku. Tanpa terasa, aku jadi suka mengaca, mematut diri di depan cermin. Benarkah aku cakep? Aku jadi malu sendiri. Tapi aku tak bisa mengingkari kalau aku rindu menunggu tulisan Nia berikutnya. Aku jadi merasa muda kembali.

Aku jadi merasa kehilangan waktu Nia dan teman-temannya tidak lagi hadir di kantor karena telah selesai masa magangnya. Saat acara perpisahan, kami berfoto bersama. Dan di satu kesempatan, Nia minta berfoto berdua denganku.

Ternyata rasa kehilanganku tak berlangsung lama. Kira-kira seminggu kemudian aku menerima email dari Nia. Aku tak terlalu memusingkan dari mana dia dapat alamat emailku. Yang jelas, hatiku kembali berbunga-bunga membaca surat elektroniknya.

Yang membuat jantungku dag dig dug, Nia mengatakan dalam emailnya kalau ia kangen padaku. Katanya, ia selalu terbayang wajahku yang ganteng dan berwibawa. Meski senang mendapat “rayuan” dari Nia, aku bingung harus menjawab apa. Aku tak berani mengimbangi kata-kata mesranya. Aku hanya bisa membalas emailnya dengan kalimat standar orang tua pada anaknya, yaitu berharap semoga ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan baik dan mendapat pekerjaan yang sesuai dengan cita-citanya.

Tak kusangka, dari hari ke hari emailnya makin “menjurus”. Bahkan ia mengirimiku foto-fotonya yang tergolong erotis. Betapa tidak. Dengan kamera ponselnya ia memfoto dirinya dengan penutup “minim”. Sebagai laki-laki normal, terus terang aku terangsang menatap pose-posenya yang menantang, menunjukkan lekuk liku tubuhnya yang aduhai. Dalam pesannya ia mengatakan ingin ketemuan denganku.

Aku nyaris saja tergoda menuruti “tantangannya” andai anak keduaku yang seusia Nia tidak sakit, sehingga harus dirawat di rumah sakit. Saat menungguinya, aku tersadar bahwa itu semacam “warning” dari Tuhan. Aku bersyukur belum sampai terjerumus dalam godaan Nia. Kuhapus semua email berikut foto-foto Nia dari komputerku. Emailnya tak pernah lagi kubalas. Lambat laun, Nia makin jarang mengirimiku email.

Aku berharap ia sadar bahwa “keberaniannya” yang keliru bisa menjerumuskannya dalam lembah kenistaan yang akan disesalinya seumur hidup. (*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Kenapa Wanita Berselingkuh?

Saat Thea dan suaminya pindah ke kota lain beberapa tahun lalu, ia tak punya teman dan merasa kesepian ditinggalkan suaminya bekerja berjam-jam. Meski Thea menyatakan kalau suaminya adalah “teman terbaik yang pernah dimilikinya”, tapi gairah dan kehangatan ranjang telah memudar.

Demi mendapatkan teman dan sedikit romantisme, Thea bergabung di AshleyMadison.com, sebuah situs yang menjadi comblang bagi para suami/ istri yang menghendaki “sedikit” affair sebagai pelarian dari kehidupan perkawinan mereka.

Setelah beberapa kali ketemuan, Thea mulai menjalin hubungan dengan seorang pria. “Ia memberiku semua yang tak kudapatkan dari suamiku, perhatian dan kasih sayang,” akunya.


Banyak alasan orang berselingkuh, seperti balas dendam, bosan, hasrat untuk mencari sensasi seksual, dan kecanduan seks. Akan tetapi para pakar mengatakan bahwa ada perbedaan yang mendasar yang mendorong orang berselingkuh. Pria cenderung karena seks, sedangkan wanita lebih melibatkan sisi emosional mereka.

Rasa kesepian, sirnanya chemistry dengan suami dan diacuhkan adalah hal yang paling banyak dikeluhkan sebagai penyebab munculnya hasrat untuk “berpindah ke lain hati”.

Pria berselingkuh kebanyakan karena menginginkan seks dengan pasangan selingkuhnya, bukan cinta. Artinya, pria tetap saja berselingkuh meski kehidupan rumah tangganya baik-baik saja. Di lain pihak, wanita berselingkuh karena adanya hubungan emosional dengan kekasih gelap mereka yang dianggapnya bisa memenuhi kebutuhan yang tidak diberikan oleh suami mereka.

Secara statistik, 34% wanita yang kehidupan rumah tangganya baik-baik saja melakukan perselingkuhan, sedangkan pria 56%.

Menurut teori yang dianggap kontroversial, perilaku selingkuh sudah ada sejak jaman purba. Para pria melakukan hubungan seks dengan banyak wanita untuk menyebarkan keturunan sebanyak-banyaknya, sedangkan wanita membutuhkan pria yang bisa melindunginya dan anak-anaknya, memberi mereka makan dan sebagai cadangan untuk berjaga-jaga jika pasangan mereka mati. Itulah sebabnya mereka rela ditiduri banyak pria demi mendapatkan itu semua.

Teori tersebut memang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, namun yang jelas teori yang menyatakan bahwa motivasi wanita berselingkuh bukan semata-mata karena seks ada benarnya, walaupu mereka tidak keberatan jika pasangan gelap mereka menghendaki seks.

Contoh kasus lain seperti yang dialami Diana. Ia merasa rumah tangganya tidak bahagia. Yang dirasakannya hanyalah kesepian yang berkepanjangan. Ia berharap itu akan berakhir. Nyatanya tidak.

Untuk mengisi kesepiannya, ia coba-coba main mata dengan rekan kerjanya. Awalnya Diana tak bermaksud untuk selingkuh, namun ia terlena dengan situasi romantis yang tercipta antara ia dengan rekannya. Akhirnya ia terlibat dalam hubungan terlarang dan itu berlangsung lama.

Tak seperti halnya pria, wanita perlu waktu untuk berpikir panjang untuk melakukan sebuah perselingkuhan. Pria dapat dengan mudah melupakan dengan siapa saja ia melakukan hubungan seks, sedangkan wanita tidak demikian. Ia akan bersedia untuk melakukannya dengan pasangan selingkuhnya jika ia benar-benar siap untuk itu.

Itulah sebabnya orang akan mencibir jika wanita berselingkuh mengatakan khilaf, karena sebelumnya ia telah mempertimbangkan dengan matang untuk terjun ke “zona terlarang”.

Sumber: women.webmd.com

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Nasib Pegawai Negeri

Someone, 40 tahun:


Berhasil dalam tugas sudahlah mesti

Kerja berat selalu menanti

Loyal pada atasan harga mati

Tidak loyal dimutasi

Jelang penempatan harus lobi sana-sini

Hidup kaya dicurigai

Kalau miskin tidak dihargai

Kenaikan gaji tidak memadai

Potongan bank tiap bulan mencekik gaji

Salah disposisi bisa terjerat korupsi, padahal kerja karus tuntas (sesuai tuntutan atasan plus relasi)

Pulang telat dimarahi istri/ suami

Susah dapat ijin poligami, boro-boro poliandri (*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Godaan Sang Ibu Muda

Surya (nama samaran), 43 tahun, somewhere:

Waktu kelas 2 SMA aku pernah beberapa kali diajak temanku, sebut saja namanya Tony, berlibur ke Jogja. Nginapnya di rumah kerabat Tony yang bernama mas Gunawan dan istrinya, mbak Susi. Mas Gunawan berprofesi sebagai guru SMA, sedangkan mbak Susi adalah murid mas Gunawan sendiri.

Waktu pertama kali ke sana mereka masih pengantin baru. Usia mbak Susi sebaya denganku dan Tony. Setelah dinikahi, mbak Susi memilih keluar dari sekolah dan menjadi ibu rumah tangga.

Mas Gunawan adalah seorang yang humoris dan murah tawa. Tubuhnya kurus tinggi berkacamata, sedangkan mbak Susi mungil, wajahnya ayu khas Jogja. Baru pertama berkenalan, kami sudah akrab.

Rumah mas Gunawan berbentuk seperti huruf L. Di bagian belakang ada 2 kamar tidur, kamar mandi, dapur, sedangkan di bagian depan ada 2 kamar tidur juga, ruang makan dan ruang tamu. Sebidang tanah kosong di depan rumah belakang dan depan digunakan untuk tempat jemuran yang kadang dipakai sebagai lapangan bulu tangkis oleh warga sekitar. Lokasinya terletak di perkampungan pinggiran kota Jogja. Suasananya seperti di pedesaan. Asri dan tenang, ditambah lagi dengan jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya agak saling berjauhan.

Selama tinggal di rumah mas Gunawan, kami menempati sebuah kamar di dekat ruang tamu yang berada di bagian utama rumah. Kamar itu tampaknya memang disediakan untuk tamu mereka yang menginap, sedangkan mas Gunawan dan mbak Susi menempati kamar di bagian belakang. Di sebelah kamar yang kami tempati ada satu lagi kamar bekas ditempati oleh kakak mbak Susi. Kakak mbak Susi sudah lulus SMA dan diterima kerja di Solo.

Di rumah itu juga tinggal ibu mbak Susi. Yang unik, semua kamar di situ tak ada pintunya. Hanya sehelai kain yang menjulur dari kusen ke atas lantai, berjarak sekitar 20 cm dari lantai. Untuk keluar masuk cukup dengan menyingkap kain itu.

Yang agak bikin rikuh adalah saat buang air besar. Karena dindingnya tak penuh ke langit-langit, maka jika BAB harus ditahan-tahan agar tidak sampai keluar suara kentut. Begitu pun dengan suara jatuhnya kotoran ke lubang WC, harus diatur agar tidak langsung masuk ke air di leher angsanya, tapi nempel dulu di keramiknya. Hal ini dimaksudkan agar suara “blung” tidak terdengar dari luar yang bersebelahan dengan dapur dan tempat cuci baju.

Di Jogja, dengan menggunakan mobil Tony, kami diajak oleh mas Gunawan dan mbak Susi mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada. Saat itu aku baru tahu kalau mas Gunawan penghobi berat dunia fotografi. Tak heran jika salah satu ruang di rumahnya digunakan sebagai “kamar gelap” untuk mencuci cetak hasil jepretannya.

Mas Gunawan dan mbak Susi sekali waktu juga pernah datang ke kotaku. Tujuannya untuk berbulan madu. Sebagai balas budi kebaikan mereka, aku bersama Tony meluangkan waktu menemani mereka mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada di kotaku. Mereka juga kuajak mampir ke rumahku untuk kukenalkan pada ibu dan ayahku.

Karena keakraban itulah kemudian jika aku ke Jogja, walaupun tanpa Tony, selalu kusempatkan mampir ke rumah mereka. Seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Waktu itu aku bersama keluargaku (ayah, ibu dan adikku) menghadiri acara pernikahan saudaraku di Jogja. Dua sebelumnya kami sudah tiba di kota pelajar itu untuk membantu persiapan acara pernikahan. Dalam dua hari itu kami berada di rumah calon mempelai, tapi menginapnya di hotel dekat ringroad.

Siang hari di hari kedua, aku minta ijin orang tuaku untuk bertandang ke rumah mas Gunawan dan mbak Susi, karena sudah cukup lama aku tidak bertemu. Aku meminjam motor saudaraku. Sampai tujuan, aku ditemui mbak Susi karena mas Gunawan sedang mengajar.

Darahku berdesir saat mbak Susi menyajikan es teh dan jajanan khas Jogja sambil menunduk. Tank top longgar yang dikenakannya otomatis jatuh hingga menampakkan sepasang “pepaya Thailand”nya yang menggantung tepat di depan mataku. Sekilas aku tertegun menatapnya, lalu buru-buru mengalihkan pandangan ke jajanan yang tersaji di meja.


Saat sedang asyik-asyiknya ngobrol, terdengar tangisan bayi. ternyata anak mbak Susi. Usianya belum genap 1 bulan. Mbak Susi bergegas masuk ke kamarnya dekat ruang tamu yang hanya ditutup kain korden.

Tak berapa lama ia keluar dengan menggendong bayi perempuan. Tanpa “peringatan dini”, dengan cueknya mbak Susi menyingsingkan kaus tank topnya, lalu mengeluarkan satu payudaranya untuk menyusui bayinya. Aku yang perjaka ting-ting tentu saja merasa jengah melihat “pemandangan” itu, walaupun dalam hati girang juga. Sambil menyusui, mbak Susi menceritakan tentang bayinya. Namanya Vina (bukan nama sebenarnya). Yang membuat aliran darah mudaku makin menderu-deru, saat menggeser bayinya mendekat ke payudaranya, rok mbak Susi tersingkap. Paha mulusnya membuatku salah tingkah.

Karena tak enak berada di situasi yang “menegangkan” itu, aku bermaksud pamit pulang, dengan alasan mbak Susi lagi repot. Tapi mbak Susi mencegahku. Ia bilang sama sekali tak repot kalau cuma mengurus bayi saja. Entah ia merasa atau tidak kalau wajahku tegang, menahan diri agar mataku tak lari ke dadanya yang mencuat sebelah.

Selesai menyusui dan bayinya kembali terlelap, mbak Susi menidurkannya lagi ke dalam kamar. Saat menunggu mbak Susi, aku gelisah. Otakku dipenuhi dengan fantasi “jorok” gara-gara mbak Susi. Hingga ketika mbak Susi kembali menemuiku, aku sudah tak bisa berpikir jernih lagi. Tapi aku berusaha menjaga sikapku karena bagaimanapun juga mbak Susi sekeluarga sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri,

Karena sudah lama ngobrolnya, aku pun pamit untuk pulang. Kali ini mbak Susi tak mencegahku, mungkin karena ia sudah mengantuk dan akan tidur siang. Tapi dugaanku salah. Bu Susi ingin nebeng aku karena ia ada keperluan ke rumah temannya. Dia menyuruhku menunggu sebentar untuk berganti pakaian. Aku duduk lagi di kursiku, sementara mbak Susi masuk kamar. Entah lupa atau menganggapku sudah seperti keluarga sendiri, mbak Susi tidak menggeser kain penutup kamarnya.

Dari tempat dudukku aku bisa melihat dengan jelas mbak Susi melepas tank top yang dikenakannya, kemudian roknya, hingga tinggal selembar celana dalam warna putih saja yang menutupi tubuhnya. Bentuk tubuhnya sungguh menggiurkan. Aku yang sudah “mupeng”, tak lagi jengah memandang. Justru kupuas-puaskan, karena kupikir, kapan lagi aku dapat “rejeki” seperti itu. Lagipula, mbak Susi seperti tak peduli aku melihat atau tidak. Ia kenakan bra yang sewarna dengan celana dalamnya, lalu celana jins. Setelah itu ia menyisir rambutnya yang panjang terurai.

Mbak Susi kemudian menemui ibunya untuk berpamitan dan menitipkan bayinya. Aku pun minta diri kepada ibu mbak Susi.

Saat berboncengan, mbak Susi menempelkan dadanya di punggungku begitu rapat dan melingkarkan tangannya di pinggangku. Tapi itu bukannya membuatku makin “mupeng”. Aku justru merasa tak enak karena berada di jalan raya. Aku khawatir ada teman atau kerabat mbak Susi yang melihat kami yang bisa berakibat fitnah. Tapi tampaknya mbak Susi cuek saja seperti itu sampai kami tiba di depan gang yang ditujunya. Begitu turun dari motor, ia berpesan agar aku menyempatkan diri mampir lagi ke rumahnya sebelum pulang ke kota asalku.

Selama mengikuti prosesi pernikahan yang memakan waktu 2 hari, sehari di rumah mempelai, sehari di gedung, benakku selalu dipenuhi bayang-bayang indah mbak Susi. Aku bahkan berkhayal, saat acara usai aku berkunjung lagi ke rumahnya dan bisa menikmati “pemandangan indah” untuk kedua kalinya.

Setelah acara pernikahan selesai, aku masih punya waktu 2 hari di Jogja sebelum kembali ke kota asalku. Pasca acara pernikahan yang melelahkan, ayah, ibu dan adikku ingin istirahat saja di hotel dan baru esok harinya jalan-jalan keliling Jogja. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Jam 10 pagi aku pamit untuk ke rumah mbak Susi dengan sepeda motor yang kusewa tak jauh dari hotel.

Setiba di sana, kulihat mbak Susi sedang menjemur baju-baju dan popok bayinya di halaman yang biasa dipakai bermain bulu tangkis. Ia mempersilakanku untuk masuk dulu ke ruang tamu. Beberapa saat kemudian ia menemuiku sambil membawa nampan dengan 2 gelas es teh dan sepiring kue-kue di atasnya. Aku sengaja duduk di kursi panjang yang kemarin kududuki agar bisa melihat lagi “pepaya Thailand” mbak Susi yang menggantung saat menunduk.

Dugaanku tak meleset. Daster tanpa lengan yang longgar tak menghalangi tatapan mata nakalku. Kali ini aku tak ingin kehilangan momen berharga. Aku tak peduli mbak Susi merasa atau tidak aku memandangi dadanya. Agak lama ia menunduk karena diselingi dengan merapikan dan membersihkan taplak meja yang sebenarnya sudah rapi dan bersih. Aku tak tahu apakah itu disengajanya untuk memberi kesempatan padaku menikmati sepasang bukitnya itu atau tidak. Yang jelas, gairah kelelakianku tergugah.

Ketika kutanyakan di mana Vina, sedang diasuh ibu di belakang, kata mbak Susi. Saat itu tiba-tiba aku punya ide untuk memancingnya dengan kata-kata yang “menjurus”.

“Vina sudah minum susu, mbak?”, tanyaku sambil cengengesan.

“Sudah, tadi pagi. Memangnya kenapa, dik?”, mbak Susi balik bertanya.

“Jam berapa kira-kira minum susu lagi?”

“Nanti jam 11. Kenapa sih kok tanya terus?”, ujarnya sambil mengernyitkan dahi diselingi senyum. Entah apa arti senyuman itu.

Aku berdiri dan merogoh kantung celanaku untuk mengambil kunci kontak sepeda motor seraya mengatakan, “Ya, sudah, mbak. Aku pergi dulu, nanti jam 11 ke sini lagi. Biar bisa lihat Vina menyusu lagi”.

Spontan mbak Susi tertawa lepas. Ucapan berikutnya dari mbak Susi membuatku merasa mendapat lampu hijau.

“Kepingin ya?”, tukas mbak Susi masih dengan senyuman penuh arti.

“Iya, mbak. Kelihatannya kok segerrr”, kataku sekenanya.

Mbak Susi tertawa lagi dan berkata, “Minta sama pacarnya sana lho”.

Aku nyengir, “Belum punya pacar, mbak”.

“Tenane?! Masa cakep gini nggak punya pacar?!”, ujar mbak Susi dengan ekspresi menggoda.

“Betul, mbak. Masih perjaka ting-ting nih”, selorohku. Lagi-lagi mbak Susi tertawa lepas.

Kemudian ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke belakang rumah. Tak lama kemudian ia kembali dengan menggendong bayinya dan langsung masuk ke kamar. Lagi-lagi aku bisa melihat kegiatannya di dalam kamar. Mula-mula ia baringkan bayinya di tempat tidur. Setelah itu melepas daster dan menggantinya dengan kaos “you can see”. Aku menahan nafas yang memburu saat melihat celana dalam hitam seksi yang dikenakannya sebelum ia mulai mengenakan rok sebatas lututnya. Begitu keluar, ia langsung menuju ke tempat dudukku. Saat hendak menjatuhkan pantat ke kursi, tangannya bertumpu di pahaku. Hal itu membuat darah mudaku “semriwing”, mengalir deras menggugah kelelakianku. Tapi aku bersikap wajar saja walaupun dalam hati bertanya, “Apa maksud mbak Susi?”.

GR-ku makin menjadi-jadi karena mbak Susi duduknya dekat sekali denganku, hingga ketika ia membungkuk hendak mengambil minumnya di meja, sudut mataku jelas melihat dua bukitnya di dalam kaos, menggantung bebas tanpa ada BH yang menahannya. Aku tahu ia tak memakai BH agar leluasa jika hendak menyusui anaknya.

Aku tak berhenti memandanginya mulai dari menyeruput es tehnya sampai meletakkannya kembali di atas meja. Tampaknya ia tahu itu.

“Kok ngeliatin aku terus, dik?”. Ia melirikku dengan senyum tersungging.

Dorongan libidoku meletup-letup hingga aku tak mampu berkata-kata. Langsung saja kukecup bahunya yang putih mulus. Ia hanya menatapku penuh arti saat kulakukan itu. Matanya pun mendadak terlihat sayu. Karena tak ada tanda-tanda penolakan, kuteruskan kecupanku, sementara tanganku meraba dadanya. Ia mendesah lirih. Desahanku itu membuatku makin bernafsu. Pelan-pelan kuturunkan satu sisi bahu you can see-nya dan tanpa ragu kuseruput bukit indahnya. Ia mendesah sambil mengusap dan sesekali meremas rambutku.

Beberapa saat lamanya ia biarkan aku melumat-lumat dadanya yang ranum, sementara tanganku mulai menjalar ke pahanya. Ia memberiku jalan untuk masuk ke dalam roknya dengan merenggangkan kedua pahanya. Sesekali ia mendesis dan mendesah menikmati cumbuanku, hingga kemudian ia mendorong lembut kepalaku agar berhenti.

“Jangan sekarang, dik. Mas Gunawan sebentar lagi datang”. Nafasnya agak tersengal.

Aku menurut. Aku tak begitu kecewa karena dengan mengatakan “jangan sekarang”, artinya ia tak keberatan jika lain kali ada kesempatan yang lebih besar. Mbak Susi membenahi rok dan kaosnya. Ketika kulihat ia beringsut akan berdiri, kugamit lengannya dan langsung mendaratkan bibirku ke bibirnya. Sesaat mbak Susi membalas ciumanku dengan penuh gairah sebelum dengan lembut melepaskannya. Ia lalu berdiri dengan satu tangannya mampir di bagian bawah tubuhku, meremasnya, untuk kemudian berlalu menuju kamar. Mataku tak lepas barang sedetikpun memandanginya. Ia melepas kaos you can see dan roknya. Saat berganti baju daster lagi, ia sengaja menghadap ke arahku, seakan memberiku isyarat bahwa suatu saat nanti aku boleh menikmati tubuh mungilnya yang padat berisi sepuasku. Aku hanya menghela nafas menyaksikan itu.

Karena aku merasa enggan berbasa-basi dengan mas Gunawan, aku tak menunggunya. Aku langsung pamit pada mbak Susi begitu keluar dari kamar. Semula ia menahanku dan menawariku untuk makan siang bersama-sama mas Gunawan, tapi kutolak.

Saat sampai di mulut gang aku berpapasan dengan mas Gunawan. Tapi karena aku mengenakan helm teropong, ia tak melihatku. Ia melajukan motornya masuk gang, sementara aku masuk ke jalan besar dan langsung memulangkan motor sewaanku.

Sejak saat itu aku terus saja dibayangi wajah mbak Susi. Sayang aku tak punya kesempatan untuk ke Jogja lagi. Tony pun sudah jarang mengajakku karena ia sudah sibuk dengan pacarnya.

Sekitar 2 minggu kemudian aku menerima sepucuk surat. Waktu kuperiksa pengirimnya, ternyata dari mbak Susi! Gemetar tanganku membuka dan kemudian membacanya. Hatiku berbunga-bunga seketika begitu membaca tulisannya yang mengatakan kalau ia kangen padaku dan selalu memikirkanku. Kata-katanya begitu puitis hingga tak bosan-bosannya aku mengulangi membacanya. Diakhir tulisannya ia berpesan, jika aku mau membalas suratnya agar dialamatkan ke rumah temannya yang ia tulis di situ yang tak lain adalah alamat di mana aku pernah mengantarnya dulu.

Dengan penuh semangat, kubuat surat balasannya untuknya. Kalimat-kalimatnya pun tak kalah puitis. Terang-terangan kutumpahkan perasaanku dalam tulisan-tulisan yang menjurus erotis. Kutulis di suratku, jika waktu itu aku bawa tustel, pasti sudah kufoto dirinya saat berganti baju.

Tampaknya mbak Susi menanggapi uneg-unegku dengan serius. Surat kedua yang kuterima darinya diselipi 2 lembar fotonya, dan semuanya membuat liurku menetes. Betapa tidak, foto yang dikirimnya adalah foto dirinya, satu dalam pose berbaring di ranjang tanpa busana, satu lagi saat ia mandi di shower! Menurut penjelasannya di surat, foto itu diambil di hotel ketika ia dan mas Gunawan datang ke kotaku beberapa waktu lalu. Saat itu ia habis bercinta dan mas Gunawan mengabadikannya dalam foto. Wow!

Waktu pun terus bergulir, hingga saat kelulusan SMA tiba. Artinya sudah lebih dari 5 bulan aku tak pernah ke Jogja lagi. Aku mulai mempesiapkan diri untuk masuk ke perguruan tinggi. Waktu pendaftaran, pilihan utamaku adalah universitas ternama di kotaku, sementara pilihan kedua di Solo. Ternyata aku diterima yang di Solo.

Semula aku agak enggan untuk mendaftar ulang di Solo karena tak ada teman, apalagi kerabat yang tinggal di sana. Namun daripada harus mendaftar di perguruan tinggi swasta yang mahal, lebih baik kumasuki saja perguruan tinggi negeri di Solo walaupun jurusannya kurang sesuai dengan minatku, dan berencana tahun berikutnya ikut tes lagi.

Tak sampai 2 minggu tinggal di Solo, aku mulai merasa betah. Apalagi aku dibolehkan orang tuaku membawa motorku. Kujelajahi setiap sudut kota Solo saat ada waktu senggang. Solo hampir mirip dengan Jogja. Kotanya relatif tenang, tak seperti kota asalku yang macet di mana-mana. Selain itu, aku dapat tempat kos yang nyaman. Halaman depannya luas dan ditumbuhi pohon-pohon rindang. Ada 15 kamar berderet menghadap jalan.

Suatu hari aku naik bus umum jurusan Jogja, bermaksud mengabarkan kepada mas Gunawan dan mbak Susi kalau aku kuliah di Solo, sekaligus menyambung tali silaturahmi. Kubawa 2 potong baju bersih karena aku ingin menginap di rumah mas Gunawan dan mbak Susi semalam.

Karena niatku adalah untuk bersilaturahmi, kutepis jauh-jauh keinginan untuk bercumbu dengan mbak Susi. Sikonnya jelas tak akan memungkinkan, sebab hari Sabtu mas Gunawan libur. Memang semenjak mendapat foto erotis mbak Susi, aku selalu saja membayangkan bercinta dengannya. Tapi saat itu aku tak berharap itu terjadi, karena aku sedang kesengsem pada salah seorang gadis, sebut saja namanya Wiwin, berasal dari Lampung, yang kos di dekat kos tempat tinggalku. Ia kuliah di perguruan tinggi swasta yang ada di Solo.
.
Sampai di halaman rumah mas Gunawan dan mbak Susi tak kulihat motor mas Gunawan. Aku mengira ia pergi dengan mbak Susi dan anaknya. Tapi itu tak mengurungkan niatku untuk bertamu. Toh aku bisa menunggu, pikirku. Tak berapa lama keluarlah ibu mbak Susi. Seperti biasa, ia menyambutku dengan ramah dan mempersilakanku masuk. Ternyata mas Gunawan mengikuti acara karyawisata dengan murid-muridnya ke Bandung sejak Jumat dan baru pulang Minggu malam. Mbak Susi dan Vina diajak serta.

Karena itulah aku tak berlama-lama di situ. Setelah berbasa-basi, aku berpamitan untuk kembali ke Solo sambil tak lupa menitip salam untuk mas Gunawan dan mbak Susi.

Tiga bulan kemudian aku jadian dengan Wiwin. Ini membuatku bisa melupakan mbak Susi.

Sayangnya, hubunganku dengan Wiwin tak bertahan lama. Hanya 4 bulan. Diam-diam hatinya tertambat pada pelatih teater mahasiswa di kampusnya. Batinku terguncang menghadapi kenyataan itu. Untuk menghalau kegalauanku, aku pergi ke Jogja. Aku berharap, pertemuan dengan mas Gunawan dan mbak Susi bisa menghiburku.

Ketika sampai di depan rumah mas Gunawan dan mbak Susi, suasana lengang. Motor mas Gunawan tak ada di tempat biasanya. Tapi karena hari itu bukan hari libur, kupikir ia sedang mengajar. Ibu mbak Susi yang kebetulan keluar dari pintu samping belakang rumahnya, mempersilakanku masuk ke ruang tamu. Kata beliau, mbak Susi sedang ke puskesmas untuk mengimunisasikan anaknya. Aku dimintanya menunggu, sementara ia pergi sebentar ke rumah tetangganya.

Selama menunggu, kuamati isi rumah mas Gunawan. Keadaannya masih sama seperti dulu. Hanya saja, di salah satu sudut ruang tamu ada sekeranjang mainan anak-anak yang diletakkan di samping kereta bayi. Dalam kesendirian, pikiranku menerawang ke beberapa bulan sebelumnya ketika aku duduk berdua dengan mbak Susi di situ, kemudian mencumbunya sebentar. Aku pun keasyikan melamun, hingga tak tahu kalau ibu mbak Susi sudah kembali dan muncul dari dapur membawa minum untukku. Ia kemudian duduk menemaniku.

Ketika kutanyakan bagaimana kabar mas Gunawan, ibu mbak Susi tampak agak gugup menjawab. Ia hanya mengatakan kalau mas Gunawan baik-baik saja dan sudah sejak 3 bulan ini tidak tinggal di situ lagi. Aku agak kaget mendengar itu. Kupikir mas Gunawan dan mbak Susi sudah punya rumah sendiri dan pindah ke rumah baru mereka. Perkiraanku keliru.

Ibu mbak Susi menjelaskan kalau mas Gunawan sudah bercerai dengan mbak Susi. Aku terhenyak di tempat dudukku. Aku tak berani bertanya lebih jauh tentang hal yang sensitif itu, tapi tampaknya ibu mbak Susi mengerti kalau aku penasaran. Lebih jauh ia menceritakan, mereka bercerai karena merasa sudah tidak cocok lagi. Hari-hari mereka lebih sering diisi dengan pertengkaran. Sebagai seorang ibu, ibu mbak Susi berusaha untuk mendamaikan mereka, tapi sia-sia. Satu hal yang kelihatan sekali kalau ibu mbak Susi tutupi adalah penyebab pertengkaran mereka. Ia sama sekali tak menyinggung-nyinggung soal itu. Aku pun tak berniat untuk mengorek keterangan lebih jauh, walau pun benakku dipenuhi dengan teka-teki mengenai prahara rumah tangga mas Gunawan dan mbak Susi.

Saat sedang asyik mengobrol, mbak Susi dan Vina datang. “Kok tumben?”, katanya begitu melihatku sambil menyunggingkan senyum khasnya. Karena aku sudah ada yang menemani, ibu mbak Susi masuk kembali ke belakang. Kulihat Vina sudah tumbuh jadi bocah mungil yang cantik. Ia tidur dalam gendongan ibunya. Mbak Susi masuk ke kamar dan membaringkan Vina di tempat tidur. Yang membuat darah mudaku berdesir, ia berganti baju tanpa menutup tirai kamarnya, persis seperti dulu. Mataku nyalang menatapnya, dan sekilas kulihat ia melirik ke arah aku duduk.

Aku agak canggung memulai pembicaraan ketika mbak Susi duduk di depanku. Suasananya sudah berbeda. Aku khawatir mbak Susi masih berduka soal perceraiannya dengan mas Gunawan. Kecanggunganku mencair saat mbak Susi membuka obrolan seputar kabarku, termasuk tentang aku yang kuliah dan kos di Solo. Ia masih murah senyum seperti dulu.

Obrolan kami terputus ketika ibu mbak Susi mengajakku dan mbak Susi untuk makan siang. Usai makan siang, kami lanjutkan lagi ngobrol di ruang makan. Aku yang semula berniat menginap, mengurungkannya karena kurasa situasinya tidak memungkinkan. Itulah sebabnya aku pamit untuk kembali ke Solo. Tapi mbak Susi bersikeras memaksaku untuk tinggal. Aku jadi bimbang karenanya. Kuutarakan padanya kalau sebenarnya aku ingin menginap di situ, tapi merasa tak enak akan merepotkannya. Mbak Susi hanya tertawa. Ia mengambil ranselku yang tergeletak di lantai dekat kursi dan meletakkannya di meja dalam kamar yang dulu biasa kutempati. Kemudian ia menyuruhku untuk istirahat di kamar.

Ada yang sedikit berbeda dengan kamar itu. Dulu ada dipan (tempat tidur), sekarang hanya kasur yang digelar di lantai dialasi karpet plastik. Rasanya jadi terlihat luas. Aku pun merebahkan diri di kasur, tapi tak langsung tidur. Kusandarkan kepalaku di dinding, merenung.

Aku merenungkan perkembangan tak terduga yang menimpa rumah tangga mas Gunawan dan mbak Susi. Betapa singkat usia perkawinan mereka, padahal ketika pertama bertemu dan pada pertemuan berikutnya dulu mereka tampak sangat bahagia, walaupun usia mereka terpaut cukup jauh. Aku ingat bagaimana mbak Susi menggelayut mesra di lengan mas Gunawan ketika bermain air di pantai Parangtritis. Saat ombak kembali menerjang, spontan mas Gunawan menggendong mbak Susi, tapi kemudian jatuh berdua. Aku dan Tony yang menyaksikan itu tertawa ngakak. Begitu juga dengan mereka yang basah kuyup.

Lamunanku beralih ke Wiwin. Hubunganku dengannya bisa dibilang sudah sampai pada tahap “nyerempet bahaya”. Sudah beberapa kali Wiwin kuajak ke kamar kosku dan kami bercumbu di sana dalam keadaan setengah telanjang. Aku lepas baju dan tinggal memakai celana panjang saja, sedangkan Wiwin nyaris polos kecuali celana dalam yang masih melekat di tubuhnya. Tapi meski begitu aku bisa menahan diri untuk tidak berbuat lebih jauh, walaupun Wiwin kulihat sudah sangat pasrah. Aku ingin menjaga agar Wiwin tak sampai ternoda sampai kami menikah nanti. Nyatanya, kami bubar di tengah jalan dan aku menyesali kenapa tidak kulakukan saja waktu itu (curhatku mengenai hubunganku dengan Wiwin akan kuceritakan tersendiri di lain waktu).

Tanpa terasa aku tertidur dan terbangun ketika terdengar celoteh anak kecil di ruang tamu. Kulihat jam menunjukkan pukul 5 sore. Aku bangkit dari pembaringan, mengambil handuk di ransel, lalu keluar kamar. Di ruang tamu mbak Susi tengah menyuapi Vina yang didudukkan di kereta bayi. Setelah berbasa-basi dengan mbak Susi, aku mandi.

Singkat cerita, jam 9 malam. Aku nonton TV di ruang tamu. Sendirian, karena mbak Susi menindurkan Vina di kamar. Ibu mbak Susi pun sejak jam 8 sudah masuk ke kamarnya setelah menemaniku sebentar.

Sejujurnya, aku tak terlalu konsentrasi pada acara TV yang memang tak menarik itu. Jantungku berdebar, memikirkan apa yang akan terjadi begitu mbak Susi keluar kamar dan menemaniku di ruang tamu. Korden jendela ruang tamu tertutup semua. Lampu ruang tamu pun tidak begitu terang. Dalam suasana seperti itu dan aku berdua saja dengan mbak Susi, sudah dapat dibayangkan apa yang akan terjadi berikutnya.

Satu-satunya yang bisa kulakukan saat itu adalah menunggu mbak Susi. Diam-diam, libidoku bangkit membayangkan bercumbu dengan mbak Susi di situ. Tunggu punya tunggu, sampai jam 10 ia tak kunjung keluar. Mungkin ketiduran waktu menyusui Vina, pikirku. Dengan perasaan kecewa, kumatikan TV dan aku ke kamar mandi untuk buang air kecil dan cuci muka.

Betapa kagetnya aku ketika kusibak kain penutup kamarku, di keremangan tampak olehku mbak Susi sudah berbaring di kasur dengan tubuhnya ditutupi selimut sampai ke dada. Sejenak aku terpaku di tempatku. Kami saling berpandangan. Di keremangan kamar, kulihat mata mbak Susi sayu menatapku. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah memintaku untuk segera mendekatinya.

Mungkin ia masuk ke kamarku saat aku ke kamar mandi, atau ketika aku duduk membelakangi kamar untuk nonton TV. Sebuah kejutan yang romantis dari mbak Susi dan ia berhasil.

Tanpa kata cinta atau rayuan sebagai pembuka, kudekati mbak Susi lalu kurebahkan tubuhku di sampingnya. Ketika kusibak selimutnya, lagi-lagi mbak Susi membuat kejutan. Ia bugil. Tanpa menunggu komando, aku pun melepas T-shirt dan celana pendekku. Mbak Susi tampaknya juga sudah tak mampu menahan nafsunya. Belum lagi celanaku terlepas dari kakiku, ia merengkuh kepalaku dan langsung mendaratkan bibirnya di bibirku.

Kejadian selanjutnya silakan Anda bayangkan sendiri. Yang jelas, saat terdengar ayam berkokok, kami sedang berjibaku dalam panasnya gejolak birahi, entah untuk yang keberapa kalinya.

Ada dua hal yang membuat terkesan malam itu.

Pertama, tak ada setetespun cairanku yang terbuang percuma. Semuanya menjadi penghuni perut mbak Susi. Ia melahapnya seperti orang kehausan.

Kedua, saat sedang berpacu dalam birahi dalam salah satu ronde yang kami mainkan, terdengar Vina merengek dari kamar sebelah. Semula mbak Susi tak mempedulikannya. Ia yang ketika itu sedang di atasku terus saja melakukan “goyang ngebor”. Tapi begitu rengekan Vina makin keras dan mulai menangis, mbak Susi beringsut sambil menarik tanganku agar mengikutinya. Sampai di kamarnya, mbak Susi menyusui Vina dengan posisi menungging. Ia menoleh ke arahku dan aku tahu apa yang diinginkannya. Agar tubuh mbak Susi tidak terlalu keras terguncang, aku melakukannya dengan pelan. Meski begitu, rasanya tak kalah nikmat. Justru bisa lebih lama, dan memberikan waktu pada Vina untuk tidur lagi. Kami pun bisa menyalurkan hajat meski dalam kondisi “darurat” seperti itu.

Keletihan yang mendera, membuatku tertidur pulas menjelang subuh.

Ketika sedang lelap, aku kembali merasakan nikmat. Dengan mata berat kubuka mataku. Cahaya matahari menyeruak di antara lubang angin yang ada di atas jendela dan korden, hingga kamarku agak terang. Kulihat mbak Susi sedang memainkan bagian bawah tubuhku dengan mulutnya. Kelelakianku bangkit, tapi aku masih sangat mengantuk. Aku pasrah saja dengan perlakuan mbak Susi. Lama ia “bekerja” di bawah sana sebelum kemudian berpindah posisi di atasku dan mulai “bekerja” lagi. Mataku terpejam, selain karena masih ngantuk, juga karena merasakan kenikmatan yang diciptakan oleh mbak Susi di setiap gerakan tubuhnya. Aku hanya mengimbangi ketika guncangannya makin keras dan begitu kukatakan kalau aku akan “meletup”, buru-buru ia berpindah ke sampingku sambil tangannya (maaf) mengocok milikku dengan cepat sementara mulutnya menganga “siap menyambut” letupanku.

Begitu usai, mbak Susi mengajakku untuk sarapan. Ternyata sudah jam 10. Sebelum sarapan aku mandi dulu. Usai sarapan aku beramah-tamah dengan ibu mbak Susi dan mbak Susi di ruang makan, dan setelah itu pamit untuk kembali ke Solo. Mbak Susi berpesan agar aku datang seminggu sekali ke rumahnya. Karena merasa tak enak dengan lingkungan sekitar dan ibu mbak Susi kalau terlalu rutin, kuusulkan sebulan sekali saja.

Karena masih merasa lelah luar biasa, sampai kamar kos aku langsung tidur lagi sampai sore.

Tiga minggu kemudian aku datang lagi di rumah mbak Susi. Menginap juga tentunya. Dan mbak Susi piawai membuat kejutan erotis yang sulit dilupakan. Sekali waktu, saat aku hendak “meletup”, mbak Susi cepat-cepat menyuruhku berdiri, sementara ia mengambil mangkuk kecil di meja. Kemudian ia “membantuku” memasukkan cairanku ke dalam mangkuk. Begitu tetes terakhir masuk ke mangkuk, ia menggoyang-goyang sebentar mangkuk itu lalu langsung menenggak isinya sampai habis. Sisa-sisa yang masih menempel di mangkuk dijilatinya hingga tak bersisa. Aku takjub melihatnya.

Sejak itu, lama aku tak bertemu mbak Susi karena aku disibukkan dengan persiapan mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri lagi, di samping ujian akhir semester. Mbak Susi sempat satu kali mengirimiku surat menanyakan kabarku, dan kubalas kalau aku sedang sibuk dan berjanji akan segera mengunjunginya begitu urusanku selesai.

Tapi janji tinggal janji. Aku diterima di perguruan tinggi negeri di kotaku dengan jurusan yang dari dulu kuincar. Artinya aku harus berbenah untuk pindah lagi. Sebetulnya, ketika keluargaku datang ke Solo untuk membantuku beres-beres, aku berencana untuk pergi ke Jogja. Tapi karena tiba-tiba ayah jatuh sakit, rencana itu tak terwujud. Aku beserta keluarga segera kembali ke kota asalku yang jaraknya sejauh 9 jam perjalanan.

Tanpa terasa, sudah 1 tahun lebih aku tak pernah bisa mewujudkan janjiku pada mbak Susi untuk mengunjunginya.

Suatu hari, sepulang kuliah aku diberitahu oleh ibu kalau ada seorang perempuan meneleponku dan berpesan agar aku menelepon di nomor yang dicatat ibu. Ternyata itu adalah nomor telepon hotel. Saat kuhubungi, operator yang menjawab dan aku disuruh menunggu sebentar. Tak lama kemudian, terdengar suara yang sangat familiar di telingaku. Suara mbak Susi. Aku pun meluncur ke hotel tempat ia menginap setelah mbak Susi memberitahu alamatnya.

Di hotel melati tempat mbak Susi menginap kami tumpahkan kerinduan kami dalam deru nafas kenikmatan duniawi yang lama tak tersalur.

Saat jeda, mbak Susi bilang kalau ia ingin menjadi TKW. Aku kaget mendengar itu. Hak asuh Vina diambil alih oleh mas Gunawan, kata mbak Susi ketika kutanyakan bagaimana dengan Vina andai mbak Susi jadi TKW. Mbak Susi yang tahu kalau ayahku pejabat bermaksud minta tolong untuk memuluskan rencananya. Aku tak bisa bicara banyak kecuali berjanji akan menyampaikannya kepada ayahku.

Ayahku marah besar begitu kukatakan hasil pembicaraanku dengan mbak Susi. Kata ayah, meskipun hubungan kami akrab, tapi aku tetap tak boleh ikut campur urusan keluarganya. Ketika kusampaikan hal itu pada mbak Susi, ia tampak kecewa. Ia kemudian memutuskan untuk kembali ke Jogja. Aku merasa tak enak padanya, tapi apa yang bisa kulakukan? Kuantar ia ke terminal, kubelikan tiket bus dan kuberikan semua uang yang ada di dompetku sebagai pegangannya.

Hanya berselang 2 hari kemudian, aku bertemu Tony dalam sebuah acara reunian kelas. Dengan berpura-pura tidak tahu, kutanyakan bagaimana kabar mas Gunawan dan mbak Susi. Aku pun pura-pura kaget ketika Tony cerita kalau mas Gunawan sudah bercerai dengan mbak Susi. Yang membuatku kaget betulan adalah ketika Tony mengungkapkan penyebab perceraian mereka.

Kata Tony, mas Gunawan menceraikan mbak Susi karena istrinya itu selingkuh. Terkuaknya perselingkuhan mbak Susi gara-gara mas Gunawan menerima surat kaleng dari seseorang. Mulanya mas Gunawan tidak percaya begitu saja pada surat kaleng itu, tapi pada surat kaleng berikutnya yang menyertakan foto “syur” mbak Susi, mas Gunawan jadi emosi. Selidik punya selidik, si pengirim surat kaleng tersebut adalah mantan selingkuhan mbak Susi yang sakit hati karena dicampakkan oleh mbak Susi. Mereka menjalin hubungan sejak mbak Susi berpacaran dengan mas Gunawan.

Tak hanya itu. Si pengirim surat kaleng juga membeberkan “kenakalan” mbak Susi sering di-booking om-om dengan bayaran uang.

Mas Gunawan langsung menceraikan mbak Susi. Semula ia bermaksud mengambil Vina dari mbak Susi, tapi karena anak semata wayangnya itu masih bayi, ia berikan waktu kepada mbak Susi untuk merawatnya. Begitu Vina berusia 2 tahun, baru mas Gunawan mengambilnya dari mbak Susi.

Aku termangu, antara percaya dan tidak, mendengar penuturan Tony. Mungkin itu sebabnya, baik mbak Susi maupun ibunya, tidak pernah menceritakan sebab-musabab perceraian mereka karena merasa malu. Mungkin itu juga sebabnya mbak Susi punya koleksi baju-baju seksi yang pernah ditunjukkan padaku ketika kami berduaan. Dan, mungkin itu juga sebabnya mbak Susi sangat “mahir” di ranjang, karena “jam terbangnya” banyak.

Meskipun itu cuma prasangkaku saja dan belum tentu kebenarannya, tapi mau tak mau aku harus berpikir ulang untuk memendam keinginan mereguk kenikmatan bersama mbak Susi lagi. Aku khawatir akan menjadi bumerang bagi diriku sendiri.

Sejak pertemuan di hotel itu, aku tak pernah lagi bertemu dengan mbak Susi. Kabar terakhir yang kudengar dari Tony setahun lalu, mas Gunawan tidak menikah lagi. Katanya ia ingin fokus memberikan perhatian pada Vina yang sudah menginjak remaja. Sementara itu, mbak Susi tak diketahui kabar beritanya. (*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Jadi Saksi Perselingkuhan Ibu Temanku

Septa, 48 tahun, Banjarmasin:


Kejadian yang paling tak bisa kulupakan adalah ketika umurku 13 tahun. Waktu itu aku masih duduk di bangku SMP di sebuah desa di Gombong, Jawa Tengah.

Salah satu teman yang akrab denganku adalah Warsito (nama samaran). Selain karena rumah kami berdekatan, juga karena ia gemar bermain sepakbola seperti halnya aku. Rumah kami berdekatan bukan berarti berdampingan, karena jarak antara satu rumah dengan rumah lain bisa sampai 100 meter. Maklum di desa. Kebanyakan setiap rumah berhalaman luas. Ada yang dijadikan kebun buah-buahan, ada juga yang hanya ditumbuhi pepohonan liar.

Bapaknya Warsito, sebut saja namanya pak Karto, bekerja sebagai mandor pabrik di Gombong. Karena jaraknya jauh, ia pulang ke desa seminggu sekali, sedangkan ibu Warsito, sebut saja namanya bu Warsih, bekerja sebagai guru SD honorer. Warsito adalah anak tunggal.

Warsito tak hanya gemar bermain sepakbola. Ia sudah keranjingan, hingga jadi malas belajar. Padahal sebenarnya ia tergolong pandai. Bila siang hari pulang sekolah ia tidak boleh keluyuran oleh ibunya, tapi harus mengulang pelajaran yang hari itu diajarkan. Ia baru boleh keluar rumah kalau sudah sore.

Untuk memenuhi nafsu gila bolanya, Warsito membuat sebuah jalan rahasia, yang berupa sebuah gedek (dinding bambu) di bawah meja belajarnya yang bisa digeser dan tembus ke bekas kandang kambing yang diubah fungsinya jadi gudang kayu-kayu bekas dan genteng. Kandang tersebut berada di bagian belakang rumahnya. Begitu tahu ibunya tidur siang di kamarnya yang ada di bagian depan rumah, ia segera kabur melalui gedek berukuran sekitar 70 cm kali 50 cm itu.

Hanya aku yang diberitahu oleh Warsito perihal jalan rahasia itu. Agar tak terlihat, gedek itu ditutupi dengan tumpukan buku pelajaran Warsito. Ia membuatnya sejak tiga tahun sebelumnya dan tak pernah ketahuan.

Suatu hari, sepulang sekolah kudatangi rumah Warsito lewat belakang rumahnya dan langsung menyelinap di antara kayu-kayu bekas yang ada di bekas kandang kambing itu. Masuknya dengan tiarap dan menggeser tubuh pelan-pelan di atas tanah seperti tentara berlatih perang.

Begitu sampai di gedek penutup lubang dengan hati-hati kugeser. Saat itulah kudengar suara “aneh”. Suara perempuan mendesah-desah dan derit tempat tidur yang bergerak-gerak. Aku yakin itu suara bu Warsih saat kudengar ia mengatakan “terus, mas” dengan nafas terengah-engah beberapa kali. Karena penasaran, kugeser lagi gedek itu hingga terbuka lebih lebar. Biasanya yang kulihat di antara tumpukan buku adalah kaki Warsito yang duduk di depan meja belajar atau belajar sambil berbaring di tempat tidur. Kali ini yang tampak olehku adalah kaki seseorang menghadap ke tempat tidur. Kakinya berada di lantai dan tertutup oleh celana coklat yang melorot.

Karena tempat tidur Warsito berada di dinding seberang dinding yang ada lubang rahasianya, aku jadi bisa melihat kejadian di tempat tidur Warsito dengan jelas, walaupun agak tertutup tumpukan buku. Ternyata kaki itu milik seorang laki-laki yang sedang “mendorong maju-mundur” tubuh seorang perempuan di hadapannya yang duduk di tepi tempat tidur. Kedua tangannya memeluk erat tubuh laki-laki itu, sementara kaki-kakinya mengangkang. Seketika aku aku bisa melihat kalau yang duduk itu adalah bu Warsih. Ia tak pakai apa-apa alias telanjang bulat. Kuamati-amati laki-laki itu yang tak lain adalah guruku waktu SD. Namanya pak Suko (bukan nama sebenarnya). Ia mengajar kesenian dan olah raga. Jantungku berdetak kencang melihat apa yang mereka lakukan.

Aku takut sekali waktu itu. Dengan tangan gemetar kugeser gedek itu ke posisi semula dan pelan-pelan aku merayap mundur kembali ke gudang. Pikiranku kacau balau, bingung tak tahu harus berbuat apa. Lalu kuputuskan untuk pergi ke lapangan, siapa tahu Warsito sudah ada di sana.

Ternyata Warsito tak ada di antara anak-anak yang bermain sepakbola. Begitu melihatku, mereka yang juga teman-temanku meneriakiku untuk ikut bermain juga. Tapi aku enggan. Aku masih memikirkan kejadian di kamar Warsito. Sambil teriak kutanyakan tentang Warsito pada temanku yang bertugas menjadi kiper. Katanya, Warsito tadi lewat lapangan dan akan pergi ke warung dulu karena disuruh ibunya. Karena jalan dari warung le rumah Warsito melewati lapangan, maka kutunggu ia di bawah pohon dekat gawang di pinggir lapangan.

Beberapa saat kemudian di kejauhan tampak olehku Warsito berlari-lari kecil. Tangannya menenteng sebuah bungkusan. Segera kuhampiri Warsito. Ternyata ia disuruh oleh ibunya untuk beli kue buat suguhan pak Suko yang datang bertamu ke rumahnya. Aku pun mengikuti langkah Warsito menuju rumahnya.

Sampai di depan rumah Warsito ada sebuah sepeda motor yang kutahu milik pak Suko. Jantungku kembali berdebar saat Warsito mengajakku masuk ke rumahnya. Apa jadinya kalau perbuatan pak Suko dan ibunya dipergoki oleh Warsito? Bisa geger desaku.

Ternyata dugaanku salah. Pak Suko sudah ada di ruang tamu. Ia menyapaku dan Warsito. Warsito langsung menuju ke belakang rumah untuk menemui ibunya, sementara aku duduk menemani pak Suko. Bibirku terasa kaku saat ia mengajakku berbincang-bincang.

Tak lama kemudian bu Warsih muncul diikuti oleh Warsito. Begitu bu Warsih menghampiri kami, pak Suko langsung berpamitan pulang. Anehnya, saat Warsito minta ijin untuk bermain sepakbola, ibunya langsung mengijinkan. Padahal biasanya marah. Lebih aneh lagi, kue-kue yang dibeli Warsito tidak disuguhkan kepada pak Suko. Dengan riang Warsito berlari dan kuikuti dari belakang.

Seiring dengan bertambahnya waktu, pengetahuanku tentang hal-hal seperti yang dilakukan oleh pak Suko dan bu Warsih yang seharusnya boleh dilakukan oleh suami istri yang sah. Itu namanya nyeleweng (dulu istilah selingkuh belum ada). Aku tak tahu apakah sampai saat aku mengerti itu (saat aku kelas 3 SMP) mereka masih melakukan perbuatan mesum seperti ketika kupergoki atau sudah tidak. Yang jelas, keadaan di desaku masih adem-ayem saja.

Keributan baru terjadi ketika aku sudah SMA. Aku tak tahu kejadian pastinya, karena waktu itu aku sedang sekolah. Tapi dari rumor yang kudengar, bu Warsih tertangkap basah sedang berdua dengan pak Suko di sebuah hotel diGombong. Yang menangkap basah adalah pak Karto sendiri bersama beberapa warga desa.

Konon kabarnya, banyak warga desa yang beberapa kali melihat pak Suko membonceng bu Warsih dengan sepeda motornya. Terakhir, ada warga berpapasan dengan pak Suko dan bu Warsih di jalan desa menuju Gombong dan menanyakan tujuan mereka. Pak Suko menjawab kalau hendak ke kantor Depdikbud (sekarang Diknas) mengantar bu Warsih mengurus pengangkatan sebagai guru tetap.

Karena merasa curiga, warga tersebut, sebut saja namanya pak Paidi, mendatangi tempat kerja pak Karto. Untuk memastikan kebenarannya, pak Karto ditemani pak Paidi pergi ke kantor Depdikbud Gombong. Di sana mereka tak menemukan pak Suko dan bu Warsih. Dari kantor Depdikbud, pak Karto pulang. Ternyata di rumah pun bu Warsih tak ada.

Merasa ada gelagat yang tak baik, pak Karto mengatur siasat dengan beberapa warga desa. Pak Karto minta kepada warga desa untuk mengawasi rumahnya.

Sekitar tiga minggu setelah itu, begitu melihat pak Suko datang ke rumah Warsito dan kemudian pergi dengan membonceng bu Warsih, salah satu warga desa menuju kantor kepala desa untuk menelepon pak Karto di kantornya untuk stand by, sementara beberapa lainnya mengikuti pak Suko dan bu Warsih.

Begitu melihat kedua pasangan dimabuk asmara itu masuk ke hotel, warga yang bertugas mengikuti segera menelepon pak Karto untuk datang ke hotel itu. Benar saja. Saat pintu kamar didobrak, pak Suko dan bu Warsih sedang duduk di ranjang. Keduanya telanjang. Karuan saja pak Karto murka. Ia perintahkan warga desa mengarak pasangan mesum itu ke desa.

Pak Kades dan seluruh perangkat desa turun tangan. Mereka meneruskan perkara itu ke instansi di mana pak Suko dan bu Warsih bernaung, yaitu Depdikbud.

Sebagai teman, aku sangat iba pada Warsito. Aku mencoba menemuinya, tapi ia tak pernah ada di rumahnya setelah kejadian itu. Ada yang bilang kalau ia dibawa bapaknya ke Jakarta, ada yang bilang ke desa bapaknya di Temanggung. Beritanya simpang siur. Yang jelas, rumahnya kosong. Tak sampai 3 bulan kemudian, rumah itu sudah berganti penghuni baru. Mungkin pak Karto telah menjualnya.

Akan halnya pak Suko dan bu Warsih, kudengar mereka dipecat dari pekerjaannya. Sebagaimana Warsito dan bapaknya, kedua pasangan selingkuh itu tak diketahui lagi keberadaannya setelah itu. Kabar yang beredar mengatakan kalau mereka tak menjalani hukuman penjara karena pak Karto mencabut pengaduannya ke polisi. Entah kenapa, tapi hal itu membuat warga kecewa. (*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Kasih Tak Sampai

Layla (nama samaran), 26 tahun, Karyawati Swasta, Surabaya:

Masa SMA adalah masa yang seharusnya indah dan menyenangkan, tapi bagiku sebaliknya. Aku punya kenangan sedih ketika SMA.


Waktu lulus SMP sebetulnya aku berniat untuk mendaftar di SMA negeri terdekat dengan rumahku yang berada di pinggiran kota Surabaya. Pertimbangan utamanya adalah untuk menghemat ongkos transport. Maklumlah, kedua orang tuaku tergolong ekonomi lemah. Bapakku seorang tenaga honorer di kantor kelurahan, sedangkan ibu berjualan nasi bungkus di depan gang rumahku. Namun karena desakan teman-temanku, aku mendaftar di sebuah SMA yang tergolong favorit. Lucunya, aku diterima, sedangkan beberapa temanku yang mengajakku mendaftar justru gagal.

Sebagai anak orang tak mampu, aku sempat minder bersekolah di situ. Teman-temanku kebanyakan datang dengan diantar mobil, sebagian lainnya naik sepeda motor sendiri. Bahkan ada beberapa yang membawa mobil sendiri. Untungnya mereka semua baik padaku, entah karena tak tahu latar belakangku atau karena memang betul-betul tulus kebaikannya.

Memang ada juga beberapa yang senasib denganku dan kemudian bersahabat denganku. Yang paling dekat denganku bernama Fitri (bukan nama sebenarnya). Dengan Fitri aku sudah seperti saudara sendiri. Kami saling curhat mengenai masalah pribadi tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Ada satu teman sekelas, sebut saja namanya Romy, tiap berangkat dan pulang selalu diantar mobil. Kudengar banyak cewek-cewek yang naksir padanya. Dia inilah yang paling sering jadi bahan obrolan kami. Menurutku, Romy adalah anak yang sombong karena jarang sekali menyapaku, sementara dengan yang lainnya bisa demikian akrab. Tapi Fitri punya pendapat lain. Menurutnya, justru Romy baik dan suka merendah.

“Kamu saja yang sok jual mahal, nunggu disapa duluan sama Romy. Kalau aku belum punya pacar, pasti sudah ikut ngantri jadi pacarnya”, ujar Fitri dengan nada menggoda.

Ia menambahkan, “Kalau memang dia sombong, pasti ke sekolah setir mobil sendiri. Buktinya, lihat saja. Ia diantar jemput ‘kan?”

“Kalau tidak sombong, kenapa ke sekolah nggak naik angkot saja?!”, ujarku sengit, meskipun sebenarnya dalam hati aku bisa menerima pendapat Fitri. Fitri hanya diam mendengar ocehanku. Biasanya ia selalu begitu, karena tak ingin kami jadi ribut.

Namun pendirianku tetap sama, ia sombong. Aku tak mau menyapa duluan karena takut dikira naksir dia. Anggapan itu lama-kelamaan menumbuhkan kebencian dalam diriku. Entah kenapa aku selalu muak setiap kali melihatnya bercanda-canda dengan teman-teman yang lain. Terlebih ia sangat royal, suka mentraktir di kantin sekolah. Pernah suatu ketika kuhardik Fitri saat ia menyeretku untuk ikutan ke kantin karena mau ditraktir Romy saat jam istirahat. Katanya, Romy ulang tahun. Meskipun miskin, aku tak mau makan pemberian orang, begitu kataku kepada Fitri waktu itu. Fitri pun akhirnya mengalah dan menemaniku ngobrol di dalam kelas.

Rasa sebelku makin bertambah waktu kenaikan kelas. Aku dan Romy berada di kelas yang sama. Sayangnya Fitri tidak. Aku ingat betul yang dikatakan Romy saat mengetahui hal itu. “Kamu seneng nggak sekelas lagi sama aku?”, katanya sambil cengar-cengir. Fitri yang ada di belakang Romy ikutan nyengir lebar menggodaku. “Nggak!”, jawabku ketus sambil berlalu dari papan pengumuman. Ia hanya tertawa melihatku. Fitri mencubit lenganku dan mengingatkanku agar tidak bersikap seperti itu.

Suatu pagi, ketika aku membantu ibuku menyiapkan meja dagangan di mulut gang sebelum berangkat sekolah, sebuah mobil mewah berhenti di seberang jalan. Aku tak begitu memperhatikannya. Tapi ketika ada suara seseorang memanggilku, baru aku melihat ke arah mobil itu. Ternyata Romy. Ia menawariku tumpangan dengan berteriak di depan mobilnya berhenti. Aku hanya menjawab singkat “Nggak usah!” lalu meneruskan pekerjaanku. Aku masuk lagi ke gang untuk mengambil dagangan ibuku. Romy tak kuhiraukan. Saat keluar gang, mobil Romy sudah tidak ada.

Gangguan Romy tak berhenti sampai di situ. Waktu bubaran sekolah lagi-lagi ia menawariku tumpangan pulang. Lagi-lagi juga aku menolak. Dikiranya aku tergiur pada mobil mewahnya, pikirku.

Beberapa minggu kemudian, tanpa kuduga-duga, Romy nongol di depan pintu rumahku. Saat itu malam minggu dan aku sedang nonton TV bersama adik-adikku. Aku kaget bukan kepalang. Adik-adikku melongo melihat kehadiran Romy. Semerbak parfumnya menyebar ke dalam rumahku yang kecil dan berhimpitan dengan rumah tetangga. Bukannya mempersilakannya masuk, aku malah berdiri dan keluar rumah. Ia ingin mengajakku makan di luar dan saat itu teman-teman yang lain sudah menunggu di restoran, jawabnya ketika kutanyakan maksud kedatangannya. Tanpa pikir panjang langsung kutolak ajakan Romy. Kukatakan kalau aku mengantuk dan mau tidur. Romy sempat memaksaku tapi akhirnya menyerah karena kutinggalkan begitu saja masuk ke dalam kamar.

Saat berbaring di ranjang, aku menyesali perbuatanku. Kupikir-pikir, tak pernah sekalipun ia menyakitiku. Aku saja yang kelewat gengsi untuk menutupi kekuranganku. Kebencian yang kupupuk dalam hatiku semata-mata mungkin karena rasa iri melihatnya begitu populer di sekolah yang kutafsirkan karena ia anak orang kaya. Jika miskin, mungkin akan seperti aku yang terkungkung dalam rasa minder yang berlebihan yang membuatku membatasi diri dalam pergaulan di sekolah.

Aku tak berani menceritakan kedatangan Romy ke rumahku kepada Fitri. Aku enggan jadi bahan candaannya yang akan didengar teman-teman yang lain, apalagi Romy.

Hari-hari berikutnya di sekolah, kuperhatikan Romy agak lebih pendiam dari biasanya. Aku sering memergokinya sedang murung, sementara teman-temanku lainnya bercanda ria. Apa karena aku telah menyakiti hatinya, pikirku. Tapi, meskipun aku berusaha untuk tidak peduli, tetap saja pikiran itu menghantuiku. Keseringan memikirkan Romy berdampak buruk pada diriku. Di luar kesadaranku, aku jadi suka membayangkan berpacaran dengannya di sebuah taman penuh bunga. Kemudian ia menciumku dengan lembut. Setiap kali muncul khayalan itu, aku mengutuk dalam hati. Membodoh-bodohkan diriku sendiri yang membiarkan larut dalam jebakan asmara Romy. Bisa jadi, murungnya itu hanya sebagai penarik simpatiku agar aku minta maaf padanya.

Setiap menjelang tidur, perang batin berkecamuk dalam diriku. Kadang aku mempertanyakan pada diriku sendiri, kenapa waktu itu ia berhenti di seberang jalan untuk mengajakku pergi ke sekolah bersama-sama, sedangkan itu bukan jalur dari rumahnya ke sekolah? Kenapa ia mau menjemputku malam minggu itu untuk makan bersama-sama dengan teman-teman yang lain, padahal ia bisa langsung ngomong padaku atau Fitri di sekolah tanpa perlu repot-repot menjemputku?

Pertanyaan-pertanyaanku memang terjawab dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, tapi dalam situasi yang membuatku menyesal seumur hidup. Penyesalan yang terlambat dan hingga kini masih sering meresahkan pikiranku, terutama saat reunian.

Betapa tidak. Malam itu, hari Jumat, sekitar jam 8, Romy datang lagi ke rumahku. Terus terang, bukan lagi sebel yang muncul dalam hatiku, tapi berbunga-bunga. Entah kenapa, untuk pertama kali sejak mengenalnya aku jadi berubah seperti itu. Tapi aku gengsi menunjukkannya. Sikap yang kutunjukkan padanya justru sebaliknya. Dengan muka masam kutanyakan apa keperluannya malam-malam datang ke rumahku. Ia bilang mau pinjam bukuku untuk melengkapi catatan pelajarannya.

Sesaat aku sempat heran ia mengenakan jaket, padahal sebelumnya tidak pernah. Masak naik mobil pakai jaket tebal seperti itu, pikirku nyinyir. Aku bergegas masuk kamar untuk mengambil buku yang ia maksud, tanpa menyuruhnya duduk. Ia berdiri saja di depan pintu rumahku. Kudengar ia menyapa adik-adikku yang sedang mengerjakan PR di lantai.

Kuberikan bukuku padanya. Kulihat ia jadi salah tingkah dan tak bicara apa-apa ketika kutanyakan apalagi buku yang mau dipinjamnya. Karena ia diam, akupun ikut diam sambil menyandarkan bahuku ke pintu. Tak dapat kusangkal kalau jantungku berdebar saat mencuri pandang dirinya.

Jantungku makin berdetak tak karuan saat ia bilang ingin mengajakku jalan-jalan malam minggu besoknya. Tapi aku berusaha menahan diri agar tak terlihat ‘excited’ menjawab ajakannya. Aku bilang, “Lihat-lihat besok lah. Kalau aku nggak ada acara”. Kulihat matanya berbinar mendengar jawabanku yang mungkin diartikan aku setuju.

Aku yang penasaran kenapa ia memakai jaket diam-diam mengikutinya hingga ke ujung gang. Aku nyaris tak percaya kalau ternyata ia naik sepeda motor untuk ke rumahku, padahal rumahnya lumayan jauh. Buru-buru aku sembunyi di balik gerobak bakso saat ia menaiki motornya dan berlalu hingga hilang dari pandanganku. Tumben, pikirku.

Seperti yang sudah-sudah, kurahasiakan kedatangan Romy ke rumahku, juga ajakannya untuk jalan-jalan malam minggu, kepada Fitri. Sebetulnya aku ingin sekali cerita, tapi kutahan. Daripada digojlok habis-habisan olehnya, lebih baik aku diam. Lebih baik kunikmati sendiri getar-getar aneh dalam hatiku yang makin hari makin sulit menghilangkan Romy dari benakku.

Yang membuat hatiku melambung ke langit, Romy mengembalikan buku catatanku sambil berpesan kalau ada sesuatu di dalamnya. Karena penasaran, kubuka halaman demi halaman mencari “sesuatu” yang dimaksud Romy. Di halaman tengah kutemukan secarik kertas bertuliskan “I love you” dengan gambar sekumpulan bunga membentuk lambang hati. Usai kubaca, kulihat Romy keluar kelas karena saat itu jam istirahat. Cepat-cepat kulipat kertas itu dan kumasukkan ke dalam kantong tas begitu

Ada yang tak biasa yang kurasakan ketika Sabtu pagi tiba. Sekolahku libur, tapi aku merasa tak senang, padahal biasanya tak sabar menunggu hari Sabtu dan Minggu. Wajah Romy terus saja menghiasi pikiranku. Aku takut mengakui kalau aku jatuh cinta padanya, tapi merasa kehilangan jika sehari saja tak bertemu. Makin siang aku makin gelisah. Rasanya lama sekali datangnya malam hari. Aku juga bingung mencari-cari baju yang cocok untuk pergi dengan Romy.

Begitu usai sholat Maghrib aku sudah sibuk di depan cermin, mematut-matut diriku dengan baju yang kukenakan. Adik-adikku yang tak biasa melihatku seperti itu keheranan menatap tingkahku. Mereka tak beranjak dari pintu kamarku meski ibuku beberapa mengatakan agar tak menggangguku.

“Mbak Layla mau pacaran. Kalian main di luar sana”, kata ibu menggodaku. Aku hanya bisa merajuk malu.

Usai berdandan, aku nonton TV di ruang tamu ditemani adik-adikku. Belum lama aku duduk, tiba-tiba hujan menguyur dengan derasnya. Aku yang sejak tadi berdebar-debar makin sulit menyembunyikan keresahanku. Bapak yang sibuk mengutak-atik motor bututnya menyuruhku untuk menyiapkan payung. Batinku yang tak tenang enggan beranjak dari kursi. Kusuruh adikku untuk mengambilkannya.

Hingga jam setengah sembilan malam tak ada tanda-tanda kedatangan Romy. Hanya gemuruh suara atap rumah tertimpa air hujan yang terdengar, bersaing dengan suara TV yang dikencangkan suaranya oleh adikku.

Satu jam kemudian aku masuk kamar untuk berganti baju. Setelah itu kuhempaskan diriku di kasur karena kesal. Betapa tidak, saat aku tak mengharapkan kehadirannya, Romy datang, tapi begitu ditunggu-tunggu tak juga nongol. Dugaan-dugaan buruk segera saja mencuat di benakku. Mungkin saat itu Romy tengah tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya karena berhasil mempermainkan aku sebagai balas dendam atas sikapku padanya selama ini. Kuambil secarik kertas pemberiannya dan kurobek-robek hingga menjadi serpihan kecil, lalu kubuang ke luar jendela. Derasnya hujan membuat serpihan kertas itu langsung hanyut ke got dan lenyap.

Malam itu aku tak bisa tidur. Rasa marah dan malu campur aduk jadi satu. Aku mengutuk kebodohanku sendiri yang membiarkan diriku larut dalam permainan Romy yang membuat timbulnya secercah harapan untuk jadi pacarnya malam itu.

Pagi harinya, ketika sedang membantu ibuku mengatur dagangannya, Fitri datang dibonceng pacarnya. Matanya basah oleh air mata. Dengan tergopoh-gopoh ia mendatangiku dan langsung memelukku. Tangisnya tumpah. Kuusap-usap punggungnya untuk menenangkannya. Kupikir ia ribut lagi sama pacarnya. Kulihat Yusuf (nama samaran), pacar Fitri, hanya duduk saja di motornya sambil memandangi kami.

“Ada apa lagi, Fit? Ribut lagi sama Yusuf ya?”, bisikku di telinganya.

“Romy, La. Romy meninggal …”, kata Fitri terbata-bata. Bagai disambar petir rasanya waktu itu. Tapi aku masih berusaha untuk tenang.

“Jangan bercanda kamu, Fit”, ujarku. Suaraku parau.

Kemudian Fitri mengajakku duduk di bangku panjang tempat biasa ibuku duduk menunggu pelanggan. Tubuhku terasa limbung ketika Fitri menceritakan kalau semalam Romy mengalami kecelakaan sepeda motor. Motor milik sopirnya itu dipinjamnya untuk pergi ke suatu tempat. Tak ada satupun keluarganya yang tahu ke mana tujuannya.

Spontan pandanganku gelap. Aku pingsan. Begitu sadar, aku sudah berada di kasur kamarku. Kulihat bapak, ibu, Fitri dan pacarnya memandangiku. Ibu memberiku segelas air putih. Ternyata saat aku tak sadarkan diri, ibu cerita kalau Romy sudah dua kali datang ke rumahku dan terakhir mengajakku jalan-jalan malam Minggu. Ajakan yang tak pernah terpenuhi. Fitri menyesalkan kenapa aku tak pernah cerita padanya. Kata Fitri, seandainya ia tahu sejak awal, ceritanya akan lain. Ia akan dengan senang hati membantuku jadi comblang. Tapi karena aku selalu bersikap ketus pada Romy, ia urungkan niatnya.

Setelah aku cukup kuat berdiri, bapak memboncengku mengikuti Fitri dan Yusuf menuju rumah Romy. Di sana sudah ramai orang. Kulihat teman-teman sekolahku bergerombol di salah satu sudut halaman rumah Romy yang luas. Semua teman cewek menangis, sementara yang cowok tertunduk sedih. Tak ada yang bicara saat aku datang. Aku langsung masuk ke dalam ruang tamu bersama Fitri di mana jenazah Romy terbaring. Air mata yang kutahan sejak dalam perjalanan tak dapat lagi kubendung. Isak tangisku meledak saat kusalami kedua orang tua Romy dan keluarganya yang ada di sekeliling jenazah.

Dalam hati aku berjanji akan rajin mengunjungi makam Romy kelak, tapi dugaanku meleset. Hari itu jenazah Romy diterbangkan ke Ujung Pandang untuk dimakamkan di makam keluarganya di sana. Kupendam dalam-dalam rasa kecewaku.

Beberapa hari setelah Romy tiada, teman-teman sekelas masih ramai membicarakan perilakunya yang tak biasa akhir-akhir ini. Menurut informasi yang mereka dapatkan dari pihak keluarga, diam-diam Romy minta sopirnya mengajari mengendarai sepeda motor. Kata sang sopir, Romy ingin sekolah naik motor sendiri agar tidak dikira sombong. Aku yang mendengar itu jadi diliputi rasa bersalah yang amat sangat. Untung ada Fitri yang selalu menghibur dan membesarkan hatiku dengan mengatakan kalau semua itu adalah takdir Allah.

Kini, aku sudah menikah dan punya satu anak. Tapi kisah cintaku yang tak kesampaian dan berakhir tragis rasanya sulit sekali kulupakan. Terutama jika saat aku berkumpul dengan mantan teman-teman SMA-ku. (*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Bagaimana Mengatur Semangat Kerja?

BMB, Semarang:

Saya adalah seorang pekerja di bidang teknik dan telah bekerja di satu perusahaan hingga memiliki pengalaman puluhan tahun.

Mungkin saya menjadi bangga diri dengan keterampilan dan pengalaman saya. Namun demikian, di kantor tempat kerja saya saat ini saya menjadi seringkali tak bergairah. Rasanya semua pekerjaan saya sehari-hari menjadi rutinitas yang membosankan. Akibatnya, energi saya berlebihan.

Bahkan, jauh sebelum waktu jam pulang saya sudah menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan saya tanpa kepuasan yang berarti. Hal ini telah berjalan satu tahun terakhir dan saya merasa tidaklah mungkin keadaan ini saya alami terus-menerus.

Apa yang harus saya lakukan agar saya dapat semangat kerja lagi ? Sebelumnya saya haturkan terima kasih.


Jawab:

BMB di Semarang, saya cukup salut dengan loyalitas Anda untuk bekerja pada satu perusahaan hingga meraih keterampilan di bidang teknik yang Anda tekuni.

Memang semangat atau motivasi kerja dalam diri seseorang selalu mengalami naik-turun. Banyak faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari.

Salah satu faktor adalah adanya goal atau tujuan yang jelas dan realistis. Akan lebih baik lagi bila Anda memiliki tujuan-tujuan dalam sebuah catatan yang dapat setiap saat Anda lihat.

Selain itu, menciptakan lingkungan yang nyaman juga dapat mempengaruhi semangat kita bekerja. Lingkungan yang segar, bersih dan wangi dengan sirkulasi udara yang sehat dapat membantu kita berpikir dan mendapatkan ide-ide yang kreatif.

Demikian juga menciptakan dan meningkatkan hubungan sosial, berolahraga maupun berekreasi dapat memberikan angin segar setelah seharian Anda berkutat dalam rutinitas kerja Anda.

Yang tak kalah penting adalah menelaah kembali penyebab yang menjadikan Anda merasa bosan di tempat kerja Anda. Lihatlah kembali kebijakan maupun sistem di tempat kerja yang mungkin menjadikan Anda merasa tidak puas dan tidak tertantang lagi.

Memang diperlukan keberanian untuk mengidentifikasi kembali keinginan dan tujuan hidup Anda dengan tetap mempertimbangkan kesempatan dan keterampilan yang Anda miliki.

Selain itu, cobalah Anda lihat kembali peran Anda di tempat kerja dan apakah peranan itu telah menjadi tujuan Anda dalam berkarir ? Kemungkinan apa saja yang dapat Anda raih di tempat kerja Anda? Hal ini dapat ditanyakan pada atasan Anda atau bagian personalia dapat membantu memberikan penjelasan tentang kesempatan karir Anda.

Bila Anda telah mendapatkan catatan tentang tujuan hidup, tujuan berkarir, dan keinginan-keinginan yang realistis maka langkah selanjutnya adalah mencari dukungan dari lingkungan kerja Anda.

Jalinlah kerja sama dengan orang-orang yang memiliki satu visi dengan Anda dan jangan pernah lelah membuka diri terhadap kritik maupun penilaian orang lain. Karena, dari hubungan sosial dan lingkungan tersebut akan didapat ide-ide kreatif yang belum pernah Anda pikirkan.

Hal ini juga dapat Anda bicarakan dengan pasangan dan keluarga Anda sebagai sumber penyemangat hidup melalui penetapan tujuan karir yang jelas dan mampu diterima oleh semua pihak.

Selamat bekerja, semoga Anda sukses selalu. (Sumber:Fakta)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Hanya Dalam Khayalan

Ojie, 21 tahun:


Aku tidak tahu apakah aku ini menderita kelainan atau memang normal untuk laki-laki seusiaku. Aku suka sekali melihat cewek memakai baju dalam atau bikini seksi, yang bagian samping celana dalamnya berupa tali.

Selama ini aku hanya menikmati “pemandangan menggairahkan” itu melalui internet. Tapi secara tak terduga aku melihat sendiri, walaupun tidak “langsung” alias tertutup baju.

Waktu itu aku mengantar mama dan adikku ke Carrefour. Karena sudah berkali-kali ke situ, aku jadi bosan. Mama dan adikku masuk untuk berbelanja, aku duduk-duduk menunggu di depan deretan kasir.

Aku duduk membelakangi kasir dan melihat-lihat berbagai kios makanan yang ada di dalam gedung Carrefour. Tanpa kuduga-duga, aku melihat seorang cewek mengenakan gaun terusan ketat berbahan kaus berwarna merah hati sedang mengantri di depan kios penjual kentang goreng.

Saking ketatnya baju yang dia pakai, celana dalam (maaf) cewek itu ngecap (membekas pada baju). Yang membuat jantungku sedut-senut, model celdamnya adalah seperti yang kusukai, yaitu bertali di bagian samping.

Otak ngeresku langsung membayangkan cewek yang kebetulan lumayan cakep itu tanpa busana. Pastilah sangat seksi. Apalagi kulitnya putih dengan rambut panjang lurus terurai seperti itu.

Beberapa saat lamanya mataku memandanginya dengan nanar. Tapi kemudian aku sadar kalau aku sedang berada di tempat umum. Sesekali kualihkan pandanganku, pura-pura melihat-lihat ke tempat lain, namun kembali lagi memandangi cewek itu.

Aku beruntung karena posisi dudukku hanya berjarak sekitar 5 meter darinya, sehingga mata dan imajinasiku terpuaskan menelanjanginya. Apalagi ia mengantri cukup lama sebelum tiba gilirannya untuk pesan kentang goreng.

Tampaknya ia merasa kalau kupandangi, karena sesekali ia menoleh ke arahku. Saat itu terjadi, aku menoleh ke tempat lain agar tidak “tertangkap basah” tengah menikmati keindahan ngecapnya.

Aku berkhayal, aku mendekatinya, lalu memperkenalkan diriku. Lalu kukatakan kalau aku ingin ngomong sesuatu sambil memintanya agar tidak marah pada omonganku. Yang ingin kukatakan padanya adalah, “Celana dalammu seksi”.

Yah, itu cuma khayalanku saja. Jelas aku tak berani ngomong begitu. Bisa-bisa ditamparnya. Lebih celaka lagi kalau aku diteriaki maling.

Yang kulakukan cuma duduk manis sambil menelan ludah dan sesekali mencuri pandang padanya.

Sayang sekali mama dan adikku keburu selesai belanja dan membayar di kasir. Padahal cewek itu masih di sana. Sayang sekali. (*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Seputar Wanita Karir

Tips Menemukan Pasangan Selagi Menjadi Wanita Karir

Ladies, sebagai wanita modern, kebanyakan dari kita ingin mencoba meniti karir dan mencapai cita-cita yang kita inginkan setinggi-tingginya. Selagi masih single, kita ingin bisa meraih banyak hal seperti kesuksesan finansial, aktualisasi diri dan sebagainya.

Namun hal ini seringkali membuat kita lupa pada hal yang cukup esensial, yaitu mencari pasangan. Karena sibuk bekerja, seringkali kita sering kehilangan banyak waktu, jarang bersosialisasi dengan lingkungan baru dan sebagainya.

Agar Anda tak 'kecolongan masa muda', ada baiknya mencoba beberapa tips berikut ini.

Berhenti Menjadi Sosok Yang Terlalu Sibuk

Pekerjaan seharusnya tak membelenggu kehidupan Anda. Bila pekerjaan menyita banyak waktu Anda, maka ada dua kemungkinan. Yang pertama adalah Anda belum bisa mengatur manajemen waktu dan yang kedua adalah Anda memilih pekerjaan yang kurang tepat bagi kehidupan Anda.

Sesibuk apapun, pastikan Anda punya waktu pribadi dan quality time untuk diri Anda sendiri. Dengan demikian akan memperlebar kesempatan Anda bertemu dengan jodoh.

Lebih Percaya Diri

Meski ini bisa menjadi masalah bagi siapapun, namun wanita karir juga rawan dirundung ketidak pedean. Cinta itu memang melihat bibit, bebet dan bobot. Namun dengan menjadi sosok yang percaya diri, Anda lebih mudah disukai oleh lingkungan.

Cobalah untuk lebih percaya bahwa diri Anda juga memiliki kelebihan yang tak dimiliki orang lain. Tidak ada orang yang dilahirkan untuk menjadi bukan siapa-siapa.

Sedikit Tricky

Mungkin ini bukanlah saran yang sepenuhnya baik. Namun setidaknya kita tak menutup mata bahwa kehidupan cinta dipenuhi trik-trik yang harus pintar-pintar kita baca. Jangan terlalu naif memandang cinta dan sesekali jaga jarak Anda untuk mengembangkan kerinduan seseorang pada Anda.

Sering-sering sharing dengan sesama teman wanita dan mendengarkan berbagai topik obrolan percintaan. Maka Anda akan mendengar banyak hal baru yang mungkin belum pernah Anda dengar sebelumnya.

Menjadi Pribadi Yang Hangat

Jangan sampai kesibukan kerja mencuri kehangatan personality Anda. Tetaplah menjadi wanita yang baik dan ramah. Pancarkan senyum penuh percaya diri yang Anda miliki sehingga orang lain tak ragu untuk mendekat.

Dengan mencoba beberapa tips di atas, karir tak akan menjadi penghalang nasib percintaan Anda. Selamat mencoba, Ladies. (Sumber: http://www.vemale.com)


Wanita Sering Remehkan Pria yang Gajinya Lebih Rendah

Vemale.com - Di masa kini, banyak wanita yang memutuskan untuk bekerja sebelum dan setelah menikah. Persaingan antar pria dan wanita untuk urusan karir makin membara.

Wanita sudah banyak menunjukkan prestasi dan kemampuan, baik dari posisi karir dan gaji yang lebih besar daripada pria.

Faktanya, hal ini justru tidak disukai pria. Saat gaji pacar atau istri lebih besar, biasanya mereka tidak suka. Misalnya saja kisah sahabat kami yang bernama Laras.

"Waktu gajiku naik, aku langsung memberitahu pacarku. Maksudku baik, supaya kami bisa merencanakan keuangan sebelum menikah. Tetapi pacarku justru tidak suka. Mungkin karena gajiku yang sekarang lebih besar. Padahal aku tidak bermaksud pamer atau meremehkan gajinya. Kenapa ya dia jadi begitu?"

Pria Merasa Gagal Jika Gajinya Lebih Rendah

Jawabannya mungkin ada dalam hasil penelitian terbaru yang ditulis dalam The Journal of Personality and Social Psychology, dilansir Geniusbeauty.com, Selasa (10/9). Para ilmuwan menyimpulkan bahwa istri atau pacar yang lebih sukses memberi kesan yang negatif pada pria.

Hal ini akan membuat pria mengevaluasi diri mereka dan menganggap keberhasilan pasangannya sebagai hal yang buruk. Pria juga berpikir bahwa keberhasilan pasangannya adalah kekalahan bagi dirinya. Hal ini akan diperparah dengan kecenderungan wanita yang meremehkan pria dengan gaji yang lebih sedikit. Sikap itu akan membuat harga diri pria turun dan hilangnya sisi superior dalam diri pria.

Maka jangan heran jika pacar atau suami Anda bersikap aneh atau tidak suka dengan fakta gaji Anda lebih besar, atau jabatan Anda lebih tinggi. (Sumber: vem/yel/ http://www.vemale.com)


Patuhi 3 Aturan Ini Agar Jadi Wanita Karir yang Sukses

Jakarta - Di era globalisasi ini, semakin banyak wanita yang ingin sukses berkarir sesuai dengan passion mereka. Apabila Anda salah satunya, coba patuhi tiga peraturan di bawah ini, seperti dikutip dari iDiva.

1. Izin dari Pasangan

Belum lama ini ada penelitian yang mengungkapkan bahwa wanita lebih mementingkan karir ketimbang cinta. Padahal, keduanya bisa diseimbangkan jika telah mendapat izin dari pasangan.

Jika Anda sudah menikah, cobalah meminta bantuan dan membagi tanggung jawab mengenai pekerjaan rumah tangga dengan pasangan, termasuk di dalamnya mengurus anak. Sebab jika suami keberatan, biasanya wanita memang harus merelakan salah satu antara keluarga atau karir yang dikorbankan.

2. Belajar Berkata Tidak

Tak sedikit wanita yang merasa kesulitan untuk menolak hanya karena merasa tidak enak dengan bos di kantor. Padahal, berkata tidak pada suatu hal bisa menuntun Anda ke jalan lain yang lebih baik. Apabila Anda disuruh melakukan sesuatu yang tidak mampu Anda lakukan, maka cobalah untuk berkata tidak.

3. Memanjakan Diri

Wanita karir yang sukses tak selalu berlama-lama mengerjakan pekerjaannya. Mereka juga memiliki waktu untuk memanjakan diri. Oleh karena itu, mulai saat ini, sesibuk apapun Anda, tetaplah memiliki waktu untuk istirahat, jalan-jalan, atau melakukan perawatan tubuh.

Jangan menjadikan kesibukan sebagai alasan untuk meninggalkan gaya hidup sehat. Ketika Anda sakit, Anda justru akan semakin repot dan pekerjaan juga akan terbengkalai. (Sumber: rma/rma/ http://wolipop.detik.com/)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Suami Penguras Harta


Vira, 53 tahun, somewhere:

Sebagai perempuan, aku termasuk terlambat menikah. Aku menikah saat menginjak usia 37 tahun. Kusadari sepenuhnya, bahwa itu adalah resiko dari kesibukanku pada pekerjaan. Ya, aku terlalu sibuk mengejar karir, hingga urusan asmara terbengkalai. Namun pengorbananku tak sia-sia. Karirku melejit cukup bagus. Begitu juga dari segi ekonomi. Aku bisa membeli mobil dan rumah sendiri dari hasil jerih payahku. Selain itu tabunganku di bank lumayan banyak. Juga perhiasan emas simpananku.

Perkenalan dengan suamiku, sebut saja namanya Yono, terjadi karena diatur oleh salah seorang kerabatku. Setelah pertemuan itu aku merasa cocok dengannya. Begitu juga dengan Yono. Kami pun kemudian berpacaran. Yono adalah seorang duda beranak satu. Anaknya, Sebut saja namanya Heri, waktu itu masih duduk di bangku SD kelas 6. Menurut pengakuan Yono, ia bekerja di sebuah perusahaan distributor buku pelajaran sekolah.

Setelah yakin pada pilihanku, kami pun menikah. Sayangnya aku tak dikaruniai anak dari pernikahanku itu. Maka tak heran kalau perhatianku kucurahkan pada Heri.

Beberapa tahun kemudian aku dipindahtugaskan ke kantor pusat yang letaknya cukup jauh (sebut saja nama kotanya X) dari kantor cabang tempat aku mengawali karir di kota Y. Akibatnya, aku dan Yono harus tinggal terpisah. Di kota X aku mengontrak sebuah rumah sederhana yang tak jauh dari kantor. Yono sendiri kemudian memutuskan untuk boyongan ke rumahku, sementara rumahnya dikontrakkan.

Untuk mengobati rasa kangen, kadang aku yang datang ke kota X, kadang Yono dan Heri yang mendatangiku.

Rupanya, tinggal terpisah mendatangkan bencana bagiku.

Suatu ketika Yono dan Heri datang ke kotaku dengan mengendarai mobil baru. Aku senang karena kupikir usaha Yono berkembang pesat. Dengan mobil itu pula lah aku kemudian ikut Yono dan Heri kembali ke kota Y untuk menikmati cutiku.

Sampai di rumah, kulihat ada sepeda motor baru di garasi. Kata Yono itu milik Heri sebagai hadiah karena diterima di SMA negeri. Sebagai istri tentu saja aku bangga mendengar penuturan Yono.

Tak cuma itu. Ternyata di dalam rumah juga ada TV dan kulkas yang semuanya baru. Juga sofa untuk ruang tamu.

Aku mengingatkan Yono agar tidak terlalu menghambur-hamburkan uang. Kusarankan untuk menabungnya agar bisa digunakan untuk hal-hal lain yang jauh lebih penting.

Sekitar 2 bulan kemudian aku ditelepon adik perempuanku, sebut saja namanya Rina, yang tinggal di kota Y. Dia bilang mau pinjam perhiasanku untuk dipakai menghadiri acara kondangan. Di keluargaku memang sudah biasa seperti itu. Saling pinjam baju atau perhiasan saat ada acara-acara tertentu. Seperti biasa, kusuruh Rina untuk langsung saja mengambil di rumahku. Ia sudah tahu di mana aku meletakkan kunci brankas tempat aku menyimpan perhiasan-perhiasanku di dalam almari pakaian.

Satu jam kemudian ia kembali meneleponku. Katanya, perhiasanku telah berkurang banyak. Ia mengira aku menjualnya sebagian. Tentu saja aku kaget. Sudah lama aku tidak membuka brankas perhiasanku, baik untuk menambah, apalagi menjualnya. Kejadian itu membuat keluargaku geger. Betapa tidak. Jika dihitung-hitung, nilai perhiasanku itu tak kurang dari empat ratus juta rupiah.

Untuk memastikan keadaan, aku mengambil cuti dan pulang ke kota Y. Ternyata benar. Perhiasanku hilang lebih dari setengah, terutama yang terbuat dari emas. Kata Yono, beberapa bulan lalu ada seseorang yang kepergok olehnya masuk ke rumah, tapi keburu kabur. Ketika kutanyakan kenapa tidak memberitahuku, ia menjawab kalau tidak perlu karena tidak ada barang yang hilang. Menurut pengakuannya, ia tidak tahu kalau ada brankas di dalam almari pakaian.

Tapi aku tidak percaya begitu saja pada ceritanya. Kukaitkan dengan adanya mobil, sepeda motor, TV, kulkas dan sofa yang semuanya baru, timbul kecurigaanku pada Yono. Ditambah lagi dengan cerita dari salah seorang kerabatku kalau Yono sudah tidak bekerja lagi di perusahaan pemasok ATK untuk kantor cabang tempat aku dulu bekerja.

Berbekal informasi itu, aku melakukan penyelidikan. Kudatangi kantor Yono. Ternyata memang ia sudah tidak bekerja di sana sejak setahun lalu. Ia dipecat dengan tidak hormat karena melakukan penggelapan uang tagihan. Batinku hancur mendengar itu. Yang lebih menyakitkan, rumah yang dulu ditempati Yono ternyata adalah rumah temannya yang kosong karena ditinggal ke luar negeri. Bukan rumahnya sendiri seperti yang selama ini dikatakan kepadaku. Jadi, sejak awal kami sepakat untuk berumah tangga aku telah dibohongi oleh Yono.

Dengan didampingi saudara-saudaraku, kuajak Yono bicara baik-baik. Mula-mula menyangkal dengan marah-marah. Ia tidak terima dituduh mencuri perhiasanku. Mobil dan semua yang ia beli adalah hasil dari pesangon yang ia terima. Hal itu membuat emosiku meledak. Bagaimana mungkin dapat pesangon kalau ia dipecat karena melakukan korupsi? Aku mengancamnya akan melaporkan ke polisi kalau ia masih saja berkelit.

Ancamanku membuahkan hasil. Ia mengakui semua perbuatannya. Yang membuatku kesal, ia melakukan itu karena sebagai suami, ia merasa berhak atas perhiasan itu.

Saat itu aku langsung merasa kalau Yono bukanlah suami yang tepat untukku. Ia tak lebih dari penipu dan maling. Aku mengajukan gugatan cerai. Mobil yang ia beli kujual lagi dan kutabung, sedangkan sepeda motor untuk Heri kuikhlaskan. Hitung-hitung sebagai sedekah.

Aku harus mulai dari nol lagi untuk menabung sebagai persiapan menghadapi hari tuaku. Aku tak ingin menggantungkan hidup pada orang lain, sekalipun itu keluargaku sendiri. Bahkan saat aku menua kelak.

Kini, di saat-saat kesendirianku, aku merasakan betapa hampa hidupku. Yang kutakutkan adalah, tak lama lagi aku pensiun yang artinya akan tinggal di rumah. Sendiri. Tak ada siapapun yang menemani sisa hidupku.

Aku selalu iri saat melintas sekolah taman kanak-kanak. Di sana banyak ibu-ibu bercengkerama sambil menunggui anaknya. Kegiatan yang selama ini kuimpikan, tapi tak pernah kualami. Kadang timbul sesal dalam hatiku, yang terlalu sibuk berkarir hingga melewatkan saat-saat indah sebagai seorang wanita pada umumnya. Menjadi ibu.

Aku sadar, mungkin ini sudah takdirku. Dan aku tak mau makin tenggelam dalam kegalauanku sendiri. Kupersiapkan baik-baik segala sesuatunya untuk menghadapi pensiun nanti. Aku bertekad untuk terus menyibukkan diri, mungkin dengan berwiraswasta atau berkebun. Atau setidaknya menyalurkan hobi melukisku yang sejak memasuki dunia kerja dulu kutinggalkan. (*)

Seperti diceritakan ybs kepada Tim JBSs. Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»