Ketika Imanku Diuji

Wim (nama samaran), 50 tahun, Pegawai BUMN:


Aku tak pernah menyangka di usia setengah abad ini aku mendapat ujian keimanan yang “menyenangkan” sekaligus “memusingkan”.

Betapa tidak. Ujian itu datang justru dari seorang gadis remaja, sebut saja namanya Nia, yang kuperkirakan usianya sama dengan usia anakku. Ia adalah seorang mahasiswi D3 dari sebuah institusi pendidikan swasta yang sedang magang di perusahaan tempat aku bekerja.

Kuakui, wajahnya di atas rata-rata. Ia yang paling laris digoda karyawan muda di tempatku, karena selain lumayan cantik, ia juga ramah dan cepat menyesuaikan diri. Selama magang, Nia ditempatkan di bagian administrasi kepegawaian, sementara aku sendiri di bagian IT. Walaupun beda bagian, tapi karena berada di satu lantai, kami jadi sering bertemu.

Kira-kira 2 minggu sejak mulai magang, aku rutin menerima pemberian kue darinya. Aku yang baru tiba di kantor mendapati kue itu dekat komputerku. Di atasnya ada tulisan di secarik kertas “Dari Nia”. Kuperiksa meja rekan-rekan kerja di sekitarku, barangkali mereka juga dapat kue seperti aku. Ternyata tak ada. Berarti hanya aku yang dapat.

Memang aku sempat bingung kenapa hanya aku yang diberi, sementara yang lain tidak. Tapi kuanggap saja kalau pemberian itu digilir, dan hari itu giliranku. Ketika berpapasan dengannya tak lupa kuucapkan terima kasih padanya. Ia menjawab sambil tersenyum manis, “Sama-sama, pak”.

Esoknya kudapati lagi kue yang berbeda, tapi masih dengan pesan yang sama, “dari Nia”. Begitu seterusnya hingga 1 minggu kemudian. Aku jadi merasa tak nyaman. Kutemui Nia di dan kuajak ke tempat yang agak sepi di sudut kantor. Kukatakan padanya kalau tak usah memberiku kue tiap hari. “Nanti kamu bangkrut”, imbuhku untuk mencairkan suasana, karena kulihat air muka Nia tampak kecewa. Ia minta maaf dan kemudian berlalu dariku.

Hari berikutnya tak ada lagi kue buatku. Sempat terpikir olehku untuk membalas kebaikannya dengan memberinya kue-kue juga, tapi karena aku khawatir akan menimbulkan fitnah jika ada yang melihat, kuurungkan niatku.

Kepalaku makin puyeng karena kemudian Nia berganti magang di bagianku, bersama 2 temannya. Puyeng karena setiap kali menandatangani buku laporannya, aku menemukan tulisan-tulisan kecil dengan pensil, seperti “Bapak cakep deh”, “Jaga kesehatan ya, pak”, “Boleh nggak besok Nia bawain nasi goreng masakan Nia?”, atau “Jangan merokok terus, pak. Nanti batuk lho”.

Mulanya aku tak ambil pusing dengan tulisan itu, karena kuanggap sebagai perhatian seorang anak kepada bapaknya. Tapi jujur dari hati kecilku, lama-lama aku terpengaruh juga. Apalagi ketika kubaca tulisan berikutnya “Nia sayang sama bapak”.

Apa maksudnya? Begitu pertanyaan dalam pikiranku setiap kali membaca tulisannya atau sikapnya padaku. Tanpa terasa, aku jadi suka mengaca, mematut diri di depan cermin. Benarkah aku cakep? Aku jadi malu sendiri. Tapi aku tak bisa mengingkari kalau aku rindu menunggu tulisan Nia berikutnya. Aku jadi merasa muda kembali.

Aku jadi merasa kehilangan waktu Nia dan teman-temannya tidak lagi hadir di kantor karena telah selesai masa magangnya. Saat acara perpisahan, kami berfoto bersama. Dan di satu kesempatan, Nia minta berfoto berdua denganku.

Ternyata rasa kehilanganku tak berlangsung lama. Kira-kira seminggu kemudian aku menerima email dari Nia. Aku tak terlalu memusingkan dari mana dia dapat alamat emailku. Yang jelas, hatiku kembali berbunga-bunga membaca surat elektroniknya.

Yang membuat jantungku dag dig dug, Nia mengatakan dalam emailnya kalau ia kangen padaku. Katanya, ia selalu terbayang wajahku yang ganteng dan berwibawa. Meski senang mendapat “rayuan” dari Nia, aku bingung harus menjawab apa. Aku tak berani mengimbangi kata-kata mesranya. Aku hanya bisa membalas emailnya dengan kalimat standar orang tua pada anaknya, yaitu berharap semoga ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan baik dan mendapat pekerjaan yang sesuai dengan cita-citanya.

Tak kusangka, dari hari ke hari emailnya makin “menjurus”. Bahkan ia mengirimiku foto-fotonya yang tergolong erotis. Betapa tidak. Dengan kamera ponselnya ia memfoto dirinya dengan penutup “minim”. Sebagai laki-laki normal, terus terang aku terangsang menatap pose-posenya yang menantang, menunjukkan lekuk liku tubuhnya yang aduhai. Dalam pesannya ia mengatakan ingin ketemuan denganku.

Aku nyaris saja tergoda menuruti “tantangannya” andai anak keduaku yang seusia Nia tidak sakit, sehingga harus dirawat di rumah sakit. Saat menungguinya, aku tersadar bahwa itu semacam “warning” dari Tuhan. Aku bersyukur belum sampai terjerumus dalam godaan Nia. Kuhapus semua email berikut foto-foto Nia dari komputerku. Emailnya tak pernah lagi kubalas. Lambat laun, Nia makin jarang mengirimiku email.

Aku berharap ia sadar bahwa “keberaniannya” yang keliru bisa menjerumuskannya dalam lembah kenistaan yang akan disesalinya seumur hidup. (*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.

Artikel Terkait Curhat