Betty adalah cinta pertamaku. Meskipun kedua orang tuaku kurang merestui hubungan kami berdua, tapi aku tak menyurutkan langkahku untuk menjadikannya cinta terakhirku. Begitupun ketika kami menikah dan tak kunjung dikaruniai anak, aku tetap mencintainya.
Hanya saja, sejak menikah sikapnya menjadi sangat posesif. Begitu pula dalam hal keuangan, ia sangat perhitungan, bahkan cenderung pelit. Padahal gajiku lumayan besar. Dalam hal keuangan ini kami memang berbeda prinsip. Aku lebih suka menikmati uang hasil jerih payahku dengan membelanjakan barang-barang yang sejak kuliah kuimpikan. Seperti perangkat komputer, misalnya. Juga barang-barang elektronika lainnya, aku ingin selalu memiliki keluaran terbaru. Sedangkan Betty, lebih suka hidup sederhana dan menabung sisa gajiku untuk membeli rumah. Lebih parah lagi, untuk kebutuhan dirinya sendiri, seperti alat-alat make up saja ia sangat berhemat, padahal aku ingin sesekali melihat ia berpenampilan beda saat aku pulang kerja. Karena selalu di rumah (aku memang memintanya untuk tidak bekerja), maka tak butuh make up, begitu selalu kilahnya.
Yang membuatku lama-lama jadi risih adalah kebiasaannya membongkar dompetku sepulang aku kerja. Kalau uangku berkurang, selalu ditanya untuk apa. Bahkan berkurang seribu rupiah pun ditanyakan. Saat kutegur agar ia tak perlu curiga, ia marah. Meski hal ini sering terjadi, tapi aku selalu berusaha sabar.
Sayangnya, kesabaranku tak cukup banyak mendekam di hatiku. Aku benar-benar marah ketika aku ayahku sakit dan butuh biaya banyak, Betty melarangku membantunya. Kupikir, ia sudah betul-betul keterlaluan.
Dalam keadaan galau, sekitar tahun 2002 aku berkenalan dengan Melati (sebut saja begitu). Ia adalah seorang mahasiswi perguruan tinggi negeri di Surabaya yang sedang magang di perusahaan tempat aku bekerja. Awal mulanya, Melati dan 2 rekannya yang juga magang, ikut numpang mobilku karena kebetulan tempat tinggal mereka searah dengan rumahku. Melati adalah penumpang terakhir yang turun, karena tempat tinggal 2 rekannya yang lain sudah turun lebih dulu.
Sejak saat itu aku bagaikan menemukan oase di padang pasir. Meski masih terbilang muda, sikapnya sangat dewasa dan terbuka. Aku jadi tak ragu untuk berbuka-bukaan dengannya. Termasuk hubunganku dengan Betty. Biasanya aku mencurahkan uneg-unegku padanya dalam perjalanan pulang, saat kedua rekannya sudah turun. Dari kebiasaan itu kemudian aku memberanikan diri mengajaknya makan malam usai pulang kerja.
Tanpa kusadari, benih-benih cinta mulai tumbuh di hatiku. Saat kuutarakan hal itu pada Melati, ia ternyata juga punya perasaan yang sama denganku. Hanya saja ia tak mau memupuknya karena tahu aku sudah beristri. Bahkan Melati mengingatkanku untuk melupakannya karena antara aku dan dia ada dinding penghalang. Mulanya aku mencoba untuk menuruti nasehatnya, tapi semakin aku berusaha, semakin sulit aku melupakannya. Tampaknya Melati pun demikian. Batinnya terbelah antara mengubur dalam-dalam cintanya padaku dengan hasratnya yang menggelora untuk selalu bersamaku.
Kami sempat tak bertemu dan saling kontak selama 2 minggu setelah masa magang Melati berakhir, karena kami telah sepakat untuk mengakhiri hubungan gelap itu. Sayangnya aku tak mampu meredam kerinduanku padanya lebih lama lagi. Saat ada kesempatan, kuberanikan diriku menghubunginya. Ternyata Melati menanggapi dengan sangat antusias. Bahkan ia yang berinisiatif untuk mengatur pertemuan di restoran di Surabaya Timur.
Dan, tanpa pernah kurencanakan dan kubayangkan sebelumnya, pertemuan itu berujung di tempat tidur sebuah hotel dengan peluh membasahi tubuh kami berdua. Melati menangis saat itu. Ia takut aku mencampakkannya kejadian itu. Aku peluk dia dan kuyakinkan padanya kalau aku sangat mencintainya.
Hari-hari berikutnya kami makin tenggelam dalam manisnya cinta terlarang. Kebetulan saat itu aku terdaftar sebagai mahasiswa S2 dengan jam kuliah malam, hingga aku punya segudang alasan pada Betty untuk mencuri kesempatan menghabiskan malam bersama Melati. Jujur kuakui, dalam bercinta Melati lebih dahsyat daripada Betty dan itu membuatku makin tergila-gila padanya.
Hingga suatu hari, saat aku bekerja Melati meneleponku. Ia mengabarkan kalau ia hamil! Bagai mendengar petir di siang bolong aku mendengar itu. Antara panik dan senang. Panik karena ini berarti mau tak mau aku harus membubarkan rumah tanggaku dengan Betty, sementara senang karena aku akan punya anak. Sepulang kerja kujemput Melati di rumahnya dan kami check in di hotel langganan kami. Di sana Melati membuat pernyataan yang mengejutkan. Ia bersedia jadi istri keduaku andai Betty tak mau kucerai. Aku memang tak berniat menceraikan Betty, karena bagaimanapun juga aku masih mencintainya. Aku lega melihat kedewasaan sikap Melati, hanya saja apakah Betty akan bisa menerima kenyataan ini? Aku belum siap mengatakannya ini padanya. Aku butuh waktu untuk berpikir, apakah berterus-terang pada Betty, atau menikahi Melati diam-diam tanpa sepengetahuan Betty.
Namun ternyata aku tak punya banyak waktu untuk berpikir. Sepulang dari hotel Betty mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku tersudut. Akhirnya malam itu juga kuceritakan hubunganku dengan Melati, tapi tak kukatakan kalau ia hamil. Betty sangat murka mendengar itu dan nyaris mati bunuh diri. Aku bingung, tak tahu apa yang harus kulakukan. Akhirnya kuhubungi kakak Betty sebut saja mbak Yetty, untuk mengurusnya dan aku pergi kerja. Aku sengaja menghindar dulu karena tak mau terjadi konfrontasi yang membuatku makin bingung. Lagi pula aku malu pada mbak Yetty yang selama ini sangat menjaga kami berdua.
Keadaan makin buruk ketika kedua orang tua Betty datang dari kampung dan tinggal di rumah kami. Aku berusaha untuk bersikap wajar, tapi nyatanya tidak semudah itu. Aku merasa, di mata mereka aku adalah laki-laki jahanam yang telah menghancurkan anak mereka. Aku sangat malu. Itulah sebabnya aku memilih menghindar dari mereka dan dengan menggunakan taksi aku pergi ke hotel. Ditemani Melati tentunya.
Nasi sudah jadi bubur. Aku tak mungkin mundur lagi. Kebobrokanku sudah terbongkar. Melalui telepon kukatakan sekalian kalau Melati sedang hamil dan aku berniat menikahinya. Aku juga minta Betty untuk tetap jadi istriku. Seperti yang kuperhitungkan sebelumnya, Betty menolak mentah-mentah tawaranku. Ia minta diceraikan. Setelah itu, setiap aku menelepon tak pernah dijawabnya.
Dua minggu pasca kejadian, seseorang meneleponku. Ternyata dari pengacara Betty. Dialah yang akan mewakili Betty dalam proses perceraian kami, karena Betty sudah pulang ke kampungnya. Di lain pihak, perusahaan memberhentikanku karena telah mengetahui kasus ini dari laporan Betty.
Kini, aku tinggal di Gresik untuk memulai hidup baru dengan Melati. Aku membuka usaha dengan menyewa ruko tak jauh dari rumah kontrakanku. Dua orang anak yang lucu setia menantiku tiap aku pulang kerja. Persis seperti yang kubayangkan saat aku hendak menikah dengan Betty dulu. Hanya saja, mereka adalah anak-anakku dari Melati.
Jauh di lubuk hatiku, aku masih mencintai Betty. Aku masih berharap suatu ketika nanti bertemu dengannya untuk meminta maaf atas semua yang kulakukan. Semoga ia menemukan penggantiku yang lebih baik dariku.
Ternyata benar kata orang, cinta pertama tak pernah mati. (mp2)
Curhat terkait : Suamiku Terpikat Gadis Belia
