SI PEMUAS
Kekuatan Cinta (Bagian 3)
Tengah malam, aku terbangun dari tidurku. Kulihat bu Diah tampak lelap di sampingku. Kusandarkan punggungku di dinding ranjang. Pikiranku sangat kacau. Aku merasa seperti sedang berada di gang buntu dengan tembok tebal dan tinggi. Aku tak bisa melanjutkan perjalanan kecuali kudobrak dinding itu. Ya, masalah yang kuhadapi bersama bu Diah tak akan pernah ada akhirnya kecuali salah satu pihak mengalah. Dan akulah yang seharusnya mengalah. Mungkin itulah saatnya aku mengambil keputusan. Keputusan yang sangat berat, ibarat makan buah simalakama. Jika kami nekad melanjutkan hubungan, bu Diah akan terus menghadapi keluarga almarhum suaminya yang tak rela aku menjadi bagian dari keluarga mereka. Di lain pihak, jika kami akhiri, bu Diah akan kehilangan untuk kedua kalinya.
Kupandangi wajah bu Diah dalam-dalam. Begitu tenang dan damai. Tiba-tiba dadaku kurasakan sesak. Sesak oleh keharuan atas jalan hidup bu Diah yang kini penuh dengan kerikil tajam. Kata hatiku kembali berperang, antara keinginan untuk meninggalkan bu Diah atau tetap bertahan. Tanpa kusadari, mataku terasa panas, kemudian basah. Aku menangis. Menangis untuk pertama kalinya sejak kutinggalkan desaku sekian tahun lalu. Aku tak pernah menyangka akan berada dalam keadaan yang dilematis seperti itu. Di satu sisi aku tak tega meninggalkan bu Diah yang akan sendirian menghadapi masalahnya, sementara di sisi lain aku tak yakin ia yang biasa hidup berkelimpahan harta akan mampu bertahan hidup denganku yang terbatas secara ekonomi. Kubaringkan kembali tubuhku, kukecup kening bu Diah lalu kupeluk erat-erat tubuhnya. Ia beringsut dan balas memelukku.
Pagi harinya, bu Diah mengantarkan bu Hendra dengan ditemani Ita pergi ke pasar naik mobil bu Diah yang terparkir di pinggir jalan, sementara aku berdiam diri di kamar. Merenung. Lamunanku dibuyarkan oleh suara ketukan di pintu. Ternyata pak Hendra. Ia bilang, ia ingin bicara denganku. Jantungku berdegup kencang. Kuikuti pak Hendra menuju beranda belakang rumahnya. Di situ pak Hendra mengatakan, kalau yang telepon semalam adalah adik dari almarhum suami bu Diah, sebut saja namanya pak Dicky. Pak Dicky berpesan pada pak Hendra untuk memisahkan bu Diah denganku, karena mereka menduga aku telah mengguna-gunai bu Diah. Aku tentu saja kaget dan geram setengah mati mendengar tuduhan itu. Lalu kuceritakan awal mula pertemuanku dengan bu Diah hingga berujung pada pernikahan siri itu.
Yang membuatku makin geram dan sempat tak percaya, ternyata yang melaporkan hubungan bu Diah denganku adalah pak Amin. Mulanya ia merasa curiga karena bu Diah selalu meminta tolong aku untuk memperbaiki perlistrikan di rumah dan villanya. Diam-diam ia mendatangi pak Kosim di rumah bu Diah saat bu Diah tak ada di rumah. Kecurigaannya makin besar ketika suatu siang ia melihat bu Diah semobil denganku keluar dari restoran. Diam-diam ia ikuti kami hingga ke kompleks perumahan yang kutinggali dan langsung menghubungi keluarga almarhum suami bu Diah. Memang waktu itu kami makan siang di luar, lalu setelah itu aku diantar bu Diah pulang. Bu Diah tidak mampir karena ada keperluan lain.
Aku baru sadar betapa licik pak Amin. Ia gagal memperistri bu Diah dan ketika melihat kedekatanku dengan wanita yang ditaksirnya itu, timbul sakit hatinya. Aku tercenung mendengar penuturan pak Hendra. Tadinya akan kuceritakan perihal pak Amin yang diam-diam ingin menyunting bu Diah untuk jadi istri keduanya, tapi kuurungkan. Kupikir, percuma membela diri dengan cara seperti itu, karena yang jadi inti permasalahan saat itu adalah bu Diah dan aku.
Kata pak Hendra, pagi itu ia sudah menghubungi pak Dicky dan minta agar seluruh keluarga besar almarhum pak Tyo untuk menerima siapapun yang jadi pendamping hidup bu Diah, tapi mereka bersikeras menolak. Atas dasar itu pak Hendra kemudian menyarankan agar “menghilang” sementara sampai semuanya reda. Dengan tegas kukatakan kalau aku akan tetap bersama bu Diah menghadapi permasalahan itu. Aku tak akan membiarkannya sendirian memperjuangkan haknya sebagai wanita yang bebas mencintai siapapun tanpa memandang status dan latar belakang kehidupan orang yang dicintainya. Beberapa kali kukatakan pada pak Hendra kalau aku sama sekali tak menginginkan harta bu Diah. Aku sudah punya pekerjaan dan meskipun gajinya kecil tapi cukup untuk hidup kami berdua.
Setelah tak ada lagi yang diperbincangkan, aku keluar rumah untuk menghirup udara segar. Kekalutan pikiranku membuat hasrat merokokku kembali timbul. Kudatangi toko kecil tak jauh dari rumah pak Hendra. Saat menyalakan rokok kulihat sebuah taksi berhenti di depan rumah pak Hendra, lalu bu Hendra dan Ita keluar dari dalam taksi. Perasaanku tiba-tiba saja tak enak melihat itu. Tadi berangkat diantar bu Diah, tapi kok pulang naik taksi tanpa bu Diah, tanyaku dalam hati. Bergegas kususul bu Hendra ke dalam rumah. Di ruang tamu bu Hendra dan pak Hendra sedang berbincang serius. Tanpa basa-basi kucecar bu Hendra dengan pertanyaan seputar keberadaan bu Diah.
Dengan bibir gemetar bu Hendra cerita kalau bu Diah dijemput beberapa kerabat pak Tyo di pasar. Kemungkinan mereka telah menunggu sejak dari rumah pak Hendra dan mengikuti hingga ke pasar. Kata bu Hendra, bu Diah menolak ajakan kerabat suaminya untuk kembali ke Bandung, tapi mereka mengancam akan mengadukanku ke polisi atas tuduhan menculik bu Diah. Darahku mendidih mendengar penuturan bu Hendra. Dengan ditemani Ita naik motor miliknya, aku ngebut menuju pasar. Tapi mereka sudah pasti tak ada di sana. Aku marah dan bingung tak tahu harus berbuat apa. Kuminta Ita untuk mengantarku ke terminal bus menuju Bandung, tapi Ita keberatan. Ia menyarankan lebih baik dibicarakan dulu dengan papanya (pak Hendra).
Pak Hendra melarangku untuk menyusul ke Bandung karena khawatir keadaan akan memanas dan berakibat pecahnya hubungan kekeluargaan antara keluarga besar pak Hendra dengan keluarga besar almarhum pak Tyo. Sekali lagi pak Hendra berjanji akan membantu menyelesaikan masalahku, dengan catatan aku harus “menghilang” dulu. Aku bersikeras untuk pergi ke Bandung saat itu, tapi hal itu justru memancing emosi pak Hendra. Nada bicaranya meninggi. Ia menyebutku sebagai orang bodoh yang tak tahu diri karena tindakanku akan merusak hubungan baik yang telah terjalin lama dengan pihak keluarga pak Tyo. Pak Hendra bahkan mengancamku, jika aku nekad menyusul bu Diah ke Bandung, ia tak akan mau lagi membantu. Dan sebaliknya, ia akan berpihak pada keluarga pak Tyo untuk melawanku.
Pikiranku benar-benar kalut menghadapi perkembangan yang tak terduga itu. Separuh jiwaku terasa hilang. Aku yang semula terbakar amarah, tiba-tiba saja lunglai tak berdaya. Kutinggalkan ruang tamu menuju kamar. Kukemasi barang-barangku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain pergi dari situ. Saat berpamitan kepada pak Hendra sekeluarga, pak Hendra lagi-lagi berpesan agar aku tak coba-coba pergi ke Bandung. Aku mengiyakan dan balik berpesan agar menjaga bu Diah baik-baik serta berjanji akan kembali untuknya. Setelah itu Ita mengantarku ke terminal.
Di terminal aku kebingungan, karena tak punya tujuan jelas hendak ke mana. Aku singgah di warung untuk ngopi dan merokok sambil memikirkan tujuanku. Belum lagi kopiku habis, kuputuskan untuk pergi ke Jogja menenangkan diri. Di sana ada salah satu kerabatku yang bisa kusinggahi.
Dalam perjalanan, aku tak dapat menahan keharuanku saat memikirkan bu Diah. Tanpa sadar, air mataku menitik. Aku telah mengalami banyak hal sejak meninggalkan desaku. Menggelandang, berkelahi dengan preman yang memalakku, ditabrak sepeda motor hingga harus dirawat di rumah sakit selama 4 hari, dan diselingkuhi pacar, semua itu kuhadapi dengan tegar. Tapi sejak mengenal bu Diah, aku telah menangis dua kali. Buru-buru kuhapus air mataku saat kulihat bocah kecil di pangkuan ibunya yang duduk di sampingku memandangiku terus.
Sampai di Jogja segera kudatangi alamat kerabatku, sebut saja namanya Tino. Ia mencari nafkah dengan berdagang alat-alat rumah tangga di pasar Beringharjo. Ia sudah menikah dan dikaruniai 4 anak. Kepada Tino kukatakan kalau aku sedang mencari pekerjaan. Di rumah Tino aku tidur di ruang tamu, karena rumahnya kecil. Sebagai tanda terima kasihku yang telah diberi tumpangan tidur, aku ikut membantunya menjaga kios di pasar, sekaligus untuk menghibur diriku sendiri yang merasa kesepian.
Hari ketiga aku tinggal di kota gudeg, Tino memberitahu kalau ada salah satu sahabatnya yang tinggal di Lampung jadi pengusaha sukses. Berbekal alamat pemberian Tino aku berangkat menuju Lampung. Sayangnya, tak ada posisi yang cocok dengan ketrampilan yang kumiliki. Semuanya sudah terisi. Tapi sahabat Tino tak serta merta membiarkanku kecewa. Ia berikan alamat salah satu saudaranya yang menjadi kepala bagian HRD di sebuah distributor komputer di Palembang.
Ternyata memang benar. Setelah melalui wawancara dan tes ketrampilan, aku diterima sebagai teknisi. Gajinya lumayan besar. Begitu juga dengan uang saku jika ada tugas keluar kota untuk melakukan maintenance di kantor pelanggan. Kusisihkan sebagian penghasilanku untuk kutabung. Aku mensyukuri betul anugerah itu. Aku yakin semua itu berkat doa-doa yang kupanjatkan usai sholat seperti yang diajarkan bu Diah. Aku juga tak berhenti belajar mengikuti perkembangan teknologi komputer yang begitu pesat.
Berkat kegigihanku, dalam waktu 2 tahun aku diangkat menjadi supervisor. Setahun kemudian, aku mengambil cuti untuk pergi ke Bekasi menemui pak Hendra. Aku ingin menepati janjiku sekaligus mencari informasi tentang bu Diah. Ternyata pak Hendra sudah meninggal beberapa bulan sejak aku pergi dari Bekasi, sementara Ita sudah menikah dan tetap tinggal di sana bersama suaminya. Ketika aku datang, bu Hendra dan Ita bersama bayinya yang menemuiku.
Aku merasakan ada sesuatu yang tidak mereka ceritakan tentang bu Diah padaku. Mereka hanya mengatakan kalau bu Diah baik-baik saja. Hubungan baiknya dengan pihak keluarga pak Tyo pun sudah pulih. Ketika kuutarakan keinginanku untuk bertemu bu Diah, bu Hendra tampak gugup menjawab. Katanya bu Diah sudah tidak tinggal di Bandung lagi, tapi tak menyebutkan pastinya di mana. Aku yang tak puas dengan jawabannya yang kunilai “mbulet” (berbelit-belit) mendesaknya. Tapi bu Hendra hanya diam membisu lalu matanya basah oleh air mata. Ita menengahi pembicaraan kami dan meminta ibunya untuk istirahat.
Dari Ita kuperoleh jawaban yang membuatku sangat kaget. Ternyata, ketika tahu aku tak lagi ada di Bekasi dan “menghilang”, kerabat pak Tyo membalikkan fakta dengan mengatakan kepada bu Diah kalau aku pergi tanpa pamit kepada pak Hendra sekeluarga. Mereka menyebutku sebagai laki-laki pengecut dan tak bertanggung jawab. Untuk menyempurnakan skenario itu, mereka memaksa agar keluarga pak Hendra membenarkan hal itu jika bu Diah bertanya kepada mereka. Dengan pertimbangan untuk menjaga hubungan baik, pak Hendra sekeluarga terpaksa memenuhi permintaan mereka.
Ita menangis saat menceritakan itu semua. Ia minta maaf padaku karena ia juga menjadi bagian dari skenario itu. Untuk menebus rasa bersalahnya ia katakan satu rahasia yang seharusnya tidak boleh dikatakan padaku. Ternyata, bu Diah dalam keadaan hamil saat itu! Untuk menjaga nama baik keluarga besarnya, bu Diah pindah ke Amerika mengikuti anak tirinya. Ia melahirkan di sana.
Aku terpana, tak percaya pada apa yang dikatakan Ita. Meskipun kemudian ia menunjukkan foto kepada, aku tetap saja tak percaya. Di foto itu tampak seorang wanita berjilbab bersama seorang bocah berusia sekitar tiga tahun. Kupandangi lekat-lekat foto itu. Wanita itu memang benar bu Diah, tapi bocah itu, benarkah anakku? Benarkah ia darah dagingku, buah cintaku dengan bu Diah?
Ita mengangguk pelan ketika kutanyakan apakah itu anakku. Kata Ita, namanya Ryan (bukan nama sebenarnya).
Jemariku gemetar, mataku terasa berkunang-kunang. Ada rasa bahagia menyeruak di relung hatiku, tapi sekaligus kalut. Kalut karena Ita tak mau memberi nomor telepon bu Diah. Ia dan seluruh keluarga besarnya telah berkomitmen untuk tidak mengganggu hidup bu Diah. Dan kehadiranku setelah sekian lama menghilang termasuk dalam kategori gangguan itu. Ita bersikeras pada pendiriannya yang membuatku nyaris hilang akal. Akhirnya kuberikan nomor telepon dan alamat rumahku padanya, berharap ia memberikannya pada bu Diah jika suatu saat menelepon atau kembali ke Indonesia. Foto itu pun kuminta sebagai pengobat rindu.
Sekujur tubuhku serasa tak bertulang saat meninggalkan rumah pak Hendra. Di dalam taksi otakku berputar-putar, hingga kuputuskan untuk langsung meluncur ke Bandung guna memastikan kebenaran cerita Ita.
Sampai di Bandung langsung kutuju rumah bu Diah. Lengang seperti biasa. Pak Kosim yang muncul membukakan pintu pagar masih mengingatku. Dan jawabannya sama dengan cerita Ita. Bu Diah pindah ke Amerika. Lagi-lagi aku lemas. Kuperintahkan sopir taksi menuju alamat di mana aku tinggal di rumah bu Diah yang satunya. Kompleks perumahan yang dulu sepi karena masih jarang penghuninya, saat itu sudah tampak ramai. Di depan rumah yang kutuju, kulihat sebuah mobil yang kuyakini bukan mobil bu Diah terparkir di halaman. Rasa penasaran yang mengusikku membuatku nekad turun dari taksi dan membunyikan bel yang ada di tembok samping pagar. Seorang wanita muda yang kuduga sebagai pembantu rumah tangga keluar menyambutku. Menurut penjelasannya, rumah itu dikontrak oleh keluarga dari Surabaya sejak 3 tahun silam. Akupun masuk ke dalam taksi.
Dalam kegalauan, kusuruh sopir taksi mengikuti arah jalan yang kutunjukkan. Aku ingin napak tilas kenanganku bersama bu Diah, seperti melewati depan hotel tempat kami berbulan madu, pertokoan di mana aku pernah diminta menemaninya belanja, hingga restoran favoritnya. Setelah itu aku ke bandara.
Sesampai di Palembang, foto bu Diah dan Ryan kuperbesar lalu kuberi pigura dan kupasang di dinding kamar rumah kontrakanku. Sulit rasanya mempercayai kalau aku punya seorang anak. Jika kuamati, anak itu mirip denganku. Rambutnya ikal, sementara kulitnya putih seperti bu Diah.
Hampir tiap satu minggu sekali aku menelepon Ita, menanyakan kalau-kalau bu Diah menghubunginya. Jawabannya selalu mengecewakanku. Apalagi setiap kali kudesak untuk memberitahu nomor telepon bu Diah di Amerika, Ita bungkam. Menurut dugaanku, bu Diah pastilah sesekali meneleponnya, tapi aku yakin kedatanganku ke Bekasi tak pernah diberitahukan kepada bu Diah.
Setiap hari aku berharap bu Diah meneleponku, tapi harapanku tinggal harapan. Hingga suatu ketika, belum genap 2 tahun aku menjadi supervisor, perusahaan memindahtugaskanku ke kantor cabangnya di Magelang yang dijadikan basis pemasaran untuk wilayah Jawa Tengah. Jabatanku pun naik jadi Asisten Manager Teknik. Sebuah rumah dan mobil disediakan untuk menunjang jabatanku. Aku senang, tapi juga sedih karena tak bu Diah dan Ryan. Seharusnya semua itu kupersembahkan padanya, dan anakku yang tak pernah kukenal.
Dorongan untuk bisa bertemu, atau setidaknya berkomunikasi dengan bu Diah dan anak kami, demikian kuatnya, hingga ketika boyongan ke Magelang kusempatkan mampir lagi ke Bekasi. Kepada Ita kuceritakan semua hasil jerih payahku yang kuharap bisa meluluhkan hatinya sehingga mau menghubungkanku dengan bu Diah. Sayangnya ia tetap saja bungkam. Aku berusaha sekuat tenaga meyakinkan Ita bahwa aku sangat mencintai bu Diah dan sangat ingin bicara sekali saja dengan dia dan anak kami, tapi Ita bergeming. Ia takut kehadiranku kembali dalam kehidupan bu Diah justru akan merusak kebahagiaannya. Lebih jauh Ita mengatakan, kalau dulu bu Diah sudah bersumpah tidak ingin bertemu denganku lagi karena meninggalkannya dalam keadaan hamil.
Aku benar-benar kehabisan kata-kata untuk memaksa Ita memberi nomor telepon bu Diah. Bahkan ketika kutanyakan apa bu Diah mengirimkan foto anak kami lagi, Ita menggeleng. Aku tahu ia berbohong, tapi aku tak bisa memaksanya. Aku sudah kehabisan akal. Seluruh keluarga besar bu Diah pun tampaknya tak akan pernah merestui hubunganku dengan bu Diah. Mereka lebih memilih mempertahankan hubungan baik dengan keluarga besar pak Tyo daripada menerima masuk menjadi anggota keluarga.
Pupus sudah harapanku.
Hari-hariku di Magelang kujalani dengan perasaan hampa. Rasanya semua yang kuraih ini tak ada artinya. Hal ini membuatku nyaris kehilangan semangat bekerja. Apalagi rumah dinas yang kutempati berdekatan dengan sekolah taman kanak-kanak (TK). Hatiku bagai tertusuk sembilu setiap melihat bocah-bocah lucu sedang bermain-main di halaman sekolah tiap aku berangkat kerja. Ryan pastilah sudah seusia mereka saat ini.
Pernah suatu ketika, aku berhenti di depan sekolah, memarkir mobilku, lalu turun dan berdiri di sisi luar pagar sekolah hanya untuk menyaksikan anak-anak itu berceloteh dan berlarian ke sana kemari, sementara para ibu muda pengantar mereka sibuk berbincang-bincang di bangku panjang yang disediakan di halaman sekolah. Mungkin tampangku seperti orang linglung saat itu, diam mematung mengamati mereka. Pedih sekali rasanya hatiku. Kubayangkan, bu Diah ada di antara ibu-ibu itu sementara Ryan bermain-main dengan teman-temannya.
Ternyata Tuhan tak membiarkanku terpuruk dalam kesepian yang berkepanjangan.
Biasanya aku pulang kantor di atas jam 7 malam, tapi petang itu aku pulang jam 6 karena tak enak badan. Aku baru saja turun dari mobil untuk membuka pagar rumah ketika kudengar jeritan beberapa anak kecil berbaju muslim yang tadi kulewati. Mungkin mereka pulang mengaji. Saat kutengok, ada sebuah sepeda motor terguling di dekat mereka. Sebuah tangisan pecah. Segera kuhampiri mereka. Kulihat seorang anak terduduk menangis di keliling teman-temannya, sementara gadis berseragam SMA pengendara sepeda motor tergopoh-gopoh menegakkan kembali motornya.
Kata gadis itu, motornya tiba-tiba oleh karena melindas batu lalu jatuh hingga menabrak bocah yang terduduk itu. Bocah yang menangis itu, yang kemudian kuketahui bernama Rangga (nama samaran), kugendong dan kubawa ke rumahku diikuti 4 temannya, sementara gadis SMA itu melanjutkan perjalanannya. Setelah kuperiksa, tak ada satupun luka lecet di tubuhnya. Ia hanya shock. Kuambilkan mereka beberapa gelas air mineral sementara aku buru-buru sholat Maghrib karena waktunya sudah hampir habis.
Usai sholat, kutanyakan alamat rumah mereka dan kutawari untuk kuantarkan. Ternyata mereka tinggal di kompleks perumahan tak jauh dari rumahku. Satu per satu kuserahkan anak-anak polos itu kepada orang tua mereka sambil menceritakan kejadian yang menimpa mereka. Karena rumahnya yang paling jauh, Rangga dapat giliran kuantar terakhir.
Seorang wanita muda berjilbab (sebut saja namanya Ratna) terlihat panik begitu ia membuka pintu rumahnya dan langsung dipeluk oleh Rangga. Seorang bocah kecil yang kuduga adik Rangga turut keluar menyambut kami. Seperti sebelumnya, kuceritakan padanya insiden kecil yang terjadi pada Rangga. Ia berbasa-basi menawariku untuk singgah, tapi kutolak dengan halus karena aku sedang tak enak badan.
Beberapa hari kemudian, ketika itu hari Sabtu sisi sentimentilku kambuh. Untuk mengisi waktu senggangku, aku berjalan kaki menuju sekolah TK demi mengobati kerinduanku pada bu Diah dan Ryan. Begitu sampai sekolah, tak ada satupun bocah yang bermain-main di halaman. Hanya ibu-ibu muda yang tengah bercengkerama. Tampaknya pelajaran sedang berlangsung.
Aku mencari tempat yang teduh dekat pedagang teh botol. Letaknya tak begitu jauh dari tempat ibu-ibu menunggu. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada salah seorang ibu muda berjilbab. Ibunya Rangga. Kebetulan saat itu ia juga melihatku. Ia segera berdiri mendekat pagar sekolah. Aku yang sebenarnya enggan berkomunikasi dan ingin memuaskan lamunanku, mau tak mau mendekat ke pagar untuk menemui wanita bernama Ratna itu.
Aku tergagap ketika ia tanya apakah anakku sekolah di situ juga. Aku tak punya jawaban lain selain mengatakan kalau aku hanya berteduh di situ setelah jalan-jalan mengisi libur Sabtu. Ratna yang saat itu menunggui adik Rangga, sebut saja namanya Rika, kemudian keluar dari halaman sekolah dan menemaniku. Kelihatan sekali kalau ia merasa berhutang budi padaku dengan sikapnya yang ramah. Kami pun kemudian ngobrol. Ratna ternyata wanita yang supel dan enak diajak ngobrol. Aku merasa terhibur olehnya. Obrolan kami terputus ketika terdengar bel tanda istirahat murid-murid TK. Ratna pamit padaku untuk masuk kembali ke halaman sekolah.
Sabtu berikutnya aku kembali bertemu Ratna. Pada pertemuan itu aku mulai terbuka padanya ketika ia menanyakan kenapa aku suka sekali berada di situ, padahal tidak sedang menunggui anak sekolah. Kuceritakan dengan terus terang kalau hubunganku dengan istriku tidak mendapat restu dari keluarganya dan memisahkan kami. Kukatakan juga kalau aku ke situ karena ingin melihat anak-anak yang sebaya dengan anakku. Ratna tampak trenyuh mendengar penuturanku. Hal itu tampaknya membuat ia terpancing untuk membuka diri. Ia cerita kalau telah bercerai 2 tahun lalu karena suaminya kecantol teman sekantornya. Mulanya mereka menikah diam-diam dan terbongkar atas laporan dari teman kantor mereka sendiri. Suaminya tetap bekerja di situ, tapi istri barunya harus keluar. Setelah bercerai Ratna pindah ke rumah orang tuanya di kompleks perumahan itu. Ia tinggal bersama ibunya, karena ayahnya sudah meninggal.
Kesamaan latar belakang itulah yang kemudian mendekatkanku pada Ratna. Kehadirannya dalam hidupku mampu mengusir rasa hampa yang selama ini menyelimutiku. Usia Ratna yang 30 tahun terbilang muda jika dibandingkan denganku, tapi sikapnya yang dewasa membuatku terpikat. Terlebih ibadahnya juga rajin.
Tak sampai 6 bulan aku memantapkan diri menikahinya karena iapun menyimpan rasa cinta padaku. Kuminta orang tuaku di kampung untuk datang melamar Ratna.
Tiga bulan kemudian kami menikah. Foto bu Diah dan Ryan kubungkus rapat dengan plastik dan kusimpan di gudang, kuganti dengan foto pernikahanku dengan Ratna. Aku bukan bermaksud menyingkirkan bu Diah dan Ryan dari hidupku. Aku hanya mencoba bersikap realistis. Aku punya kehidupan baru yang harus kujalani. Aku juga ingin menghormati Ratna beserta keluarganya. Aku ingin menjadi imam yang baik buat dia dan anak-anaknya yang kini jadi anak-anakku.
Meski begitu, jauh di lubuk hatiku aku tetap tak akan melupakan bu Diah, terutama budi baiknya dalam membekaliku dengan ilmu dunia dan akherat yang membuatku berhasil hingga saat ini. Aku tak pernah lupa mendoakan keselamatan, kesehatan dan kebahagiaan untuknya dan Ryan.
Satu pelajaran yang dapat kupetik dari bu Diah: di satu sisi, kekuatan cinta antara aku dengannya mampu menyatukan kami yang berbeda status, di sisi lain, kekuatan cinta keluarganya jugalah yang akhirnya memisahkan kami, juga karena perbedaan status.
Sekarang (ketika kisah ini diungkapkan), anakku bertambah satu buah pernikahanku dengan Ratna. Rangga dan Rika senang sekali menyambut adik baru mereka, seorang bayi laki-laki yang kami beri nama …. Ryan. (*)
Seperti diceritakan ybs kepada Tim JBSs. Curhat ini telah melalui proses dramatisasi di beberapa kejadian untuk menjaga kesinambungan alur cerita tanpa merubah substansinya.
Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»
Kupandangi wajah bu Diah dalam-dalam. Begitu tenang dan damai. Tiba-tiba dadaku kurasakan sesak. Sesak oleh keharuan atas jalan hidup bu Diah yang kini penuh dengan kerikil tajam. Kata hatiku kembali berperang, antara keinginan untuk meninggalkan bu Diah atau tetap bertahan. Tanpa kusadari, mataku terasa panas, kemudian basah. Aku menangis. Menangis untuk pertama kalinya sejak kutinggalkan desaku sekian tahun lalu. Aku tak pernah menyangka akan berada dalam keadaan yang dilematis seperti itu. Di satu sisi aku tak tega meninggalkan bu Diah yang akan sendirian menghadapi masalahnya, sementara di sisi lain aku tak yakin ia yang biasa hidup berkelimpahan harta akan mampu bertahan hidup denganku yang terbatas secara ekonomi. Kubaringkan kembali tubuhku, kukecup kening bu Diah lalu kupeluk erat-erat tubuhnya. Ia beringsut dan balas memelukku.
Pagi harinya, bu Diah mengantarkan bu Hendra dengan ditemani Ita pergi ke pasar naik mobil bu Diah yang terparkir di pinggir jalan, sementara aku berdiam diri di kamar. Merenung. Lamunanku dibuyarkan oleh suara ketukan di pintu. Ternyata pak Hendra. Ia bilang, ia ingin bicara denganku. Jantungku berdegup kencang. Kuikuti pak Hendra menuju beranda belakang rumahnya. Di situ pak Hendra mengatakan, kalau yang telepon semalam adalah adik dari almarhum suami bu Diah, sebut saja namanya pak Dicky. Pak Dicky berpesan pada pak Hendra untuk memisahkan bu Diah denganku, karena mereka menduga aku telah mengguna-gunai bu Diah. Aku tentu saja kaget dan geram setengah mati mendengar tuduhan itu. Lalu kuceritakan awal mula pertemuanku dengan bu Diah hingga berujung pada pernikahan siri itu.
Yang membuatku makin geram dan sempat tak percaya, ternyata yang melaporkan hubungan bu Diah denganku adalah pak Amin. Mulanya ia merasa curiga karena bu Diah selalu meminta tolong aku untuk memperbaiki perlistrikan di rumah dan villanya. Diam-diam ia mendatangi pak Kosim di rumah bu Diah saat bu Diah tak ada di rumah. Kecurigaannya makin besar ketika suatu siang ia melihat bu Diah semobil denganku keluar dari restoran. Diam-diam ia ikuti kami hingga ke kompleks perumahan yang kutinggali dan langsung menghubungi keluarga almarhum suami bu Diah. Memang waktu itu kami makan siang di luar, lalu setelah itu aku diantar bu Diah pulang. Bu Diah tidak mampir karena ada keperluan lain.
Aku baru sadar betapa licik pak Amin. Ia gagal memperistri bu Diah dan ketika melihat kedekatanku dengan wanita yang ditaksirnya itu, timbul sakit hatinya. Aku tercenung mendengar penuturan pak Hendra. Tadinya akan kuceritakan perihal pak Amin yang diam-diam ingin menyunting bu Diah untuk jadi istri keduanya, tapi kuurungkan. Kupikir, percuma membela diri dengan cara seperti itu, karena yang jadi inti permasalahan saat itu adalah bu Diah dan aku.
Kata pak Hendra, pagi itu ia sudah menghubungi pak Dicky dan minta agar seluruh keluarga besar almarhum pak Tyo untuk menerima siapapun yang jadi pendamping hidup bu Diah, tapi mereka bersikeras menolak. Atas dasar itu pak Hendra kemudian menyarankan agar “menghilang” sementara sampai semuanya reda. Dengan tegas kukatakan kalau aku akan tetap bersama bu Diah menghadapi permasalahan itu. Aku tak akan membiarkannya sendirian memperjuangkan haknya sebagai wanita yang bebas mencintai siapapun tanpa memandang status dan latar belakang kehidupan orang yang dicintainya. Beberapa kali kukatakan pada pak Hendra kalau aku sama sekali tak menginginkan harta bu Diah. Aku sudah punya pekerjaan dan meskipun gajinya kecil tapi cukup untuk hidup kami berdua.
Setelah tak ada lagi yang diperbincangkan, aku keluar rumah untuk menghirup udara segar. Kekalutan pikiranku membuat hasrat merokokku kembali timbul. Kudatangi toko kecil tak jauh dari rumah pak Hendra. Saat menyalakan rokok kulihat sebuah taksi berhenti di depan rumah pak Hendra, lalu bu Hendra dan Ita keluar dari dalam taksi. Perasaanku tiba-tiba saja tak enak melihat itu. Tadi berangkat diantar bu Diah, tapi kok pulang naik taksi tanpa bu Diah, tanyaku dalam hati. Bergegas kususul bu Hendra ke dalam rumah. Di ruang tamu bu Hendra dan pak Hendra sedang berbincang serius. Tanpa basa-basi kucecar bu Hendra dengan pertanyaan seputar keberadaan bu Diah.
Dengan bibir gemetar bu Hendra cerita kalau bu Diah dijemput beberapa kerabat pak Tyo di pasar. Kemungkinan mereka telah menunggu sejak dari rumah pak Hendra dan mengikuti hingga ke pasar. Kata bu Hendra, bu Diah menolak ajakan kerabat suaminya untuk kembali ke Bandung, tapi mereka mengancam akan mengadukanku ke polisi atas tuduhan menculik bu Diah. Darahku mendidih mendengar penuturan bu Hendra. Dengan ditemani Ita naik motor miliknya, aku ngebut menuju pasar. Tapi mereka sudah pasti tak ada di sana. Aku marah dan bingung tak tahu harus berbuat apa. Kuminta Ita untuk mengantarku ke terminal bus menuju Bandung, tapi Ita keberatan. Ia menyarankan lebih baik dibicarakan dulu dengan papanya (pak Hendra).
Pak Hendra melarangku untuk menyusul ke Bandung karena khawatir keadaan akan memanas dan berakibat pecahnya hubungan kekeluargaan antara keluarga besar pak Hendra dengan keluarga besar almarhum pak Tyo. Sekali lagi pak Hendra berjanji akan membantu menyelesaikan masalahku, dengan catatan aku harus “menghilang” dulu. Aku bersikeras untuk pergi ke Bandung saat itu, tapi hal itu justru memancing emosi pak Hendra. Nada bicaranya meninggi. Ia menyebutku sebagai orang bodoh yang tak tahu diri karena tindakanku akan merusak hubungan baik yang telah terjalin lama dengan pihak keluarga pak Tyo. Pak Hendra bahkan mengancamku, jika aku nekad menyusul bu Diah ke Bandung, ia tak akan mau lagi membantu. Dan sebaliknya, ia akan berpihak pada keluarga pak Tyo untuk melawanku.
Pikiranku benar-benar kalut menghadapi perkembangan yang tak terduga itu. Separuh jiwaku terasa hilang. Aku yang semula terbakar amarah, tiba-tiba saja lunglai tak berdaya. Kutinggalkan ruang tamu menuju kamar. Kukemasi barang-barangku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain pergi dari situ. Saat berpamitan kepada pak Hendra sekeluarga, pak Hendra lagi-lagi berpesan agar aku tak coba-coba pergi ke Bandung. Aku mengiyakan dan balik berpesan agar menjaga bu Diah baik-baik serta berjanji akan kembali untuknya. Setelah itu Ita mengantarku ke terminal.
Di terminal aku kebingungan, karena tak punya tujuan jelas hendak ke mana. Aku singgah di warung untuk ngopi dan merokok sambil memikirkan tujuanku. Belum lagi kopiku habis, kuputuskan untuk pergi ke Jogja menenangkan diri. Di sana ada salah satu kerabatku yang bisa kusinggahi.
Dalam perjalanan, aku tak dapat menahan keharuanku saat memikirkan bu Diah. Tanpa sadar, air mataku menitik. Aku telah mengalami banyak hal sejak meninggalkan desaku. Menggelandang, berkelahi dengan preman yang memalakku, ditabrak sepeda motor hingga harus dirawat di rumah sakit selama 4 hari, dan diselingkuhi pacar, semua itu kuhadapi dengan tegar. Tapi sejak mengenal bu Diah, aku telah menangis dua kali. Buru-buru kuhapus air mataku saat kulihat bocah kecil di pangkuan ibunya yang duduk di sampingku memandangiku terus.
Sampai di Jogja segera kudatangi alamat kerabatku, sebut saja namanya Tino. Ia mencari nafkah dengan berdagang alat-alat rumah tangga di pasar Beringharjo. Ia sudah menikah dan dikaruniai 4 anak. Kepada Tino kukatakan kalau aku sedang mencari pekerjaan. Di rumah Tino aku tidur di ruang tamu, karena rumahnya kecil. Sebagai tanda terima kasihku yang telah diberi tumpangan tidur, aku ikut membantunya menjaga kios di pasar, sekaligus untuk menghibur diriku sendiri yang merasa kesepian.
Hari ketiga aku tinggal di kota gudeg, Tino memberitahu kalau ada salah satu sahabatnya yang tinggal di Lampung jadi pengusaha sukses. Berbekal alamat pemberian Tino aku berangkat menuju Lampung. Sayangnya, tak ada posisi yang cocok dengan ketrampilan yang kumiliki. Semuanya sudah terisi. Tapi sahabat Tino tak serta merta membiarkanku kecewa. Ia berikan alamat salah satu saudaranya yang menjadi kepala bagian HRD di sebuah distributor komputer di Palembang.
Ternyata memang benar. Setelah melalui wawancara dan tes ketrampilan, aku diterima sebagai teknisi. Gajinya lumayan besar. Begitu juga dengan uang saku jika ada tugas keluar kota untuk melakukan maintenance di kantor pelanggan. Kusisihkan sebagian penghasilanku untuk kutabung. Aku mensyukuri betul anugerah itu. Aku yakin semua itu berkat doa-doa yang kupanjatkan usai sholat seperti yang diajarkan bu Diah. Aku juga tak berhenti belajar mengikuti perkembangan teknologi komputer yang begitu pesat.
Berkat kegigihanku, dalam waktu 2 tahun aku diangkat menjadi supervisor. Setahun kemudian, aku mengambil cuti untuk pergi ke Bekasi menemui pak Hendra. Aku ingin menepati janjiku sekaligus mencari informasi tentang bu Diah. Ternyata pak Hendra sudah meninggal beberapa bulan sejak aku pergi dari Bekasi, sementara Ita sudah menikah dan tetap tinggal di sana bersama suaminya. Ketika aku datang, bu Hendra dan Ita bersama bayinya yang menemuiku.
Aku merasakan ada sesuatu yang tidak mereka ceritakan tentang bu Diah padaku. Mereka hanya mengatakan kalau bu Diah baik-baik saja. Hubungan baiknya dengan pihak keluarga pak Tyo pun sudah pulih. Ketika kuutarakan keinginanku untuk bertemu bu Diah, bu Hendra tampak gugup menjawab. Katanya bu Diah sudah tidak tinggal di Bandung lagi, tapi tak menyebutkan pastinya di mana. Aku yang tak puas dengan jawabannya yang kunilai “mbulet” (berbelit-belit) mendesaknya. Tapi bu Hendra hanya diam membisu lalu matanya basah oleh air mata. Ita menengahi pembicaraan kami dan meminta ibunya untuk istirahat.
Dari Ita kuperoleh jawaban yang membuatku sangat kaget. Ternyata, ketika tahu aku tak lagi ada di Bekasi dan “menghilang”, kerabat pak Tyo membalikkan fakta dengan mengatakan kepada bu Diah kalau aku pergi tanpa pamit kepada pak Hendra sekeluarga. Mereka menyebutku sebagai laki-laki pengecut dan tak bertanggung jawab. Untuk menyempurnakan skenario itu, mereka memaksa agar keluarga pak Hendra membenarkan hal itu jika bu Diah bertanya kepada mereka. Dengan pertimbangan untuk menjaga hubungan baik, pak Hendra sekeluarga terpaksa memenuhi permintaan mereka.
Ita menangis saat menceritakan itu semua. Ia minta maaf padaku karena ia juga menjadi bagian dari skenario itu. Untuk menebus rasa bersalahnya ia katakan satu rahasia yang seharusnya tidak boleh dikatakan padaku. Ternyata, bu Diah dalam keadaan hamil saat itu! Untuk menjaga nama baik keluarga besarnya, bu Diah pindah ke Amerika mengikuti anak tirinya. Ia melahirkan di sana.
Aku terpana, tak percaya pada apa yang dikatakan Ita. Meskipun kemudian ia menunjukkan foto kepada, aku tetap saja tak percaya. Di foto itu tampak seorang wanita berjilbab bersama seorang bocah berusia sekitar tiga tahun. Kupandangi lekat-lekat foto itu. Wanita itu memang benar bu Diah, tapi bocah itu, benarkah anakku? Benarkah ia darah dagingku, buah cintaku dengan bu Diah?
Ita mengangguk pelan ketika kutanyakan apakah itu anakku. Kata Ita, namanya Ryan (bukan nama sebenarnya).
Jemariku gemetar, mataku terasa berkunang-kunang. Ada rasa bahagia menyeruak di relung hatiku, tapi sekaligus kalut. Kalut karena Ita tak mau memberi nomor telepon bu Diah. Ia dan seluruh keluarga besarnya telah berkomitmen untuk tidak mengganggu hidup bu Diah. Dan kehadiranku setelah sekian lama menghilang termasuk dalam kategori gangguan itu. Ita bersikeras pada pendiriannya yang membuatku nyaris hilang akal. Akhirnya kuberikan nomor telepon dan alamat rumahku padanya, berharap ia memberikannya pada bu Diah jika suatu saat menelepon atau kembali ke Indonesia. Foto itu pun kuminta sebagai pengobat rindu.
Sekujur tubuhku serasa tak bertulang saat meninggalkan rumah pak Hendra. Di dalam taksi otakku berputar-putar, hingga kuputuskan untuk langsung meluncur ke Bandung guna memastikan kebenaran cerita Ita.
Sampai di Bandung langsung kutuju rumah bu Diah. Lengang seperti biasa. Pak Kosim yang muncul membukakan pintu pagar masih mengingatku. Dan jawabannya sama dengan cerita Ita. Bu Diah pindah ke Amerika. Lagi-lagi aku lemas. Kuperintahkan sopir taksi menuju alamat di mana aku tinggal di rumah bu Diah yang satunya. Kompleks perumahan yang dulu sepi karena masih jarang penghuninya, saat itu sudah tampak ramai. Di depan rumah yang kutuju, kulihat sebuah mobil yang kuyakini bukan mobil bu Diah terparkir di halaman. Rasa penasaran yang mengusikku membuatku nekad turun dari taksi dan membunyikan bel yang ada di tembok samping pagar. Seorang wanita muda yang kuduga sebagai pembantu rumah tangga keluar menyambutku. Menurut penjelasannya, rumah itu dikontrak oleh keluarga dari Surabaya sejak 3 tahun silam. Akupun masuk ke dalam taksi.
Dalam kegalauan, kusuruh sopir taksi mengikuti arah jalan yang kutunjukkan. Aku ingin napak tilas kenanganku bersama bu Diah, seperti melewati depan hotel tempat kami berbulan madu, pertokoan di mana aku pernah diminta menemaninya belanja, hingga restoran favoritnya. Setelah itu aku ke bandara.
Sesampai di Palembang, foto bu Diah dan Ryan kuperbesar lalu kuberi pigura dan kupasang di dinding kamar rumah kontrakanku. Sulit rasanya mempercayai kalau aku punya seorang anak. Jika kuamati, anak itu mirip denganku. Rambutnya ikal, sementara kulitnya putih seperti bu Diah.
Hampir tiap satu minggu sekali aku menelepon Ita, menanyakan kalau-kalau bu Diah menghubunginya. Jawabannya selalu mengecewakanku. Apalagi setiap kali kudesak untuk memberitahu nomor telepon bu Diah di Amerika, Ita bungkam. Menurut dugaanku, bu Diah pastilah sesekali meneleponnya, tapi aku yakin kedatanganku ke Bekasi tak pernah diberitahukan kepada bu Diah.
Setiap hari aku berharap bu Diah meneleponku, tapi harapanku tinggal harapan. Hingga suatu ketika, belum genap 2 tahun aku menjadi supervisor, perusahaan memindahtugaskanku ke kantor cabangnya di Magelang yang dijadikan basis pemasaran untuk wilayah Jawa Tengah. Jabatanku pun naik jadi Asisten Manager Teknik. Sebuah rumah dan mobil disediakan untuk menunjang jabatanku. Aku senang, tapi juga sedih karena tak bu Diah dan Ryan. Seharusnya semua itu kupersembahkan padanya, dan anakku yang tak pernah kukenal.
Dorongan untuk bisa bertemu, atau setidaknya berkomunikasi dengan bu Diah dan anak kami, demikian kuatnya, hingga ketika boyongan ke Magelang kusempatkan mampir lagi ke Bekasi. Kepada Ita kuceritakan semua hasil jerih payahku yang kuharap bisa meluluhkan hatinya sehingga mau menghubungkanku dengan bu Diah. Sayangnya ia tetap saja bungkam. Aku berusaha sekuat tenaga meyakinkan Ita bahwa aku sangat mencintai bu Diah dan sangat ingin bicara sekali saja dengan dia dan anak kami, tapi Ita bergeming. Ia takut kehadiranku kembali dalam kehidupan bu Diah justru akan merusak kebahagiaannya. Lebih jauh Ita mengatakan, kalau dulu bu Diah sudah bersumpah tidak ingin bertemu denganku lagi karena meninggalkannya dalam keadaan hamil.
Aku benar-benar kehabisan kata-kata untuk memaksa Ita memberi nomor telepon bu Diah. Bahkan ketika kutanyakan apa bu Diah mengirimkan foto anak kami lagi, Ita menggeleng. Aku tahu ia berbohong, tapi aku tak bisa memaksanya. Aku sudah kehabisan akal. Seluruh keluarga besar bu Diah pun tampaknya tak akan pernah merestui hubunganku dengan bu Diah. Mereka lebih memilih mempertahankan hubungan baik dengan keluarga besar pak Tyo daripada menerima masuk menjadi anggota keluarga.
Pupus sudah harapanku.
Hari-hariku di Magelang kujalani dengan perasaan hampa. Rasanya semua yang kuraih ini tak ada artinya. Hal ini membuatku nyaris kehilangan semangat bekerja. Apalagi rumah dinas yang kutempati berdekatan dengan sekolah taman kanak-kanak (TK). Hatiku bagai tertusuk sembilu setiap melihat bocah-bocah lucu sedang bermain-main di halaman sekolah tiap aku berangkat kerja. Ryan pastilah sudah seusia mereka saat ini.
Pernah suatu ketika, aku berhenti di depan sekolah, memarkir mobilku, lalu turun dan berdiri di sisi luar pagar sekolah hanya untuk menyaksikan anak-anak itu berceloteh dan berlarian ke sana kemari, sementara para ibu muda pengantar mereka sibuk berbincang-bincang di bangku panjang yang disediakan di halaman sekolah. Mungkin tampangku seperti orang linglung saat itu, diam mematung mengamati mereka. Pedih sekali rasanya hatiku. Kubayangkan, bu Diah ada di antara ibu-ibu itu sementara Ryan bermain-main dengan teman-temannya.
Ternyata Tuhan tak membiarkanku terpuruk dalam kesepian yang berkepanjangan.
Biasanya aku pulang kantor di atas jam 7 malam, tapi petang itu aku pulang jam 6 karena tak enak badan. Aku baru saja turun dari mobil untuk membuka pagar rumah ketika kudengar jeritan beberapa anak kecil berbaju muslim yang tadi kulewati. Mungkin mereka pulang mengaji. Saat kutengok, ada sebuah sepeda motor terguling di dekat mereka. Sebuah tangisan pecah. Segera kuhampiri mereka. Kulihat seorang anak terduduk menangis di keliling teman-temannya, sementara gadis berseragam SMA pengendara sepeda motor tergopoh-gopoh menegakkan kembali motornya.
Kata gadis itu, motornya tiba-tiba oleh karena melindas batu lalu jatuh hingga menabrak bocah yang terduduk itu. Bocah yang menangis itu, yang kemudian kuketahui bernama Rangga (nama samaran), kugendong dan kubawa ke rumahku diikuti 4 temannya, sementara gadis SMA itu melanjutkan perjalanannya. Setelah kuperiksa, tak ada satupun luka lecet di tubuhnya. Ia hanya shock. Kuambilkan mereka beberapa gelas air mineral sementara aku buru-buru sholat Maghrib karena waktunya sudah hampir habis.
Usai sholat, kutanyakan alamat rumah mereka dan kutawari untuk kuantarkan. Ternyata mereka tinggal di kompleks perumahan tak jauh dari rumahku. Satu per satu kuserahkan anak-anak polos itu kepada orang tua mereka sambil menceritakan kejadian yang menimpa mereka. Karena rumahnya yang paling jauh, Rangga dapat giliran kuantar terakhir.
Seorang wanita muda berjilbab (sebut saja namanya Ratna) terlihat panik begitu ia membuka pintu rumahnya dan langsung dipeluk oleh Rangga. Seorang bocah kecil yang kuduga adik Rangga turut keluar menyambut kami. Seperti sebelumnya, kuceritakan padanya insiden kecil yang terjadi pada Rangga. Ia berbasa-basi menawariku untuk singgah, tapi kutolak dengan halus karena aku sedang tak enak badan.
Beberapa hari kemudian, ketika itu hari Sabtu sisi sentimentilku kambuh. Untuk mengisi waktu senggangku, aku berjalan kaki menuju sekolah TK demi mengobati kerinduanku pada bu Diah dan Ryan. Begitu sampai sekolah, tak ada satupun bocah yang bermain-main di halaman. Hanya ibu-ibu muda yang tengah bercengkerama. Tampaknya pelajaran sedang berlangsung.
Aku mencari tempat yang teduh dekat pedagang teh botol. Letaknya tak begitu jauh dari tempat ibu-ibu menunggu. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada salah seorang ibu muda berjilbab. Ibunya Rangga. Kebetulan saat itu ia juga melihatku. Ia segera berdiri mendekat pagar sekolah. Aku yang sebenarnya enggan berkomunikasi dan ingin memuaskan lamunanku, mau tak mau mendekat ke pagar untuk menemui wanita bernama Ratna itu.
Aku tergagap ketika ia tanya apakah anakku sekolah di situ juga. Aku tak punya jawaban lain selain mengatakan kalau aku hanya berteduh di situ setelah jalan-jalan mengisi libur Sabtu. Ratna yang saat itu menunggui adik Rangga, sebut saja namanya Rika, kemudian keluar dari halaman sekolah dan menemaniku. Kelihatan sekali kalau ia merasa berhutang budi padaku dengan sikapnya yang ramah. Kami pun kemudian ngobrol. Ratna ternyata wanita yang supel dan enak diajak ngobrol. Aku merasa terhibur olehnya. Obrolan kami terputus ketika terdengar bel tanda istirahat murid-murid TK. Ratna pamit padaku untuk masuk kembali ke halaman sekolah.
Sabtu berikutnya aku kembali bertemu Ratna. Pada pertemuan itu aku mulai terbuka padanya ketika ia menanyakan kenapa aku suka sekali berada di situ, padahal tidak sedang menunggui anak sekolah. Kuceritakan dengan terus terang kalau hubunganku dengan istriku tidak mendapat restu dari keluarganya dan memisahkan kami. Kukatakan juga kalau aku ke situ karena ingin melihat anak-anak yang sebaya dengan anakku. Ratna tampak trenyuh mendengar penuturanku. Hal itu tampaknya membuat ia terpancing untuk membuka diri. Ia cerita kalau telah bercerai 2 tahun lalu karena suaminya kecantol teman sekantornya. Mulanya mereka menikah diam-diam dan terbongkar atas laporan dari teman kantor mereka sendiri. Suaminya tetap bekerja di situ, tapi istri barunya harus keluar. Setelah bercerai Ratna pindah ke rumah orang tuanya di kompleks perumahan itu. Ia tinggal bersama ibunya, karena ayahnya sudah meninggal.
Kesamaan latar belakang itulah yang kemudian mendekatkanku pada Ratna. Kehadirannya dalam hidupku mampu mengusir rasa hampa yang selama ini menyelimutiku. Usia Ratna yang 30 tahun terbilang muda jika dibandingkan denganku, tapi sikapnya yang dewasa membuatku terpikat. Terlebih ibadahnya juga rajin.
Tak sampai 6 bulan aku memantapkan diri menikahinya karena iapun menyimpan rasa cinta padaku. Kuminta orang tuaku di kampung untuk datang melamar Ratna.
Tiga bulan kemudian kami menikah. Foto bu Diah dan Ryan kubungkus rapat dengan plastik dan kusimpan di gudang, kuganti dengan foto pernikahanku dengan Ratna. Aku bukan bermaksud menyingkirkan bu Diah dan Ryan dari hidupku. Aku hanya mencoba bersikap realistis. Aku punya kehidupan baru yang harus kujalani. Aku juga ingin menghormati Ratna beserta keluarganya. Aku ingin menjadi imam yang baik buat dia dan anak-anaknya yang kini jadi anak-anakku.
Meski begitu, jauh di lubuk hatiku aku tetap tak akan melupakan bu Diah, terutama budi baiknya dalam membekaliku dengan ilmu dunia dan akherat yang membuatku berhasil hingga saat ini. Aku tak pernah lupa mendoakan keselamatan, kesehatan dan kebahagiaan untuknya dan Ryan.
Satu pelajaran yang dapat kupetik dari bu Diah: di satu sisi, kekuatan cinta antara aku dengannya mampu menyatukan kami yang berbeda status, di sisi lain, kekuatan cinta keluarganya jugalah yang akhirnya memisahkan kami, juga karena perbedaan status.
Sekarang (ketika kisah ini diungkapkan), anakku bertambah satu buah pernikahanku dengan Ratna. Rangga dan Rika senang sekali menyambut adik baru mereka, seorang bayi laki-laki yang kami beri nama …. Ryan. (*)
Seperti diceritakan ybs kepada Tim JBSs. Curhat ini telah melalui proses dramatisasi di beberapa kejadian untuk menjaga kesinambungan alur cerita tanpa merubah substansinya.
Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
Kekuatan Cinta (Bagian 2)
Kejadian berikutnya sungguh di luar dugaanku. Bu Diah memegang telapak tanganku, menggenggamnya erat-erat dan berkata, “Tak perlu minta maaf. Aku cuma ingin tahu, kenapa kamu melakukan itu?”
Kelembutan tutur katanya membuat otakku sedikit demi sedikit bisa berpikir jernih. Begitu pun genggaman tangannya, menyejukkan hatiku yang sebelumnya kacau-balau. Kuberanikan diri membalas tatapannya.
“Sebelumnya saya mohon maaf kalau apa yang saya katakan ini tidak pantas, bu Diah”, ujarku. Aku tak bisa menyembunyikan nada suaraku yang bergetar.
“Katakan saja. Pantas tak pantas biar aku yang memutuskan”, tandas bu Diah.
Sesaat aku terdiam, memikirkan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkannya.
“Saya suka sama bu Diah …”, jawabku singkat sambil menatap wajahnya sekilas sebelum kupalingkan pandanganku ke kopi susuku. Andai ia mentertawakan jawabanku, aku tak akan tersinggung, karena aku merasa bodoh mengucapkan itu. Bodoh karena tak bisa menemukan kata-kata yang lebih romantis yang membuat bu Diah terkesan.
“Apa maksudmu suka?” bu Diah mengernyitkan dahinya.
Mulutku terkunci rapat. Aku ingin mengatakan “cinta”, tapi tak tercetus. Rongga dadaku bergemuruh. Bu Diah masih saja menatapku dengan pandangan yang kutafsirkan sebagai kemarahan. Ia mendesakku dengan pertanyaan yang sama sampai 3 kali, hingga aku merasa kepalang basah.
“Cinta, bu”, jawabku dengan suara parau.
“Cinta? Kamu cinta aku?”, kupikir bu Diah tertawa terbahak-bahak setelah mengucapkan itu. Mentertawakan aku yang cuma tukang listrik berani-beraninya pada wanita kaya dan terhormat seperti dirinya. Ternyata tidak. Bahkan senyum pun tidak. Ia diam menunggu jawabanku.
“Ya, bu”, jawabku polos. Sepolos anak kecil yang dimarahi gurunya karena kedapatan mencontek. Kudengar bu Diah menghela nafas, lalu kembali bertanya.
Kenapa? Apa yang bikin kamu naksir aku?”
Aku menduga setelah ini ia menamparku. Aku tak punya pilihan lain selain menjawab apa adanya. Mulutku nyerocos saja tanpa beban.
“Karena bu Diah cantik, baik dan perhatian”.
“Lalu?”, cecar bu Diah.
“… Wangi …”, jawabku polos.
“Apalagi?”
Aku diam memikirkan jawabannya, dan kata “ … Seksi …” terlontar begitu saja. Aku sempat nyengir kecil dengan muka tersipu. Itu adalah jawaban terkonyol yang bisa kukatakan. Aku berharap bu Diah tidak bertanya lagi, karena aku sudah kehabisan jawaban.
Bu Diah menatap tajam ke arahku sesaat, lalu memalingkan wajahnya, agak menunduk. Aku tertegun kala melihat butiran air mengalir dari matanya. Dan tanpa kusadari, aku balas menggenggam erat jemari bu Diah.
“Saya minta maaf, bu. Sungguh, saya betul-betul minta maaf. Saya khilaf, bu. Jika bu Diah mau mengusir saya sekarang juga, saya akan pergi. Saya tahu saya tidak pantas mencintai bu Diah …”, ujarku mengalir begitu saja. Aku merasa ia marah padaku, tapi tak mampu mengungkapkannya dan hanya bisa menangis.
Pelan-pelan bu Diah merenggangkan genggamannya. Kuartikan itu sebagai isyarat kalau ia memang ingin aku pergi. Aku pun beringsut dari tempat dudukku. Aku memang harus pergi, pikirku. Tapi ada sedikit kelegaan dalam hatiku karena telah mengungkapkan perasaanku pada bu Diah. Kuakui, yang kulakukan tadi malam adalah pelampiasan nafsu, tapi dilandasi atas dasar cinta. Ya, aku memang telah jatuh cinta pada bu Diah. Cinta jugalah yang membuatku menerima tugas darinya untuk memperbaiki villanya hingga berujung kejadian tadi malam.
Kuberesi barang-barang milikku ke dalam ransel. Dari cermin yang ada di pintu almari, terlihat olehku bu Diah berdiri memandangiku, lalu berjalan mendekat.
“Kamu mau kemana?”, tanya bu Diah lirih.
“Kembali ke Bandung, bu. Mungkin saya akan sekalian pamit pada pak Amin untuk cari kerja di tempat lain”, jawabku sambil memasukkan barang-barangku asal-asalan ke dalam ransel.
Setelah selesai, aku mendekati bu Diah untuk berpamitan. Kuulurkan tanganku bermaksud menyalaminya. Tiba-tiba, ia merengkuh dan memelukku erat-erat. Kepalanya direbahkan ke dadaku.
“Aku nggak ingin kamu pergi. Aku ingin kamu tetap di sini”, kata bu Diah terisak.
Aku tertegun. Sesaat kemudian kubalas pelukan bu Diah dan bu Diah makin merapatkan pelukannya.
Sesaat kemudian ia tengadahkan wajahnya, menatapku lalu berkata, “Kamu cinta sama aku, Jek?”. Suaranya agak parau.
Spontan aku menjawab, “Ya, bu. Aku cin…”. Belum lagi aku tuntas bicara, bu Diah melingkarkan tangannya ke bahuku dan mendaratkan ciuman tepat di bibirku yang masih terbuka. Aku yang tak menyangka itu bakal terjadi sempat melotot terpana, namun kehangatan bibir bu Diah melenakanku hingga kemudian membalas ciumannya. Lama kami berciuman dan saling memagut hingga nafas kami memburu.
Bisa kurasakan betapa bergairahnya bu Diah dari pagutan-pagutannya yang seperti ingin melumat habis bibirku. Juga rengkuh kedua lengannya di tengkukku. Keadaan ini kutafsirkan sebagai isyarat kalau bu Diah juga mencintaiku. Ditambah lagi ia mengimbangi gerakan lidahku yang menari-nari di rongga mulutnya. Keberanian sekaligus birahiku pun bangkit seketika.
Masih sambil berciuman, kulolosi daster bu Diah hingga jatuh ke lantai. Jemariku tak perlu menunggu lama untuk menjelajahi dadanya yang ranum tanpa bra. Hal ini membuat mulutku tergoda untuk melakukan hal yang sama. Kulepaskan pagutanku di bibir bu Diah dan kualihkan ke bagian dadanya. Bu Diah mendesah panjang ketika mulut dan lidahku mulai beraksi. Sesekali kugigit ujungnya yang menonjol, sementara satu tanganku mulai menjelajah bagian bawah tubuhnya.
Bu Diah yang tampak terdongkrak birahinya melepas kancing bajuku satu per satu. Setelah itu tangannya turun ke resleting celana panjangku, membukanya dengan penuh nafsu dan menyusupkannya ke dalam.
Masih dengan berdiri, kami terus saja bercumbu dan saling menelanjangi sampai tak ada sehelai benangpun yang menutupi tubuh kami.
Pelan-pelan kugeser lokasi percumbuan ke tempat tidurku. Selanjutnya bisa ditebak. Kami tenggelam dalam sebuah pergumulan yang panas membara di setiap detik penuh gairah demi memuaskan dahaga batin. Ujung-ujungnya adalah helaan nafas memburu berbalut keletihan yang nikmat seiring dengan semburan cairanku di perut dan dada bu Diah.
Beberapa saat lamanya bu Dah berbaring di dadaku. Nafas kami yang memburu lambat laun kembali normal. Bisa kurasakan dengan jelas degup jantung bu Diah. Tak ada kata terucap. Hanya belaian lembut tangan-tangan kami sebagai ungkapan kasih sayang kami. Pikiranku melayang-layang antara percaya dan tidak percaya kalau aku baru saja bercinta dengan bu Diah.
Lamunanku buyat ketika bu Diah mengangkat kepalanya hingga wajah kami beradu pandang. Kukecup bibir bu Diah yang dibalas olehnya dengan kecupan pula. Kami pun saling memagut.
“Kukira kamu homo, Jek”, kata bu Diah memecahkan kesunyian setelah beberapa detik kami saling pagut.
“Memangnya kenapa, bu?”
“Ah, nggak apa-apa. Cuma ngomong aja”, jawab bu Diah sambil merapatkan tubuhnya dan menenggelamkan wajahnya di dadaku.
“Kamu tahu nggak, kalau kamu mirip banget sama pak Tyo (bukan nama sebenarnya), almarhum suamiku?” katanya lagi.
“Ah, masa sih …” belum lagi kuselesaikan ucapanku, bu Diah berlutut di atasku dan membuka laci meja rias di sampingnya. Sementara ia mencari-cari sesuatu, mataku tak lepas dari tubuh bu Diah yang putih mulus tanpa cacat. Aku masih tak percaya kalau tubuh indah itu telah kunikmati. Kuraba tubuh itu dengan penuh perasaan. Ya, mulai saat itu aku bisa menyentuhnya tanpa dihantui rasa was-was.
Ternyata bu Diah mengambil sebuah album foto kecil, membuka lembar demi lembar, lalu memberikannya padaku.
“Coba lihat ini. Ini foto almarhum waktu muda”, ujarnya sambil berbaring lagi di sampingku.
Kuamati foto yang sudah agak kusam kertasnya, mungkin karena termakan waktu. Memang benar, sekilas mirip aku. Hanya saja yang di foto agak lebih gemuk sedikit. Tapi kumis dan potongan rambutnya nyaris tak berbeda.
“Waktu kamu datang di rumah bu Amin dulu ibu-ibu arisan pada bilang kalau kamu mirip pak Tyo. Aku juga merasa begitu, tapi aku pura-pura menyangkal dan kubilang kalau pak Tyo jauh lebih cakep. Tapi kayaknya kamu lebih tinggi sedikit dari dia, Jek,” ujar bu Diah sambil berbaring lagi di sampingku.
“Ngoroknya sama nggak, bu?”, candaku.
“Nggak lah. Ngorok pak Tyo lebih merdu”, bu Diah membalas candaanku sambil tertawa lirih.
Setelah ngobrol beberapa saat, bu Diah mengajakku mandi bersama. Aku tak keberatan meski tadi sudah mandi.
Sejak kejadian pagi itu, bu Diah makin mesra padaku. Ia memanjakanku dengan menyiapkan kopi susu dan roti bakar begitu aku bangun pagi. Setiap aku selesai mandi, baju dan celanaku sudah tersedia di atas ranjang. Aku betul-betul tersanjung dengan perlakuan istimewa bu Diah padaku. Hanya saja tampaknya ia menjaga betul rahasia hubungan khususnya denganku, baik pada kedua tukang maupun mang Dudung. Begitu pun aku. Aku tak ingin seorang pun tahu, karena aku tak ingin merusak nama baik bu Diah.
Kami baru bisa bersikap intim sebagaimana layaknya sepasang manusia yang dimabuk asmara saat malam tiba. Saat di mana udara dingin menusuk tulang, kesunyian dan keremangan cahaya kamar membangkitkan gairah birahi kami. Kami tak lagi tidur di ranjang terpisah, tapi di ranjang bu Diah. Kalau percintaannya sebelumnya kurasakan bu Diah agak pasif, malam itu sudah lebih agresif. Ia mau melakukan oral padaku walaupun agak malu-malu, setelah sebelumnya kulakukan hal itu padanya.
Malam ketiga keintiman kami, bu Diah mengutarakan sesuatu yang membuatku tercenung. Ia mengajakku nikah! Ia tak ingin aku dan dia terjerumus makin dalam ke lembah dosa zina yang telah kami lakukan tiga hari ini. Beberapa saat aku terdiam dan itu membuat bu Diah tampak merasa jengah. Ia mengira aku tak setuju dengan usulnya, tapi kukatakan dengan sejujurnya kalau aku merasa minder menikahi wanita cantik dan kaya seperti bu Diah. Semula bu Diah menganggap aku hanya berdalih, tapi aku jawab kalau aku benar-benar jatuh cinta padanya. Keadaanlah yang membuatku ragu. Kami berasal dari latar belakang yang sangat bertolak belakang. Seperti bumi dan langit. Bu Diah bergelimang harta, sedangkan aku orang susah yang harus bekerja membanting tulang demi menyambung hidup.
Bu Diah kukuh pada pendiriannya. Ia tak ingin melakukan dosa lebih banyak lagi, tapi ia juga tak ingin kehilangan aku. Ia meyakinkanku kalau ia tak peduli dengan semua perbedaan itu. Ia siap dengan semua resiko yang harus ia hadapi jika menikah denganku. Ia sangat mencintaiku dan merasa bahagia menemukan kembali suaminya yang telah tiada. Hal itu membuatnya menjadi bersemangat lagi menjalani hidup yang sempat meredup sejak ditinggalkan suami tercintanya. Ia berharap, tak cuma wajahku saja yang mirip dengan almarhum, tapi juga sifat-sifatnya yang sabar dan penuh perhatian. Bu Diah mengatakan semua itu dengan air mata berlinang.
Cukup lama kami berdiskusi tentang hal itu hingga akhirnya aku menerima ajakannya untuk menikah. Tapi aku mengusulkan untuk nikah siri saja dulu. Pertimbanganku, andai suatu saat ia berubah pikiran karena tak tahan dengan cibiran kerabat, keluarga atau teman-teman arisannya, ia bisa memutuskan untuk berpisah. Sebaliknya, jika ia bertahan, baru kami menikah secara resmi. Bu Diah tampak agak kecewa, namun mau menerima saranku. Ia berjanji akan membuktikan kalau aku salah menilai tentang dia.
Keesokan harinya bu Diah meninggalkan villa, sementara aku terus melanjutkan pekerjaanku. Ia akan mengurus semua keperluan untuk pernikahan siri kami. Kupandangi mobilnya hingga keluar halaman villa dengan pikiran tak menentu. Tak kusangka, perjalanan hidupku akan seperti ini. Aku masih tak percaya dengan apa yang kualami. Hanya dalam waktu tak sampai 1 bulan berada di Bandung, aku dapat istri cantik. Kaya lagi. Itu tak membuatku merasa senang. Aku khawatir akan ada yang mengetahui hubungan kami dan mencemoohku sebagai laki-laki matre (materialistis).
Sejujurnya, aku sama sekali tak tergiur dengan harta bu Diah walaupun aku orang susah. Aku cuma jatuh cinta padanya. Dan mencintainya membuatku takut kehilangan. Padahal jauh di lubuk hatiku, aku masih ingin menimba pengalaman lebih banyak lagi sampai kutemukan pekerjaan dengan penghasilan yang cocok. Tidak pas-pasan seperti selama ini. Aku ingin berhasil dengan jerih payahku sendiri, bukan dari pemberian bu Diah. Tapi kehadiran bu Diah di hatiku memaksaku untuk memikirkan ulang rencana-rencanaku. Mungkin aku tak perlu lagi berkelana. Mungkin aku hanya akan mencari pekerjaan lain di Bandung saja yang pantas dengan status bu Diah, dan menikmati hidup bersamanya dengan sebaik-baiknya.
Sekitar tiga hari kemudian kami menikah siri di sebuah mushola sederhana di desa yang aku sudah lupa namanya. Tempatnya di pinggiran kota Bandung. Bu Diah sendiri yang menyiapkan segala sesuatunya hingga terlaksana nikah siri kami. Mulai dari mencari modin, saksi-saksi sampai biaya-biayanya, termasuk cincin kawin. Sebenarnya aku merasa tak nyaman dengan keadaan ini. Lebih tepatnya malu. Tapi melihat bu Diah yang begitu antusias melakukan persiapan dari awal hingga terlaksananya nikah siri itu, kupendam dalam-dalam rasa malu itu.
Selesai akad nikah, bu Diah mengajakku ke makam almarhum suaminya untuk minta restu. Di depan makam ia memanjatkan doa sambil terisak. Aku berdiri di belakang bu Diah dan memayunginya sambil turut berdoa dalam hati dengan doa-doa seadanya yang kuhafal. Sebelum berlalu, kami lakukan tabur bunga di atas makam pak Tyo.
Malam harinya kami berbulan madu dengan menginap di sebuah hotel mewah di Bandung. Dan bu Diah tampaknya juga sudah sangat siap menjadi istri sahku. Ia mengenakan baju tidur seksi transparan yang membuatku tak tahan untuk hanya memandanginya saja. Bu Diah telah benar-benar menempatkan statusnya sebagai istri sahku. Ia berikan pelayanan kepadaku dengan penuh antusias. Lepas. Tak ada ketakutan menanggung dosa.
Hanya sehari kami menginap di hotel, karena harus segera kembali ke villa untuk menuntaskan pekerjaan perbaikan hingga selesai dalam waktu tak sampai 2 minggu.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari berikutnya kami melakukan seperti biasa. Aku tetap bekerja di perusahaan pak Amin. Bedanya, aku tak lagi kos di kampung kumuh, tapi menempati rumah bu Diah yang lain yang berlokasi di sebuah kompleks perumahan baru. Kata bu Diah, rumah itu sebenarnya untuk dikontrakkan. Penghuni terakhir tidak memperpanjang kontraknya yang telah berakhir sebulan sebelumnya.
Rumah itu berkamar tiga, dua kamar di bawah dan satu di lantai 2, tidak begitu besar, tapi halamannya luas dan berkesan elegan. Perabotannya lengkap, termasuk peralatan fitness yang ditaruh di kamar lantai 2. Di halaman belakang ada parabola besar dan kolam renang berukuran sedang. Pertama kali menempati rumah itu aku merasa canggung. Aku yang biasa menempati kamar kos sempit di perkampungan kumuh, tiba-tiba tinggal di rumah mentereng seperti itu.
Setiap malam bu Diah datang ke tempatku. Kadang menginap kadang tidak. Hal ini untuk menjaga agar pak Kosim dan istrinya tidak bertanya-tanya.
Sejak resmi menikah, bu Diah makin memanjakan dan memperhatikanku. Tak hanya dalam aktifitas di ranjang, tapi juga materi. Baju, jam tangan, sepatu, makanan yang enak-enak dan apapun kebutuhanku dipenuhinya. Harganya pun mahal-mahal. Tapi yang paling membuatku terkesan padanya saat ia mengenakan jilbab. Begitu cantik dan anggun. Ibadahnya pun rajin. Aku yang tadinya jarang sholat, jadi ikut rajin juga. Bu Diah juga mengajariku doa-doa taubatan nasuha agar dosa-dosa kami di masa lalu diampuni oleh-Nya.
Perhatiannya padaku tak perlu kuragukan lagi. Ia tak bosan-bosannya mengingatkanku agar sholat saat waktunya tiba. Ia juga menyuruhku berhenti merokok. Ia benar-benar telah menempatkan dirinya sebagai istriku. Tapi itu hanya saat kami berdua saja. Di luar, kami tetap menjaga agar tak seorangpun tahu. Itu atas permintaanku. Ia pun mulai memanggilku dengan “papa”, sementara aku masih merasa jengah memanggilnya “mama”.
Suatu ketika hal tak terduga terjadi. Proyek yang dikerjakan pak Amin terhenti karena investornya bangkrut. Saat itu sedang memanasnya krisis moneter. Imbasnya, ia melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Termasuk aku juga kena PHK. Tapi bu Diah terus menghiburku agar aku tak putus asa. Ia berjanji akan mencarikan pekerjaan untukku melalui teman-teman yang ia kenal baik. Sambil menunggu aku dapat kerjaan lagi, bu Diah mengajakku umrah, kemudian jalan-jalan ke Paris untuk bulan madu kedua.
Waktu pun terus bergulir. Aku banyak menghabiskan waktu dengan bermain game, nonton TV atau fitness saat bu Diah tak ada. Saat bu Diah datang, selain mengajariku berenang, ia juga membimbingku mengaji. Berkat kesabaran dan ketekunannya mengajariku, aku bisa khatam dalam waktu tak sampai 1 bulan. Dalam hal berenang, Ia pun mahir sekali, karena sejak muda rutin melakukannya. Pantas saja tubuhnya masih kencang seperti baru berumur 30 tahunan.
Tak cuma itu. Selain diikutkan kursus mengemudi sampai dapat SIM agar kalau jalan berdua, aku yang mengemudi, aku juga dikursuskan mengetik dan komputer untuk menambah ketrampilanku. Ternyata aku kepincut dengan dunia komputer yang kala itu masih berupa barang langka. Melihat minatku, bu Diah kemudian membeli seperangkat komputer untukku. Dengan begitu aku bisa lebih mendalaminya, baik secara otodidak maupun melalui pelatihan di lembaga resmi.
Untuk meningkatkan penampilan, bu Diah tak segan mengajakku ke salon agar aku terlihat lebih rapi. Selain untuk perawatan rambut, juga kulit.
Berbekal kemampuan di bidang komputer itulah aku mulai mengirim beberapa lamaran ke sejumlah perkantoran. Dan keberuntungan pun berpihak padaku. Ada 2 perusahaan yang memanggilku untuk wawancara dan semuanya kulalui dengan lancar hingga aku diterima di 2 perusahaan itu. Atas masukan dari bu Diah, aku memilih salah satu yang menurutnya paling bonafid. Gajinya standar, tapi masih jauh lebih baik daripada saat aku mengandalkan ketrampilan perlistrikanku.
Saat menganggur aku merasa sangat rendah diri, tapi dengan memiliki pekerjaan, aku bisa lebih tegak berdiri di hadapan bu Diah. Aku merasa lengkap sebagai seorang suami. Ada kepuasan tersendiri bisa memberikan gajiku kepada bu Diah walaupun aku tahu ia tidak butuh.
Meski telah menjalani biduk rumah tangga dengan bu Diah beberapa bulan, entah kenapa aku masih saja dihantui perasaan tidak tenang. Bisa jadi karena kami hidup dalam keadaan tak biasa. Menjadi suami istri saat berdua dan menjadi orang lain saat berada di dunia luar. Aku merasa yang kami jalani itu bukan kehidupan yang sebenarnya. Bukan kenyataan. Hanya mimpi indah yang setiap saat bisa sirna.
Momen yang paling menentramkan hatiku adalah saat berada dalam pelukan bu Diah. Sayangnya, demi menjaga rahasia, aku tak bisa berharap ia selalu ada saat perasaanku gelisah.
Tampaknya bu Diah bisa merasakan kegalauanku. Ia menawarkan untuk pindah dari Bandung dan memulai hidup baru di tempat baru di mana tak ada lagi yang perlu dirahasiakan. Aku senang bu Diah mengatakan itu. Artinya ia siap sehidup semati denganku dalam keadaan senang maupun susah. Kami pun kemudian bicara panjang lebar tentang berbagai alternatif yang bisa kami tempuh untuk menjalani kehidupan rumah tangga secara normal.
Saat itu aku merasa betapa besar kekuatan cinta. Ia bisa merobohkan dinding perbedaan yang sedemikian tebal. Tak hanya itu. Ia juga mampu merubah hal yang tak mungkin menjadi mungkin. Aku yang dulu mengira tak bisa mendapatkan bu Diah, hanya dalam tempo singkat ia sah menjadi istriku. Meski dalam situasi yang terbatas, kami bisa mereguk kebahagiaan bersama-sama dan bersabar menunggu saat yang tepat untuk mewujudkan rencana kami.
Namun manusia merencanakan, Tuhan yang menentukan. Mimpi indah kami buyar. menyusul terbongkarnya hubungan bu Diah denganku!
Saat bangun tidur sore itu, 5 orang yang tak kukenal, 2 laki-laki dan 1 perempuan, serta 2 orang hansip dan seorang laki-laki setengah baya datang ke rumah yang kutinggali dengan ekspresi kemarahan. Tiga orang itu ternyata kerabat bu Diah dari pihak almarhum suaminya. Kata-kata kasar menyakitkan keluar dari mulut mereka silih berganti. Bahkan ada yang mencoba memukulku. Untung dicegah oleh salah seorang hansip. Mereka menghujatku habis-habisan. Aku dituding sebagai laki-laki tukang “morotin” perempuan, tidak tahu diri dan berbagai sumpah serapah tajam lainnya. Laki-laki setengah baya yang belakangan kuketahui sebagai ketua RT di kompleks perumahan itu berupaya meredam kerabat almarhum suami bu Diah, tapi sia-sia.
Ujung-ujungnya mereka mengusirku. Barang-barangku diambil dari kamar dan dilemparkan ke halaman. Aku yang tak menduga bakal mengalami ini tak mampu berkata apa-apa untuk membela diri. Aku juga tak mau mengatakan kalau aku tinggal di situ atas kemauan bu Diah. Aku tak mau mengorbankan dirinya.
Pikiranku benar-benar kacau. Sekujur tubuhku terasa lunglai, seperti rusa yang tak berdaya dalam terkaman harimau. Kuberesi barang-barangku dan aku berlalu begitu saja diiringi sumpah serapah mereka. Punah sudah harapanku hidup bersama bu Diah di tempat yang baru. Dengan terbongkarnya hubungan kami, semuanya tidak akan sama lagi. Orang yang paling menderita akibat dari itu adalah bu Diah. Tak ada jalan lain bagiku selain pergi sejauh mungkin darinya, karena hanya dengan cara itulah kehidupan bu Diah akan berangsur pulih dan hubungannya dengan pihak keluarga suaminya akan membaik, begitu pikirku waktu itu.
Saat aku melangkahkan kaki di trotoar depan rumah bu Diah datang. Ia hentikan mobilnya tepat di depanku dan buru-buru keluar. Matanya sembab. Ia langsung memelukku dan menghiba agar aku tak pergi. Tangisnya tumpah. Disela isak tangisnya Ia bilang akan jelaskan semuanya pada keluarga almarhum suaminya. Kubalas pelukannya dengan sangat erat. Kuanggap itu sebagai pelukan perpisahan dariku karena setelah itu aku akan pergi.
Tapi belum lagi aku berpamitan padanya, bu Diah tiba-tiba menarikku kembali ke rumah. Di hadapan orang-orang yang terbakar amarah itu ia bersujud dan minta maaf karena menikah tanpa seijin mereka. Ia memohon agar dimaafkan dan direstui hubungannya denganku. Tindakannya itu justru menyulut emosi mereka. Giliran bu Diah yang kena damprat dengan umpatan yang tak kalah menyakitkan, seperti perempuan murahan lah, gatal lah, kegenitan lah, binal lah. Aku yang semula diam saja, mendidih darahku. Aku tak rela bu Diah dikata-katai seperti itu. Ganti aku mengumpat mereka sebagai orang tak tahu malu yang hanya ingin menguasai harta almarhum suami bu Diah.
Laki-laki yang ternyata adik kandung almarhum suami bu Diah lagi-lagi menyerangku, dan aku siap melawan, tapi dihalangi oleh 2 orang hansip itu. Pak RT segera menyuruh kami untuk meninggalkan mereka agar keadaan tak makin runyam. Bu Diah menarik lenganku keluar halaman rumah dan menyuruhku mengemudikan mobil.
Entah berapa lama kami hanya berkeliling saja di jalanan kota Bandung, karena memang tidak tahu tujuannnya. Bu Diah terus saja menangis dan minta maaf padaku atas perlakuan kerabatnya itu. Yang membuat hatiku trenyuh, bu Diah bersedia ikut aku kemana pun aku pergi, meski harus meninggalkan semuanya.
Setelah puas berkeliling dan hari sudah gelap, bu Diah mengajak untuk menginap di hotel, tapi sebelumnya minta diantar pulang dulu untuk mengambil barang-barang keperluannya. Sampai di rumah bu Diah turun sementara aku menunggu di mobil. Saat menunggu, lagi-lagi pikiranku berkecamuk. Aku merasa hidup bu Diah tak akan tenang sepanjang masih bersamaku. Aku yakin keluarga almarhum suaminya tak akan berhenti menerornya sampai ia benar-benar menyerah. Karena itulah kukuatkan niatku untuk pergi meninggalkannya. Kukemasi barang-barang yang kuanggap penting tapi bukan pemberian bu Diah, lalu kumasukkan ke ransel. Tapi saat aku beringsut hendak membuka pintu mobil, bu Diah muncul. Secara refleks kulempar ranselku ke jok belakang. Begitu masuk ke mobil, bu Diah langsung menyuruhku menuju hotel tempat kami berbulan madu dulu.
Di hotel, kami langsung mandi, kemudian sholat Maghrib berjamaah disusul dengan mengaji bersama. Suara bu Diah terbata-bata saat melafalkan ayat-ayat Quran. Air matanya tak berhenti mengalir. Setelah itu bu Diah memesan makan malam, tapi ternyata tak kami sentuh sama sekali. Peristiwa sore itu membuat selera makan kami sirna. Kunyalakan TV lalu kubaringkan diriku di samping bu Diah. Ia langsung memelukku dengan mesra. Ia tampak masih shock. Matanya sembab. Ya, siapa pun, apalagi wanita, pasti akan shock mengalami kejadian seperti itu, dihujat habis-habisan dengan kata-kata kotor tanpa diberi kesempatan untuk membela diri. Terlebih yang menghujat itu adalah kerabat sendiri.
Kami menghibur diri dengan bercerita hal-hal lucu yang kami alami, kadang mengomentari berita di TV. Kami sama sekali tak membicarakan masalah yang sedang terjadi. Jam 8 malam kami sholat Isya berjamaah. Setelah berdoa usai sholat, bu Diah mengajakku bercinta. Katanya, orgasme akan membuat pikiran jadi fresh. Terus terang sebetulnya saat itu aku tidak mood. Caci-maki orang-orang itu masih terngiang jelas di telingaku, terutama saat mereka bilang kalau aku cuma mau hartanya bu Diah saja. Tapi demi bu Diah, kubuang sementara sakit hatiku.
Selama bercinta, bu Diah sengaja tak menahan desah kenikmatan yang dirasakannya. Suaranya lepas, seolah sebagai pelampiasan atas beban berat di benaknya. tak henti-hentinya memekik dan mengerang. Suara kami bersahut-sahutan hingga akhirnya sama-sama menggelapar di puncak kenikmatan. Ternyata memang benar. Bu Diah bisa tersenyum lagi. Wajahnya terlihat berseri-seri. Seperti halnya aku, pikirannya benar-benar plong. Nafsu makan kami pun timbul kembali.
Sambil menikmati makan malam bu Diah mengusulkan untuk pergi ke Bekasi untuk menemui kakaknya yang bernama pak Hendra (bukan nama sebenarnya), meminta pendapat tentang apa yang harus kami lakukan untuk menjalani hari-hari berikutnya. Sebetulnya aku kurang setuju karena mengkhawatirkan bu Diah yang mungkin akan mengalami kejadian yang sama. Bu Diah tampaknya sudah memasrahkan hidupnya padaku. Jika memang pak Hendra ikut-ikutan menghujanya, maka ia akan ikut kemana pun aku pergi seperti yang diucapkannya di mobil. Yang penting bertemu dulu dengan satu-satunya saudara kandung bu Diah.
Saat makan itu bu Diah juga menyatakan keinginannya untuk bisa segera punya anak dariku, walaupun ia ragu, karena selama menjadi istri pak Tyo ia tak kunjung hamil. Keraguannya ditepisnya sendiri dengan mengatakan jika Tuhan mengendaki, kami pasti akan dikaruniai anak, meskipun dari segi usia sangat tipis kemungkinannya. Aku mengamininya.
Terkadang aku sulit memahami kenapa bu Diah begitu mencintaiku dan mau berkorban begitu besar hanya karena aku mirip almarhum suaminya. Kenapa ia tak jatuh cinta saja pada laki-laki yang sepadan dengannya? Kenapa justru aku? Pikiranku melayang ke beberapa bulan sebelumnya.
Awal-awal kami menikah siri dulu bu Diah pernah curhat kepadaku. Semenjak menjanda, ada beberapa lelaki yang datang melamarnya, termasuk pak Amin. Aku kaget, sebab pak Amin sudah punya istri dan istrinya berteman baik dengan bu Diah. Bu Diah menolak pinangan para lelaki itu, apalagi pinangan pak Amin, karena ia merasa cintanya sudah terkubur bersama jasad almarhum suaminya. Ia bertekad tidak akan jatuh cinta lagi. Namun begitu melihatku waktu di rumah pak Amin, bu Diah merasakan getar-getar cintanya tumbuh lagi. Mulanya ia mengabaikan rasa itu, karena melihat aku yang jauh lebih muda darinya. Ia merasa tak mungkin kami bisa bersatu. Tapi makin ia berusaha melupakanku, makin rindu ia padaku. Itulah sebabnya ia mencari cara untuk bertemu lagi denganku yang akhirnya memintaku untuk memperbaiki perlistrikan di rumahnya, walaupun sebenarnya ia sudah punya langganan tukang sendiri.
Tampaknya benar kata orang, cinta tak perlu dijabarkan secara logika, tapi cukup dirasakan dan dijalani. Mengalir seperti air. Dan itulah yang kami alami saat ini. Nyatanya, menjalin cinta dengan bu Diah membawa banyak kebaikan pada diriku. Aku jadi rajin beribadah, bisa mengaji, dan dapat tambahan ketrampilan di bidang komputer dan bahasa Inggris, selain berenang dan mengemudikan mobil. Itu kusyukuri benar-benar, bahkan sampai sekarang.
Esok harinya kami bermobil menuju Bekasi. Ternyata pak Hendra, kakak kandung bu Diah, sudah tahu prahara yang kami alami. Kerabat almarhum suami bu Diah yang mengabarkan kepadanya. Mereka berpesan kepada pak Hendra agar bu Diah meninggalkan aku yang hanya mengincar hartanya saja. Namun tampaknya pak Hendra cukup bijak menyikapi masalah kami. Ia menyerahkan keputusannya pada kami berdua, karena kami yang menjalani.
Bu Diah minta maaf kepada kakaknya karena tak mengabari kalau ia telah menikah lagi. Ia takut akan membuat geger keluarga besarnya jika tahu ia menikah dengan laki-laki yang lebih pantas jadi anaknya. Berkali-kali bu Diah menegaskan kepada kakak kandungnya kalau ia sangat mencintaiku, tapi tak menyebutkan kalau gara-gara aku mirip almarhum suaminya. Ia hanya minta pak Hendra merestui perkawinan kami.
Pak Hendra yang pensiunan pegawai negeri bisa memahami apa yang dirasakan adiknya. Ia tak keberatan memberikan restu, tetapi persoalan yang memanas antara kami dengan kerabat almarhum bu Diah harus dituntaskan. Ia berjanji akan menemui keluarga almarhum suami bu Diah untuk menyelesaikan masalah kami. Kami diminta untuk tinggal dulu di rumahnya sampai masalah itu tuntas. Pak Hendra menyediakan kamar milik anak gadisnya, sebut saja namanya Ira, untuk kami tempati, sementara Ira pindah sekamar dengan kakaknya yang bernama Ita (nama samaran).
Ketika makan malam bersama, telepon di rumah pak Hendra berdering. Pak Hendra sendiri yang menjawab dan kebetulan telepon itu untuknya. Kulihat ia tampak serius mendengarkan suara penelepon. Sesekali ia menjawab “ya”, sesekali manggut-manggut. Setelah itu pak Hendra kembali menikmati makan malamnya. (Bersambung)
Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»
Kelembutan tutur katanya membuat otakku sedikit demi sedikit bisa berpikir jernih. Begitu pun genggaman tangannya, menyejukkan hatiku yang sebelumnya kacau-balau. Kuberanikan diri membalas tatapannya.
“Sebelumnya saya mohon maaf kalau apa yang saya katakan ini tidak pantas, bu Diah”, ujarku. Aku tak bisa menyembunyikan nada suaraku yang bergetar.
“Katakan saja. Pantas tak pantas biar aku yang memutuskan”, tandas bu Diah.
Sesaat aku terdiam, memikirkan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkannya.
“Saya suka sama bu Diah …”, jawabku singkat sambil menatap wajahnya sekilas sebelum kupalingkan pandanganku ke kopi susuku. Andai ia mentertawakan jawabanku, aku tak akan tersinggung, karena aku merasa bodoh mengucapkan itu. Bodoh karena tak bisa menemukan kata-kata yang lebih romantis yang membuat bu Diah terkesan.
“Apa maksudmu suka?” bu Diah mengernyitkan dahinya.
Mulutku terkunci rapat. Aku ingin mengatakan “cinta”, tapi tak tercetus. Rongga dadaku bergemuruh. Bu Diah masih saja menatapku dengan pandangan yang kutafsirkan sebagai kemarahan. Ia mendesakku dengan pertanyaan yang sama sampai 3 kali, hingga aku merasa kepalang basah.
“Cinta, bu”, jawabku dengan suara parau.
“Cinta? Kamu cinta aku?”, kupikir bu Diah tertawa terbahak-bahak setelah mengucapkan itu. Mentertawakan aku yang cuma tukang listrik berani-beraninya pada wanita kaya dan terhormat seperti dirinya. Ternyata tidak. Bahkan senyum pun tidak. Ia diam menunggu jawabanku.
“Ya, bu”, jawabku polos. Sepolos anak kecil yang dimarahi gurunya karena kedapatan mencontek. Kudengar bu Diah menghela nafas, lalu kembali bertanya.
Kenapa? Apa yang bikin kamu naksir aku?”
Aku menduga setelah ini ia menamparku. Aku tak punya pilihan lain selain menjawab apa adanya. Mulutku nyerocos saja tanpa beban.
“Karena bu Diah cantik, baik dan perhatian”.
“Lalu?”, cecar bu Diah.
“… Wangi …”, jawabku polos.
“Apalagi?”
Aku diam memikirkan jawabannya, dan kata “ … Seksi …” terlontar begitu saja. Aku sempat nyengir kecil dengan muka tersipu. Itu adalah jawaban terkonyol yang bisa kukatakan. Aku berharap bu Diah tidak bertanya lagi, karena aku sudah kehabisan jawaban.
Bu Diah menatap tajam ke arahku sesaat, lalu memalingkan wajahnya, agak menunduk. Aku tertegun kala melihat butiran air mengalir dari matanya. Dan tanpa kusadari, aku balas menggenggam erat jemari bu Diah.
“Saya minta maaf, bu. Sungguh, saya betul-betul minta maaf. Saya khilaf, bu. Jika bu Diah mau mengusir saya sekarang juga, saya akan pergi. Saya tahu saya tidak pantas mencintai bu Diah …”, ujarku mengalir begitu saja. Aku merasa ia marah padaku, tapi tak mampu mengungkapkannya dan hanya bisa menangis.
Pelan-pelan bu Diah merenggangkan genggamannya. Kuartikan itu sebagai isyarat kalau ia memang ingin aku pergi. Aku pun beringsut dari tempat dudukku. Aku memang harus pergi, pikirku. Tapi ada sedikit kelegaan dalam hatiku karena telah mengungkapkan perasaanku pada bu Diah. Kuakui, yang kulakukan tadi malam adalah pelampiasan nafsu, tapi dilandasi atas dasar cinta. Ya, aku memang telah jatuh cinta pada bu Diah. Cinta jugalah yang membuatku menerima tugas darinya untuk memperbaiki villanya hingga berujung kejadian tadi malam.
Kuberesi barang-barang milikku ke dalam ransel. Dari cermin yang ada di pintu almari, terlihat olehku bu Diah berdiri memandangiku, lalu berjalan mendekat.
“Kamu mau kemana?”, tanya bu Diah lirih.
“Kembali ke Bandung, bu. Mungkin saya akan sekalian pamit pada pak Amin untuk cari kerja di tempat lain”, jawabku sambil memasukkan barang-barangku asal-asalan ke dalam ransel.
Setelah selesai, aku mendekati bu Diah untuk berpamitan. Kuulurkan tanganku bermaksud menyalaminya. Tiba-tiba, ia merengkuh dan memelukku erat-erat. Kepalanya direbahkan ke dadaku.
“Aku nggak ingin kamu pergi. Aku ingin kamu tetap di sini”, kata bu Diah terisak.
Aku tertegun. Sesaat kemudian kubalas pelukan bu Diah dan bu Diah makin merapatkan pelukannya.
Sesaat kemudian ia tengadahkan wajahnya, menatapku lalu berkata, “Kamu cinta sama aku, Jek?”. Suaranya agak parau.
Spontan aku menjawab, “Ya, bu. Aku cin…”. Belum lagi aku tuntas bicara, bu Diah melingkarkan tangannya ke bahuku dan mendaratkan ciuman tepat di bibirku yang masih terbuka. Aku yang tak menyangka itu bakal terjadi sempat melotot terpana, namun kehangatan bibir bu Diah melenakanku hingga kemudian membalas ciumannya. Lama kami berciuman dan saling memagut hingga nafas kami memburu.
Bisa kurasakan betapa bergairahnya bu Diah dari pagutan-pagutannya yang seperti ingin melumat habis bibirku. Juga rengkuh kedua lengannya di tengkukku. Keadaan ini kutafsirkan sebagai isyarat kalau bu Diah juga mencintaiku. Ditambah lagi ia mengimbangi gerakan lidahku yang menari-nari di rongga mulutnya. Keberanian sekaligus birahiku pun bangkit seketika.
Masih sambil berciuman, kulolosi daster bu Diah hingga jatuh ke lantai. Jemariku tak perlu menunggu lama untuk menjelajahi dadanya yang ranum tanpa bra. Hal ini membuat mulutku tergoda untuk melakukan hal yang sama. Kulepaskan pagutanku di bibir bu Diah dan kualihkan ke bagian dadanya. Bu Diah mendesah panjang ketika mulut dan lidahku mulai beraksi. Sesekali kugigit ujungnya yang menonjol, sementara satu tanganku mulai menjelajah bagian bawah tubuhnya.
Bu Diah yang tampak terdongkrak birahinya melepas kancing bajuku satu per satu. Setelah itu tangannya turun ke resleting celana panjangku, membukanya dengan penuh nafsu dan menyusupkannya ke dalam.
Masih dengan berdiri, kami terus saja bercumbu dan saling menelanjangi sampai tak ada sehelai benangpun yang menutupi tubuh kami.
Pelan-pelan kugeser lokasi percumbuan ke tempat tidurku. Selanjutnya bisa ditebak. Kami tenggelam dalam sebuah pergumulan yang panas membara di setiap detik penuh gairah demi memuaskan dahaga batin. Ujung-ujungnya adalah helaan nafas memburu berbalut keletihan yang nikmat seiring dengan semburan cairanku di perut dan dada bu Diah.
Beberapa saat lamanya bu Dah berbaring di dadaku. Nafas kami yang memburu lambat laun kembali normal. Bisa kurasakan dengan jelas degup jantung bu Diah. Tak ada kata terucap. Hanya belaian lembut tangan-tangan kami sebagai ungkapan kasih sayang kami. Pikiranku melayang-layang antara percaya dan tidak percaya kalau aku baru saja bercinta dengan bu Diah.
Lamunanku buyat ketika bu Diah mengangkat kepalanya hingga wajah kami beradu pandang. Kukecup bibir bu Diah yang dibalas olehnya dengan kecupan pula. Kami pun saling memagut.
“Kukira kamu homo, Jek”, kata bu Diah memecahkan kesunyian setelah beberapa detik kami saling pagut.
“Memangnya kenapa, bu?”
“Ah, nggak apa-apa. Cuma ngomong aja”, jawab bu Diah sambil merapatkan tubuhnya dan menenggelamkan wajahnya di dadaku.
“Kamu tahu nggak, kalau kamu mirip banget sama pak Tyo (bukan nama sebenarnya), almarhum suamiku?” katanya lagi.
“Ah, masa sih …” belum lagi kuselesaikan ucapanku, bu Diah berlutut di atasku dan membuka laci meja rias di sampingnya. Sementara ia mencari-cari sesuatu, mataku tak lepas dari tubuh bu Diah yang putih mulus tanpa cacat. Aku masih tak percaya kalau tubuh indah itu telah kunikmati. Kuraba tubuh itu dengan penuh perasaan. Ya, mulai saat itu aku bisa menyentuhnya tanpa dihantui rasa was-was.
Ternyata bu Diah mengambil sebuah album foto kecil, membuka lembar demi lembar, lalu memberikannya padaku.
“Coba lihat ini. Ini foto almarhum waktu muda”, ujarnya sambil berbaring lagi di sampingku.
Kuamati foto yang sudah agak kusam kertasnya, mungkin karena termakan waktu. Memang benar, sekilas mirip aku. Hanya saja yang di foto agak lebih gemuk sedikit. Tapi kumis dan potongan rambutnya nyaris tak berbeda.
“Waktu kamu datang di rumah bu Amin dulu ibu-ibu arisan pada bilang kalau kamu mirip pak Tyo. Aku juga merasa begitu, tapi aku pura-pura menyangkal dan kubilang kalau pak Tyo jauh lebih cakep. Tapi kayaknya kamu lebih tinggi sedikit dari dia, Jek,” ujar bu Diah sambil berbaring lagi di sampingku.
“Ngoroknya sama nggak, bu?”, candaku.
“Nggak lah. Ngorok pak Tyo lebih merdu”, bu Diah membalas candaanku sambil tertawa lirih.
Setelah ngobrol beberapa saat, bu Diah mengajakku mandi bersama. Aku tak keberatan meski tadi sudah mandi.
Sejak kejadian pagi itu, bu Diah makin mesra padaku. Ia memanjakanku dengan menyiapkan kopi susu dan roti bakar begitu aku bangun pagi. Setiap aku selesai mandi, baju dan celanaku sudah tersedia di atas ranjang. Aku betul-betul tersanjung dengan perlakuan istimewa bu Diah padaku. Hanya saja tampaknya ia menjaga betul rahasia hubungan khususnya denganku, baik pada kedua tukang maupun mang Dudung. Begitu pun aku. Aku tak ingin seorang pun tahu, karena aku tak ingin merusak nama baik bu Diah.
Kami baru bisa bersikap intim sebagaimana layaknya sepasang manusia yang dimabuk asmara saat malam tiba. Saat di mana udara dingin menusuk tulang, kesunyian dan keremangan cahaya kamar membangkitkan gairah birahi kami. Kami tak lagi tidur di ranjang terpisah, tapi di ranjang bu Diah. Kalau percintaannya sebelumnya kurasakan bu Diah agak pasif, malam itu sudah lebih agresif. Ia mau melakukan oral padaku walaupun agak malu-malu, setelah sebelumnya kulakukan hal itu padanya.
Malam ketiga keintiman kami, bu Diah mengutarakan sesuatu yang membuatku tercenung. Ia mengajakku nikah! Ia tak ingin aku dan dia terjerumus makin dalam ke lembah dosa zina yang telah kami lakukan tiga hari ini. Beberapa saat aku terdiam dan itu membuat bu Diah tampak merasa jengah. Ia mengira aku tak setuju dengan usulnya, tapi kukatakan dengan sejujurnya kalau aku merasa minder menikahi wanita cantik dan kaya seperti bu Diah. Semula bu Diah menganggap aku hanya berdalih, tapi aku jawab kalau aku benar-benar jatuh cinta padanya. Keadaanlah yang membuatku ragu. Kami berasal dari latar belakang yang sangat bertolak belakang. Seperti bumi dan langit. Bu Diah bergelimang harta, sedangkan aku orang susah yang harus bekerja membanting tulang demi menyambung hidup.
Bu Diah kukuh pada pendiriannya. Ia tak ingin melakukan dosa lebih banyak lagi, tapi ia juga tak ingin kehilangan aku. Ia meyakinkanku kalau ia tak peduli dengan semua perbedaan itu. Ia siap dengan semua resiko yang harus ia hadapi jika menikah denganku. Ia sangat mencintaiku dan merasa bahagia menemukan kembali suaminya yang telah tiada. Hal itu membuatnya menjadi bersemangat lagi menjalani hidup yang sempat meredup sejak ditinggalkan suami tercintanya. Ia berharap, tak cuma wajahku saja yang mirip dengan almarhum, tapi juga sifat-sifatnya yang sabar dan penuh perhatian. Bu Diah mengatakan semua itu dengan air mata berlinang.
Cukup lama kami berdiskusi tentang hal itu hingga akhirnya aku menerima ajakannya untuk menikah. Tapi aku mengusulkan untuk nikah siri saja dulu. Pertimbanganku, andai suatu saat ia berubah pikiran karena tak tahan dengan cibiran kerabat, keluarga atau teman-teman arisannya, ia bisa memutuskan untuk berpisah. Sebaliknya, jika ia bertahan, baru kami menikah secara resmi. Bu Diah tampak agak kecewa, namun mau menerima saranku. Ia berjanji akan membuktikan kalau aku salah menilai tentang dia.
Keesokan harinya bu Diah meninggalkan villa, sementara aku terus melanjutkan pekerjaanku. Ia akan mengurus semua keperluan untuk pernikahan siri kami. Kupandangi mobilnya hingga keluar halaman villa dengan pikiran tak menentu. Tak kusangka, perjalanan hidupku akan seperti ini. Aku masih tak percaya dengan apa yang kualami. Hanya dalam waktu tak sampai 1 bulan berada di Bandung, aku dapat istri cantik. Kaya lagi. Itu tak membuatku merasa senang. Aku khawatir akan ada yang mengetahui hubungan kami dan mencemoohku sebagai laki-laki matre (materialistis).
Sejujurnya, aku sama sekali tak tergiur dengan harta bu Diah walaupun aku orang susah. Aku cuma jatuh cinta padanya. Dan mencintainya membuatku takut kehilangan. Padahal jauh di lubuk hatiku, aku masih ingin menimba pengalaman lebih banyak lagi sampai kutemukan pekerjaan dengan penghasilan yang cocok. Tidak pas-pasan seperti selama ini. Aku ingin berhasil dengan jerih payahku sendiri, bukan dari pemberian bu Diah. Tapi kehadiran bu Diah di hatiku memaksaku untuk memikirkan ulang rencana-rencanaku. Mungkin aku tak perlu lagi berkelana. Mungkin aku hanya akan mencari pekerjaan lain di Bandung saja yang pantas dengan status bu Diah, dan menikmati hidup bersamanya dengan sebaik-baiknya.
Sekitar tiga hari kemudian kami menikah siri di sebuah mushola sederhana di desa yang aku sudah lupa namanya. Tempatnya di pinggiran kota Bandung. Bu Diah sendiri yang menyiapkan segala sesuatunya hingga terlaksana nikah siri kami. Mulai dari mencari modin, saksi-saksi sampai biaya-biayanya, termasuk cincin kawin. Sebenarnya aku merasa tak nyaman dengan keadaan ini. Lebih tepatnya malu. Tapi melihat bu Diah yang begitu antusias melakukan persiapan dari awal hingga terlaksananya nikah siri itu, kupendam dalam-dalam rasa malu itu.
Selesai akad nikah, bu Diah mengajakku ke makam almarhum suaminya untuk minta restu. Di depan makam ia memanjatkan doa sambil terisak. Aku berdiri di belakang bu Diah dan memayunginya sambil turut berdoa dalam hati dengan doa-doa seadanya yang kuhafal. Sebelum berlalu, kami lakukan tabur bunga di atas makam pak Tyo.
Malam harinya kami berbulan madu dengan menginap di sebuah hotel mewah di Bandung. Dan bu Diah tampaknya juga sudah sangat siap menjadi istri sahku. Ia mengenakan baju tidur seksi transparan yang membuatku tak tahan untuk hanya memandanginya saja. Bu Diah telah benar-benar menempatkan statusnya sebagai istri sahku. Ia berikan pelayanan kepadaku dengan penuh antusias. Lepas. Tak ada ketakutan menanggung dosa.
Hanya sehari kami menginap di hotel, karena harus segera kembali ke villa untuk menuntaskan pekerjaan perbaikan hingga selesai dalam waktu tak sampai 2 minggu.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari berikutnya kami melakukan seperti biasa. Aku tetap bekerja di perusahaan pak Amin. Bedanya, aku tak lagi kos di kampung kumuh, tapi menempati rumah bu Diah yang lain yang berlokasi di sebuah kompleks perumahan baru. Kata bu Diah, rumah itu sebenarnya untuk dikontrakkan. Penghuni terakhir tidak memperpanjang kontraknya yang telah berakhir sebulan sebelumnya.
Rumah itu berkamar tiga, dua kamar di bawah dan satu di lantai 2, tidak begitu besar, tapi halamannya luas dan berkesan elegan. Perabotannya lengkap, termasuk peralatan fitness yang ditaruh di kamar lantai 2. Di halaman belakang ada parabola besar dan kolam renang berukuran sedang. Pertama kali menempati rumah itu aku merasa canggung. Aku yang biasa menempati kamar kos sempit di perkampungan kumuh, tiba-tiba tinggal di rumah mentereng seperti itu.
Setiap malam bu Diah datang ke tempatku. Kadang menginap kadang tidak. Hal ini untuk menjaga agar pak Kosim dan istrinya tidak bertanya-tanya.
Sejak resmi menikah, bu Diah makin memanjakan dan memperhatikanku. Tak hanya dalam aktifitas di ranjang, tapi juga materi. Baju, jam tangan, sepatu, makanan yang enak-enak dan apapun kebutuhanku dipenuhinya. Harganya pun mahal-mahal. Tapi yang paling membuatku terkesan padanya saat ia mengenakan jilbab. Begitu cantik dan anggun. Ibadahnya pun rajin. Aku yang tadinya jarang sholat, jadi ikut rajin juga. Bu Diah juga mengajariku doa-doa taubatan nasuha agar dosa-dosa kami di masa lalu diampuni oleh-Nya.
Perhatiannya padaku tak perlu kuragukan lagi. Ia tak bosan-bosannya mengingatkanku agar sholat saat waktunya tiba. Ia juga menyuruhku berhenti merokok. Ia benar-benar telah menempatkan dirinya sebagai istriku. Tapi itu hanya saat kami berdua saja. Di luar, kami tetap menjaga agar tak seorangpun tahu. Itu atas permintaanku. Ia pun mulai memanggilku dengan “papa”, sementara aku masih merasa jengah memanggilnya “mama”.
Suatu ketika hal tak terduga terjadi. Proyek yang dikerjakan pak Amin terhenti karena investornya bangkrut. Saat itu sedang memanasnya krisis moneter. Imbasnya, ia melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Termasuk aku juga kena PHK. Tapi bu Diah terus menghiburku agar aku tak putus asa. Ia berjanji akan mencarikan pekerjaan untukku melalui teman-teman yang ia kenal baik. Sambil menunggu aku dapat kerjaan lagi, bu Diah mengajakku umrah, kemudian jalan-jalan ke Paris untuk bulan madu kedua.
Waktu pun terus bergulir. Aku banyak menghabiskan waktu dengan bermain game, nonton TV atau fitness saat bu Diah tak ada. Saat bu Diah datang, selain mengajariku berenang, ia juga membimbingku mengaji. Berkat kesabaran dan ketekunannya mengajariku, aku bisa khatam dalam waktu tak sampai 1 bulan. Dalam hal berenang, Ia pun mahir sekali, karena sejak muda rutin melakukannya. Pantas saja tubuhnya masih kencang seperti baru berumur 30 tahunan.
Tak cuma itu. Selain diikutkan kursus mengemudi sampai dapat SIM agar kalau jalan berdua, aku yang mengemudi, aku juga dikursuskan mengetik dan komputer untuk menambah ketrampilanku. Ternyata aku kepincut dengan dunia komputer yang kala itu masih berupa barang langka. Melihat minatku, bu Diah kemudian membeli seperangkat komputer untukku. Dengan begitu aku bisa lebih mendalaminya, baik secara otodidak maupun melalui pelatihan di lembaga resmi.
Untuk meningkatkan penampilan, bu Diah tak segan mengajakku ke salon agar aku terlihat lebih rapi. Selain untuk perawatan rambut, juga kulit.
Berbekal kemampuan di bidang komputer itulah aku mulai mengirim beberapa lamaran ke sejumlah perkantoran. Dan keberuntungan pun berpihak padaku. Ada 2 perusahaan yang memanggilku untuk wawancara dan semuanya kulalui dengan lancar hingga aku diterima di 2 perusahaan itu. Atas masukan dari bu Diah, aku memilih salah satu yang menurutnya paling bonafid. Gajinya standar, tapi masih jauh lebih baik daripada saat aku mengandalkan ketrampilan perlistrikanku.
Saat menganggur aku merasa sangat rendah diri, tapi dengan memiliki pekerjaan, aku bisa lebih tegak berdiri di hadapan bu Diah. Aku merasa lengkap sebagai seorang suami. Ada kepuasan tersendiri bisa memberikan gajiku kepada bu Diah walaupun aku tahu ia tidak butuh.
Meski telah menjalani biduk rumah tangga dengan bu Diah beberapa bulan, entah kenapa aku masih saja dihantui perasaan tidak tenang. Bisa jadi karena kami hidup dalam keadaan tak biasa. Menjadi suami istri saat berdua dan menjadi orang lain saat berada di dunia luar. Aku merasa yang kami jalani itu bukan kehidupan yang sebenarnya. Bukan kenyataan. Hanya mimpi indah yang setiap saat bisa sirna.
Momen yang paling menentramkan hatiku adalah saat berada dalam pelukan bu Diah. Sayangnya, demi menjaga rahasia, aku tak bisa berharap ia selalu ada saat perasaanku gelisah.
Tampaknya bu Diah bisa merasakan kegalauanku. Ia menawarkan untuk pindah dari Bandung dan memulai hidup baru di tempat baru di mana tak ada lagi yang perlu dirahasiakan. Aku senang bu Diah mengatakan itu. Artinya ia siap sehidup semati denganku dalam keadaan senang maupun susah. Kami pun kemudian bicara panjang lebar tentang berbagai alternatif yang bisa kami tempuh untuk menjalani kehidupan rumah tangga secara normal.
Saat itu aku merasa betapa besar kekuatan cinta. Ia bisa merobohkan dinding perbedaan yang sedemikian tebal. Tak hanya itu. Ia juga mampu merubah hal yang tak mungkin menjadi mungkin. Aku yang dulu mengira tak bisa mendapatkan bu Diah, hanya dalam tempo singkat ia sah menjadi istriku. Meski dalam situasi yang terbatas, kami bisa mereguk kebahagiaan bersama-sama dan bersabar menunggu saat yang tepat untuk mewujudkan rencana kami.
Namun manusia merencanakan, Tuhan yang menentukan. Mimpi indah kami buyar. menyusul terbongkarnya hubungan bu Diah denganku!
Saat bangun tidur sore itu, 5 orang yang tak kukenal, 2 laki-laki dan 1 perempuan, serta 2 orang hansip dan seorang laki-laki setengah baya datang ke rumah yang kutinggali dengan ekspresi kemarahan. Tiga orang itu ternyata kerabat bu Diah dari pihak almarhum suaminya. Kata-kata kasar menyakitkan keluar dari mulut mereka silih berganti. Bahkan ada yang mencoba memukulku. Untung dicegah oleh salah seorang hansip. Mereka menghujatku habis-habisan. Aku dituding sebagai laki-laki tukang “morotin” perempuan, tidak tahu diri dan berbagai sumpah serapah tajam lainnya. Laki-laki setengah baya yang belakangan kuketahui sebagai ketua RT di kompleks perumahan itu berupaya meredam kerabat almarhum suami bu Diah, tapi sia-sia.
Ujung-ujungnya mereka mengusirku. Barang-barangku diambil dari kamar dan dilemparkan ke halaman. Aku yang tak menduga bakal mengalami ini tak mampu berkata apa-apa untuk membela diri. Aku juga tak mau mengatakan kalau aku tinggal di situ atas kemauan bu Diah. Aku tak mau mengorbankan dirinya.
Pikiranku benar-benar kacau. Sekujur tubuhku terasa lunglai, seperti rusa yang tak berdaya dalam terkaman harimau. Kuberesi barang-barangku dan aku berlalu begitu saja diiringi sumpah serapah mereka. Punah sudah harapanku hidup bersama bu Diah di tempat yang baru. Dengan terbongkarnya hubungan kami, semuanya tidak akan sama lagi. Orang yang paling menderita akibat dari itu adalah bu Diah. Tak ada jalan lain bagiku selain pergi sejauh mungkin darinya, karena hanya dengan cara itulah kehidupan bu Diah akan berangsur pulih dan hubungannya dengan pihak keluarga suaminya akan membaik, begitu pikirku waktu itu.
Saat aku melangkahkan kaki di trotoar depan rumah bu Diah datang. Ia hentikan mobilnya tepat di depanku dan buru-buru keluar. Matanya sembab. Ia langsung memelukku dan menghiba agar aku tak pergi. Tangisnya tumpah. Disela isak tangisnya Ia bilang akan jelaskan semuanya pada keluarga almarhum suaminya. Kubalas pelukannya dengan sangat erat. Kuanggap itu sebagai pelukan perpisahan dariku karena setelah itu aku akan pergi.
Tapi belum lagi aku berpamitan padanya, bu Diah tiba-tiba menarikku kembali ke rumah. Di hadapan orang-orang yang terbakar amarah itu ia bersujud dan minta maaf karena menikah tanpa seijin mereka. Ia memohon agar dimaafkan dan direstui hubungannya denganku. Tindakannya itu justru menyulut emosi mereka. Giliran bu Diah yang kena damprat dengan umpatan yang tak kalah menyakitkan, seperti perempuan murahan lah, gatal lah, kegenitan lah, binal lah. Aku yang semula diam saja, mendidih darahku. Aku tak rela bu Diah dikata-katai seperti itu. Ganti aku mengumpat mereka sebagai orang tak tahu malu yang hanya ingin menguasai harta almarhum suami bu Diah.
Laki-laki yang ternyata adik kandung almarhum suami bu Diah lagi-lagi menyerangku, dan aku siap melawan, tapi dihalangi oleh 2 orang hansip itu. Pak RT segera menyuruh kami untuk meninggalkan mereka agar keadaan tak makin runyam. Bu Diah menarik lenganku keluar halaman rumah dan menyuruhku mengemudikan mobil.
Entah berapa lama kami hanya berkeliling saja di jalanan kota Bandung, karena memang tidak tahu tujuannnya. Bu Diah terus saja menangis dan minta maaf padaku atas perlakuan kerabatnya itu. Yang membuat hatiku trenyuh, bu Diah bersedia ikut aku kemana pun aku pergi, meski harus meninggalkan semuanya.
Setelah puas berkeliling dan hari sudah gelap, bu Diah mengajak untuk menginap di hotel, tapi sebelumnya minta diantar pulang dulu untuk mengambil barang-barang keperluannya. Sampai di rumah bu Diah turun sementara aku menunggu di mobil. Saat menunggu, lagi-lagi pikiranku berkecamuk. Aku merasa hidup bu Diah tak akan tenang sepanjang masih bersamaku. Aku yakin keluarga almarhum suaminya tak akan berhenti menerornya sampai ia benar-benar menyerah. Karena itulah kukuatkan niatku untuk pergi meninggalkannya. Kukemasi barang-barang yang kuanggap penting tapi bukan pemberian bu Diah, lalu kumasukkan ke ransel. Tapi saat aku beringsut hendak membuka pintu mobil, bu Diah muncul. Secara refleks kulempar ranselku ke jok belakang. Begitu masuk ke mobil, bu Diah langsung menyuruhku menuju hotel tempat kami berbulan madu dulu.
Di hotel, kami langsung mandi, kemudian sholat Maghrib berjamaah disusul dengan mengaji bersama. Suara bu Diah terbata-bata saat melafalkan ayat-ayat Quran. Air matanya tak berhenti mengalir. Setelah itu bu Diah memesan makan malam, tapi ternyata tak kami sentuh sama sekali. Peristiwa sore itu membuat selera makan kami sirna. Kunyalakan TV lalu kubaringkan diriku di samping bu Diah. Ia langsung memelukku dengan mesra. Ia tampak masih shock. Matanya sembab. Ya, siapa pun, apalagi wanita, pasti akan shock mengalami kejadian seperti itu, dihujat habis-habisan dengan kata-kata kotor tanpa diberi kesempatan untuk membela diri. Terlebih yang menghujat itu adalah kerabat sendiri.
Kami menghibur diri dengan bercerita hal-hal lucu yang kami alami, kadang mengomentari berita di TV. Kami sama sekali tak membicarakan masalah yang sedang terjadi. Jam 8 malam kami sholat Isya berjamaah. Setelah berdoa usai sholat, bu Diah mengajakku bercinta. Katanya, orgasme akan membuat pikiran jadi fresh. Terus terang sebetulnya saat itu aku tidak mood. Caci-maki orang-orang itu masih terngiang jelas di telingaku, terutama saat mereka bilang kalau aku cuma mau hartanya bu Diah saja. Tapi demi bu Diah, kubuang sementara sakit hatiku.
Selama bercinta, bu Diah sengaja tak menahan desah kenikmatan yang dirasakannya. Suaranya lepas, seolah sebagai pelampiasan atas beban berat di benaknya. tak henti-hentinya memekik dan mengerang. Suara kami bersahut-sahutan hingga akhirnya sama-sama menggelapar di puncak kenikmatan. Ternyata memang benar. Bu Diah bisa tersenyum lagi. Wajahnya terlihat berseri-seri. Seperti halnya aku, pikirannya benar-benar plong. Nafsu makan kami pun timbul kembali.
Sambil menikmati makan malam bu Diah mengusulkan untuk pergi ke Bekasi untuk menemui kakaknya yang bernama pak Hendra (bukan nama sebenarnya), meminta pendapat tentang apa yang harus kami lakukan untuk menjalani hari-hari berikutnya. Sebetulnya aku kurang setuju karena mengkhawatirkan bu Diah yang mungkin akan mengalami kejadian yang sama. Bu Diah tampaknya sudah memasrahkan hidupnya padaku. Jika memang pak Hendra ikut-ikutan menghujanya, maka ia akan ikut kemana pun aku pergi seperti yang diucapkannya di mobil. Yang penting bertemu dulu dengan satu-satunya saudara kandung bu Diah.
Saat makan itu bu Diah juga menyatakan keinginannya untuk bisa segera punya anak dariku, walaupun ia ragu, karena selama menjadi istri pak Tyo ia tak kunjung hamil. Keraguannya ditepisnya sendiri dengan mengatakan jika Tuhan mengendaki, kami pasti akan dikaruniai anak, meskipun dari segi usia sangat tipis kemungkinannya. Aku mengamininya.
Terkadang aku sulit memahami kenapa bu Diah begitu mencintaiku dan mau berkorban begitu besar hanya karena aku mirip almarhum suaminya. Kenapa ia tak jatuh cinta saja pada laki-laki yang sepadan dengannya? Kenapa justru aku? Pikiranku melayang ke beberapa bulan sebelumnya.
Awal-awal kami menikah siri dulu bu Diah pernah curhat kepadaku. Semenjak menjanda, ada beberapa lelaki yang datang melamarnya, termasuk pak Amin. Aku kaget, sebab pak Amin sudah punya istri dan istrinya berteman baik dengan bu Diah. Bu Diah menolak pinangan para lelaki itu, apalagi pinangan pak Amin, karena ia merasa cintanya sudah terkubur bersama jasad almarhum suaminya. Ia bertekad tidak akan jatuh cinta lagi. Namun begitu melihatku waktu di rumah pak Amin, bu Diah merasakan getar-getar cintanya tumbuh lagi. Mulanya ia mengabaikan rasa itu, karena melihat aku yang jauh lebih muda darinya. Ia merasa tak mungkin kami bisa bersatu. Tapi makin ia berusaha melupakanku, makin rindu ia padaku. Itulah sebabnya ia mencari cara untuk bertemu lagi denganku yang akhirnya memintaku untuk memperbaiki perlistrikan di rumahnya, walaupun sebenarnya ia sudah punya langganan tukang sendiri.
Tampaknya benar kata orang, cinta tak perlu dijabarkan secara logika, tapi cukup dirasakan dan dijalani. Mengalir seperti air. Dan itulah yang kami alami saat ini. Nyatanya, menjalin cinta dengan bu Diah membawa banyak kebaikan pada diriku. Aku jadi rajin beribadah, bisa mengaji, dan dapat tambahan ketrampilan di bidang komputer dan bahasa Inggris, selain berenang dan mengemudikan mobil. Itu kusyukuri benar-benar, bahkan sampai sekarang.
Esok harinya kami bermobil menuju Bekasi. Ternyata pak Hendra, kakak kandung bu Diah, sudah tahu prahara yang kami alami. Kerabat almarhum suami bu Diah yang mengabarkan kepadanya. Mereka berpesan kepada pak Hendra agar bu Diah meninggalkan aku yang hanya mengincar hartanya saja. Namun tampaknya pak Hendra cukup bijak menyikapi masalah kami. Ia menyerahkan keputusannya pada kami berdua, karena kami yang menjalani.
Bu Diah minta maaf kepada kakaknya karena tak mengabari kalau ia telah menikah lagi. Ia takut akan membuat geger keluarga besarnya jika tahu ia menikah dengan laki-laki yang lebih pantas jadi anaknya. Berkali-kali bu Diah menegaskan kepada kakak kandungnya kalau ia sangat mencintaiku, tapi tak menyebutkan kalau gara-gara aku mirip almarhum suaminya. Ia hanya minta pak Hendra merestui perkawinan kami.
Pak Hendra yang pensiunan pegawai negeri bisa memahami apa yang dirasakan adiknya. Ia tak keberatan memberikan restu, tetapi persoalan yang memanas antara kami dengan kerabat almarhum bu Diah harus dituntaskan. Ia berjanji akan menemui keluarga almarhum suami bu Diah untuk menyelesaikan masalah kami. Kami diminta untuk tinggal dulu di rumahnya sampai masalah itu tuntas. Pak Hendra menyediakan kamar milik anak gadisnya, sebut saja namanya Ira, untuk kami tempati, sementara Ira pindah sekamar dengan kakaknya yang bernama Ita (nama samaran).
Ketika makan malam bersama, telepon di rumah pak Hendra berdering. Pak Hendra sendiri yang menjawab dan kebetulan telepon itu untuknya. Kulihat ia tampak serius mendengarkan suara penelepon. Sesekali ia menjawab “ya”, sesekali manggut-manggut. Setelah itu pak Hendra kembali menikmati makan malamnya. (Bersambung)
Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
Kekuatan Cinta (Bagian 1)
Jek (nama samaran), 42 tahun:
Pembaca yang budiman, perkenalkan namaku, sebut saja Jek. Menginjak kelas 2 STM (sekarang SMK), aku putus sekolah karena ketiadaan biaya. Maklum, orang tuaku tergolong tak mampu. Aku terpaksa harus menghidupi diriku sendiri agar bisa survive dari belitan kemiskinan yang dari hari ke hari makin mencekik leher. Dengan berbekal ketrampilan di bidang kelistrikan yang kumiliki itulah kuberanikan diri hengkang dari desa kelahiranku, mencari kehidupan yang lebih baik di tempat baru.
Petualanganku kumulai di kota terdekat dengan desaku, yaitu Pacitan. Di sana aku bekerja sebagai tenaga serabutan pada sebuah bengkel mobil selama 1 tahun. Setelah kurasa cukup menimba pengalaman di Pacitan, aku merantau ke Malang dan lagi-lagi dapat pekerjaan serabutan dengan bayaran pas-pasan untuk hidup.
Belum genap 2 tahun di Malang, aku diajak teman seprofesi untuk merantau ke Pontianak. Di sana aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang cukup besar. Fasilitasnya pun lengkap. Aku tak perlu kos karena tempat tinggal sudah disediakan, walaupun dalam bentuk semacam barak, sementara makan disediakan sehari 3 kali.
Suatu hari aku baca di koran ada iklan lowongan kerja sebagai tenaga kontrak di sebuah BUMN di Surabaya, di mana salah satu yang dibutuhkan adalah tukang listrik. Tanpa pikir panjang kukirim lamaran ke sana. Begitu dapat panggilan untuk tes, kutinggalkan Pontianak tempat aku mencari nafkah selama kurang lebih 6 bulan.
Aku diterima di perusahaan itu setelah dinyatakan lulus tes ketrampilan maupun wawancara. Meskipun gajinya standar UMR, tapi aku dapat banyak tambahan dari lembur yang selalu ada setiap hari. Di kota pahlawan itu aku tinggal agak lama, sekitar 3 tahun, karena sewaktu bekerja di BUMN itu aku dan sejumlah tenaga lapangan lain dimagangkan di Jepang selama 6 bulan, dan setelah itu kena ikatan dinas.
Aku senang bukan main bisa menjejakkan kakiku di Jepang. Kukabari orang tuaku di desa dan mereka sangat bangga karena aku orang pertama di desaku yang bisa ke luar negeri. Sepulang dari Jepang aku diwajibkan bekerja selama 1 tahun sebagai bagian dari ketentuan ikatan dinas.
Setelah masa ikatan dinas habis, aku ditawari oleh salah seorang mantan atasanku yang pindah kerja di Batam untuk kerja di sana. Sayangnya aku kurang betah di Batam. Gajinya memang besar, tapi biaya hidupnya juga tinggi. Dari Batam, aku pindah kerja lagi ke Cilegon, lalu Jakarta. Begitu seterusnya, aku terus berpindah kerja dan tempat tinggal, mengikuti kata hatiku.
Selama berkelana dari satu kota ke kota lain itu aku sempat berpacaran beberapa kali, tapi terus bubar. Dari pacaran itu aku sempat mencicipi nikmatnya permainan ranjang. Tak heran jika kemudian hasrat untuk melakukan lagi selalu muncul. Betul juga kata orang, seks itu seperti merokok. Bikin ketagihan. Jadinya, hampir setiap kali pacaran pasti ada aktifitas yang orang biasa menyebut “seks bebas”.
Dengan hidup “nomaden” seperti itu pastinya banyak kisah, suka maupun duka, yang kualami. Namun yang paling berkesan adalah ketika aku berada di Bandung. Di sana aku bekerja di sebuah perusahaan kontraktor sebagai tenaga kontrak. Kalau tidak salah, usiaku 27 tahun waktu itu.
Suatu hari pimpinan perusahaanku, sebut saja namanya pak Amin, menyuruhku untuk datang ke rumahnya. Ia butuh bantuan membenahi jaringan listrik yang kerap mengalami korsleting. Kebetulan saat itu di ruang tamu rumah pak Amin sedang ada acara arisan yang diadakan istri pak Amin. Keadaan di sana agak gelap karena lampu padam. Aku pun segera bekerja mencari penyebab korsleting agar acara arisan tidak terganggu.
Saat aku membawa tangga melewati ruang keluarga yang berbatasan dengan ruang tamu, kulihat ibu-ibu dengan dandanan wah sedang berceloteh dengan riuhnya. Tiba-tiba kudengar salah seorang dari mereka memanggil ke arahku. Begitu aku menoleh, mereka memandangiku. Tentu saja aku jadi salah tingkah. Aku jadi makin salah tingkah karena tak seorangpun dari mereka yang mengajakku bicara. Bergegas aku berlalu sebelum wajahku memerah. Kudengar celotehan mereka makin riuh.
Akhirnya, tak sampai setengah jam pekerjaanku selesai. Ibu-ibu itu bertepuk tangan saat lampu menyala.
Beberapa hari kemudian pak Amin memanggilku. Katanya, salah seorang teman arisan bu Amin, sebut saja namanya bu Diah, butuh orang untuk memasang titik-titik lampu baru di rumahnya yang baru direnovasi.
Dengan berbekal petunjuk dari pak Amin, aku berangkat naik angkot menuju rumah bu Diah. Sampai di tujuan, seorang laki-laki tua menyambut kedatanganku dan mempersilakanku masuk. Setelah menunggu bebeberapa menit bu Diah muncul menemuiku.
Ternyata bu Diah orangnya cantik dan ramah. Penampilannya sederhana, tapi tetap saja berkesan orang kaya. Busananya yang ketat menampakkan lekuk liku tubuhnya yang indah. Memang tidak begitu langsing, tapi juga tak layak disebut gemuk. Cara berjalannya anggun. Tutur katanya lemah lembut, tak ada kesan arogan sebagaimana orang kaya menghadapi orang susah seperti aku. Hal itu membuatku merasa nyaman.
Rumah bu Diah tergolong besar, terlebih setelah renovasi. Arsitekturnya klasik. Setelah sepakat tentang ongkos kerjanya, aku mulai melakukan survey, dengan dipandu langsung oleh bu Diah yang menentukan lokasi titik lampu yang dihendaki serta tambahan saklar dan stop kontak baru. Setelah menghitung item-item yang dibutuhkan, aku pergi ke toko listrik.
Karena banyaknya titik yang harus dipasang, pekerjaan tidak selesai hari itu dan kukatakan pada bu Diah untuk melanjutkan esok harinya. Bu Diah tanya di mana aku tinggal, dan ketika kukatakan alamat tempat tinggalku, Bu Diah menyarankan untuk nginap di rumahnya saja. Aku tak keberatan karena kosku memang jauh dari rumah bu Diah.
Bu Diah menunjukkan kamar yang bisa kutempati malam itu. Letaknya terpisah dari rumah utama, berjajar dengan dapur, kamar mandi, tempat cucian dan gudang, serta bersebelahan dengan kamar pembantu. Aku tak khawatir soal makan, karena bu Diah menyediakan untukku. Begitu juga dengan jajanan kecil dan rokok. Soal baju, aku pun tak risau, karena bu Diah meminjamkan baju anaknya. Walaupun agak kekecilan sedikit, tapi lumayanlah daripada aku tak ganti baju sama sekali.
Untuk menghabiskan waktu sebelum tidur, aku ngobrol di belakang rumah dengan 2 pembantu bu Diah yang ternyata sepasang suami istri, sebut saja namanya pak dan bu Kosim. Kutaksir mereka seusia bapak ibuku. Mereka ikut bu Diah sudah lama. Dulunya mereka jadi pembantu di rumah orang tua bu Diah, tapi begitu kedua orang tua bu Diah meninggal, mereka ganti ikut bu Diah.
Menurut cerita pak Kosim, anak bu Diah ada 2 yang semuanya anak tiri. Anak pertama bekerja di Amerika dan dapat istri orang sana, sedangkan yang bungsu juga sudah menikah dan bekerja di perusahaan tambang minyak di Turki (kalau tidak salah, karena aku sudah agak lupa nama negaranya). Suami bu Diah yang seorang pensiunan pejabat meninggal 1 tahun lalu karena serangan jantung.
Bu Kosim menambahkan, bu Diah dinikahi almarhum suaminya ketika masih kuliah. Beda usia mereka 15 tahun. Meski begitu, bu Diah sangat mencintai suaminya yang baik, penuh perhatian, pemurah dan taat ibadah. Suami bu Diah duda beranak 2 yang ditinggal mati istrinya. Sayangnya, dari pernikahan itu bu Diah tidak mempunyai anak seorang pun.
Dari cerita pak dan bu Kosim itu kuperkirakan usia bu Diah sekitar 40-45 tahunan, tapi ia tampak lebih “kinclong” dari usianya. Pasti lah berkat perawatan wajah dan tubuhnya, pikirku.
Keesokan harinya, aku lanjutkan lagi pekerjaanku. Semuanya berjalan lancar hingga menjelang istirahat makan siang. Bu Diah menemuiku dan mengajakku keluar dengan mobilnya. Katanya ia ingin beli kulkas baru dan ingin minta pendapatku tentang kualifikasi kulkas yang bagus. Seumur-umur belum pernah aku beli kulkas, mana tahu mana yang bagus atau tidak, kataku dalam hati. Tapi kupatuhi juga ajakannya. Kutinggalkan ransum makan siangku walaupun sebenarnya aku sudah lapar berat.
Usai berkeliling dari satu toko elektronik ke toko elektronik berikutnya, akhirnya bu Diah memutuskan membeli kulkas berukuran besar. Setelah itu ia mengajakku makan siang di sebuah restoran yang banyak dikelilingi kolam ikan. Terus-terang aku jadi kikuk makan berdua dengan orang yang statusnya jauh berbeda denganku. Maklum, sehari-harinya aku makan di warteg. Tapi karena keramahan bu Diah, lama-lama hilang juga kecanggunganku.
Acara makan itu rasanya seperti ajang interogasi bagiku. Bu Diah banyak bertanya tentang aku. Kuceritakan semua pengalamanku padanya, hingga akhirnya sampai di Bandung. Kulihat bu Diah sangat antusias mendengar ocehanku. Berkali-kali ia memujiku sebagai orang yang ulet dan pantang menyerah. Ia juga menyindirku, sebagai laki-laki petualang, pastilah banyak punya pacar. Aku hanya tertawa mendengar ucapannya.
Hari ke 3, aku dibuat terpana oleh bu Diah. Betapa tidak. Saat aku mulai bekerja pagi itu, bu Diah keluar dari kamarnya dengan mengenakan baju yang terbuka di bagian leher dadanya. Dia menghampiriku yang sedang berada di atas tangga untuk menanyakan apakah aku sudah sarapan atau belum. Darahku berdesir ketika melihat dadanya yang menyembul. Maklum, sudah berbulan-bulan aku tak punya kesempatan menyalurkan hasrat, sehingga melihat sesuatu yang “menantang” seperti itu langsung “greng”. Cepat-cepat kupalingkan muka dan berpura-pura meneruskan tugasku memasang fitting di langit-langit seraya menjawab kalau aku sudah sarapan. Aku tak mau bu Diah tahu kalau aku terpesona pada dada indahnya. Bu Diah kemudian berlalu menuju ruang keluarga dan menonton TV di sana.
Karena tingginya tingkat kesulitan yang kuhadapi, ditambah lagi bu Diah yang sering mengajakku pergi untuk menemaninya, entah itu cari kekurangan bahan yang kubutuhkan atau belanja di mall, praktis pekerjaanku baru bisa selesai dalam waktu 6 hari. Untungnya pak Amin memberikan kelonggaran padaku untuk meninggalkan pekerjaanku di proyek. Mungkin karena ia kenal baik dengan bu Diah, makanya tak begitu mempersoalkan ketidakhadiranku di proyek.
Waktu pekerjaanku selesai, bu Diah memberikan tambahan ongkos kerja untukku, karena hasil kerjaku dinilai sangat baik olehnya. Tentu saja aku sangat senang, karena jumlahnya sebesar ongkos kerja yang telah disepakati di awal. Artinya aku dapat upah 2 kali lipat.
Beberapa hari sejak perjumpaanku dengan bu Diah, aku merasakan sesuatu yang tak biasa. Entah kenapa, ingatanku selalu saja tertuju pada bu Diah. Apalagi saat menjelang tidur. Mungkin saja karena kecantikannya, kebaikannya, perhatiannya, atau hanya gara-gara melihat “penampakan” dadanya yang putih ranum itu, aku tak tahu. Yang jelas, aku tak pernah berhenti memikirannya. dan berharap bertemu lagi dengannya. Saat itu aku merasa betapa bodohnya aku jika rasa yang muncul di hatiku adalah cinta. Belum pernah aku mengalami seperti ini, jatuh cinta pada perempuan yang secara usia jauh lebih matang, kaya raya pula.
Biasanya, jika aku jatuh cinta, aku akan langsung mengutarakannya pada perempuan yang menarik perhatianku. Dan usianya pastilah lebih muda dariku. Minimal sama. Tapi pada bu Diah jelas tak mungkin. Kalaupun mungkin, hanya dalam mimpi. Jurang pemisah di antara aku dengannya sangat lebar. Tak ada yang bisa kulakukan selain mengubur dalam-dalam rasa itu dan mulai melupakan bu Diah.
Namun tampaknya kisahku bersama bu Diah belum berakhir. Dua minggu kemudian pak Amin lagi-lagi memanggilku. Katanya, bu Diah butuh bantuanku lagi. Maka atas seijin pak Amin dan dengan langkah ringan kutinggalkan lokasi proyek, menunggu angkot yang searah dengan kediaman bu Diah. Gadis cantik yang duduk di sampingku tak lagi menarik perhatianku. Pikiranku hanya tertuju pada bu Diah dan bu Diah.
Aku merasa seperti kembali menjadi ABG begitu langkahku sudah dekat dengan rumah bu Diah. Jantungku berdegup kencang. Lebih-lebih ketika aku dipersilakan oleh pak Kosim untuk menunggu di teras rumah, satu menit serasa seminggu. Tubuhku panas dingin. Aku langsung berdiri saat ia membuka pintu rumahnya dan menyambutku dengan ramah. Aku berharap ia tak melihat mataku yang berbinar karena senang bisa menatap lagi wajah cantiknya.
Di teras bu Diah mengutarakan maksudnya meminta bantuanku untuk memeriksa kondisi villanya yang ada di Lembang yang katanya sering terjadi korsleting. Aku langsung mengiyakan saat ia menanyakan apakah ongkos kerja sama dengan sebelumnya. Mukaku bersemu merah, malu, ketika ia memintaku untuk mengemudkan mobilnya yang sudah siap di halaman. Mana bisa aku mengemudi mobil, sedangkan mengendarai motor saja bisa dihitung dengan jari, karena motor pinjaman.
Sampai di villa aku langsung berkeliling mensurvei. Kulihat memang banyak plafon yang lapuk karena kena bocoran air hujan. Artinya, aku tidak bisa bekerja sendiri. Aku butuh bantuan tukang kayu atau tukang bangunan untuk membenahi bagian-bagian villa berkamar 3 yang bocor. Dan waktu pengerjaannya pun tidak sebentar. Kuperkirakan sekitar 2 minggu. Ketika kusampaikan hal itu pada bu Diah, ia langsung memerintahkan mang Dudung (nama samaran), penjaga villa bu Diah, untuk mencari tukang yang kumaksud.
Dua hari kemudian, bu Diah mengajakku ke villanya lagi untuk mulai bekerja. Dan supaya tidak perlu bolak-balik Bandung-Lembang, bu Diah memintaku untuk tinggal saja di villa sampai pekerjaan selesai dan aku dipercaya olehnya untuk menjadi mandor bagi kedua tukang yang bertugas mengganti plafon dan kayu-kayu yang lapuk. Aku tak perlu risau soal pak Amin, karena bu Diah sudah bicara langsung dengan beliau untuk pinjam tenagaku.
Sore harinya bu Diah kembali ke Bandung, sementara kedua tukangku pulang karena mereka berasal dari sekitar situ. Sebelum pulang ia memberikan sejumlah uang untuk membeli bahan-bahan tambahan yang mungkin diperlukan untuk renovasi. Juga untuk beli makan buatku dan tukang. Untuk tidur, tadinya aku mau nebeng di kamar mang Dudung di belakang, tapi bu Diah menyuruhku menempati salah satu kamar yang ada di dalam villa yang belum dibongkar plafonnya dan mengijinkanku memakai kamar mandi yang ada di kamar tidur utama.
Hari keempat bu Diah datang lagi ke villa. Kali ini ia membawa sekoper pakaian. Ia berencana menginap juga di villa agar bisa turut mengawasi jalannya renovasi. Karena ia menempati kamar yang semula kupakai tidur, barang-barangku pun kukeluarkan semua dari kamar itu dan kupindahkan ke ruang tamu dekat sofa yang akan kupakai untuk tidur. Dan sore itu aku mandi di kamar mandi luar yang ada di dekat kamar mang Dudung yang tempatnya agak di belakang villa.
Setelah makan malam, kami nonton TV sambil ngobrol. Bu Diah tampak rileks sekali bicaranya, seolah kami sudah kenal lama dan tidak terbatasi perbedaan status maupun usia. Ada saja bahan obrolan yang ia lontarkan, sehingga suasananya terasa hidup.
Jam 9 malam, bu Diah pamit padaku untuk tidur, sementara aku melanjutkan nonton TV. Ia berpesan, kalau aku butuh ke kamar kecil bisa pakai kamar mandi yang ada di kamarnya agar tidak perlu jauh-jauh ke kamar mandi luar. Kuiyakan saja pesannya, walau sebenarnya aku keberatan karena merasa tak enak harus keluar masuk kamarnya hanya untuk ke kamar kecil.
Tapi dasar aku penakut. Suasana sepi yang mencekam dan remang-remang karena beberapa lampu sudah dimatikan oleh mang Dudung, membuatku ragu untuk ke kamar kecil luar. Celakanya, aku harus sering ke kamar kecil jika kedinginan. Untung di ruang tamu yang kutempati ada sebuah ember kecil yang biasa digunakan untuk menampung air hujan.
Akibat bolak-balik buang air kecil, ember itu jadi penuh dengan air seniku. Padahal aku sudah kebelet sekali untuk buang air kecil lagi. Tersiksa sekali rasanya. Aku pun tak mungkin membuang isi ember itu ke pekarangan, karena pasti baunya akan menyebar kemana-mana.
Karena sudah tak tahan, akhirnya kuberanikan diri untuk menggunakan kamar mandi di kamar bu Diah yang letaknya dekat dengan ruang tamu. Tampaknya bu Diah sengaja tidak menutup pintu kamarnya rapat-rapat agar aku bisa keluar masuk sesukaku. Kubuka pintu dengan hati-hati agar tak mengganggu tidurnya. Dalam kamar kulihat ia tidur berselimut dengan posisi menghadap dinding. Aku berjalan agak berjingkat menuju kamar mandi karena tak ingin bu Diah mendengar langkahku. Siapa tahu ia kaget lalu spontan meneriakiku maling.
Selesai buang air kecil, aku harus berjingkat lagi untuk keluar dari kamar bu Diah.
Jam 1 dini hari aku terjaga, lagi-lagi karena kebelet buang air kecil. Sambil berjalan menuju kamar bu Diah aku memaki kebiasaanku itu. Begitu masuk kamar bu Diah, kulihat selimutnya sudah teronggok di lantai. Mungkin jatuh saat ia bergerak dalam tidurnya. Yang membuat darahku berdesir, daster bu Diah tersingkap hingga dalam keremangan cahaya aku bisa melihat paha mulusnya. Aku tertegun. Sontak jantung berdegup kencang. Sebagai laki-laki normal, terus terang aku terangsang. Tapi akal sehatku masih bisa bekerja dengan baik. Buru-buru kupalingkan wajahku dan berjalan menuju kamar kecil.
Saat air seniku terkuras habis, batinku bergolak. Bayang-bayang paha mulus bu Diah menari-nari di benakku. Rangsangan yang muncul tadi mendadak terasa meronta ingin disalurkan. Darah mengalir lebih kencang ke kelelakianku, hingga otakku kehilangan kemampuan menormalkan akal sehatku. Wanita yang kukagumi yang beberapa hari terakhir ini menghiasi benakku kini tergolek menampakkan bagian tubuh rahasianya. Spontan birahi meronta.
Birahi yang meletup-letup itu mendorongku keluar kamar mandi dengan jemariku masih menggenggam erat kelelakianku yang menjulang seperti batu karang.
Genggamanku tak lagi bisa diam saat menatap bagian bawah tubuh bu Diah yang terbuka sebagian. Batinku bergejolak makin tak menentu, antara hasrat untuk mendekati bu Diah dengan bayangan resiko yang harus kuhadapi andai bu Diah memergoki perbuatanku. Ya, kesadaranku yang semakin menipis mengatakan, bu Diah rela berbagi kamar mandi denganku karena telah mempercayaiku seratus persen. Tak mungkin aku macam-macam padanya. Bisa jadi aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri, sehingga ia tak menaruh prasangka buruk padaku.
Tapi nafsu birahiku tak mau diajak kompromi. Aku tak mampu lagi membendung dorongan hasrat yang menggelegak. Antara sadar dan tidak, aku berlutut di dekat ranjangnya, tepat di depan betis dan pahanya yang demikian menggoda. Nafasku makin memburu seiring dengan gerakan genggaman tanganku. Hasrat untuk menyentuh, meraba, dan menciumnya begitu kuat. Tapi aku tak ingin bu Diah terbangun. Aku hanya bersimpuh saja di situ, memandanginya dengan tatapan liar. Sesekali mataku terpejam, menikmati setiap gesekan di kelelakianku sambil membayangkan bu Diah yang melakukannya. Kudengar nafas bu Diah teratur. Tampaknya ia tidur sangat nyenyak.
Hal itu membuatku tak puas dengan hanya begitu. Dengan hati-hati kusentuh salah satu paha bu Diah. Beberapa detik kubiarkan satu tanganku menempel di situ. Aku menunggu reaksi bu Diah. Jika ia beringsut, aku segera melepaskan sentuhanku. Ternyata tak ada reaksi dari bu Diah. Bahkan saat kuusapkan tanganku pelan-pelan, menjalar makin ke atas. Karena bu Diah masih tak bereaksi, aku makin kesetanan. Kusibak lebih tinggi daster bu Diah hingga aku bisa melihat celana dalamnya yang berwarna hitam. Spontan, degup jantungku makin kencang. Satu tanganku menyentuh dan mengelus dengan hati-hati pantatnya yang bulat penuh, sementara tanganku satu lagi bergerak-gerak di dalam celanaku.
Tiba-tiba kudengar bu Diah menggumam, lalu beringsut. Secara refleks kulepaskan sentuhanku lalu merapatkan tubuhku ke lantai di samping ranjangnya agar ia tak bisa langsung melihatku jika membuka matanya. Bu Diah telah berubah posisi tubuhnya jadi telentang. Kutunggu beberapa saat dengan jantung berdebar. Begitu mendengar nafasnya yang teratur, aku kembali berlutut.
Kedua bola mataku tak berkedip manakala kulihat posisi kakinya yang agak mengangkang hingga aku bisa melihat dengan jelas bagian depan celana dalamnya. Aliran darahku langsung mengalir makin kencang, sekencang genggaman pada kelelakianku. Kuraba dengan lembut bagian tubuh bu Diah yang tertutup celana dalam putih dengan penuh perasaan. Sejurus kemudian satu kakiku sudah naik ke ranjang karena aku terdorong untuk mengecup bagian itu.
Dengan penuh perasaan kuciumi dan sesekali kujilati bagian bawah tubuh bu Diah, sementara satu tanganku bekerja makin kencang dan makin kencang. Beberapa menit kemudian aku mengejang. Cairan hangatku tumpah ke paha bu Diah. Aku tak berlama-lama merasakan kenikmatan itu karena akal sehatku kembali normal. Kuambil tisu di meja rias lalu dengan hati-hati kubersihkan paha bu Diah. Sebelum berlalu, kubenahi daster dan selimut bu Diah.
Saat berbaring lagi di ranjangku aku berpikir, bagaimana aku bisa senekad itu? Bagaimana jika bu Diah memergoki perbuatanku? Bisa-bisa aku dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pelecehan seksual. Namun kelelahan yang mendera setelah bekerja seharian dan diakhiri dengan tersalurnya hajat yang lama terpendam membuat pikiran-pikiran itu sirna dengan sendirinya karena aku segera terlelap.
Pagi harinya, saat terbangun dari tidurku aku sempat merasa kikuk karena ingat kejadian semalam. Jam di dinding menunjukkan pukul 5 lebih. Suasana sepi dan dingin saat itu membuatku enggan bangkit dari tempat tidur. Aku melamun. Rasanya sulit percaya kalau tadi malam aku “mencuri kenikmatan” atas diri bu Diah, wanita yang selama ini begitu baik padaku. Batinku berkecamuk dipenuhi rasa bersalah. Aku merasa telah melecehkannya. Jantungku berdebar. Muncul kekhawatiran kalau-kalau bu Diah tiba-tiba muncul dan mendampratku karena telah berbuat tidak senonoh padanya. Buru-buru aku bangkit dan memberesi tempat tidur, kemudian bermaksud untuk mandi di kamar mandi luar. Namun bertepatan dengan saat kubuka pintu, bu Diah datang dengan membawa nampan berisi roti bakar dan kopi susu. Begitu masuk, ia dorong pintu kamar dengan sebelah kakinya hingga menutup.
“Sudah bangun, Jek?”, kata bu Diah sambil tersenyum padaku. Ia nyelonong masuk melewatiku dan kemudian letakkan nampan di atas meja.
“Ya, bu”, jawabku agak tergagap.
“Sarapan yuk. Dingin-dingin begini pasti lapar ‘kan?” ajak bu Diah.
Melihat sikapnya yang biasa-biasa saja, aku menduga sekaligus berharap ia benar-benar tidak menyadari kalau malam itu aku telah berbuat kurang ajar padanya. Aku jadi lega meski juga malu pada diriku sendiri. Aku berusaha bersikap wajar.
“Saya mandi dulu ya, bu”, jawabku sedikit gugup. Dengan agak menunduk-nunduk sebagaimana lazimnya bawahan kepada atasan, aku berlalu dari kamar. Bu Diah memanggilku saat aku berbelok ke arah di mana kamar mandi luar berada.
“Ngapain mandi di luar? Di kamarku saja! Handuk bersih juga ada di kamar mandi. Pakai saja itu!”, ujar bu Diah bernada memerintah.
Saat aku diliputi keraguan dan canggung, bu Diah menarik tanganku sambil berkata, “Sudah mandi sana cepat. Nanti roti bakarnya keburu dingin”.
Mau tak mau aku masuk ke kamar bu Diah dan bergegas masuk ke kamar mandi.
Selesai mandi, bu Diah sudah menungguku di dalam kamarnya untuk sarapan. Meski telah beberapa kali makan bersama, tapi tetap saja aku merasa canggung. Apalagi jika memikirkan kejadian malam itu. Yang membuat aku makin blingsatan, baik aku maupun bu Diah sama-sama membisu. Biasanya bu Diah punya banyak bahan obrolan, tapi entah kenapa saat itu ia lebih banyak diam. Ia pun hanya memakan rotinya setengah, lalu menyeruput teh hangatnya. Dari sudur mataku terlihat kalau wajah bu Diah muram. Ini membuat perasaanku tak tenang. Jangan-jangan bu Diah tahu kejadian semalam, pikirku kalut. Roti yang kumakan serasa menyumpal tenggorokanku. Kuteguk kopi susuku agar gumpalan roti itu tergelontor masuk ke perutku. Kurasakan butiran keringat dingin mengalir di pelipisku.
Tiba-tiba suara bu Diah yang lembut memecah kesunyian dan membuatku kaget bukan kepalang.
“Apa yang kamu lakukan tadi malam, Jek?”, katanya. Matanya tajam menatapku.
Suara bu Diah masih lemah lembut seperti biasa, tapi kali ini kudengar seperti petir menggelegar di siang bolong. Aku kaget setengah mati. Tak ada lain yang bisa kulakukan selain tertunduk malu. Jari-jemariku gemetar. Jika ada pedang di situ saat itu, aku pasti langsung melakukan harakiri (bunuh diri ala Jepang) saking malunya.
“Maaf, bu Diah. Aku …”, suaraku terbata-bata, mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan kepada bu Diah. Lidahku terasa kelu. Seandainya bu Diah menamparku, atau menyiramkan teh hangatnya ke wajahku, aku siap. (Bersambung)
Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»
Pembaca yang budiman, perkenalkan namaku, sebut saja Jek. Menginjak kelas 2 STM (sekarang SMK), aku putus sekolah karena ketiadaan biaya. Maklum, orang tuaku tergolong tak mampu. Aku terpaksa harus menghidupi diriku sendiri agar bisa survive dari belitan kemiskinan yang dari hari ke hari makin mencekik leher. Dengan berbekal ketrampilan di bidang kelistrikan yang kumiliki itulah kuberanikan diri hengkang dari desa kelahiranku, mencari kehidupan yang lebih baik di tempat baru.
Petualanganku kumulai di kota terdekat dengan desaku, yaitu Pacitan. Di sana aku bekerja sebagai tenaga serabutan pada sebuah bengkel mobil selama 1 tahun. Setelah kurasa cukup menimba pengalaman di Pacitan, aku merantau ke Malang dan lagi-lagi dapat pekerjaan serabutan dengan bayaran pas-pasan untuk hidup.
Belum genap 2 tahun di Malang, aku diajak teman seprofesi untuk merantau ke Pontianak. Di sana aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang cukup besar. Fasilitasnya pun lengkap. Aku tak perlu kos karena tempat tinggal sudah disediakan, walaupun dalam bentuk semacam barak, sementara makan disediakan sehari 3 kali.
Suatu hari aku baca di koran ada iklan lowongan kerja sebagai tenaga kontrak di sebuah BUMN di Surabaya, di mana salah satu yang dibutuhkan adalah tukang listrik. Tanpa pikir panjang kukirim lamaran ke sana. Begitu dapat panggilan untuk tes, kutinggalkan Pontianak tempat aku mencari nafkah selama kurang lebih 6 bulan.
Aku diterima di perusahaan itu setelah dinyatakan lulus tes ketrampilan maupun wawancara. Meskipun gajinya standar UMR, tapi aku dapat banyak tambahan dari lembur yang selalu ada setiap hari. Di kota pahlawan itu aku tinggal agak lama, sekitar 3 tahun, karena sewaktu bekerja di BUMN itu aku dan sejumlah tenaga lapangan lain dimagangkan di Jepang selama 6 bulan, dan setelah itu kena ikatan dinas.
Aku senang bukan main bisa menjejakkan kakiku di Jepang. Kukabari orang tuaku di desa dan mereka sangat bangga karena aku orang pertama di desaku yang bisa ke luar negeri. Sepulang dari Jepang aku diwajibkan bekerja selama 1 tahun sebagai bagian dari ketentuan ikatan dinas.
Setelah masa ikatan dinas habis, aku ditawari oleh salah seorang mantan atasanku yang pindah kerja di Batam untuk kerja di sana. Sayangnya aku kurang betah di Batam. Gajinya memang besar, tapi biaya hidupnya juga tinggi. Dari Batam, aku pindah kerja lagi ke Cilegon, lalu Jakarta. Begitu seterusnya, aku terus berpindah kerja dan tempat tinggal, mengikuti kata hatiku.
Selama berkelana dari satu kota ke kota lain itu aku sempat berpacaran beberapa kali, tapi terus bubar. Dari pacaran itu aku sempat mencicipi nikmatnya permainan ranjang. Tak heran jika kemudian hasrat untuk melakukan lagi selalu muncul. Betul juga kata orang, seks itu seperti merokok. Bikin ketagihan. Jadinya, hampir setiap kali pacaran pasti ada aktifitas yang orang biasa menyebut “seks bebas”.
Dengan hidup “nomaden” seperti itu pastinya banyak kisah, suka maupun duka, yang kualami. Namun yang paling berkesan adalah ketika aku berada di Bandung. Di sana aku bekerja di sebuah perusahaan kontraktor sebagai tenaga kontrak. Kalau tidak salah, usiaku 27 tahun waktu itu.
Suatu hari pimpinan perusahaanku, sebut saja namanya pak Amin, menyuruhku untuk datang ke rumahnya. Ia butuh bantuan membenahi jaringan listrik yang kerap mengalami korsleting. Kebetulan saat itu di ruang tamu rumah pak Amin sedang ada acara arisan yang diadakan istri pak Amin. Keadaan di sana agak gelap karena lampu padam. Aku pun segera bekerja mencari penyebab korsleting agar acara arisan tidak terganggu.
Saat aku membawa tangga melewati ruang keluarga yang berbatasan dengan ruang tamu, kulihat ibu-ibu dengan dandanan wah sedang berceloteh dengan riuhnya. Tiba-tiba kudengar salah seorang dari mereka memanggil ke arahku. Begitu aku menoleh, mereka memandangiku. Tentu saja aku jadi salah tingkah. Aku jadi makin salah tingkah karena tak seorangpun dari mereka yang mengajakku bicara. Bergegas aku berlalu sebelum wajahku memerah. Kudengar celotehan mereka makin riuh.
Akhirnya, tak sampai setengah jam pekerjaanku selesai. Ibu-ibu itu bertepuk tangan saat lampu menyala.
Beberapa hari kemudian pak Amin memanggilku. Katanya, salah seorang teman arisan bu Amin, sebut saja namanya bu Diah, butuh orang untuk memasang titik-titik lampu baru di rumahnya yang baru direnovasi.
Dengan berbekal petunjuk dari pak Amin, aku berangkat naik angkot menuju rumah bu Diah. Sampai di tujuan, seorang laki-laki tua menyambut kedatanganku dan mempersilakanku masuk. Setelah menunggu bebeberapa menit bu Diah muncul menemuiku.
Ternyata bu Diah orangnya cantik dan ramah. Penampilannya sederhana, tapi tetap saja berkesan orang kaya. Busananya yang ketat menampakkan lekuk liku tubuhnya yang indah. Memang tidak begitu langsing, tapi juga tak layak disebut gemuk. Cara berjalannya anggun. Tutur katanya lemah lembut, tak ada kesan arogan sebagaimana orang kaya menghadapi orang susah seperti aku. Hal itu membuatku merasa nyaman.
Rumah bu Diah tergolong besar, terlebih setelah renovasi. Arsitekturnya klasik. Setelah sepakat tentang ongkos kerjanya, aku mulai melakukan survey, dengan dipandu langsung oleh bu Diah yang menentukan lokasi titik lampu yang dihendaki serta tambahan saklar dan stop kontak baru. Setelah menghitung item-item yang dibutuhkan, aku pergi ke toko listrik.
Karena banyaknya titik yang harus dipasang, pekerjaan tidak selesai hari itu dan kukatakan pada bu Diah untuk melanjutkan esok harinya. Bu Diah tanya di mana aku tinggal, dan ketika kukatakan alamat tempat tinggalku, Bu Diah menyarankan untuk nginap di rumahnya saja. Aku tak keberatan karena kosku memang jauh dari rumah bu Diah.
Bu Diah menunjukkan kamar yang bisa kutempati malam itu. Letaknya terpisah dari rumah utama, berjajar dengan dapur, kamar mandi, tempat cucian dan gudang, serta bersebelahan dengan kamar pembantu. Aku tak khawatir soal makan, karena bu Diah menyediakan untukku. Begitu juga dengan jajanan kecil dan rokok. Soal baju, aku pun tak risau, karena bu Diah meminjamkan baju anaknya. Walaupun agak kekecilan sedikit, tapi lumayanlah daripada aku tak ganti baju sama sekali.
Untuk menghabiskan waktu sebelum tidur, aku ngobrol di belakang rumah dengan 2 pembantu bu Diah yang ternyata sepasang suami istri, sebut saja namanya pak dan bu Kosim. Kutaksir mereka seusia bapak ibuku. Mereka ikut bu Diah sudah lama. Dulunya mereka jadi pembantu di rumah orang tua bu Diah, tapi begitu kedua orang tua bu Diah meninggal, mereka ganti ikut bu Diah.
Menurut cerita pak Kosim, anak bu Diah ada 2 yang semuanya anak tiri. Anak pertama bekerja di Amerika dan dapat istri orang sana, sedangkan yang bungsu juga sudah menikah dan bekerja di perusahaan tambang minyak di Turki (kalau tidak salah, karena aku sudah agak lupa nama negaranya). Suami bu Diah yang seorang pensiunan pejabat meninggal 1 tahun lalu karena serangan jantung.
Bu Kosim menambahkan, bu Diah dinikahi almarhum suaminya ketika masih kuliah. Beda usia mereka 15 tahun. Meski begitu, bu Diah sangat mencintai suaminya yang baik, penuh perhatian, pemurah dan taat ibadah. Suami bu Diah duda beranak 2 yang ditinggal mati istrinya. Sayangnya, dari pernikahan itu bu Diah tidak mempunyai anak seorang pun.
Dari cerita pak dan bu Kosim itu kuperkirakan usia bu Diah sekitar 40-45 tahunan, tapi ia tampak lebih “kinclong” dari usianya. Pasti lah berkat perawatan wajah dan tubuhnya, pikirku.
Keesokan harinya, aku lanjutkan lagi pekerjaanku. Semuanya berjalan lancar hingga menjelang istirahat makan siang. Bu Diah menemuiku dan mengajakku keluar dengan mobilnya. Katanya ia ingin beli kulkas baru dan ingin minta pendapatku tentang kualifikasi kulkas yang bagus. Seumur-umur belum pernah aku beli kulkas, mana tahu mana yang bagus atau tidak, kataku dalam hati. Tapi kupatuhi juga ajakannya. Kutinggalkan ransum makan siangku walaupun sebenarnya aku sudah lapar berat.
Usai berkeliling dari satu toko elektronik ke toko elektronik berikutnya, akhirnya bu Diah memutuskan membeli kulkas berukuran besar. Setelah itu ia mengajakku makan siang di sebuah restoran yang banyak dikelilingi kolam ikan. Terus-terang aku jadi kikuk makan berdua dengan orang yang statusnya jauh berbeda denganku. Maklum, sehari-harinya aku makan di warteg. Tapi karena keramahan bu Diah, lama-lama hilang juga kecanggunganku.
Acara makan itu rasanya seperti ajang interogasi bagiku. Bu Diah banyak bertanya tentang aku. Kuceritakan semua pengalamanku padanya, hingga akhirnya sampai di Bandung. Kulihat bu Diah sangat antusias mendengar ocehanku. Berkali-kali ia memujiku sebagai orang yang ulet dan pantang menyerah. Ia juga menyindirku, sebagai laki-laki petualang, pastilah banyak punya pacar. Aku hanya tertawa mendengar ucapannya.
Hari ke 3, aku dibuat terpana oleh bu Diah. Betapa tidak. Saat aku mulai bekerja pagi itu, bu Diah keluar dari kamarnya dengan mengenakan baju yang terbuka di bagian leher dadanya. Dia menghampiriku yang sedang berada di atas tangga untuk menanyakan apakah aku sudah sarapan atau belum. Darahku berdesir ketika melihat dadanya yang menyembul. Maklum, sudah berbulan-bulan aku tak punya kesempatan menyalurkan hasrat, sehingga melihat sesuatu yang “menantang” seperti itu langsung “greng”. Cepat-cepat kupalingkan muka dan berpura-pura meneruskan tugasku memasang fitting di langit-langit seraya menjawab kalau aku sudah sarapan. Aku tak mau bu Diah tahu kalau aku terpesona pada dada indahnya. Bu Diah kemudian berlalu menuju ruang keluarga dan menonton TV di sana.
Karena tingginya tingkat kesulitan yang kuhadapi, ditambah lagi bu Diah yang sering mengajakku pergi untuk menemaninya, entah itu cari kekurangan bahan yang kubutuhkan atau belanja di mall, praktis pekerjaanku baru bisa selesai dalam waktu 6 hari. Untungnya pak Amin memberikan kelonggaran padaku untuk meninggalkan pekerjaanku di proyek. Mungkin karena ia kenal baik dengan bu Diah, makanya tak begitu mempersoalkan ketidakhadiranku di proyek.
Waktu pekerjaanku selesai, bu Diah memberikan tambahan ongkos kerja untukku, karena hasil kerjaku dinilai sangat baik olehnya. Tentu saja aku sangat senang, karena jumlahnya sebesar ongkos kerja yang telah disepakati di awal. Artinya aku dapat upah 2 kali lipat.
Beberapa hari sejak perjumpaanku dengan bu Diah, aku merasakan sesuatu yang tak biasa. Entah kenapa, ingatanku selalu saja tertuju pada bu Diah. Apalagi saat menjelang tidur. Mungkin saja karena kecantikannya, kebaikannya, perhatiannya, atau hanya gara-gara melihat “penampakan” dadanya yang putih ranum itu, aku tak tahu. Yang jelas, aku tak pernah berhenti memikirannya. dan berharap bertemu lagi dengannya. Saat itu aku merasa betapa bodohnya aku jika rasa yang muncul di hatiku adalah cinta. Belum pernah aku mengalami seperti ini, jatuh cinta pada perempuan yang secara usia jauh lebih matang, kaya raya pula.
Biasanya, jika aku jatuh cinta, aku akan langsung mengutarakannya pada perempuan yang menarik perhatianku. Dan usianya pastilah lebih muda dariku. Minimal sama. Tapi pada bu Diah jelas tak mungkin. Kalaupun mungkin, hanya dalam mimpi. Jurang pemisah di antara aku dengannya sangat lebar. Tak ada yang bisa kulakukan selain mengubur dalam-dalam rasa itu dan mulai melupakan bu Diah.
Namun tampaknya kisahku bersama bu Diah belum berakhir. Dua minggu kemudian pak Amin lagi-lagi memanggilku. Katanya, bu Diah butuh bantuanku lagi. Maka atas seijin pak Amin dan dengan langkah ringan kutinggalkan lokasi proyek, menunggu angkot yang searah dengan kediaman bu Diah. Gadis cantik yang duduk di sampingku tak lagi menarik perhatianku. Pikiranku hanya tertuju pada bu Diah dan bu Diah.
Aku merasa seperti kembali menjadi ABG begitu langkahku sudah dekat dengan rumah bu Diah. Jantungku berdegup kencang. Lebih-lebih ketika aku dipersilakan oleh pak Kosim untuk menunggu di teras rumah, satu menit serasa seminggu. Tubuhku panas dingin. Aku langsung berdiri saat ia membuka pintu rumahnya dan menyambutku dengan ramah. Aku berharap ia tak melihat mataku yang berbinar karena senang bisa menatap lagi wajah cantiknya.
Di teras bu Diah mengutarakan maksudnya meminta bantuanku untuk memeriksa kondisi villanya yang ada di Lembang yang katanya sering terjadi korsleting. Aku langsung mengiyakan saat ia menanyakan apakah ongkos kerja sama dengan sebelumnya. Mukaku bersemu merah, malu, ketika ia memintaku untuk mengemudkan mobilnya yang sudah siap di halaman. Mana bisa aku mengemudi mobil, sedangkan mengendarai motor saja bisa dihitung dengan jari, karena motor pinjaman.
Sampai di villa aku langsung berkeliling mensurvei. Kulihat memang banyak plafon yang lapuk karena kena bocoran air hujan. Artinya, aku tidak bisa bekerja sendiri. Aku butuh bantuan tukang kayu atau tukang bangunan untuk membenahi bagian-bagian villa berkamar 3 yang bocor. Dan waktu pengerjaannya pun tidak sebentar. Kuperkirakan sekitar 2 minggu. Ketika kusampaikan hal itu pada bu Diah, ia langsung memerintahkan mang Dudung (nama samaran), penjaga villa bu Diah, untuk mencari tukang yang kumaksud.
Dua hari kemudian, bu Diah mengajakku ke villanya lagi untuk mulai bekerja. Dan supaya tidak perlu bolak-balik Bandung-Lembang, bu Diah memintaku untuk tinggal saja di villa sampai pekerjaan selesai dan aku dipercaya olehnya untuk menjadi mandor bagi kedua tukang yang bertugas mengganti plafon dan kayu-kayu yang lapuk. Aku tak perlu risau soal pak Amin, karena bu Diah sudah bicara langsung dengan beliau untuk pinjam tenagaku.
Sore harinya bu Diah kembali ke Bandung, sementara kedua tukangku pulang karena mereka berasal dari sekitar situ. Sebelum pulang ia memberikan sejumlah uang untuk membeli bahan-bahan tambahan yang mungkin diperlukan untuk renovasi. Juga untuk beli makan buatku dan tukang. Untuk tidur, tadinya aku mau nebeng di kamar mang Dudung di belakang, tapi bu Diah menyuruhku menempati salah satu kamar yang ada di dalam villa yang belum dibongkar plafonnya dan mengijinkanku memakai kamar mandi yang ada di kamar tidur utama.
Hari keempat bu Diah datang lagi ke villa. Kali ini ia membawa sekoper pakaian. Ia berencana menginap juga di villa agar bisa turut mengawasi jalannya renovasi. Karena ia menempati kamar yang semula kupakai tidur, barang-barangku pun kukeluarkan semua dari kamar itu dan kupindahkan ke ruang tamu dekat sofa yang akan kupakai untuk tidur. Dan sore itu aku mandi di kamar mandi luar yang ada di dekat kamar mang Dudung yang tempatnya agak di belakang villa.
Setelah makan malam, kami nonton TV sambil ngobrol. Bu Diah tampak rileks sekali bicaranya, seolah kami sudah kenal lama dan tidak terbatasi perbedaan status maupun usia. Ada saja bahan obrolan yang ia lontarkan, sehingga suasananya terasa hidup.
Jam 9 malam, bu Diah pamit padaku untuk tidur, sementara aku melanjutkan nonton TV. Ia berpesan, kalau aku butuh ke kamar kecil bisa pakai kamar mandi yang ada di kamarnya agar tidak perlu jauh-jauh ke kamar mandi luar. Kuiyakan saja pesannya, walau sebenarnya aku keberatan karena merasa tak enak harus keluar masuk kamarnya hanya untuk ke kamar kecil.
Tapi dasar aku penakut. Suasana sepi yang mencekam dan remang-remang karena beberapa lampu sudah dimatikan oleh mang Dudung, membuatku ragu untuk ke kamar kecil luar. Celakanya, aku harus sering ke kamar kecil jika kedinginan. Untung di ruang tamu yang kutempati ada sebuah ember kecil yang biasa digunakan untuk menampung air hujan.
Akibat bolak-balik buang air kecil, ember itu jadi penuh dengan air seniku. Padahal aku sudah kebelet sekali untuk buang air kecil lagi. Tersiksa sekali rasanya. Aku pun tak mungkin membuang isi ember itu ke pekarangan, karena pasti baunya akan menyebar kemana-mana.
Karena sudah tak tahan, akhirnya kuberanikan diri untuk menggunakan kamar mandi di kamar bu Diah yang letaknya dekat dengan ruang tamu. Tampaknya bu Diah sengaja tidak menutup pintu kamarnya rapat-rapat agar aku bisa keluar masuk sesukaku. Kubuka pintu dengan hati-hati agar tak mengganggu tidurnya. Dalam kamar kulihat ia tidur berselimut dengan posisi menghadap dinding. Aku berjalan agak berjingkat menuju kamar mandi karena tak ingin bu Diah mendengar langkahku. Siapa tahu ia kaget lalu spontan meneriakiku maling.
Selesai buang air kecil, aku harus berjingkat lagi untuk keluar dari kamar bu Diah.
Jam 1 dini hari aku terjaga, lagi-lagi karena kebelet buang air kecil. Sambil berjalan menuju kamar bu Diah aku memaki kebiasaanku itu. Begitu masuk kamar bu Diah, kulihat selimutnya sudah teronggok di lantai. Mungkin jatuh saat ia bergerak dalam tidurnya. Yang membuat darahku berdesir, daster bu Diah tersingkap hingga dalam keremangan cahaya aku bisa melihat paha mulusnya. Aku tertegun. Sontak jantung berdegup kencang. Sebagai laki-laki normal, terus terang aku terangsang. Tapi akal sehatku masih bisa bekerja dengan baik. Buru-buru kupalingkan wajahku dan berjalan menuju kamar kecil.
Saat air seniku terkuras habis, batinku bergolak. Bayang-bayang paha mulus bu Diah menari-nari di benakku. Rangsangan yang muncul tadi mendadak terasa meronta ingin disalurkan. Darah mengalir lebih kencang ke kelelakianku, hingga otakku kehilangan kemampuan menormalkan akal sehatku. Wanita yang kukagumi yang beberapa hari terakhir ini menghiasi benakku kini tergolek menampakkan bagian tubuh rahasianya. Spontan birahi meronta.
Birahi yang meletup-letup itu mendorongku keluar kamar mandi dengan jemariku masih menggenggam erat kelelakianku yang menjulang seperti batu karang.
Genggamanku tak lagi bisa diam saat menatap bagian bawah tubuh bu Diah yang terbuka sebagian. Batinku bergejolak makin tak menentu, antara hasrat untuk mendekati bu Diah dengan bayangan resiko yang harus kuhadapi andai bu Diah memergoki perbuatanku. Ya, kesadaranku yang semakin menipis mengatakan, bu Diah rela berbagi kamar mandi denganku karena telah mempercayaiku seratus persen. Tak mungkin aku macam-macam padanya. Bisa jadi aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri, sehingga ia tak menaruh prasangka buruk padaku.
Tapi nafsu birahiku tak mau diajak kompromi. Aku tak mampu lagi membendung dorongan hasrat yang menggelegak. Antara sadar dan tidak, aku berlutut di dekat ranjangnya, tepat di depan betis dan pahanya yang demikian menggoda. Nafasku makin memburu seiring dengan gerakan genggaman tanganku. Hasrat untuk menyentuh, meraba, dan menciumnya begitu kuat. Tapi aku tak ingin bu Diah terbangun. Aku hanya bersimpuh saja di situ, memandanginya dengan tatapan liar. Sesekali mataku terpejam, menikmati setiap gesekan di kelelakianku sambil membayangkan bu Diah yang melakukannya. Kudengar nafas bu Diah teratur. Tampaknya ia tidur sangat nyenyak.
Hal itu membuatku tak puas dengan hanya begitu. Dengan hati-hati kusentuh salah satu paha bu Diah. Beberapa detik kubiarkan satu tanganku menempel di situ. Aku menunggu reaksi bu Diah. Jika ia beringsut, aku segera melepaskan sentuhanku. Ternyata tak ada reaksi dari bu Diah. Bahkan saat kuusapkan tanganku pelan-pelan, menjalar makin ke atas. Karena bu Diah masih tak bereaksi, aku makin kesetanan. Kusibak lebih tinggi daster bu Diah hingga aku bisa melihat celana dalamnya yang berwarna hitam. Spontan, degup jantungku makin kencang. Satu tanganku menyentuh dan mengelus dengan hati-hati pantatnya yang bulat penuh, sementara tanganku satu lagi bergerak-gerak di dalam celanaku.
Tiba-tiba kudengar bu Diah menggumam, lalu beringsut. Secara refleks kulepaskan sentuhanku lalu merapatkan tubuhku ke lantai di samping ranjangnya agar ia tak bisa langsung melihatku jika membuka matanya. Bu Diah telah berubah posisi tubuhnya jadi telentang. Kutunggu beberapa saat dengan jantung berdebar. Begitu mendengar nafasnya yang teratur, aku kembali berlutut.
Kedua bola mataku tak berkedip manakala kulihat posisi kakinya yang agak mengangkang hingga aku bisa melihat dengan jelas bagian depan celana dalamnya. Aliran darahku langsung mengalir makin kencang, sekencang genggaman pada kelelakianku. Kuraba dengan lembut bagian tubuh bu Diah yang tertutup celana dalam putih dengan penuh perasaan. Sejurus kemudian satu kakiku sudah naik ke ranjang karena aku terdorong untuk mengecup bagian itu.
Dengan penuh perasaan kuciumi dan sesekali kujilati bagian bawah tubuh bu Diah, sementara satu tanganku bekerja makin kencang dan makin kencang. Beberapa menit kemudian aku mengejang. Cairan hangatku tumpah ke paha bu Diah. Aku tak berlama-lama merasakan kenikmatan itu karena akal sehatku kembali normal. Kuambil tisu di meja rias lalu dengan hati-hati kubersihkan paha bu Diah. Sebelum berlalu, kubenahi daster dan selimut bu Diah.
Saat berbaring lagi di ranjangku aku berpikir, bagaimana aku bisa senekad itu? Bagaimana jika bu Diah memergoki perbuatanku? Bisa-bisa aku dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pelecehan seksual. Namun kelelahan yang mendera setelah bekerja seharian dan diakhiri dengan tersalurnya hajat yang lama terpendam membuat pikiran-pikiran itu sirna dengan sendirinya karena aku segera terlelap.
Pagi harinya, saat terbangun dari tidurku aku sempat merasa kikuk karena ingat kejadian semalam. Jam di dinding menunjukkan pukul 5 lebih. Suasana sepi dan dingin saat itu membuatku enggan bangkit dari tempat tidur. Aku melamun. Rasanya sulit percaya kalau tadi malam aku “mencuri kenikmatan” atas diri bu Diah, wanita yang selama ini begitu baik padaku. Batinku berkecamuk dipenuhi rasa bersalah. Aku merasa telah melecehkannya. Jantungku berdebar. Muncul kekhawatiran kalau-kalau bu Diah tiba-tiba muncul dan mendampratku karena telah berbuat tidak senonoh padanya. Buru-buru aku bangkit dan memberesi tempat tidur, kemudian bermaksud untuk mandi di kamar mandi luar. Namun bertepatan dengan saat kubuka pintu, bu Diah datang dengan membawa nampan berisi roti bakar dan kopi susu. Begitu masuk, ia dorong pintu kamar dengan sebelah kakinya hingga menutup.
“Sudah bangun, Jek?”, kata bu Diah sambil tersenyum padaku. Ia nyelonong masuk melewatiku dan kemudian letakkan nampan di atas meja.
“Ya, bu”, jawabku agak tergagap.
“Sarapan yuk. Dingin-dingin begini pasti lapar ‘kan?” ajak bu Diah.
Melihat sikapnya yang biasa-biasa saja, aku menduga sekaligus berharap ia benar-benar tidak menyadari kalau malam itu aku telah berbuat kurang ajar padanya. Aku jadi lega meski juga malu pada diriku sendiri. Aku berusaha bersikap wajar.
“Saya mandi dulu ya, bu”, jawabku sedikit gugup. Dengan agak menunduk-nunduk sebagaimana lazimnya bawahan kepada atasan, aku berlalu dari kamar. Bu Diah memanggilku saat aku berbelok ke arah di mana kamar mandi luar berada.
“Ngapain mandi di luar? Di kamarku saja! Handuk bersih juga ada di kamar mandi. Pakai saja itu!”, ujar bu Diah bernada memerintah.
Saat aku diliputi keraguan dan canggung, bu Diah menarik tanganku sambil berkata, “Sudah mandi sana cepat. Nanti roti bakarnya keburu dingin”.
Mau tak mau aku masuk ke kamar bu Diah dan bergegas masuk ke kamar mandi.
Selesai mandi, bu Diah sudah menungguku di dalam kamarnya untuk sarapan. Meski telah beberapa kali makan bersama, tapi tetap saja aku merasa canggung. Apalagi jika memikirkan kejadian malam itu. Yang membuat aku makin blingsatan, baik aku maupun bu Diah sama-sama membisu. Biasanya bu Diah punya banyak bahan obrolan, tapi entah kenapa saat itu ia lebih banyak diam. Ia pun hanya memakan rotinya setengah, lalu menyeruput teh hangatnya. Dari sudur mataku terlihat kalau wajah bu Diah muram. Ini membuat perasaanku tak tenang. Jangan-jangan bu Diah tahu kejadian semalam, pikirku kalut. Roti yang kumakan serasa menyumpal tenggorokanku. Kuteguk kopi susuku agar gumpalan roti itu tergelontor masuk ke perutku. Kurasakan butiran keringat dingin mengalir di pelipisku.
Tiba-tiba suara bu Diah yang lembut memecah kesunyian dan membuatku kaget bukan kepalang.
“Apa yang kamu lakukan tadi malam, Jek?”, katanya. Matanya tajam menatapku.
Suara bu Diah masih lemah lembut seperti biasa, tapi kali ini kudengar seperti petir menggelegar di siang bolong. Aku kaget setengah mati. Tak ada lain yang bisa kulakukan selain tertunduk malu. Jari-jemariku gemetar. Jika ada pedang di situ saat itu, aku pasti langsung melakukan harakiri (bunuh diri ala Jepang) saking malunya.
“Maaf, bu Diah. Aku …”, suaraku terbata-bata, mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan kepada bu Diah. Lidahku terasa kelu. Seandainya bu Diah menamparku, atau menyiramkan teh hangatnya ke wajahku, aku siap. (Bersambung)
Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
Langganan:
Komentar (Atom)



















































