Salah Tembak

Henky (nama samaran), 38 tahun, Samarinda:

Ini pengalamanku yang tak terlupakan ketika aku masih pengantin baru. Waktu itu aku masih tinggal di Jawa dan usia pernikahanku baru berjalan sekitar 4 atau 5 bulan. Masih “hot-hot”nya. Pekerjaanku yang mengharuskan aku sering melakukan perjalanan ke luar kota, paling tidak sebulan sekali selama seminggu, membuatku merasa tersiksa. Makanya tak heran jika begitu sampai di rumah, langsung ngajak Ivana (nama samaran) istriku “bertempur”.


Suatu ketika, aku dapat tugas ke luar kota selama 2 minggu. Ternyata, belum genap masa tugasku selesai, atasanku memerintahkan untuk kembali ke kantor. Aku girang bukan kepalang. Saat itu juga aku mengambil penerbangan terakhir. Sampai di rumah jam 1 malam. Karena sudah terbiasa bepergian, aku selalu membawa kunci cadangan, hingga aku tak perlu ketok-ketok kaca jendela kamar yang letaknya dekat teras rumah untuk membangunkan istriku.

Begitu masuk rumah aku tak langsung masuk kamar, tapi mandi dulu. Selesai mandi, tanpa memakai baju dulu, aku bergegas ke kamar karena “si otong” sudah “berdiri”. Tanpa bersuara, kumasuki kamar yang remang-remang cahayanya. Dalam keremangan kulihat istriku tidur telentang berselimut dengan sebagian wajahnya tertutup bantal.

Bagaikan singa kelaparan, kucumbui tubuh istriku. Selimutnya kusibak dan terlihat olehku dasternya tersibak hingga menampakkan paha mulusnya. Spontan tanganku mulai bergerilya. Biasanya, istriku langsung terbangun saat kubegitukan, tapi kali ini ia bergeming. Aku agak heran juga. “Ah, mungkin ia kecapekan hingga tak merasa kalau tubuh sintalnya kugerayangi”, kataku dalam hati. Aku terus saja beraksi. Yang membuatku juga heran adalah celana dalamnya yang berwarna hitam. Seingatku istriku tak punya celana dalam hitam. Favoritnya adalah putih atau krem. Tapi karena sudah bernafsu, aku tak terlalu ambil pusing. Pelan-pelan kulorot celana dalamnya dan mulai mencumbui bagian “itu”nya. Anehnya, istriku masih saja bergeming. Ia hanya mendesah sesaat sambil menggeliat dan merenggangkan kedua kakinya seolah menantangku. Nafsuku makin menggelegak.

Setelah beberapa saat, kurasakan milik istriku sudah basah yang artinya siap untuk “ditembak”. Tembakan pembuka lancar jaya, dan aku mulai “memompa” pelan-pelan. Sesaat kudengar suara desahannya. Saat kulihat bibirnya merekah, aku pun langsung memagutnya sambil menyibak bantal yang menutupi sebagian wajahnya. Begitu kusingkirkan bantal itu, aku kaget bukan kepalang. ternyata yang kutiduri bukan istriku, tapi ibu mertuaku! Ia pun tak kalah kagetnya. Kedua matanya langsung membeliak dan spontan mendorongku dan berkata tergagap, “Henki, apa-apaan kamu?!?”. Aku pun terjengkang dengan muka merah padam.

“Maaf, ma. Kukira Ivana …”, ujarku terbata-bata. Spontan kedua tanganku menutup kemaluanku dan bergegas beringsut dari tempat tidur. “Dia tidur di belakang”, jawab ibu mertuaku sambil menutupi tubuhnya yang setengah terbuka dengan selimut. Aku pun segera meninggalkannya dengan mengucap maaf beberapa kali. Kukenakan pakaian tidurku dan masuk ke kamar yang ditempati Ivana. Di situ kulihat Ivana sedang terlelap tidur. Tapi aku sudah kehilangan nafsu. Semalaman aku tak bisa tidur, khawatir ibu mertuaku akan cerita ke Ivana soal kejadian itu.

Paginya, Ivana kaget melihatku berbaring di sebelahnya. Ia pun mengajakku untuk berhubungan intim. Untungnya “si otong” masih mampu “bangun” meskipun pikiranku sedang kalut.

Usai “bertempur”, Ivana cerita kalau mamanya datang 3 hari lalu. Memang sudah menjadi kebiasaan ibu mertuaku. Jika suaminya (bapak mertuaku) yang seorang kontraktor pergi ke luar kota untuk urusan proyek, ia menginap di rumah kami. Dan jika menginap di rumahku selalu ingin menempati kamar kami karena ada AC-nya. Kebiasaannya yang lain adalah selalu meminjam daster istriku, karena pada dasarnya postur tubuh mereka sama. Wajah mereka pun nyaris mirip, sehingga orang sering keliru menganggap Ivana dan mamanya sebagai kakak-adik.

Aku masih berdiam di kamarku ketika Ivana keluar kamar. Kudengar ia ngobrol dengan mamanya dan cerita kalau aku sudah pulang. Aku berdebar-debar menunggu obrolan mereka berikutnya. Ternyata ibu mertuaku sama sekali tak menyinggung tentang kejadian semalam. Meski begitu, aku sempat ragu untuk keluar. Tapi mau tak mau toh aku harus keluar kamar juga untuk mandi dan bersiap pergi ke kantor.

Saat keluar kamar, ibu mertuaku langsung menyapaku dengan ramah seperti biasa. Aku pun langsung mengulurkan tanganku dan mencium tangannya seperti biasa juga. Dengan sekuat tenaga aku menyembunyikan rasa canggung. Tampaknya ibu mertuaku pun demikian. Aku bersyukur ia sangat bijak menyikapi hal itu karena pastilah ia tahu aku tak sengaja.

Hingga kini, hubunganku dengan ibu mertuaku baik-baik saja walaupun kami jarang bertemu, karena aku pindah tugas ke luar Jawa. Mungkin saja ia telah melupakan “kecelakaan kecil” yang terjadi malam itu. Andai waktu itu sudah ada HP, peristiwa memalukan itu pasti tak akan terjadi, karena Ivana pasti akan memberitahuku kalau mamanya datang dan menginap.(*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.

Artikel Terkait Curhat