Johny (nama samaran), 45 tahun, somewhere:
Pertemuan dengan cik Lala (bukan nama sebenarnya) pada upacara pemakaman ibuku awal tahun ini membuka kembali kenangan lama bersamanya. Kenangan indah yang tak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Waktu bertemu di makam, kuamati kulit wajah dan tangan cik Lala sudah terlihat kerut-kerut kecil, tapi masih menyisakan gurat kecantikan yang dulu membuatku terpesona padanya. Ia pun masih ramah seperti dulu. Dan hatiku masih bergetar kala menyambut uluran tangannya saat ia mengucapkan bela sungkawa kepadaku. Ia datang bersama Carla (bukan nama sebenarnya), anaknya yang sudah tumbuh menjadi gadis remaja tak kalah cantik dengan mamanya.
Aku mengenal cik Lala ketika aku SMP. Ia adalah rekanan ibu dalam bisnis butik kecil-kecilan. Ibu merintis usaha butiknya sejak ayah meninggal waktu aku kelas 5 SD. Dengan bermodal uang santuan kematian ayah, ibu membuka usaha jahit baju wanita kecil-kecilan dan cik Lala adalah salah satu pelanggan setianya. Dari situlah kemudian cik Lala bersahabat baik dengan ibu. Nama aslinya adalah Marla, tapi ibu biasa memanggilnya cik Lala karena ia keturunan Tionghoa. Itulah sebabnya anak-anak ibu, termasuk aku, jadi ikut-ikutan memanggilnya cik Lala.
Waktu aku kelas 1 SMA, cik Lala melahirkan anak pertamanya yang diberi nama Carla, tapi setahun kemudian suaminya meninggal dunia. Mungkin karena sama-sama berstatus janda, hubungan ibu dengan cik Lala makin dekat, walaupun ibu jauh lebih tua darinya. Meski berbeda latar belakang suku bangsa, hubungan kami dengan cik Lala sudah seperti keluarga. Ia rutin datang ke rumah kami yang sekaligus jadi tempat usaha ibu. Berkat cik Lala usaha ibu berkembang yang semula hanya menerima jahitan baju wanita bertambah dengan adanya butik. Tak jarang cik Lala menitipkan anak perempuannya yang masih bayi pada ibu saat ia ada urusan bisnis di luar kota.
Di antara ke empat anak ibu, akulah yang paling dekat dengan cik Lala. Kakak laki-lakiku sibuk dengan urusan kuliahnya, sementara kedua adikku, satu laki-laki dan satu perempuan, masih kecil-kecil. Aku sering membantu ibu mengantarkan pesanan jahitan ke pelanggan, termasuk ke cik Lala. Selain itu, aku juga biasa diminta ibu untuk menemaninya dan cik Lala belanja baju-baju untuk koleksi butik ibu. Kalau belanja ke luar kota, biasanya ke Bandung atau Solo, hanya ibu saja berdua dengan cik Lala.
Sejalan dengan bertambahnya usiaku, aku makin menyadari betapa cantiknya cik Lala. Rambutnya yang panjang berombak berwarna kemerahan , hidungnya yang mancung, kulitnya yang putih bersih, serta tinggi badannya yang di atas rata-rata perempuan Indonesia, membuatnya terlihat anggun dan berkelas. Kata ibu, cik Lala keturunan campuran Tionghoa, Belanda dan Indonesia.

Aku semakin kepincut pada cik Lala gara-gara sebuah kejadian yang membuatku terpana. Waktu itu aku baru pulang kuliah disuruh ibu ke rumah cik Lala untuk mengambil paket dari Bandung. Dengan mobil tua peninggalan ayah aku pun berangkat lagi. Sampai di rumahnya, cik Lala sendiri yang membukakan pintu. Sepertinya ia baru bangun tidur. Darah mudaku berdesir melihat busana cik Lala. Ia mengenakan kemeja laki-laki lengan panjang berwarna putih hingga sepinggul dan di bawahnya tidak pakai celana panjang atau rok. Kemejanya itulah yang juga berfungsi sebagai rok. Ia mempersilakanku masuk dan duduk di ruang tamu. Di situ aku bisa melihat betapa mulusnya paha cik Lala. Selain itu, kemeja yang dikenakannya agak tipis sehingga samar-samar terlihat bra dan celana dalamnya yang juga berwarna putih. Hal itu membuatku gugup setiap kali menjawab pertanyaannya. Padahal biasanya aku banyak bercanda dan kadang jahil. Sesaat kemudian ia masuk ke kamarnya, kupikir akan ganti baju. Ternyata tidak. Ia keluar lagi sambil membawa kardus besar yang kelihatannya lumayan berat. Spontan aku berlari menghampirinya dan mengambil alih kardus itu. Lagi-lagi aku berdebar saat tanganku bersentuhan dengan tangannya. “Masih ada dua lagi di kamar, John. Kamu ambil sendiri saja ya. Berat sih”, ujar cik Lala sambil tersenyum. “Ya, cik Lala”, jawabku sambil berjalan menuju mobil. Saat aku tengah mengangkuti paket-paket itu cik Lala keluar dari dapur sambil membawa minuman dingin dan meletakkannya di meja ruang tamu. Setelah semua paket berpindah ke dalam mobil, cik Lala menyuruhku minum.
Di rumah itu, cik Lala tinggal bersama anak semata wayangnya yang masih TK, seorang pembantu dan ibu cik Lala yang sudah renta yang biasa kupanggil Oma. Sehari-hari Oma duduk di kursi roda karena salah satu kakinya cacat akibat kecelakaan.
Sambil menghabiskan minum, kami ngobrol-ngobrol santai. Hanya saja aku tak bisa benar-benar santai setiap kali sudut mataku menatap paha mulus cik Lala yang duduk tepat di depanku. Sebelum pulang cik Lala titip pesan pada ibu kalau bulan depan akan mengajaknya ke Bandung lagi untuk”berburu” busana model baru.
Beberapa hari kemudian, cik Lala datang ke rumah kami. Ketika aku akan berangkat kuliah naik motor, tiba-tiba cik Lala datang tergopoh-gopoh memanggilku, disusul ibu di belakangnya. Ternyata ia mau nebeng aku pulang karena dapat kabar dari pembantunya kalau Oma sakit. Cik Lala ke rumah kami naik taksi karena mobilnya dipinjam saudaranya. Tadinya aku mau ganti pakai mobil saja, tapi karena cik Lala terburu-buru, akhirnya ia kubonceng. Sampai di rumahnya cik Lala bergegas masuk untuk menemui ibunya. Aku berinisiatif menunggunya karena siapa tahu ia butuh bantuan. Benar saja. Cik Lala menelepon taksi dan begitu taksi datang ia meminta tolong padaku untuk membopong Oma ke taksi. Setelah itu ia bersama pembantunya masuk ke dalam taksi dan meluncur menuju ke rumah sakit. Aku membatalkan kuliahku dan mengikuti taksi yang ditumpangi cik Lala.
Ketika menunggu Oma diperiksa, cik Lala menemuiku dan bilang terima kasih padaku. Setelah itu aku mengantar pembantunya pulang karena harus menjemput Carla di sekolah. Beberapa hari kemudian Oma sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.
Satu bulan kemudian, karena anak-anak sekolah libur, akhirnya aku dan adik-adikku ikut menemani ibu, sementara cik Lala mengajak Carla serta. Kakakku dapat tugas jaga rumah. Kami berangkat naik kereta api. Di Bandung kami menginap di hotel langganan ibu dan cik Lala. Sayangnya kamar kami dan kamar cik Lala berjauhan. Kami dapat kamar di lantai 1, sedangkan cik Lala di lantai 2.
Hujan yang terus mengguyur membuat acara liburan kami, terutama adik-adikku yang baru pertama kali ke Bandung, jadi terganggu. Untuk acara belanja, hanya ibu dan cik Lala yang berangkat, sedangkan aku dan adik-adikku di hotel sambil mengasuh Carla. Barang-barang yang dibeli langsung dipaketkan dan dikirim ke alamat ibu atau cik Lala. Sore hari ibu dan cik Lala kembali ke hotel dan kami ngobrol bareng di kamar lantai 1 sampai acara makan malam tiba. Selesai makan Carla tak mau diajak mamanya ke kamarnya, tapi ingin bermain-main dulu dengan adik-adikku. Kamar kami kembali hingar-bingar dengan celoteh bocah-bocah itu.

Cik Lala baru meninggalkan kamar kami setelah Carla tertidur. Aku pun kebagian tugas membopong Carla yang tidur pulas dan membawanya ke kamar cik Lala di lantai 2, sementara cik Lala membawa perlengkapan Carla. Sampai di kamar kurebahkan Carla di ranjang. Saat itu tiba-tiba cik Lala nyeletuk sambil tersenyum, “Kamu kuat juga ya, John. Dulu Oma kamu gendong, sekarang Carla. Kapan giliran cik Lala nih?!” Ditantang seperti itu spontan aku bereaksi menggodanya. “Ayo kalau cik Lala mau, kugendong juga”, kataku sambil mendekatinya lalu sekonyong-konyong menggendongnya. Cik Lala memekik kaget melihat spontanitasku, lalu tertawa. Ia pun spontan menggelayutkan satu tangannya ke bahuku. “Sudah, sudah, turunin aku, John,” pintanya. Aku tak mempedulikan permintaannya. Tetap saja ia kugendong dan berjalan-jalan di antara ranjang dan cermin.
“Makanya jangan sembarangan nantang orang, cik Lala”, kataku. Kuhentikan langkahku di depan cermin.
“Lihat, cik Lala. Aku seperti Superman menggendong Lois Lane ‘kan?” celetukku sambil melihat ke cermin. Entah sadar atau tidak, cik Lala kemudian menggelayutkan satu tangannya lagi, memelukku. Mula-mula ia juga melihat ke cermin, lalu menoleh ke arahku. Saat itulah wajah kami begitu dekatnya hingga dapat kuhirup nafasnya yang segar. Karena dada kami saling menempel bisa kurasakan degup jantung cik Lala. Begitu pun aku, dan pasti cik Lala juga bisa merasakannya. Yang semula kami sama-sama tertawa tiba-tiba saling diam. Kutatap wajah cik Lala dalam-dalam dan kulihat mata cik Lala bergantian menatap bibir dan mataku. Pelan-pelan kuturunkan cik Lala karena lenganku sudah terasa capek, tapi mataku terus menatap wajah cantiknya dan ia balas memandangiku dengan tatapan yang sulit kuterjemahkan dalam kata-kata. Suasananya terasa sangat canggung. Mungkin aku sempat salah tingkah waktu itu.

Ketika cik Lala bersingsut mundur dan membalikkan badannya, kutahan lengannya. Spontan cik Lala kembali berbalik menghadapku dan kami saling berpandangan lagi. Saat itulah tiba-tiba cik Lala merengkuh bagian belakang leherku dan menciumku. Aku terhenyak hingga membuat cik Lala menghentikan ciumannya. Ia mengira aku tak suka dengan perbuatannya. “Maaf ya, John” kata cik Lala lirih. Saat ia menunduk, kuraih dagunya dan kupagut bibirnya. Terus terang jam terbangku untuk hal seperti ini masih nol, tapi aku belajar dari adegan-adegan ciuman di film-film yang pernah kutonton. Setelah beberapa kali pagutan, akhirnya cik Lala mengimbangi ciumanku. Kedua tangannya dilingkarkan di bahuku. Berkali-kali kami saling memagut, mengecup, menghisap dan memainkan lidah kami.

Aku yang sudah terbakar api birahi mulai berani menjamah tubuh cik Lala. Kujelajahi lekuk liku tubuhnya dengan kedua tanganku. Sesekali kulayangkan ciumanku di leher cik Lala sehingga membuatnya mendesah. Nafas kami memburu. Tanganku semakin liar bergerak. Kulepas kancing celana jins cik Lala lalu kuturunkan resletingnya. Setelah itu kususupkan jemariku ke dalamnya hingga bisa kurasakan lembutnya bagian bawah tubuh cik Lala. Kemudia ia memelorotkan dan melepas sendiri celana panjangnya hingga jemariku makin leluasa bergerilya. Kurasakan basah di sana. Saat tanganku beralih membuka kancing baju cik Lala satu persatu, ganti ia yang melucuti celana panjangku. Jari-jemari lentiknya meraba dan meremas “milikku” yang sudah mengeras di balik celana dalamku. Desahan cik Lala makin intens ketika mulut dan lidahku menjalari dan menghisap kedua bukit indah di dadanya setelah kutanggalkan bra-nya.
Tiba-tiba cik Lala berlutut di hadapanku, melepas celana dalamku dan langsung menyergap “milikku”. Saat ia melakukan itu, kulepas T-shirtku hingga aku telanjang bulat. Aku menikmati adegan itu melalui cermin besar di hadapanku seakan melihat adegan film. Rasanya sulit bagiku mempercayai kalau itu nyata. Beberapa saat kemudian cik Lala kembali berdiri lalu beringsut dan mendudukkan dirinya di meja di depan cermin. Sebelum ia duduk di meja itu, kutanggalkan celana dalam cik Lala yang berwarna hitam, senada dengan warna bra-nya. Aku begitu terpesona melihat “miliknya” yang merona merah muda dengan bulu-bulu halus berwarna kemerahan di sekitarnya. Aku berniat untuk “mencicipinya” dengan lidahku, tapi buru-buru dicegah cik Lala. “Sudah basah banget, John,” katanya. “Sedikit saja, cik Lala”, pintaku. Tanpa menunggu persetujuan dari cik Lala, mulutku langsung menyergap “miliknya”. Mula-mula dengan mengecupnya, lalu mulai memainkan lidahku. Sejak awal kami berciuman tadi aku sudah berniat untuk melakukan semuanya karena mungkin tak akan ada kesempatan kedua.

Cik Lala melenguh dan mendesah lirih saat aku makin ganas mencumbui bagian bawah tubuhnya. Kedua tangannya meremas kuat-kuat rambutku. Lama-lama kulihat pinggung cik Lala bergoyang mengikuti irama jilatanku. Tak lama kemudian kudengar pekikan kecil cik Lala. Ia pun menarikku agar berdiri.
Kami kembali berpelukan dan saling memagut. Kemudian cik Lala merengkuh pantatku dan menariknya, sementara ia membuka kedua kakinya lebar-lebar. Masih sambil berciuman, tangan cik Lala membimbing “milikku” masuk ke “miliknya”. Kurasakan hangat dan basah saat itu. Cik Lala memekik lirih, disusul dengan desahannya yang “merangsang”. Untuk sesaat kubiarkan “milikku” berada di dalam “milik” cik Lala dan sibuk mencumbuinya. Rupanya cik Lala tak tahan lagi. Ia kembali merengkuh pantatku dan menggerak-gerakkannya maju mundur. “Ayo, John …”, katanya sambil menatapku dengan mata sayu. Aku pun mulai “memompa”. Kenikmatan yang tak terlukiskan dengan kata-kata menjalar di setiap pori-pori tubuhku. Ini adalah pengalaman pertamaku dan aku tak ingin cepat-cepat selesai. Tapi nafsu yang sudah memuncak membuatku tak bisa menahan diri. Gerakanku semakin cepat. Cik Lala menggelinjang, menggeliat sambil kedua tangannya erat memeluk punggungku. Kepalanya kadang tengadah, kadang menghadapku sambil memagut bibirku. Tiba-tiba ia merapatkan pelukannya dan aku merasakan gigitan di bahuku. Cik Lala melenguh panjang, dan aku makin cepat “memompanya”, hingga terasa ada sesuatu yang memberontak ingin keluar. Begitu keluar, kusiramkan cairan hangatku di perut cik Lala. Ganti aku yang melenguh saat itu terjadi. Cik Lala tak melepaskan pelukannya. Kedua kakinya rapat melingkar di pinggangku. Nafas kami sama-sama memburu.
Saat nafas kami mereda, cik Lala pelan-pelan melepaskan pelukannya. “Terima kasih, sayang …”, bisik cik Lala sembari mengecup bibirku. “Sebaiknya kamu balik ke kamar sekarang. Nanti ibunya nyari-nyari”, lanjutnya. Sebenarnya berat bagiku meninggalkannya karena tak ingin cepat-cepat kehilangan momentum paling berkesan dalam hidupku itu, tapi cik Lala benar. Ibu pasti akan bertanya-tanya kenapa aku lama sekali. Kukenakan kembali T-shirt dan celanaku dan berjalan ke pintu. Cik Lala mengikuti langkahku dan ketika aku hendak pamit, cik Lala sekali lagi mendaratkan ciumannya di bibirku lalu berkata, “Terima kasih ya, John”. Sambil membuka pintu kucandai ia, “Lho, tadi ‘kan sudah, cik Lala?”. Cik Lala tersenyum sambil mencubit lenganku.
Sambil jalan menuruni tangga aku menyiapkan alasan andai ibu bertanya. Tapi sampai di kamar, ibu dan kedua adikku sudah tertidur lelap. Usai buang air kecil kurebahkan tubuhku di kasur tambahan yang digelar di lantai. Sayangnya aku tidak bisa langsung terpejam. Bayang-bayang tubuh telanjang cik Lala dan adegan percintaanku dengannya tadi terus saja menggelayut di pikiranku. Rasanya aku tak menyangka bahwa akhirnya terjadi “sesuatu” antara aku dan cik Lala, perempuan yang kukenal sejak aku SMP. Aku tak merasa rugi ia telah merenggut keperjakaanku. Justru aku merasa beruntung bisa “menikmati” tubuh indah cik Lala yang begitu sempurna.
Esok paginya ibu bertanya kepadaku, kenapa aku lama sekali. Untung aku sudah menyiapkan jawaban. Kukatakan kalau usai mengantar Carla dan cik Lala aku jalan-jalan ke luar hotel, menikmati suasana Bandung di waktu malam.
Setelah mandi dan sarapan, kami berkesempatan jalan-jalan keliling kota Bandung dengan mobil sewaan karena cuaca cerah. Setelah itu meluncur ke Lembang. Tengah hari, usai makan siang di Lembang, kami bermaksud untuk ke Cibaduyut atas permintaan cik Lala. Tapi dalam perjalanan, adik perempuanku yang duduk di bangku SMP panas badannya. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Sampai di hotel, cik Lala bermaksud pergi sendiri ke Cibaduyut dengan membawa serta Carla. Ibu menyuruhku untuk menemani cik Lala, sementara ia tinggal di hotel bersama kedua adikku. Aku pun naik taksi bersama cik Lala dan Carla.
Selama mencari-cari sepatu, aku bergantian dengan cik Lala menggendong Carla. Cik Lala memborong 6 pasang sepatu. Tiga untuknya dan masing-masing satu untuk ibu dan dua adikku. Cik Lala menawariku juga, tapi aku menolak. Kukatakan kalau sepatuku masih bagus.
Dalam perjalanan kembali ke hotel Carla tertidur di taksi, hingga aku harus membopongnya ke kamar. Sambil menggendong, jantung berdetak kencang karena mengharapkan akan mendapat kesempatan lagi untuk bercumbu dengan cik Lala. Tampaknya cik Lala pun berharap demikian. Saat kubaringkan Carla di ranjang, cik Lala langsung masuk ke kamar mandi. Aku pura-pura sibuk melepas sepatu Carla lalu menyelimutinya untuk mengulur waktu sampai cik Lala keluar dari kamar mandi. Aku masih pura-pura sibuk saat kudengar pintu kamar mandi terbuka.

Begitu kutolehkan wajahku, kulihat cik Lala sudah ganti baju. Ia mengenakan daster tank top mini bermotif bunga-bunga dengan bagian dada terbuka, hingga menampakkan belahan dadanya yang menantang. Aku terpaku di tempatku menatap cik Lala. Ia seakan tak mempedulikan aku yang melongo melihat penampilannya yang menggoda. Ia sibuk menggantungkan baju dan celana yang tadi ia kenakan di gantungan baju yang ada di dinding depan kamar mandi. Aku yang sudah terbakar api birahi langsung mendekatinya dan mendekapnya dari belakang. Kusibak rambut cik Lala lalu kucumbui lehernya yang putih jenjang. Aroma parfumnya makin menggelorakan nafsuku. Tak kupedulikan cik Lala yang masih asyik menggantungkan baju. Sambil mencumbui, tanganku menjalari sekujur tubuhnya dengan rute dari bawah ke atas. Setelah itu kubuka dasternya dengan tangan gemetar akibat nafsu yang makin bergejolak. Kudaratkan ciumanku bertubi-tubi ke setiap bagian tubuhnya. Tak terkecuali pantatnya yang ranum.

Dengan balutan gairah yang menggebu-gebu kulepas T-shirt, celana jins dan celana dalamku. Begitu cik Lala selesai dengan kegiatannya, aku sudah telanjang bulat, sama sepertinya. Ia berbalik menghadapku dan kami saling berpagutan dengan liarnya. “Sebentar, John”, kata cik Lala dengan nafas tersengal-sengal. Ia mengambil selimut tebal di ranjang, menggelarnya di lantai, lalu berbaring di situ. Aku pun langsung menerkamnya. Yang kutuju pertama kali adalah bagian bawah tubuhnya, karena kemarin malam aku belum puas melakukannya. Kali ini cik Lala memberi kesempatan kepadaku untuk memuaskan hasratku. Ia menggelinjang, melenguh dan mendesah, seakan mengisyaratkan kalau ia suka kujelajahi bagian bawah tubuhnya dengan mulut dan lidahku. Tak puas hanya dengan mulut dan lidah, jariku pun akhirnya ambil peranan. Hal ini membuat gerakan tubuh cik Lala makin menggila hingga akhirnya ia mengejang dengan pinggul terangkat disertai erangan yang terdengar sangat erotis. Ia menjambak kuat-kuat rambutku dan menahannya agar aku berhenti. Tampaknya cik Lala telah mencapai orgasme.
Sesaat kemudian cik Lala memintaku untuk rebah. Begitu kubaringkan tubuhku, gantian cik Lala yang “mengerjai milikku” dengan sangat bernafsu. Nikmat yang tak terperikan membuat “milikku” hampir “meletup”. Aku berusaha menahannya selama mungkin agar nikmatnya tak segera usai. Tapi hisapan dan kuluman cik Lala membuat pertahananku bobol. “Aku mau keluar, cik Lala”, kataku dengan nafas memburu. Cik Lala menghentikan kulumannya dan mulai “mengocokku”. Aku mengerang panjang manakala cairan hangatku menyemprot. Cik Lala mengarahkan semprotanku ke kedua “bukitnya” sambil terus mengocok. Begitu tak ada lagi cairan yang keluar, mengulum lagi “milikku” dengan lembut. Beberapa saat kemudian ia membaringkan tubuhnya di sampingku sambil mengusap-usap dadanya yang basah oleh cairanku hingga merata. Kupandangi ia dan tiba-tiba ia menjilati jarinya. “Enak juga ya”, katanya sambil tersenyum. Ia kemudian bangkit dan masuk ke kamar mandi.

Sekitar 30 menit kami ngobrol sambil berbaring sampai akhirnya birahiku bangkit lagi. Kami kembali berpacu dalam birahi. Ronde kedua ini aku mampu bertahan cukup lama hingga kami bisa melakukannya dalam berbagai gaya. Mula-mula “69”, lalu aku dan cik Lala bergantian yang di atas. Setelah itu ber”doggy style” sebelum kemudian aku “menusuknya” dari belakang sambil berbaring. Terakhir aku di atas lagi sampai kami sama-sama mencapai klimaks.
Saat menggelepar kelelahan, terdengar suara Carla. kami buru-buru meraih baju yang berserakan di lantai. Untungnya, begitu aku berpakaian lengkap dan cik Lala mengenakan kembali kemejanya, Carla terbangun. “Wah, pas ya, cik Lala”, celetukku. Cik Lala tertawa renyah dan langsung menghampiri Carla. Aku kembali ke kamarku sambil menjinjing tas berisi 3 pasang sepatu, seolah-olah baru saja pulang belanja.
Dari kejadian di Bandung itulah hubunganku dengan cik Lala berlanjut. Setiap ada kesempatan selalu kami gunakan untuk bergumul di ranjang rumah cik Lala. Kesempatan makin terbuka lebar ketika kemudian ibu menyewa sebuah ruko untuk usahanya, karena di rumah sudah tidak memadai lagi. Aku ditugasi untuk menjaga ruko itu. Aku menempati ruang di lantai 2 untuk tempat tinggalku yang baru, sementara lantai 1 untuk butik. Di lantai 2 itulah aku dan cik Lala kadang “berjibaku” menyalurkan kebutuhan biologis kami. Meski begitu kami tidak bisa sering-sering melakukannya, karena aku dan cik Lala sepakat untuk menjaga rahasia ini sebaik mungkin. Intinya jangan sampai ada seorang pun yang tahu.
Aku sudah benar-benar terpikat pada cik Lala. Cewek teman kuliahku yang kutaksir, sebut saja namanya Fenty, kuabaikan. Aku sudah mendapatkan segalanya dari cik Lala. Cantik, seksi, dan hot di ranjang. Kami sudah seperti suami istri tapi tanpa status. Tak hanya itu. Hal-hal kecil yang ditunjukkan cik Lala padaku sungguh membuat sulit untuk tidak mengingatnya. Seperti misalnya waktu kami mempersiapkan acara ulang tahun Carla. Cik Lala membuat sendiri desain undangannya dan aku diminta membantunya. Di ruang tamu rumahnya, aku duduk di lantai sambil memotongi undangan berbentuk Minnie Mouse, sementara cik Lala duduk di kursi tepat di depanku melakukan hal yang sama. Carla asyik sendiri bermain-main di dekat kami. Cik Lala mengenakan daster mini,sehingga aku bisa mengintipnya. Ia bukannya tak menyadari hal itu, karena ia senyum-senyum melihat tingkahku. Justru sesekali ia makin membuka kedua kakinya saat melihat kedua mataku menatap bagian bawah tubuhnya yang ditutup celana dalam putih.

Kemudian aku berpura-pura mendekati cik Lala dan berbisik di telinganya agar ia melepasnya. Begitu aku kembali duduk di lantai, cik Lala langsung masuk ke kamarnya dan tak lama kemudian keluar lagi dan kembali ke tempat ia duduk semula. Ia sengaja mengangkang sedikit hingga aku bisa melihat kalau ia sudah tak pakai celana dalam. Mau tak mau, gairahku makin meletup-letup. Ingin rasanya kususupkan kepalaku ke sana. Kurasakan celana jins yang kukenakan jadi terasa menyiksa akibat dorongan kelelakianku yang mengeras. “Tegang, ya?” tanya cik Lala sambil tersenyum nakal ketika melihatku beringsut membenahi “senjataku” agar terasa nyaman. “Iya, nih. Jadi kepengen ..”, jawabku meringis. “Habis, gimana dong?” cik Lala menimpali sambil melirik Carla. Memang meski ada Carla di situ tak menghalangi kami berdialog dengan topik “menjurus” karena si kecil itu pastilah tak mengerti maksud pembicaraan kami. Tapi hanya sebatas itu saja.
Pernah juga, waktu kami pulang mengantar Oma kontrol ke rumah sakit, pulangnya kami sudah berencana untuk “melepas dahaga”. Tapi begitu sampai rumah, Oma ingin nonton TV yang ada di sebelah ruang tamu dekat kamar cik Lala. Padahal aku sudah membayangkan, setelah mengantar Oma ke kamarnya yang ada di belakang, aku bisa menggumuli cik Lala. Cik Lala tampaknya juga kecewa rencana kami gagal. Tapi ia masih bisa menghiburku dengan caranya sendiri. Ia berganti pakaian tanpa menutup kamarnya, sehingga aku bisa melihat tubuh indahnya dari ruang tamu. Cik Lala kemudian mengenakan daster sexy tanpa bra. Kami sempat ngobrol untuk mengulur waktu dengan harapan Oma minta diantar ke kamarnya. Harapan kami sirna karena Oma tampak keasyikan nonton TV. Untungnya Oma membelakangi kami, sehingga aku dan cik Lala masih sempat berpagutan, bahkan kuciumi dada cik Lala sambil tanganku merogoh di bagian bawah tubuhnya, sebelum aku memutuskan untuk pulang, karena sebentar lagi Carla datang.
Pertemuanku dengan cik Lala agak merenggang ketika aku KKN selama 1 bulan, disusul kemudian skripsiku. Lalu, satu hari menjelang sidang skripsi, Oma meninggal dunia. Ia dimakamkan di Belanda. Dalam masa kevakuman hubunganku dengan cik Lala, aku tergoda lagi pada Fenty. Penyebabnya karena ia satu lokasi KKN denganku. Padahal waktu itu aku hanya iseng-iseng saja mendekatinya. Sesekali aku mengantarnya jika ia ingin kembali ke kota. Agaknya keisenganku dianggap serius oleh Fenty. Ini adalah sebuah kebodohanku dan menjadi awal dari berakhirnya hubunganku dengan cik Lala.
Karena sudah sering mengecap nikmatnya hubungan seks, hubunganku dengan Fenty pun akhirnya sampai ke situ juga. Waktu itu malam hari, kuajak ia ke ruko butik ibu. Setelah itu kuajak ia ke kamarku di lantai 2. Fenty yang sudah benar-benar jatuh cinta padaku menyerahkan “mahkota berharganya” padaku malam itu. Sejak itulah kami melakoni gaya pacaran yang kebablasan, hingga kemudian terjadi hak yang tak pernah kuperhitungkan sebelumnya. Fenty hamil! Aku kelabakan dibuatnya. Kakakku marah besar. Aku nyaris ditamparnya andai tak dicegah ibu. Wajar kalau kakakku marah, karena ia sudah merencanakan akan menikah. Rencananya terpaksa diundur gara-gara aku. Aku malu sekali. Tak hanya malu pada keluarga besarku, tapi juga pada cik Lala yang selama ini telah menganggapku sebagai kekasihnya. Orang tua Fenty mendesakku untuk menikahi anaknya. Memang pada akhirnya aku menikahi Fenty. Hanya saja rasa bersalahku pada cik Lala terus menghantuiku. Betapa tidak. Ia barus saja kehilangan ibunya dan sepulang dari Belanda mendapati kabar kalau aku akan menikah.
Tapi aku salut padanya. Cik Lala masih bisa menunjukkan kebesaran hatinya dengan mengatakan kalau ia senang akhirnya aku mendapatkan jodohku. Katanya, ia sudah merasa bahwa suatu saat hubungan kami akan berakhir karena keadaan yang tak memungkinkan, hanya saja ia tak mengira akan secepat ini. Lebih lanjut cik Lala mengungkapkan, betapa ingin ia menikah denganku, tapi ia harus mengubur dalam-dalam keinginannya itu karena adanya jurang ketidakmungkinan di antara kami.
Dulu, ketika kami usai bercinta di ruko yang kutinggali, aku sempat menanyakan kenapa ia tidak menikah lagi. Padahal kalau ia mau, ia bisa mendapatkan yang jauh lebih baik dariku. Katanya, ia sudah bersumpah di makam suaminya kalau ia tidak akan menikah lagi dan akan berusaha sekuat tenaga untuk membesarkan Carla seorang diri. Tapi kehadiranku dalam hidupnya membuatnya gamang pada sumpahnya. Saat melihatku tumbuh dewasa, tiba-tiba saja ia merasakan getaran setiap kali bertemu denganku. Ia seakan menemukan kembali kebahagiaan saat menjalani momen-momen indah bersamaku dan berharap terjadi suatu keajaiban yang membuat kami bersatu.
Aku selalu dihinggapi penyesalan telah mengkhianati harapannya. Pengalaman bersama cik Lala seolah membuatku sombong. Kupikir, jika aku bisa menaklukkan hati cik Lala, aku pasti juga akan bisa menaklukkan perempuan lain. Dan Fenty adalah korban kesombonganku, meski sebenarnya ada sepercik cinta padanya.
Yah, nasi sudah jadi bubur. Aku menikah dengan Fenty dan setelah lulus kuliah kami tinggal di rumah orang tua Fenty di kota lain. Meski begitu aku terus memantau keberadaan cik Lala melalui ibu. Tentunya dengan cara halus agar ibu tidak curiga kenapa aku selalu menanyakan cik Lala. Menurut informasi dari ibu, hubungannya dengan cik Lala tetap berjalan baik. Aku lega mendengarnya. Aku khawatir, gara-gara aku cik Lala menjauhi ibu. Untung itu tidak terjadi.
Kadang aku masih diselimuti rasa bersalah saat bertemu cik Lala tiap kali aku pulang ke rumah ibu. Ingin rasanya aku mengajaknya pergi berdua saja untuk menyampaikan rasa penyesalanku. Sayang kesempatan itu tak pernah ada. Apalagi aku sudah tidak berkiprah lagi di butik ibu, karena peranku sudah digantikan oleh adik perempuanku yang sudah beranjak dewasa.
Saat ini anakku sudah dua dan aku hidup bahagia bersama Fenty dan kedua anakku, tapi kenangan manis bersama cik Lala tak akan pernah bisa kulupakan. Terlebih setelah pertemuan dengannya di pemakaman ibu beberapa waktu lalu. (*)
Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.