Nikmat Sesaat Dengan Janda

Bram (nama samaran), 32 tahun, Jakarta:

Aku sudah menikah dan memiliki 1 orang anak. Istriku cantik, tubuhnya juga bagus. Mungkin kalau dari skala 1-10, istriku termasuk 8. Hubungan badan kami juga termasuk normal, seminggu 3-4 kali. Sudah 7 tahun pernikahan kami.

Mungkin karena kebosanan sesaat, aku iseng ngobrol dengan salah satu kenalanku di jejaring sosial, sebut saja namanya M. Awalnya kami hanya sekedar chatting, tapi lama-lama mulai akrab. Mulai deh, curhat.

Dari situ aku tahu kalau M Janda dan tinggal di kota XX (sengaja tidak aku sebutkan). Aku juga sering curhat ke M waktu sedang bertengkar dengan istri.

Sampai suatu hari, aku bertengkar hebat dengan istriku, sehingga kami tidak saling bertegur sapa. Seminggu lamanya kami tidak berhubungan badan. Aku ceritakan ke M. M kelihatannya sangat mengerti tentang kebutuhan lelaki, mungkin karena umurnya yang 12 tahun di atasku. Jadi dia jauh lebih berpengalaman dalam hal hubungan suami istri. Mungkin karena kasihan, tiba-tiba dia menelepon. Biasanya memang kami hanya sekedar chatting, tapi kali ini M menelepon untuk memberikan support emosional.

Sejak saat itu aku dan M semakin akrab, semakin sering saling telepon.

Beberapa hari setelah itu, tiba-tiba istriku harus kembali ke kampung halamannya, karena ada kerabatnya yang meninggal. Anakku ikut serta dengannya. Aku tinggal di rumah sendirian karena tak bisa meninggalkan pekerjaan.

Waktu malam sebelum tidur, gejolak birahiku naik. Bukannya menghubungi istri, aku malah menelepon M. Pembicaraan kami semakin menjurus, sampai akhirnya kami melakukan phone sex. M minta aku mengirimkan foto “senjata”ku, dan dia mengirimkan foto organ sensitifnya juga. Akhirnya kami sama-sama mencapai kepuasan lewat jarak jauh.

Tadinya aku kira hubungan kami hanya sebatas ini saja, sampai aku mendapat proyek di kota tempat M tinggal. Setibanya di sana, aku langsung menghubungi M. Akhirnya, setiap malam setelah selesai dengan urusan pekerjaan, aku bertemu dengan M.

Pertemuan pertama, aku sempat kaget. Tadinya aku mengira bertemu dengan Janda berumur 45 tahun yang sudah seperti tante-tante. Ternyata M cukup cantik, dalam skala 1-10, M berada di posisi 7, namun tubuhnya luar biasa sexy, masih seperti wanita berumur 20an.

Aku ingat, dia memakai tank top hitam yang dibalut dengan blus tembus pandang dan mengenakan rok mini beludru berwana hitam. Dia sempat kaget waktu melihat aku, katanya aku masih seperti ABG. Tadinya dia membayangkan aku seperti om-om berperut buncit.

Awalnya kami makan di hotel berbintang 5, dan terus terang, kami agak canggung. Mungkin karena sudah saling bertukaran foto alat kelamin kami, atau mungkin karena phone sex.

Setelah sekitar 1 jam di restoran, M meminta aku untuk duduk di sampingnya. Setelah duduk, M merapatkan tubuhnya, sehingga aku bisa mencium aroma tubuhnya dengan jelas. Di situ aku memberanikan diri merangkul pinggang M, dia tidak protes. Aku meraba pahanya, kemudian tanganku masuk mengusap-usap paha bagian dalamnya. M masih tidak bereaksi, seolah biasa saja. Baru setelah jariku menggosok-gosok organ sensitifnya, M mencubit tanganku. Setelah itu, pembicaraan kami makin akrab. Hilang sudah rasa canggung di antara kami.

Setelah makan, M mengajakku keliling kota dengan mobilnya. Di mobil aku minta dia menciumku, M tidak mau. Aku tidak memaksa. Kemudian setelah keliling kota sambil ngobrol dalam mobil, M mengantarku ke hotel.

Tiba di hotel, M bilang kalau dia ingin melihat kamarku. Sampai dalam kamar, aku langsung ke toilet, karena sudah kebelet buang air kecil. Aku lupa kalau toilet di kamarku dipisah oleh dinding kaca. Otomatis aku kencing sambil terlihat oleh M.

Kemudian ketika M hendak keluar dari kamar, aku meminta dia untuk tinggal bersamaku malam itu. M menolak, meminta aku untuk ingat dengan istriku, supaya aku tidak selingkuh. Aku langsung memeluk M dan mencium bibirnya.

M menyambut ciumanku, lidah kami saling beradu cukup lama. Tanganku meremas payudara M. tangan M masuk ke dalam celana jins yang kukenakan. Aku bisa mendengar suara nafas M seperti habis lari maraton, dan jantung M yang berdegup kencang. Kami sudah sangat terangsang, aku masukkan tanganku ke dalam roknya dan kurasakan basah di situ.

Tapi tiba-tiba M mendorongku dan keluar dari kamar. Malam itu aku sangat menginginkan M, tapi dia menahan diri.

Selama di kota itu, tiap malam aku makan malam dengan M, bercumbu, saling meraba, tapi kami tidak sampai ML. Sampai saat M mengantarku ke airport.

Kami sudah saling jatuh cinta, Aku sangat berat menginggalkan kota dan begitu juga M sangat terlihat tidak ingin aku pergi. Dalam perjalanan menuju airport, aku menyetir mobil M, tiba-tiba M membuka celanaku dan mulai menjilati “senjata”ku. Rasanya sangat luar biasa. Perasaan ini tidak pernah aku rasakan pada saat dengan istriku. Kemudian aku menepikan mobil, dan di situlah aku bercinta dengan M.

Setelah menepi, aku langsung mencumbu M, menciumi lehernya, sambil aku lepaskan blus yang dikenakannya. Cepat sekali, kami saling menelanjangi. Gerakan di mobil ternyata cukup sulit untuk bercinta, akhirnya kami pindah ke kursi belakang. Di situ kami mulai saling memberikan oral sex, sampai akhirnya aku masuk ke dalam M.

Mobil polisi sempat lewat dan membuat kami kaget. Kemudian aku tetap melanjutkan goyangan pinggangku. M sangat menikmati setiap kali aku menarik jauh dan mendorong kencang. Erangan M betul-betul tidak dapat aku lupakan sampai sekarang. Aku bercinta dengan M tanpa kondom, entah kenapa aku bisa begitu nekad. Tapi, tetap saja aku keluar di dalam M. Setelah itu kami lanjut ke airport.

Waktu berjalan bersama ke terminal, celana dalam M sangat basah. Ternyata cairan yang aku keluarkan di dalam “milik” M mengalir sampai membasahi pahanya. Sesaat sebelum masuk terminal, sekali lagi aku mencium M, kemudian aku ucapkan selamat tinggal.

Sudah 3 bulan sejak kami bercinta, aku masih berhubungan lewat BBM dengan M. M meminta aku untuk setia dengan istriku, dan jangan melanjutkan hubungan dengan dia. Tapi aku tahu, M mencintai aku. Pasti berat untuk M untuk memintaku untuk tidak meninggalkan istriku demi dia.

Aku tidak tahu apakah M hamil atau tidak. Yang pasti M tidak pernah memberitahuku tentang itu. Belakangan ini juga aku sudah tidak menghubungi M seperti biasanya. Aku mencoba melupakan M. Kelihatannya aku sudah jatuh cinta dengan seorang janda yang berumur 12 tahun lebih tua dariku.

Rasa cumbuan M, wangi tubuh bugilnya, aroma organ kewanitaannya, tinggal memori. Nikmat bercinta dengan M tidak dapat kulupakan. Ini perselingkuhanku yang kusimpan dari istriku sampai saat ini. (*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Gara-gara Pembantu Lesbian

Betty (nama samaran), 35 tahun, Karyawati Swasta:


Waktu masih kuliah dulu di rumahku ada 2 pembantu. Yang tertua bernama mbok Tun (bukan nama sebenarnya), usianya lebih tua dari mamiku. Ia kerja di rumahku sejak kakak sulungku lahir. Aku 3 bersaudara perempuan semua, aku anak nomor 2. Pembantuku yang satunya masih tergolong muda. Namanya sebut saja Wati. Usianya kira-kira sebaya denganku. Waktu itu ia sudah bekerja di rumahku sekitar 2 tahunan.

Suatu hari keluarga mbok Tun datang dari desa mau membawa pulang mbok Tun karena usianya sudah tua. Sebagai gantinya mereka menawarkan Surti (bukan nama sebenarnya) yang satu desa dengan mereka. Surti adalah seorang janda tanpa anak. Usianya sekitar 30-an. Karena direkomendasikan oleh keluarga mbok Tun, mami langsung menerima Surti sebagai pembantu rumah tangga kami. Nyatanya memang mbak Surti (aku memanggilnya mbak karena ia lebih tua dariku) bisa bekerja dengan baik. Ia pandai memasak. Selain itu juga suka kebersihan dan rajin. Dalam waktu singkat mbak Surti mampu memikat hati kami sekeluarga. Ia pun kelihatan bisa bekerja sama dengan Wati.

Setahun kemudian, aku sering pulang kuliah malam hari karena ada kegiatan di laboratorium kampus. Agar tak mengganggu penghuni rumah aku selalu membawa kunci sendiri lewat garasi rumah yang langsung berhubungan dengan dapur.

Suatu hari, aku ada tugas lagi di lab sehingga harus pulang malam. Tapi waktu itu diantar teman kuliahku karena sepeda motorku mogok. Seperti biasa aku lewat garasi, lalu dapur. Ketika melintas di dapur hendak masuk ke ruang makan aku mendengar suara-suara yang mencurigakan. Kutelusuri asal suara itu mulai dari dapur terus ke belakang, di mana setelah dapur ada 2 kamar pembantu yang masing masing ditempati oleh mbak Surti dan Wati, setelah itu gudang.

Suara mencurigakan itu makin jelas terlihat dari kamar Wati. Dengan hati-hati aku berlutut lalu kuintip dari celah kaca nako terbawah (antara nako dengan kusen). Aku terhenyak kaget saat dalam keremangan cahaya kamar Wati kulihat dua orang perempuan sedang bergumul di ranjang tanpa mengenakan baju sama sekali. Mbak Surti tampak menindih tubuh Wati dan mereka saling berciuman dengan sangat mesranya, seperti sepasang kekasih yang sedang terbakar panasnya api birahi. Saat melihat itu aku berniat langsung kembali ke kamar, tapi rasa penasaran memaksaku untuk terus mengintip mereka. Mbak Surti kelihatan bernafsu sekali mencumbui Wati, sementara Wati tak henti-hentinya menggeliat, mengerang dan mendesah. Kedua tangan Wati menggerayangi sekujur tubuh mbak Surti dengan tak kalah bernafsunya. Kemudian mbak Surti menciumi dada Wati sambil tangannya mengerjai bagian bawah tubuh Wati. Dadaku bergemuruh kencang menyaksikan adegan itu. Ada perasaan yang aneh saat menyaksikan kedua pembantuku yang sama-sama perempuan itu telanjang bulat dan bercumbu dengan mesranya. Semacam rasa nikmat yang menggelitik organ kewanitaanku. Aku semakin tergoda untuk mengikuti terus pergumulan dua makhluk sejenis itu dengan berdebar-debar.

Tak lama kemudian mbak Surti mengubah posisinya hingga wajahnya berada di bagian bawah tubuh Wati, sementara bagian bawah tubuhnya berada di atas wajah Wati. Mbak Surti seperti kesetanan mencumbui bagian bawah tubuh Wati yang mengangkang lebar-lebar, diimbangi oleh Wati yang juga melakukan hal yang sama pada bagian tubuh mbak Surti. Sesekali mbak Surti memainkan jari-jarinya hingga membuat Wati kelojotan. Aku makin terangsang melihat ulah mereka berdua dan tak tahan lagi. Dengan tubuh bergetar terbakar nafsu aku masuk ke kamarku di lantai 2, mengunci pintu, kulempar tasku dan langsung kubuka baju serta celana jins yang kukenakan hingga tinggal celana dalam dan BH saja yang menempel di tubuhku. Sambil telentang di ranjang kumainkan jari-jemariku di celana dalamku yang sudah basah. Gejolak birahi yang meledak-ledak membuatku melucuti BH dan celana dalamku. Aku telanjang bulat. Jemariku makin liar bermain-main di kemaluanku. Tapi aku masih cukup sadar untuk membatasi gerakan jariku karena tak ingin keperawananku robek. Dalam balutan nafsu yang menggebu-gebu kutumpangkan tubuhku di atas guling, kemudian aku bergoyang-goyang dengan perasaan penuh nikmat. Aku terkapar dalam keletihan setelah kuraih kepuasan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Nafasku terengah-engah. Tubuhku terasa lunglai tanpa daya.

Kejadian itu menorehkan kesan yang begitu mendalam padaku. Perbuatan mbak Surti dan Wati selalu terbayang-bayang dibenakku. Kadang aku merasa berdosa telah melakukan masturbasi, gelegak darah mudaku mengalahkan rasa berdosa itu. Aku jadi selalu berharap menyaksikan adegan mesra kedua pembantuku yang kulanjutkan dengan masturbasi di kamar. Sensasi kenikmatan yang kurasakan sungguh membuatku terlena. Apalagi saat kusaksikan mbak Surti dan Wati secara bergantian memainkan ketimun ke “milik” lawan mainnya yang membuat tubuh mereka mengejang dan kelojotan seperti ayam disembelih disertai lenguhan dan desah hingga membuat nafsuku bangkit. Aku jadi ketagihan bermasturbasi. Kadang bisa dua hari sekali aku melakukannya, entah malam hari, ketika bangun tidur atau saat mandi.

Suatu hari, ketika aku pulang kuliah agak sore, tak kudapati mbak Surti dan Wati di dapur. Biasanya mereka di situ sibuk menyiapkan makan malam. Dari mami kuperoleh jawaban yang mengejutkan. Keduanya dipecat gara-gara kepergok mami sedang bermesraan di kamar siang hari. Mereka mengira seisi rumah pada tidur siang. Ditambah lagi hujan deras yang mungkin membuat mbak Surti dan Wati tak bisa menahan diri untuk tidak bercumbu. Menurut cerita mami, ia memanggil Wati untuk mengambilkan ember karena ada yang bocor di kamar mami. Mungkin karena riuhnya suara hujan, mereka tak mendengar. Mami terpaksa mendatangi kamar mereka. Ketika dilongok di kamar mbak Surti, kamar itu kosong. Kemudian mami membuka kamar Wati. Mami sangat kaget dan marah melihat mbak Surti mencumbui Wati. Mereka belum sampai telanjang waktu itu, tapi sudah cukup untuk membuat mami marah bukan kepalang. Saat itu juga ia usir mbak Surti dan Wati.

Sejak kepergian mbak Surti dan Wati aku kehilangan tontonan mengasyikkan. Tapi kebiasaanku bermasturbasi jadi keterusan. Jadi semacam kebutuhan, di mana kalau aku tidak melakukannya dalam jangka waktu lama kepalaku jadi pening. Meskipun kemudian aku punya pacar, aku tetap melakukannya. Kadang aku kesal pada pacarku. Paling jauh ia hanya menciumku saja, padahal aku sangat terangsang ketika diciumnya. Aku mengharapkan ia berbuat lebih jauh, tapi tak kesampaian. Itulah yang membuatku bermasturbasi untuk memuaskan hasratku.

Saat ini, meski aku sudah menikah dan punya 1 anak, aku masih suka melakukan masturbasi. Biasanya aku melakukannya di hari Sabtu saat aku libur, sementara suamiku bermain tenis dengan teman-teman kantornya dan anakku sekolah. Saat sendirian di rumah itulah sambil menonton film India kesukaanku, aku kadang terangsang sendiri. Apalagi jika ada adegan mesra dalam film itu. Untuk memuaskanku, aku tak lagi hanya mengandalkan jari saja. Pisang, ketimun atau terong kecil kujadikan alat bantu yang bisa memberikanku kenikmatan. (*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Cik Lala

Johny (nama samaran), 45 tahun, somewhere:

Pertemuan dengan cik Lala (bukan nama sebenarnya) pada upacara pemakaman ibuku awal tahun ini membuka kembali kenangan lama bersamanya. Kenangan indah yang tak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Waktu bertemu di makam, kuamati kulit wajah dan tangan cik Lala sudah terlihat kerut-kerut kecil, tapi masih menyisakan gurat kecantikan yang dulu membuatku terpesona padanya. Ia pun masih ramah seperti dulu. Dan hatiku masih bergetar kala menyambut uluran tangannya saat ia mengucapkan bela sungkawa kepadaku. Ia datang bersama Carla (bukan nama sebenarnya), anaknya yang sudah tumbuh menjadi gadis remaja tak kalah cantik dengan mamanya.

Aku mengenal cik Lala ketika aku SMP. Ia adalah rekanan ibu dalam bisnis butik kecil-kecilan. Ibu merintis usaha butiknya sejak ayah meninggal waktu aku kelas 5 SD. Dengan bermodal uang santuan kematian ayah, ibu membuka usaha jahit baju wanita kecil-kecilan dan cik Lala adalah salah satu pelanggan setianya. Dari situlah kemudian cik Lala bersahabat baik dengan ibu. Nama aslinya adalah Marla, tapi ibu biasa memanggilnya cik Lala karena ia keturunan Tionghoa. Itulah sebabnya anak-anak ibu, termasuk aku, jadi ikut-ikutan memanggilnya cik Lala.

Waktu aku kelas 1 SMA, cik Lala melahirkan anak pertamanya yang diberi nama Carla, tapi setahun kemudian suaminya meninggal dunia. Mungkin karena sama-sama berstatus janda, hubungan ibu dengan cik Lala makin dekat, walaupun ibu jauh lebih tua darinya. Meski berbeda latar belakang suku bangsa, hubungan kami dengan cik Lala sudah seperti keluarga. Ia rutin datang ke rumah kami yang sekaligus jadi tempat usaha ibu. Berkat cik Lala usaha ibu berkembang yang semula hanya menerima jahitan baju wanita bertambah dengan adanya butik. Tak jarang cik Lala menitipkan anak perempuannya yang masih bayi pada ibu saat ia ada urusan bisnis di luar kota.

Di antara ke empat anak ibu, akulah yang paling dekat dengan cik Lala. Kakak laki-lakiku sibuk dengan urusan kuliahnya, sementara kedua adikku, satu laki-laki dan satu perempuan, masih kecil-kecil. Aku sering membantu ibu mengantarkan pesanan jahitan ke pelanggan, termasuk ke cik Lala. Selain itu, aku juga biasa diminta ibu untuk menemaninya dan cik Lala belanja baju-baju untuk koleksi butik ibu. Kalau belanja ke luar kota, biasanya ke Bandung atau Solo, hanya ibu saja berdua dengan cik Lala.

Sejalan dengan bertambahnya usiaku, aku makin menyadari betapa cantiknya cik Lala. Rambutnya yang panjang berombak berwarna kemerahan , hidungnya yang mancung, kulitnya yang putih bersih, serta tinggi badannya yang di atas rata-rata perempuan Indonesia, membuatnya terlihat anggun dan berkelas. Kata ibu, cik Lala keturunan campuran Tionghoa, Belanda dan Indonesia.

Aku semakin kepincut pada cik Lala gara-gara sebuah kejadian yang membuatku terpana. Waktu itu aku baru pulang kuliah disuruh ibu ke rumah cik Lala untuk mengambil paket dari Bandung. Dengan mobil tua peninggalan ayah aku pun berangkat lagi. Sampai di rumahnya, cik Lala sendiri yang membukakan pintu. Sepertinya ia baru bangun tidur. Darah mudaku berdesir melihat busana cik Lala. Ia mengenakan kemeja laki-laki lengan panjang berwarna putih hingga sepinggul dan di bawahnya tidak pakai celana panjang atau rok. Kemejanya itulah yang juga berfungsi sebagai rok. Ia mempersilakanku masuk dan duduk di ruang tamu. Di situ aku bisa melihat betapa mulusnya paha cik Lala. Selain itu, kemeja yang dikenakannya agak tipis sehingga samar-samar terlihat bra dan celana dalamnya yang juga berwarna putih. Hal itu membuatku gugup setiap kali menjawab pertanyaannya. Padahal biasanya aku banyak bercanda dan kadang jahil. Sesaat kemudian ia masuk ke kamarnya, kupikir akan ganti baju. Ternyata tidak. Ia keluar lagi sambil membawa kardus besar yang kelihatannya lumayan berat. Spontan aku berlari menghampirinya dan mengambil alih kardus itu. Lagi-lagi aku berdebar saat tanganku bersentuhan dengan tangannya. “Masih ada dua lagi di kamar, John. Kamu ambil sendiri saja ya. Berat sih”, ujar cik Lala sambil tersenyum. “Ya, cik Lala”, jawabku sambil berjalan menuju mobil. Saat aku tengah mengangkuti paket-paket itu cik Lala keluar dari dapur sambil membawa minuman dingin dan meletakkannya di meja ruang tamu. Setelah semua paket berpindah ke dalam mobil, cik Lala menyuruhku minum.

Di rumah itu, cik Lala tinggal bersama anak semata wayangnya yang masih TK, seorang pembantu dan ibu cik Lala yang sudah renta yang biasa kupanggil Oma. Sehari-hari Oma duduk di kursi roda karena salah satu kakinya cacat akibat kecelakaan.

Sambil menghabiskan minum, kami ngobrol-ngobrol santai. Hanya saja aku tak bisa benar-benar santai setiap kali sudut mataku menatap paha mulus cik Lala yang duduk tepat di depanku. Sebelum pulang cik Lala titip pesan pada ibu kalau bulan depan akan mengajaknya ke Bandung lagi untuk”berburu” busana model baru.

Beberapa hari kemudian, cik Lala datang ke rumah kami. Ketika aku akan berangkat kuliah naik motor, tiba-tiba cik Lala datang tergopoh-gopoh memanggilku, disusul ibu di belakangnya. Ternyata ia mau nebeng aku pulang karena dapat kabar dari pembantunya kalau Oma sakit. Cik Lala ke rumah kami naik taksi karena mobilnya dipinjam saudaranya. Tadinya aku mau ganti pakai mobil saja, tapi karena cik Lala terburu-buru, akhirnya ia kubonceng. Sampai di rumahnya cik Lala bergegas masuk untuk menemui ibunya. Aku berinisiatif menunggunya karena siapa tahu ia butuh bantuan. Benar saja. Cik Lala menelepon taksi dan begitu taksi datang ia meminta tolong padaku untuk membopong Oma ke taksi. Setelah itu ia bersama pembantunya masuk ke dalam taksi dan meluncur menuju ke rumah sakit. Aku membatalkan kuliahku dan mengikuti taksi yang ditumpangi cik Lala.

Ketika menunggu Oma diperiksa, cik Lala menemuiku dan bilang terima kasih padaku. Setelah itu aku mengantar pembantunya pulang karena harus menjemput Carla di sekolah. Beberapa hari kemudian Oma sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.

Satu bulan kemudian, karena anak-anak sekolah libur, akhirnya aku dan adik-adikku ikut menemani ibu, sementara cik Lala mengajak Carla serta. Kakakku dapat tugas jaga rumah. Kami berangkat naik kereta api. Di Bandung kami menginap di hotel langganan ibu dan cik Lala. Sayangnya kamar kami dan kamar cik Lala berjauhan. Kami dapat kamar di lantai 1, sedangkan cik Lala di lantai 2.

Hujan yang terus mengguyur membuat acara liburan kami, terutama adik-adikku yang baru pertama kali ke Bandung, jadi terganggu. Untuk acara belanja, hanya ibu dan cik Lala yang berangkat, sedangkan aku dan adik-adikku di hotel sambil mengasuh Carla. Barang-barang yang dibeli langsung dipaketkan dan dikirim ke alamat ibu atau cik Lala. Sore hari ibu dan cik Lala kembali ke hotel dan kami ngobrol bareng di kamar lantai 1 sampai acara makan malam tiba. Selesai makan Carla tak mau diajak mamanya ke kamarnya, tapi ingin bermain-main dulu dengan adik-adikku. Kamar kami kembali hingar-bingar dengan celoteh bocah-bocah itu.

Cik Lala baru meninggalkan kamar kami setelah Carla tertidur. Aku pun kebagian tugas membopong Carla yang tidur pulas dan membawanya ke kamar cik Lala di lantai 2, sementara cik Lala membawa perlengkapan Carla. Sampai di kamar kurebahkan Carla di ranjang. Saat itu tiba-tiba cik Lala nyeletuk sambil tersenyum, “Kamu kuat juga ya, John. Dulu Oma kamu gendong, sekarang Carla. Kapan giliran cik Lala nih?!” Ditantang seperti itu spontan aku bereaksi menggodanya. “Ayo kalau cik Lala mau, kugendong juga”, kataku sambil mendekatinya lalu sekonyong-konyong menggendongnya. Cik Lala memekik kaget melihat spontanitasku, lalu tertawa. Ia pun spontan menggelayutkan satu tangannya ke bahuku. “Sudah, sudah, turunin aku, John,” pintanya. Aku tak mempedulikan permintaannya. Tetap saja ia kugendong dan berjalan-jalan di antara ranjang dan cermin.

“Makanya jangan sembarangan nantang orang, cik Lala”, kataku. Kuhentikan langkahku di depan cermin.

“Lihat, cik Lala. Aku seperti Superman menggendong Lois Lane ‘kan?” celetukku sambil melihat ke cermin. Entah sadar atau tidak, cik Lala kemudian menggelayutkan satu tangannya lagi, memelukku. Mula-mula ia juga melihat ke cermin, lalu menoleh ke arahku. Saat itulah wajah kami begitu dekatnya hingga dapat kuhirup nafasnya yang segar. Karena dada kami saling menempel bisa kurasakan degup jantung cik Lala. Begitu pun aku, dan pasti cik Lala juga bisa merasakannya. Yang semula kami sama-sama tertawa tiba-tiba saling diam. Kutatap wajah cik Lala dalam-dalam dan kulihat mata cik Lala bergantian menatap bibir dan mataku. Pelan-pelan kuturunkan cik Lala karena lenganku sudah terasa capek, tapi mataku terus menatap wajah cantiknya dan ia balas memandangiku dengan tatapan yang sulit kuterjemahkan dalam kata-kata. Suasananya terasa sangat canggung. Mungkin aku sempat salah tingkah waktu itu.

Ketika cik Lala bersingsut mundur dan membalikkan badannya, kutahan lengannya. Spontan cik Lala kembali berbalik menghadapku dan kami saling berpandangan lagi. Saat itulah tiba-tiba cik Lala merengkuh bagian belakang leherku dan menciumku. Aku terhenyak hingga membuat cik Lala menghentikan ciumannya. Ia mengira aku tak suka dengan perbuatannya. “Maaf ya, John” kata cik Lala lirih. Saat ia menunduk, kuraih dagunya dan kupagut bibirnya. Terus terang jam terbangku untuk hal seperti ini masih nol, tapi aku belajar dari adegan-adegan ciuman di film-film yang pernah kutonton. Setelah beberapa kali pagutan, akhirnya cik Lala mengimbangi ciumanku. Kedua tangannya dilingkarkan di bahuku. Berkali-kali kami saling memagut, mengecup, menghisap dan memainkan lidah kami.

Aku yang sudah terbakar api birahi mulai berani menjamah tubuh cik Lala. Kujelajahi lekuk liku tubuhnya dengan kedua tanganku. Sesekali kulayangkan ciumanku di leher cik Lala sehingga membuatnya mendesah. Nafas kami memburu. Tanganku semakin liar bergerak. Kulepas kancing celana jins cik Lala lalu kuturunkan resletingnya. Setelah itu kususupkan jemariku ke dalamnya hingga bisa kurasakan lembutnya bagian bawah tubuh cik Lala. Kemudia ia memelorotkan dan melepas sendiri celana panjangnya hingga jemariku makin leluasa bergerilya. Kurasakan basah di sana. Saat tanganku beralih membuka kancing baju cik Lala satu persatu, ganti ia yang melucuti celana panjangku. Jari-jemari lentiknya meraba dan meremas “milikku” yang sudah mengeras di balik celana dalamku. Desahan cik Lala makin intens ketika mulut dan lidahku menjalari dan menghisap kedua bukit indah di dadanya setelah kutanggalkan bra-nya.

Tiba-tiba cik Lala berlutut di hadapanku, melepas celana dalamku dan langsung menyergap “milikku”. Saat ia melakukan itu, kulepas T-shirtku hingga aku telanjang bulat. Aku menikmati adegan itu melalui cermin besar di hadapanku seakan melihat adegan film. Rasanya sulit bagiku mempercayai kalau itu nyata. Beberapa saat kemudian cik Lala kembali berdiri lalu beringsut dan mendudukkan dirinya di meja di depan cermin. Sebelum ia duduk di meja itu, kutanggalkan celana dalam cik Lala yang berwarna hitam, senada dengan warna bra-nya. Aku begitu terpesona melihat “miliknya” yang merona merah muda dengan bulu-bulu halus berwarna kemerahan di sekitarnya. Aku berniat untuk “mencicipinya” dengan lidahku, tapi buru-buru dicegah cik Lala. “Sudah basah banget, John,” katanya. “Sedikit saja, cik Lala”, pintaku. Tanpa menunggu persetujuan dari cik Lala, mulutku langsung menyergap “miliknya”. Mula-mula dengan mengecupnya, lalu mulai memainkan lidahku. Sejak awal kami berciuman tadi aku sudah berniat untuk melakukan semuanya karena mungkin tak akan ada kesempatan kedua.

Cik Lala melenguh dan mendesah lirih saat aku makin ganas mencumbui bagian bawah tubuhnya. Kedua tangannya meremas kuat-kuat rambutku. Lama-lama kulihat pinggung cik Lala bergoyang mengikuti irama jilatanku. Tak lama kemudian kudengar pekikan kecil cik Lala. Ia pun menarikku agar berdiri.

Kami kembali berpelukan dan saling memagut. Kemudian cik Lala merengkuh pantatku dan menariknya, sementara ia membuka kedua kakinya lebar-lebar. Masih sambil berciuman, tangan cik Lala membimbing “milikku” masuk ke “miliknya”. Kurasakan hangat dan basah saat itu. Cik Lala memekik lirih, disusul dengan desahannya yang “merangsang”. Untuk sesaat kubiarkan “milikku” berada di dalam “milik” cik Lala dan sibuk mencumbuinya. Rupanya cik Lala tak tahan lagi. Ia kembali merengkuh pantatku dan menggerak-gerakkannya maju mundur. “Ayo, John …”, katanya sambil menatapku dengan mata sayu. Aku pun mulai “memompa”. Kenikmatan yang tak terlukiskan dengan kata-kata menjalar di setiap pori-pori tubuhku. Ini adalah pengalaman pertamaku dan aku tak ingin cepat-cepat selesai. Tapi nafsu yang sudah memuncak membuatku tak bisa menahan diri. Gerakanku semakin cepat. Cik Lala menggelinjang, menggeliat sambil kedua tangannya erat memeluk punggungku. Kepalanya kadang tengadah, kadang menghadapku sambil memagut bibirku. Tiba-tiba ia merapatkan pelukannya dan aku merasakan gigitan di bahuku. Cik Lala melenguh panjang, dan aku makin cepat “memompanya”, hingga terasa ada sesuatu yang memberontak ingin keluar. Begitu keluar, kusiramkan cairan hangatku di perut cik Lala. Ganti aku yang melenguh saat itu terjadi. Cik Lala tak melepaskan pelukannya. Kedua kakinya rapat melingkar di pinggangku. Nafas kami sama-sama memburu.

Saat nafas kami mereda, cik Lala pelan-pelan melepaskan pelukannya. “Terima kasih, sayang …”, bisik cik Lala sembari mengecup bibirku. “Sebaiknya kamu balik ke kamar sekarang. Nanti ibunya nyari-nyari”, lanjutnya. Sebenarnya berat bagiku meninggalkannya karena tak ingin cepat-cepat kehilangan momentum paling berkesan dalam hidupku itu, tapi cik Lala benar. Ibu pasti akan bertanya-tanya kenapa aku lama sekali. Kukenakan kembali T-shirt dan celanaku dan berjalan ke pintu. Cik Lala mengikuti langkahku dan ketika aku hendak pamit, cik Lala sekali lagi mendaratkan ciumannya di bibirku lalu berkata, “Terima kasih ya, John”. Sambil membuka pintu kucandai ia, “Lho, tadi ‘kan sudah, cik Lala?”. Cik Lala tersenyum sambil mencubit lenganku.

Sambil jalan menuruni tangga aku menyiapkan alasan andai ibu bertanya. Tapi sampai di kamar, ibu dan kedua adikku sudah tertidur lelap. Usai buang air kecil kurebahkan tubuhku di kasur tambahan yang digelar di lantai. Sayangnya aku tidak bisa langsung terpejam. Bayang-bayang tubuh telanjang cik Lala dan adegan percintaanku dengannya tadi terus saja menggelayut di pikiranku. Rasanya aku tak menyangka bahwa akhirnya terjadi “sesuatu” antara aku dan cik Lala, perempuan yang kukenal sejak aku SMP. Aku tak merasa rugi ia telah merenggut keperjakaanku. Justru aku merasa beruntung bisa “menikmati” tubuh indah cik Lala yang begitu sempurna.

Esok paginya ibu bertanya kepadaku, kenapa aku lama sekali. Untung aku sudah menyiapkan jawaban. Kukatakan kalau usai mengantar Carla dan cik Lala aku jalan-jalan ke luar hotel, menikmati suasana Bandung di waktu malam.

Setelah mandi dan sarapan, kami berkesempatan jalan-jalan keliling kota Bandung dengan mobil sewaan karena cuaca cerah. Setelah itu meluncur ke Lembang. Tengah hari, usai makan siang di Lembang, kami bermaksud untuk ke Cibaduyut atas permintaan cik Lala. Tapi dalam perjalanan, adik perempuanku yang duduk di bangku SMP panas badannya. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Sampai di hotel, cik Lala bermaksud pergi sendiri ke Cibaduyut dengan membawa serta Carla. Ibu menyuruhku untuk menemani cik Lala, sementara ia tinggal di hotel bersama kedua adikku. Aku pun naik taksi bersama cik Lala dan Carla.

Selama mencari-cari sepatu, aku bergantian dengan cik Lala menggendong Carla. Cik Lala memborong 6 pasang sepatu. Tiga untuknya dan masing-masing satu untuk ibu dan dua adikku. Cik Lala menawariku juga, tapi aku menolak. Kukatakan kalau sepatuku masih bagus.

Dalam perjalanan kembali ke hotel Carla tertidur di taksi, hingga aku harus membopongnya ke kamar. Sambil menggendong, jantung berdetak kencang karena mengharapkan akan mendapat kesempatan lagi untuk bercumbu dengan cik Lala. Tampaknya cik Lala pun berharap demikian. Saat kubaringkan Carla di ranjang, cik Lala langsung masuk ke kamar mandi. Aku pura-pura sibuk melepas sepatu Carla lalu menyelimutinya untuk mengulur waktu sampai cik Lala keluar dari kamar mandi. Aku masih pura-pura sibuk saat kudengar pintu kamar mandi terbuka.

Begitu kutolehkan wajahku, kulihat cik Lala sudah ganti baju. Ia mengenakan daster tank top mini bermotif bunga-bunga dengan bagian dada terbuka, hingga menampakkan belahan dadanya yang menantang. Aku terpaku di tempatku menatap cik Lala. Ia seakan tak mempedulikan aku yang melongo melihat penampilannya yang menggoda. Ia sibuk menggantungkan baju dan celana yang tadi ia kenakan di gantungan baju yang ada di dinding depan kamar mandi. Aku yang sudah terbakar api birahi langsung mendekatinya dan mendekapnya dari belakang. Kusibak rambut cik Lala lalu kucumbui lehernya yang putih jenjang. Aroma parfumnya makin menggelorakan nafsuku. Tak kupedulikan cik Lala yang masih asyik menggantungkan baju. Sambil mencumbui, tanganku menjalari sekujur tubuhnya dengan rute dari bawah ke atas. Setelah itu kubuka dasternya dengan tangan gemetar akibat nafsu yang makin bergejolak. Kudaratkan ciumanku bertubi-tubi ke setiap bagian tubuhnya. Tak terkecuali pantatnya yang ranum.

Dengan balutan gairah yang menggebu-gebu kulepas T-shirt, celana jins dan celana dalamku. Begitu cik Lala selesai dengan kegiatannya, aku sudah telanjang bulat, sama sepertinya. Ia berbalik menghadapku dan kami saling berpagutan dengan liarnya. “Sebentar, John”, kata cik Lala dengan nafas tersengal-sengal. Ia mengambil selimut tebal di ranjang, menggelarnya di lantai, lalu berbaring di situ. Aku pun langsung menerkamnya. Yang kutuju pertama kali adalah bagian bawah tubuhnya, karena kemarin malam aku belum puas melakukannya. Kali ini cik Lala memberi kesempatan kepadaku untuk memuaskan hasratku. Ia menggelinjang, melenguh dan mendesah, seakan mengisyaratkan kalau ia suka kujelajahi bagian bawah tubuhnya dengan mulut dan lidahku. Tak puas hanya dengan mulut dan lidah, jariku pun akhirnya ambil peranan. Hal ini membuat gerakan tubuh cik Lala makin menggila hingga akhirnya ia mengejang dengan pinggul terangkat disertai erangan yang terdengar sangat erotis. Ia menjambak kuat-kuat rambutku dan menahannya agar aku berhenti. Tampaknya cik Lala telah mencapai orgasme.

Sesaat kemudian cik Lala memintaku untuk rebah. Begitu kubaringkan tubuhku, gantian cik Lala yang “mengerjai milikku” dengan sangat bernafsu. Nikmat yang tak terperikan membuat “milikku” hampir “meletup”. Aku berusaha menahannya selama mungkin agar nikmatnya tak segera usai. Tapi hisapan dan kuluman cik Lala membuat pertahananku bobol. “Aku mau keluar, cik Lala”, kataku dengan nafas memburu. Cik Lala menghentikan kulumannya dan mulai “mengocokku”. Aku mengerang panjang manakala cairan hangatku menyemprot. Cik Lala mengarahkan semprotanku ke kedua “bukitnya” sambil terus mengocok. Begitu tak ada lagi cairan yang keluar, mengulum lagi “milikku” dengan lembut. Beberapa saat kemudian ia membaringkan tubuhnya di sampingku sambil mengusap-usap dadanya yang basah oleh cairanku hingga merata. Kupandangi ia dan tiba-tiba ia menjilati jarinya. “Enak juga ya”, katanya sambil tersenyum. Ia kemudian bangkit dan masuk ke kamar mandi.

Sekitar 30 menit kami ngobrol sambil berbaring sampai akhirnya birahiku bangkit lagi. Kami kembali berpacu dalam birahi. Ronde kedua ini aku mampu bertahan cukup lama hingga kami bisa melakukannya dalam berbagai gaya. Mula-mula “69”, lalu aku dan cik Lala bergantian yang di atas. Setelah itu ber”doggy style” sebelum kemudian aku “menusuknya” dari belakang sambil berbaring. Terakhir aku di atas lagi sampai kami sama-sama mencapai klimaks.

Saat menggelepar kelelahan, terdengar suara Carla. kami buru-buru meraih baju yang berserakan di lantai. Untungnya, begitu aku berpakaian lengkap dan cik Lala mengenakan kembali kemejanya, Carla terbangun. “Wah, pas ya, cik Lala”, celetukku. Cik Lala tertawa renyah dan langsung menghampiri Carla. Aku kembali ke kamarku sambil menjinjing tas berisi 3 pasang sepatu, seolah-olah baru saja pulang belanja.

Dari kejadian di Bandung itulah hubunganku dengan cik Lala berlanjut. Setiap ada kesempatan selalu kami gunakan untuk bergumul di ranjang rumah cik Lala. Kesempatan makin terbuka lebar ketika kemudian ibu menyewa sebuah ruko untuk usahanya, karena di rumah sudah tidak memadai lagi. Aku ditugasi untuk menjaga ruko itu. Aku menempati ruang di lantai 2 untuk tempat tinggalku yang baru, sementara lantai 1 untuk butik. Di lantai 2 itulah aku dan cik Lala kadang “berjibaku” menyalurkan kebutuhan biologis kami. Meski begitu kami tidak bisa sering-sering melakukannya, karena aku dan cik Lala sepakat untuk menjaga rahasia ini sebaik mungkin. Intinya jangan sampai ada seorang pun yang tahu.

Aku sudah benar-benar terpikat pada cik Lala. Cewek teman kuliahku yang kutaksir, sebut saja namanya Fenty, kuabaikan. Aku sudah mendapatkan segalanya dari cik Lala. Cantik, seksi, dan hot di ranjang. Kami sudah seperti suami istri tapi tanpa status. Tak hanya itu. Hal-hal kecil yang ditunjukkan cik Lala padaku sungguh membuat sulit untuk tidak mengingatnya. Seperti misalnya waktu kami mempersiapkan acara ulang tahun Carla. Cik Lala membuat sendiri desain undangannya dan aku diminta membantunya. Di ruang tamu rumahnya, aku duduk di lantai sambil memotongi undangan berbentuk Minnie Mouse, sementara cik Lala duduk di kursi tepat di depanku melakukan hal yang sama. Carla asyik sendiri bermain-main di dekat kami. Cik Lala mengenakan daster mini,sehingga aku bisa mengintipnya. Ia bukannya tak menyadari hal itu, karena ia senyum-senyum melihat tingkahku. Justru sesekali ia makin membuka kedua kakinya saat melihat kedua mataku menatap bagian bawah tubuhnya yang ditutup celana dalam putih.

Kemudian aku berpura-pura mendekati cik Lala dan berbisik di telinganya agar ia melepasnya. Begitu aku kembali duduk di lantai, cik Lala langsung masuk ke kamarnya dan tak lama kemudian keluar lagi dan kembali ke tempat ia duduk semula. Ia sengaja mengangkang sedikit hingga aku bisa melihat kalau ia sudah tak pakai celana dalam. Mau tak mau, gairahku makin meletup-letup. Ingin rasanya kususupkan kepalaku ke sana. Kurasakan celana jins yang kukenakan jadi terasa menyiksa akibat dorongan kelelakianku yang mengeras. “Tegang, ya?” tanya cik Lala sambil tersenyum nakal ketika melihatku beringsut membenahi “senjataku” agar terasa nyaman. “Iya, nih. Jadi kepengen ..”, jawabku meringis. “Habis, gimana dong?” cik Lala menimpali sambil melirik Carla. Memang meski ada Carla di situ tak menghalangi kami berdialog dengan topik “menjurus” karena si kecil itu pastilah tak mengerti maksud pembicaraan kami. Tapi hanya sebatas itu saja.

Pernah juga, waktu kami pulang mengantar Oma kontrol ke rumah sakit, pulangnya kami sudah berencana untuk “melepas dahaga”. Tapi begitu sampai rumah, Oma ingin nonton TV yang ada di sebelah ruang tamu dekat kamar cik Lala. Padahal aku sudah membayangkan, setelah mengantar Oma ke kamarnya yang ada di belakang, aku bisa menggumuli cik Lala. Cik Lala tampaknya juga kecewa rencana kami gagal. Tapi ia masih bisa menghiburku dengan caranya sendiri. Ia berganti pakaian tanpa menutup kamarnya, sehingga aku bisa melihat tubuh indahnya dari ruang tamu. Cik Lala kemudian mengenakan daster sexy tanpa bra. Kami sempat ngobrol untuk mengulur waktu dengan harapan Oma minta diantar ke kamarnya. Harapan kami sirna karena Oma tampak keasyikan nonton TV. Untungnya Oma membelakangi kami, sehingga aku dan cik Lala masih sempat berpagutan, bahkan kuciumi dada cik Lala sambil tanganku merogoh di bagian bawah tubuhnya, sebelum aku memutuskan untuk pulang, karena sebentar lagi Carla datang.

Pertemuanku dengan cik Lala agak merenggang ketika aku KKN selama 1 bulan, disusul kemudian skripsiku. Lalu, satu hari menjelang sidang skripsi, Oma meninggal dunia. Ia dimakamkan di Belanda. Dalam masa kevakuman hubunganku dengan cik Lala, aku tergoda lagi pada Fenty. Penyebabnya karena ia satu lokasi KKN denganku. Padahal waktu itu aku hanya iseng-iseng saja mendekatinya. Sesekali aku mengantarnya jika ia ingin kembali ke kota. Agaknya keisenganku dianggap serius oleh Fenty. Ini adalah sebuah kebodohanku dan menjadi awal dari berakhirnya hubunganku dengan cik Lala.

Karena sudah sering mengecap nikmatnya hubungan seks, hubunganku dengan Fenty pun akhirnya sampai ke situ juga. Waktu itu malam hari, kuajak ia ke ruko butik ibu. Setelah itu kuajak ia ke kamarku di lantai 2. Fenty yang sudah benar-benar jatuh cinta padaku menyerahkan “mahkota berharganya” padaku malam itu. Sejak itulah kami melakoni gaya pacaran yang kebablasan, hingga kemudian terjadi hak yang tak pernah kuperhitungkan sebelumnya. Fenty hamil! Aku kelabakan dibuatnya. Kakakku marah besar. Aku nyaris ditamparnya andai tak dicegah ibu. Wajar kalau kakakku marah, karena ia sudah merencanakan akan menikah. Rencananya terpaksa diundur gara-gara aku. Aku malu sekali. Tak hanya malu pada keluarga besarku, tapi juga pada cik Lala yang selama ini telah menganggapku sebagai kekasihnya. Orang tua Fenty mendesakku untuk menikahi anaknya. Memang pada akhirnya aku menikahi Fenty. Hanya saja rasa bersalahku pada cik Lala terus menghantuiku. Betapa tidak. Ia barus saja kehilangan ibunya dan sepulang dari Belanda mendapati kabar kalau aku akan menikah.

Tapi aku salut padanya. Cik Lala masih bisa menunjukkan kebesaran hatinya dengan mengatakan kalau ia senang akhirnya aku mendapatkan jodohku. Katanya, ia sudah merasa bahwa suatu saat hubungan kami akan berakhir karena keadaan yang tak memungkinkan, hanya saja ia tak mengira akan secepat ini. Lebih lanjut cik Lala mengungkapkan, betapa ingin ia menikah denganku, tapi ia harus mengubur dalam-dalam keinginannya itu karena adanya jurang ketidakmungkinan di antara kami.

Dulu, ketika kami usai bercinta di ruko yang kutinggali, aku sempat menanyakan kenapa ia tidak menikah lagi. Padahal kalau ia mau, ia bisa mendapatkan yang jauh lebih baik dariku. Katanya, ia sudah bersumpah di makam suaminya kalau ia tidak akan menikah lagi dan akan berusaha sekuat tenaga untuk membesarkan Carla seorang diri. Tapi kehadiranku dalam hidupnya membuatnya gamang pada sumpahnya. Saat melihatku tumbuh dewasa, tiba-tiba saja ia merasakan getaran setiap kali bertemu denganku. Ia seakan menemukan kembali kebahagiaan saat menjalani momen-momen indah bersamaku dan berharap terjadi suatu keajaiban yang membuat kami bersatu.

Aku selalu dihinggapi penyesalan telah mengkhianati harapannya. Pengalaman bersama cik Lala seolah membuatku sombong. Kupikir, jika aku bisa menaklukkan hati cik Lala, aku pasti juga akan bisa menaklukkan perempuan lain. Dan Fenty adalah korban kesombonganku, meski sebenarnya ada sepercik cinta padanya.

Yah, nasi sudah jadi bubur. Aku menikah dengan Fenty dan setelah lulus kuliah kami tinggal di rumah orang tua Fenty di kota lain. Meski begitu aku terus memantau keberadaan cik Lala melalui ibu. Tentunya dengan cara halus agar ibu tidak curiga kenapa aku selalu menanyakan cik Lala. Menurut informasi dari ibu, hubungannya dengan cik Lala tetap berjalan baik. Aku lega mendengarnya. Aku khawatir, gara-gara aku cik Lala menjauhi ibu. Untung itu tidak terjadi.

Kadang aku masih diselimuti rasa bersalah saat bertemu cik Lala tiap kali aku pulang ke rumah ibu. Ingin rasanya aku mengajaknya pergi berdua saja untuk menyampaikan rasa penyesalanku. Sayang kesempatan itu tak pernah ada. Apalagi aku sudah tidak berkiprah lagi di butik ibu, karena peranku sudah digantikan oleh adik perempuanku yang sudah beranjak dewasa.

Saat ini anakku sudah dua dan aku hidup bahagia bersama Fenty dan kedua anakku, tapi kenangan manis bersama cik Lala tak akan pernah bisa kulupakan. Terlebih setelah pertemuan dengannya di pemakaman ibu beberapa waktu lalu. (*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Ibu Mertuaku Kekasih Gelapku

Tom Kruz (nama samaran), 46 tahun:

Ketika muda, aku tergolong orang yang bengal. Minum minuman keras, main perempuan, kebut-kebutan di ajang balap liar, dan bersentuhan dengan narkoba, semua sudah kulakukan. Aku baru “jinak” ketika berkenalan dengan Lina (bukan nama sebenarnya) yang kemudian jadi istriku dan hingga kini telah memberiku 3 anak.

Kebengalanku “kambuh” ketika usiaku 37 tahun gara-gara tergoda mertuaku sendiri. Ya, aku jadi lupa diri setiap kali bertemu bu Tanti, ibu tiri Lina. Betapa tidak. Tak seperti tipikal ibu mertua pada umumnya yang cerewet, gemuk, rambut memutih dan kulit keriput di sana sini, bu Tanti justru menunjukkan pesonanya pada usia 47. Kulitnya masih halus mulus dan dandannya pun modis. Tubuhnya pun bisa dibilang masih seksi. Sintal, seperti tubuh Soimah. Konon, saat mudanya dulu ia pernah menjadi model untuk majalah lokal.

Sejak awal aku menikahi Lina sampai usia perkawinanku menjelang 10 tahun dan punya anak dua, tak ada perasaan apapun pada bu Tanti. Entah kenapa aku tiba-tiba begitu bergairah setiap melihatnya. Apalagi jika menatap dadanya yang ranum itu. Dalam hati aku selalu memuji betapa beruntungnya pak Said (nama samaran), suami bu Tanti yang juga ayah kandung Lina. Bukan sekali dua kali aku berkhayal bercinta dengan ibu mertuaku sendiri. Aku jadi terobsesi padanya.

Obsesiku yang makin membesar dari hari ke hari membuat kelakuan bengalku di masa muda kumat. Tak jarang, saat aku berdua dengan bu Tanti, entah itu mengantarnya belanja ke mall atau di rumahnya sepulang dari belanja, tak segan-segan aku memuji kecantikannya. Tentunya dengan cara halus. Memang, sebagai menantu yang terdekat domisilinya dengan rumah bu Tanti, aku paling sering diminta tolong untuk mengantarnya kesana kemari. Kadang ke mall, kadang arisan, kadang ke salon. Maklum karena pak Said adalah pejabat yang supersibuk, sementara aku bekerja di sebuah BUMN yang longgar peraturannya, sehingga aku bisa keluar saat jam kerja kapanpun kuinginkan. Memang tak bisa sering-sering, makanya jika bu Tanti minta diantar, aku biasanya menyanggupi usai jam kerja.

Dulu ada sopir yang khusus melayani bu Tanti. Usianya sudah agak tua. Begitu si sopir meninggal, digantikan oleh sopir yang lebih muda. Tapi hanya sebentar, karena bu Tanti tak suka dengan caranya mengemudi yang gampang emosi. Sopir yang ketiga malah lebih parah lagi. Salah satu pembantu bu Tanti dihamilinya. Tentu saja ia dipecat dengan tidak hormat bersama si pembantu. Sambil menunggu dapat sopir lagi, aku menyediakan diri untuk mengantar jemput bu Tanti. Agaknya, karena suka dengan caraku mengemudi, lambat laun niat untuk merekrut sopir baru jadi terlupakan. Akhirnya, jadilah aku sopir merangkap menantu.

Saat bertugas mengantar, kelelakianku bergetar setiap kali kugandeng tangan bu Tanti, entah itu saat menyeberang jalan atau hendak naik ke eskalator (tangga berjalan) yang ada di mall. Belum lagi cara berbusananya yang tak kalah dengan ABG, seperti memakai rok span atau jins di atas lutut dan t-shirt ketat. Aku kadang tak konsentrasi mengemudikan mobil setiap kali ia duduk di sebelahku. Pahanya yang mulus membuat aliran darahku mengalir kencang. Apalagi ketika membukakan pintu mobil untuknya saat ia akan turun dari mobil.

Pernah suatu ketika,usai belanja bu Tanti mengajakku makan es krim di salah satu gerai fast food. Saat ngobrol, es krim bu Tanti menetes di pahanya. Spontan kucolek tetesan es krim itu dan langsung menjilatnya. “Ih, kamu jorok, Tom!”, ujar bu Tanti. Aku nyengir dan menjawab, “Justru tambah nikmat rasanya, bu”. Bu Tanti tertawa sambil mencubit lenganku. “Ayo bu, ditumpahin lagi”, lanjutku menggoda. Lagi-lagi bu Tanti tertawa.

Setelah itu, lama bu Tanti tak minta di antar. Aku pun nekad meneleponnya saat jam istirahat kantor. Sambil bercanda kukatakan kalau aku kangen ingin mengantar lagi. Jawaban bu Tanti membuat hatiku berbunga-bunga. Ia minta aku menjemput tukang pijat langganannya, sebut saja namanya mak Ijah, dan mengantarnya ke rumahnya. Mendengar permintaan bu Tanti, muncul akal bulusku. Aku tak mak Ijah, tapi langsung menuju ke rumah bu Tanti. Kukatakan kalau mak Ijah lagi banyak order dan baru besoknya bisa datang. Bu Tanti tampak kecewa, yang artinya ia sangat ingin dipijat hari itu. Iseng-iseng kutawarkan diriku untuk memijatnya. Tak kuduga, bu Tanti setuju walaupun dengan raut wajah menyiratkan keraguan akan kemampuanku memijat. Kesempatan emas itu tak kusia-kusiakan. Kukatakan kalau dulu aku pernah belajar memijat pada tukang pijat langganan ayahku almarhum. Hanya saja, pelajaran dari tukang pijat ayah tentang bagian tubuh yang bisa menimbulkan birahi jika dipijat tak kukatakan pada bu Tanti.

Mula-mula bu Tanti masuk ke kamarnya mengambil minyak urut, handuk kecil berwarna putih dan satu baskom berisi air hangat. Setelah itu bu Tanti membelakangiku sambil membuka resleting di bagian belakang dasternya lalu membaringkan tubuhnya dengan posisi telungkup di sofa ruang keluarga. Darahku berdesir karena bu Tanti tidak mengenakan bra. Itu wajar karena percuma pakai bra, karena harus dilepas saat dipijat. Aku pun mulai melakukan tugasku bak pemijat profesional. Jantungku langsung berdetak kencang saat kedua tanganku menyentuh kulit punggungnya yang mulus.

Setelah berjalan beberapa saat tampaknya bu Tanti mulai menikmati pijatanku. “Pijatanmu lumayan juga, Tom”, katanya. “Terima kasih, bu”, jawabku singkat sambil terus melakukan pijatan. Aku pun mulai memijat bagian tubuh yang kata tukang pijat ayah bisa menimbulkan birahi yang dipijat. Ternyata benar juga. Tubuh bu Tanti menggeliat seperti orang kegelian, tapi beberapa saat kemudian ia tampak mulai menikmatinya. Sesekali tangannya meremas bantal sofa yang dijadikan penyangga kepalanya diiringi rintihan kecil, seolah sedang merasakan suatu sensasi kenikmatan. Aku berusaha sekuat tenaga menahan gejolak nafsu, karena tak ingin merusak suasana yang makin mendebarkan itu. Apalagi suasananya sepi. Pembantu rumah tangga bu Tanti ada 3 orang dan jam-jam segitu mereka selalu berada di belakang. Mereka hanya berkeliaran di rumah utama saat pagi untuk bersih-bersih dan menyiapkan sarapan, kemudian siang hari untuk menyiapkan makan siang dan malam menjelang makan malam.

Sambil terus memijat kutanya bu Tanti apakah kakinya mau dipijat juga. Bu Tanti mengiyakan dengan suara lirih. Kualihkan pijatanku di kedua kaki bu Tanti, mulai dari bagian bawah dasternya hingga ke ujung kaki, bolak-balik. Sesekali kulirik bu Tanti. Kedua matanya terpejam. Kemudian, ketika pijatanku kembali ke bagian paha, kususupkan sedikit pijatan di paha yang tertutup dasternya. Karena bu Tanti tak bereaksi, pijatan kuarahkan makin naik ke dekat pantatnya hingga dasternya tersingkap, lalu turun lagi hingga ke ujung kaki. Birahi makin memuncak manakala kulihat celana dalam bu Tanti yang berwarna biru dengan renda-renda di pinggirannya.

Aku makin nekad. Untung-untungan kuminta bu Tanti untuk membalikkan tubuhnya dengan alasan agar aku bisa memijat bagian depan kedua kakinya. Tak dinyana, bu Tanti menurut. Aku menggeser tubuhku ke ujung sofa dekat kaki bu Tanti dan mulai memijat lagi. Seperti sebelumnya, mula-mula aku hanya memijat hingga ke bagian tubuhnya yang terbuka, tapi lama-lama mulai menyusup ke dalam dasternya. Lagi-lagi bu Tanti tak bereaksi, dalam arti marah padaku, atau setidaknya memintaku untuk tidak memijat bagian itu. Ia hanya diam sambil memejamkan matanya. Ia seakan tak peduli mataku liar menatap bagian sensitif tubuhnya yang tertutup celana dalam biru itu. Aku benar-benar gila dibuatnya, tapi aku masih berusaha menahan diri. Aku berharap bu Tantilah yang lebih dahulu memulai.

Sayangnya, hingga selesai memijat, harapanku tak terjadi. Bu Tanti hanya berbaring mengatakan kalau ia suka dengan pijatanku. Aku hanya tersenyum sambil membasuh tanganku yang berlumuran minyak urut lalu mengelapnya dengan handuk kecil. Sampai di situ, bu Tanti masih membiarkan dasternya tersibak hingga ia bangkit dan duduk di sebelahku. Ia langsung membelakangiku dan memintaku untuk mengelap punggungnya juga, sementara tangannya menahan bagian depan daster agar tidak melorot.

Aku masih berusaha mengulur waktu dengan mengelap pelan-pelan punggung bu Tanti dari minyak urut. Kunikmati betul usapan demi usapan, sambil mencuri-curi pandang ke baigan samping tubuhnya untuk melihat dadanya yang menyembul di balik daster. Betapa ingin aku meremasnya saat itu juga.

Selesai mengelap bagian dada, spontan aku jongkok di depannya dan langsung mengelap bagian paha hingga kaki bu Tanti. Bu Tanti tampak agak kaget, tapi kemudian ia diam saja dan membiarkanku melakukan tugasku. Ia bahkan menurut waktu kurenggangkan sedikit kedua kakinya agar aku bisa mengelap bagian yang terjepit. Dengan daster terangkat, praktis celana dalamnya terlihat jelas olehku. Hal ini membuat pertahanan imanku bobol. Dengan sengaja usapan tanganku “bablas” hingga mengenai bagian sensitif tubuhnya. Bukannya marah, bu Tanti malah nyeletuk, “Nakal kamu, Tom …”

Reaksi bu Tanti yang “biasa-biasa” saja kuartikan kalau ia tak keberatan aku melakukan itu. Tanganku pun makin berani meraba dan mengelus bagian tubuhnya yang paling rahasia itu dengan lembut, sementara mataku menatap langsung ke mata bu Tanti. Lagi-lagi ia hanya tersenyum sambil menggigit bibirnya. Matanya sayu, yang menandakan ia menikmati rabaanku. Apalagi kemudian ia menggeser duduknya ke bibir sofa hingga tanganku makin bebas “bermain”. Bisa kurasakan kalau bu Tanti sudah basah yang artinya ia terangsang. Ini membuatku menggila. Kugeser tubuhku di sela-sela kedua kakinya yang duduk mengangkang dan tanpa basa-basi kubenamkan wajahku ke dadanya. Salah satu tanganku yang masih “nganggur” meraih daster yang menutupi dadanya dan membukanya. Langsung saja kucumbui dada ranum bu Tanti dengan penuh nafsu, sementara satu tanganku melepas celana dalamnya dan mulai memainkan jari-jariku di situ. Kedua tangan bu Tanti menyangga kuat-kuat tubuhnya di sofa, sementara kepalanya menengadah dengan mulut menganga. Sejenak kemudian bu Tanti menatapku dengan mata sayu sambil berkata di antara desahannya, “Kamu nakal, Tom. Kamu nakal …” Lalu bu Tanti merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Kedua tangannya menggenggam erat rambutku, tapi aku terus saja mencumbui dadanya. Dengan kedua tangannya, bu Tanti menarik kepalaku hingga wajah kami berdekatan. Tanpa menunggu aba-aba, bu Tanti mendaratkan bibirnya di bibirku dan melumatnya dengan penuh gairah. Cukup lama kami berciuman dengan ganasnya, sampai akhirnya bu Tanti mengajakku ke kamarnya. Bu Tanti membenahi dasternya asal-asalan, memungut celana dalamnya lalu beranjak dari sofa dan masuk ke kamar. Aku pun mengikutinya dengan birahi meletup-letup.

Begitu di dalam kamar, bu Tanti berlutut di depanku dan melucuti ikat pinggang dan celana panjangku. Aku langsung memelorot sendiri celana dalamku dan bu Tanti langsung memainkan bagian bawah tubuhku dengan mulutnya. Terlihat sekali kalau ia sudah sangat bernafsu. Sementara bu Tanti “bekerja”, kulepas baju dan kaus dalamku.

Kunikmati benar-benar kuluman dan hisapan bu Tanti. Ia seperti seekor kucing kelaparan yang mendapatkan ikan segar. Ia tampak juga menikmati “pekerjaannya”. Setelah itu bu Tanti naik ke ranjang dan kami pun bergumul dalam panasnya api birahi.

Sejak itu, tiap kali dapat tugas mengantar, aku dapat jatah kenikmatan. Kadang kami melakukannya sebelum pergi, kadang sesudahnya. Dan aku selalu menyiapkan kondom, agar tidak terjadi hal-hal yang bakal menyulitkan aku dan bu Tanti. Lagipula, enaknya pakai kondom karena aku tidak harus buru-buru “mencabut” saat akan “keluar”.

Dalam sebuah kesempatan usai bercinta, bu Tanti curhat padaku. Ia bilang kalau sudah hampir 2 tahun ini tidak mendapat nafkah batin dari pak Said. Katanya, pak Said sudah loyo, mungkin karena kelelahan bekerja. Pak Said baru bisa perkasa setelah mengkonsumsi obat kuat. Itu pun dibatasi karena pak Said punya sakit jantung.

Tanpa terasa, hubungan gelapku dengan ibu mertuaku sendiri berjalan 3 tahun lebih. Untuk variasi, kadang kami melakukannya di hotel, tapi memang lebih sering di rumah bu Tanti.

Setelah 1,5 tahun bersama mereguk kenikmatan terlarang, suatu hari bu Tanti meneleponku dan minta aku datang ke rumahnya. Aku waktu itu sempat bertanya-tanya dalam hati, baru sehari sebelumnya kami melakukan pergumulan, kok sudah minta lagi. Aku sih oke-oke saja. Saat jam istirahat kantor aku meluncur ke apotik untuk beli kondom, lalu ke rumah bu Tanti.

Ternyata di luar dugaanku, bu Tanti ingin mengakhiri hubungan terlarang kami. Katanya, ia selalu dihantui rasa bersalah pada Lina. “Meskipun aku cinta kamu, tapi tak akan mungkin kita bersama terus seperti ini”, ujarnya di sela isak tangisnya. Aku termangu-mangu mendengar ucapannya. Sedari awal memang sudah kusadari kalau yang kami lakukan ini salah. Tapi nafsuku membutakan mata hatiku. Aku memohon kepada bu Tanti untuk tidak memutuskan hubungan kami, tapi ia bersikeras.

Akhirnya kuterima permintaannya. Hari itu untuk terakhir kalinya kami bercinta. Kupuas-puaskan diriku menikmati tubuh bu Tanti. Tampaknya bu Tanti pun demikian. Pokoknya, kami habis-habisan menyalurkan hasrat birahi siang itu, karena tahu setelah itu tidak akan bisa lagi.

Sejak itu, bu Tanti tak pernah lagi memintaku untuk mengantarnya. Kata Lina, pak Said sudah dapat sopir baru, mantan sopir dari kantor pak Said yang pensiun dan direkrutnya untuk melayani bu Tanti.

Awalnya aku merasakan hari-hariku hampa. Aku hanya bisa bernostalgia, mengenang saat-saat indahku bersama bu Tanti. Kadang aku merasa kecewa tak lagi berhubungan dengan wanita yang tak lain adalah ibu mertuaku sendiri itu. Tapi lambat laun aku mulai bisa menerima kenyataan itu. Bahkan aku menyadari kalau semua yang kulakukan dengan bu Tanti adalah salah. Ya, pada akhirnya aku berterima kasih padanya yang telah mengambil keputusan tepat dengan mengakhiri hubungan kami.

Sekitar 3 tahun setelah itu terdengar kabar yang sangat mengejutkan. Pak Said menceraikan bu Tanti. Tentu saja hal ini membuat heboh seluruh keluarga besar pak Said. Yang membuatku makin terkejut adalah karena bu Tanti berselingkuh dengan mantan pacarnya yang membuat pak Said menceraikannya. Kabarnya, bu Tanti mulai main mata dengan mantannya gara-gara facebook. Ya, waktu itu kalau tak salah facebook mulai mewabah. Pak Said mengetahui kalau istrinya berselingkuh berdasarkan cerita dari sopir bu Tanti sendiri. Menurut kabar yang kudengar, sopir bu Tanti kerap diminta mengantar ke tempat-tempat yang sebelumnya tak pernah didatangi oleh bu Tanti, seperti restoran dan hotel. Bahkan, masih menurut sang sopir, bu Tanti pernah diminta menjemput seorang laki-laki di bandara yang kata Tanti saudaranya yang tinggal di luar negeri.

Aku tercenung mendengar kabar itu. Kukira selama ini bu Tanti telah benar-benar insyaf, tapi ternyata ia masih tak mampu menepis godaan yang datang padanya. Pernah sekali waktu aku menghubunginya untuk sekedar bicara pada bu Tanti mengenai masalah yang dihadapinya, tapi begitu mendengar suaraku, bu Tanti langsung menutup teleponnya.

Berita terakhir yang kudengar, sejak bercerai, bu Tanti pindah ke Singapura. Tapi apakah ia akhirnya menikah dengan mantannya atau tidak, aku tak pernah tahu. (*)

Seperti diceritakan ybs kepada Tim JBSS.

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

"Diperkosa" Tetangga Idaman

Sinta, 23 tahun, Mahasiswi, Surabaya:

Sebelumnya perkenalkan namaku Sinta. Aku seorang mahasiswi Fakultas Ekonomi jurusan Manajemen di salah satu universitas swasta di kotaku. Banyak temanku yang bilang kalau aku ini sexy dan cantik dengan ukuran buah dada 34c, ditunjang dengan kulitku yang putih bersih.

Dalam kesempatan ini aku mau berbagi pengalamanku saat aku mengalami masa-masa pahit sekaligus nikmat bersama tetangga idaman.

Setiap pagi aku rutin melakukan olah raga kecil di depan rumahku. Biasanya aku mengenakan baju ketat khusus untuk olah raga. Tak heran jika kemudian aku menarik perhatian laki-laki yang lewat, tak terkecuali tetangga sebelah rumahku, sebut namanya pak Hari. Usianya sekitar 40 tahunan. Postur tubuhnya besar tegap dengan wajah lumayan tampan. Pak Hari sudah memiliki istri yang bekerja sebagai PNS yang bisa dikatakan cantik, tapi masih lebih cantik aku sih ... he h e he ...

Sebenarnya aku juga naksir sama Pak Hari. Bisa dibilang ia adalah type pria idaman. Sungguh beruntung perempuan yang mendapatkannya.

Tiap pagi aku selalu mencuri-curi pandang pada Pak hari yang kadang-kadang sedang mencuci mobilnya dengan hanya menggunakan kaos singlet, yang terus membuatku menjadikannya obyek khayalanku. Karena sering membayangkannya itulah aku jadi suka bermasturbasi di kamarku saat menjelang tidur, sambil berkhayal dicumbui olehnya. Aku terus terbuai dalam fantasiku itu yang mungkin tidak akan pernah terjadi dalam kehidupan nyata.

Hingga pada suatu hari, saat kedua orang tuaku pergi mengunjungi nenekku yang sedang sakit, aku tidak ikut karena sedang ada ujian di kampus. Hari itu aku merasakan udara sangat panas. Karena di rumah sedang tidak ada orang, jadi aku berinisiatif untuk menanggalkan kaos dan rokku, sehingga aku hanya memakai miniset yang terbilang tipis dan dapat diterawang.

Aku belajar di sofa ruang tengah sambil mendengarkan musik kesukaanku melalui headset. Itulah sebabnya aku tidak mendengar suara pintu diketuk. Ternyata pak Hari yang mengetuk pintu. Karena berkali-kali pintu diketuk tidak ada yang membukakan serta melihat pintu tidak dikunci, pak Hari langsung saja membuka pintu dan langsung mendekatiku yang berada di sofa ruang tengah. Posisi sofa yang membelakangi pintu depan membuatku tidak menyadari bahwa pak Hari telah masuk ke dalam rumah. Begitu pula pak Hari yang tidak menyadari bahwa aku sedang memakai miniset, karena sebagian tubuhku tertutup oleh sofa.

Aku sangat kaget saat Pak Hari tiba-tiba muncul di depanku. Ia tak bicara sepatah kata pun. Matanya nanar memandangiku dengan penuh nafsu. Sejenak aku juga terdiam menatapnya. Jantungku berdegup kencang, antara senang dan takut. Aku makin bingung ketika ia berjalan mendekatiku. Yang kuingat kulakukan saat itu adalah meraih bantal kecil di sofa dan menutupi sebagian tubuhku dengan bantal itu. Begitu pak Hari makin mendekat, aku bangkit dari sofa dan berjalan mundur menuju kamarku. Pak Hari masih terus mengikuti langkahku dengan pandangan penuh hasratnya, hingga akhirnya aku berada di depan kamarku yang pintunya tertutup rapat. Karena gugup aku jadi tidak bisa membuka pintu dan tertahan di depan kamar. Pak Hari terus melangkah ke arahku dengan senyumnya yang membuatku terpesona.


Kemudian pak Hari meraih pundakku dan berkata dengan nafas memburu, “Kenapa, Sinta? Kamu takut padaku? Aku tak akan menggigitmu. Aku tahu kamu suka mencuri-curi pandang aku ‘kan?”. Belum lagi aku menjawab, pak Hari sudah merengkuh tubuhku dan langsung mencumbuiku. Aku mencoba berontak, tapi pak Hari jauh lebih kuat. Sambil mulutnya menciumi bibir dan leherku, ia mendorongku hingga aku terjepit antara pak Hari dan pintu. Satu tangannya menggenggam erat tanganku, satu tangannya lagi menggerayangi bagian bawah tubuhku. Ia seperti orang kesetanan. Aku tak kuasa lagi melawan. Selain ia jauh lebih kuat dariku, di sela rasa takut aku justru merasakan getaran kenikmatan menjalar ke sekujur tubuhku.

Aku hanya pasrah saat membopongku ke dalam kamarku, lalu mendudukkanku di pinggir kasur. Dengan gerakan cepat pak Hari menanggalkan pakaian dan celana panjangnya satu persatu, hingga hanya celana dalamnya sajalah yang menutupi tubuhnya. Aku hanya diam melihatnya. Kemudian ia membuka bra dan celana dalamku yang tipis. Begitu celana dalamku terlepas, pak Hari berlutut di hadapanku sambil membuka lebar-lebar kedua kakiku, yang disambung dengan serangan dari lidahnya yang kasar dan hangat di bagian bawah tubuhku. Kurasakan nikmat tak terkira saat pak Hari melakukan itu, yang membuatku makin sulit menolaknya. Begitu nikmatnya hingga aku tak kuasa untuk tak merebahkan tubuhku di kasur. Kubiarkan pak Hari memuaskan hasratnya memainkan bagian bawah tubuhku dengan lidahnya. Sesekali menjilat, sesekali menghisap dengan buasnya.

Tak lama kemudian pak Hari menanggalkan celana dalamnya. Baru kali ini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri seorang laki-laki dewasa telanjang bulat di hadapanku. “Senjatanya” yang tidak terlalu panjang tetapi gemuk dan besar membuatku sempat merasa ngeri. Kemudian pak Hari menarik kepalaku hingga mulutku bersentuhan dengan “senjatanya” yang tegak berdiri. Mula-mula ia memainkannya di sekeliling bibirku dan kadang hendak meneroboskannya ke dalam mulutku. Entah sadar atau karena naluri, aku pun membuka mulutku dan pak Hari langsung menghunjamkan senjatanya. Aku agak gelagapan ketika pak Hari mulai menggerakkan tubuhnya maju mundur, tapi lama-lama aku bisa menyesuaikan diri. Justru aku yang kemudian menggerak-gerakkan kepalaku, sementara pak Hari diam sambil memandangiku. Kudengar sesekali ia mendesah.

Baru beberapa menit aku menikmati itu, pak Hari menarik “senjatanya” dan meminta aku untuk membuka lagi kakiku lebar-lebar. Tampaknya dia ingin segera “memasukiku”. Mulanya aku mencoba menolak dengan menahan tubuhnya agar ia tak melakukannya, tapi birahi yang sudah memuncak karena ingin sekali merasakan sesuatu yang selama ini hanya kubayangkan, membuatku menuruti kemauannya. Pelan-pelan aku mulai membuka kedua kakiku hingga mengangkang dan pak Hari mulai beraksi dengan menggesek-gesekkan “senjatanya” ke bagian bawah tubuhku yang sudah basah. Kenikmatan yang kurasakan tanpa sadar membuatku mendesah berkali-kali. Aku sudah siap andai pak Hari “menghunjamku” saat itu juga. Kedua tanganku merengkuh dan menarik pantat pak Hari, mengisayaratkan kalau aku sudah tahan lagi. Dan terjadilah …

Hari itu aku merasakan sensasi luar biasa dengan pak Hari. Sensasi yang selama ini hanya ada dalam khayalanku telah menjadi kenyataan. Aku orgasme sampai dua kali sebelum pak Hari menyemprotkan “laharnya” ke dadaku. Pak Hari terkulai lemas di sampingku dengan nafas terengah-engah. Kemudian dia merangkulku yang lunglai tak berdaya sambil berkata, “Kamu hebat, Sinta. Aku benar-benar puas. Kamu mau ‘kan kalau kapan-kapan kita melakukannya lagi?”. Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalaku. Kemudian pak Hari memintaku menjilati “senjatanya” yang sudah layu dan berlumuran cairan birahi kami, sementara dia menyeka keringat yang ada di tubuh gagahnya itu. Kemudian ia menggenakan lagi pakaiannya dan bergegas pulang.

Sejak saat itu kami sering menyalurkan hasrat birahi kami jika ada kesempatan dan waktu senggang, dan aku sangat puas sekali, karena akhirnya impianku untuk bisa bercinta dengan tetangga idamanku itu bisa jadi kenyataan. Hubungan kami ini masih berlangsung hingga sekarang. (*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»  

Salah Tembak

Henky (nama samaran), 38 tahun, Samarinda:

Ini pengalamanku yang tak terlupakan ketika aku masih pengantin baru. Waktu itu aku masih tinggal di Jawa dan usia pernikahanku baru berjalan sekitar 4 atau 5 bulan. Masih “hot-hot”nya. Pekerjaanku yang mengharuskan aku sering melakukan perjalanan ke luar kota, paling tidak sebulan sekali selama seminggu, membuatku merasa tersiksa. Makanya tak heran jika begitu sampai di rumah, langsung ngajak Ivana (nama samaran) istriku “bertempur”.


Suatu ketika, aku dapat tugas ke luar kota selama 2 minggu. Ternyata, belum genap masa tugasku selesai, atasanku memerintahkan untuk kembali ke kantor. Aku girang bukan kepalang. Saat itu juga aku mengambil penerbangan terakhir. Sampai di rumah jam 1 malam. Karena sudah terbiasa bepergian, aku selalu membawa kunci cadangan, hingga aku tak perlu ketok-ketok kaca jendela kamar yang letaknya dekat teras rumah untuk membangunkan istriku.

Begitu masuk rumah aku tak langsung masuk kamar, tapi mandi dulu. Selesai mandi, tanpa memakai baju dulu, aku bergegas ke kamar karena “si otong” sudah “berdiri”. Tanpa bersuara, kumasuki kamar yang remang-remang cahayanya. Dalam keremangan kulihat istriku tidur telentang berselimut dengan sebagian wajahnya tertutup bantal.

Bagaikan singa kelaparan, kucumbui tubuh istriku. Selimutnya kusibak dan terlihat olehku dasternya tersibak hingga menampakkan paha mulusnya. Spontan tanganku mulai bergerilya. Biasanya, istriku langsung terbangun saat kubegitukan, tapi kali ini ia bergeming. Aku agak heran juga. “Ah, mungkin ia kecapekan hingga tak merasa kalau tubuh sintalnya kugerayangi”, kataku dalam hati. Aku terus saja beraksi. Yang membuatku juga heran adalah celana dalamnya yang berwarna hitam. Seingatku istriku tak punya celana dalam hitam. Favoritnya adalah putih atau krem. Tapi karena sudah bernafsu, aku tak terlalu ambil pusing. Pelan-pelan kulorot celana dalamnya dan mulai mencumbui bagian “itu”nya. Anehnya, istriku masih saja bergeming. Ia hanya mendesah sesaat sambil menggeliat dan merenggangkan kedua kakinya seolah menantangku. Nafsuku makin menggelegak.

Setelah beberapa saat, kurasakan milik istriku sudah basah yang artinya siap untuk “ditembak”. Tembakan pembuka lancar jaya, dan aku mulai “memompa” pelan-pelan. Sesaat kudengar suara desahannya. Saat kulihat bibirnya merekah, aku pun langsung memagutnya sambil menyibak bantal yang menutupi sebagian wajahnya. Begitu kusingkirkan bantal itu, aku kaget bukan kepalang. ternyata yang kutiduri bukan istriku, tapi ibu mertuaku! Ia pun tak kalah kagetnya. Kedua matanya langsung membeliak dan spontan mendorongku dan berkata tergagap, “Henki, apa-apaan kamu?!?”. Aku pun terjengkang dengan muka merah padam.

“Maaf, ma. Kukira Ivana …”, ujarku terbata-bata. Spontan kedua tanganku menutup kemaluanku dan bergegas beringsut dari tempat tidur. “Dia tidur di belakang”, jawab ibu mertuaku sambil menutupi tubuhnya yang setengah terbuka dengan selimut. Aku pun segera meninggalkannya dengan mengucap maaf beberapa kali. Kukenakan pakaian tidurku dan masuk ke kamar yang ditempati Ivana. Di situ kulihat Ivana sedang terlelap tidur. Tapi aku sudah kehilangan nafsu. Semalaman aku tak bisa tidur, khawatir ibu mertuaku akan cerita ke Ivana soal kejadian itu.

Paginya, Ivana kaget melihatku berbaring di sebelahnya. Ia pun mengajakku untuk berhubungan intim. Untungnya “si otong” masih mampu “bangun” meskipun pikiranku sedang kalut.

Usai “bertempur”, Ivana cerita kalau mamanya datang 3 hari lalu. Memang sudah menjadi kebiasaan ibu mertuaku. Jika suaminya (bapak mertuaku) yang seorang kontraktor pergi ke luar kota untuk urusan proyek, ia menginap di rumah kami. Dan jika menginap di rumahku selalu ingin menempati kamar kami karena ada AC-nya. Kebiasaannya yang lain adalah selalu meminjam daster istriku, karena pada dasarnya postur tubuh mereka sama. Wajah mereka pun nyaris mirip, sehingga orang sering keliru menganggap Ivana dan mamanya sebagai kakak-adik.

Aku masih berdiam di kamarku ketika Ivana keluar kamar. Kudengar ia ngobrol dengan mamanya dan cerita kalau aku sudah pulang. Aku berdebar-debar menunggu obrolan mereka berikutnya. Ternyata ibu mertuaku sama sekali tak menyinggung tentang kejadian semalam. Meski begitu, aku sempat ragu untuk keluar. Tapi mau tak mau toh aku harus keluar kamar juga untuk mandi dan bersiap pergi ke kantor.

Saat keluar kamar, ibu mertuaku langsung menyapaku dengan ramah seperti biasa. Aku pun langsung mengulurkan tanganku dan mencium tangannya seperti biasa juga. Dengan sekuat tenaga aku menyembunyikan rasa canggung. Tampaknya ibu mertuaku pun demikian. Aku bersyukur ia sangat bijak menyikapi hal itu karena pastilah ia tahu aku tak sengaja.

Hingga kini, hubunganku dengan ibu mertuaku baik-baik saja walaupun kami jarang bertemu, karena aku pindah tugas ke luar Jawa. Mungkin saja ia telah melupakan “kecelakaan kecil” yang terjadi malam itu. Andai waktu itu sudah ada HP, peristiwa memalukan itu pasti tak akan terjadi, karena Ivana pasti akan memberitahuku kalau mamanya datang dan menginap.(*)

Jika Anda berminat mengirim curhat, klik di sini.
readmore »»