Pengalaman ini waktu aku kuliah di Jogja, dan menjadi pengalaman paling mengesankan dalam hidupku.
Di Jogja aku kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Tempat aku kos lumayan nyaman biarpun agak jauh dari kampus.
Suatu hari aku ditelepon kakak iparku, sebut saja namanya teh Wita, kalau minta dijemput di stasiun. Teh Wita ditugaskan oleh kantornya untuk ikut acara seminar di Jogja selama 2 hari.
Teh Wita adalah istri kakak tertuaku, mas Tom (nama samaran). Wajahnya lumayan lah, mirip seperti artis Bollywood, Priyanka Chopra, cuma agak tuaan dikit, pinggang dan pinggulnya gedean dikit. Meskipun waktu itu usianya sudah kepala 4, tapi tubuhnya masih bagus. Padahal anaknya sudah tiga. Memang lebih gemuk dibandingkan waktu menikah dengan mas Tom dulu, tapi jauh lebih mendingan dibandingkan kebanyakan wanita seusianya yang biasanya gembrot.
Hubunganku dengan teh Wita dan anak-anaknya cukup akrab. Waktu aku SMP sampai SMA sering nginap di rumahnya yang cukup besar. Tujuanku menginap selain karena rumahnya besar, juga banyak mainan milik anak-anaknya. Favoritku adalah mainan mobil radio control.
Sebagai adik ipar yang baik, aku siap membantunya. Itulah sebabnya aku rela terkantuk-kantuk menunggu kereta yang ditumpangi teh Wita yang datang jam 3.30 pagi. Untung barang bawaannya tidak banyak, jadi masih muat kuangkut dengan motorku. Dari stasiun, aku langsung mengantarnya ke hotel yang sudah dibooking oleh kantornya.
Setelah semua urusan di hotel selesai dan aku bersiap hendak kembali ke kos, teh Wita minta tolong kepadaku untuk mengantarnya berkeliling Jogja cari oleh-oleh buat mas Tom dan anak-anaknya sore hari usai seminar hari pertama. Aku bersedia karena kebetulan tidak ada kuliah sore hari itu.
Sesuai janjiku, aku menjemput teh Wita di hotel selepas Maghrib. Dengan sepeda motorku, kami berboncengan menuju tempat-tempat penjualan oleh-oleh dan suvenir sebelum kemudian makan di lesehan.
Dalam perjalanan pulang tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Padahal saat itu jalanan sedang ramai. Aku panik juga, karena tak ada tempat untuk berteduh. Karena sudah dekat dengan hotel, teh Wita menyuruhku untuk langsung saja meluncur ke hotel. Tak ayal, kami berdua basah kuyup begitu sampai hotel.
Begitu masuk kamar, aku bermaksud langsung ke kamar mandi untuk mengguyur tubuhku dengan air hangat agar tak kena flu, tapi kuurungkan karena aku baru ingat kalau sekat kamar mandinya hanya berupa kaca. Tentu saja aku malu mempertontonkan tubuh bugilku di hadapan teteh.
Tapi teh Wita menyuruhku untuk segera mandi. Dinginnya AC kamar membuat tubuhku menggigil kedinginan. Karenanya kubuang jauh-jauh rasa malu dan kupatuhi perintah teh Wita. Toh teh Wita tetehku juga.
Saat aku mengguyur kepalaku dengan shower (pancuran) air hangat, tiba-tiba teh Wita nyelonong masuk juga ke kamar mandi. Spontan aku menoleh ke arahnya. Ternyata ia sudah berbalut handuk saja sambil menenteng baju ganti. Tanpa basa-basi ia melucuti handuk penutup tubuhnya lalu menggantungnya di hanger. “Buruan, Ben. Teteh juga kedingingan nih”, katanya. “Nih sabunnya, minggir dikit”, lanjutnya seraya menyodorkan sebotol sabun cair lalu mendorong tubuhku menjauh dari shower. Lalu dengan cueknya, ia mulai mengguyur tubuhnya. Ia sama sekali tak canggung, seolah aku yang juga bugil tak ada di situ.
Aku terpana melihat pemandangan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Sudut mataku mencuri-curi pandang tubuh bugil teh Wita yang putih mulus. Dadanya juga masih bagus. Ia tampak begitu sexy walaupun sudah terlihat lipatan-lipatan lemak di perutnya. Tapi aku tak mau dianggap kurang ajar. Buru-buru kupalingkan wajahku ke dinding dan mulai membasuh tubuhku dengan sabun. Aku bisa menyembunyikan detak jantungku yang berdegup kencang, tapi tidak dengan organ kelelakianku yang mendadak berdiri tegak akibat pemandangan langka itu.
Apa yang kulakukan kemudian? Kusergap teh Wita dari belakang, kucumbui dan kugerayangi setiap jengkal tubuh mulusnya. Teh Wita spontan mengimbangi aksiku dengan meremas-remas “senjataku” yang mengeras. Lalu teh Wita jongkok di depanku dan mulai melumat milikku dengan semangat. Karena sudah tak tahan lagi, kudorong lembut teh Wita ke lantai kamar mandi dan giliranku untuk melakukannya.
Benarkah itu yang kulakukan?
Tidak, tidak. Itu hanya khayalan sekilas yang muncul dibenakku. Aku terus membasuh tubuhku dengan sabun tanpa sedikitpun berani menoleh ke arah teh Wita. Bila tak ingat situasi, aku pasti sudah onani saat itu. Baru aku menoleh setelah teh Wita menyingkir dari pancuran dan memberiku kesempatan untuk membilas tubuhku. Aku menggeser posisiku ke arah shower dengan membelakangi teh Wita. Aku malu jika teh Wita melihat milikku tegang.
Selesai membilas, kuraih salah satu handuk hotel.
“Ben duluan ya, teh”, kataku sambil berlalu dari kamar mandi.
“Ada kamerjas di almari, Ben. Ambil aja”, kata teh Wita sambil terus mengguyur tubuhnya dengan air hangat.
Meski aku berada di luar kamar mandi, aku masih bisa melihat lekuk tubuh teh Wita meskipun samar-samar karena permukaan kaca tertutup embun. Ia masih asyik mengeramasi rambutnya yang panjang terurai.
Kunyalakan TV untuk mengalihkan perhatianku pada teh Wita. Tapi, konsentrasiku tak sepenuhnya tertuju ke layar TV. Aku masih belum percaya dengan kejadian yang kualami barusan. Aku mandi bersama dengan seorang wanita dewasa bertubuh indah dan aku tidak melakukan apa-apa.
Aku tak habis pikir, kenapa teh Wita begitu cueknya. Mungkin aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri karena ia telah menjadi bagian dari keluarga besarku sejak aku SD. Tapi seharusnya ia berpikir, aku bukan anak kecil lagi. Bagaimanapun aku adalah orang lain. Dan aku laki-laki normal yang bisa bangkit birahinya melihat tubuh telanjang wanita dewasa.
Kecamuk di benakku makin berkembang. Apakah teh Wita melakukan itu untuk memancingku agar “menyerangnya”? Apakah ia berlama-lama di kamar mandi karena menungguku kembali ke sana dan bertindak sebagaimana laki-laki jantan?
Tiba-tiba lamunanku dikejutkan dengan teriakan teteh dari dalam kamar mandi. Ia menyuruhku menelepon OB hotel untuk melaundry baju dan celanaku yang basah.
Tak berapa lama, teh Wita keluar dari kamar mandinya dan telah mengenakan daster batik yang ia beli tadi. Rambutnya terbalut handuk putih.
Sambil menunggu selesainya laundry, aku ngobrol dengan teh Wita. Ia tampak biasa saja, padahal mata laki-lakiku telah menelan bulat-bulat lekuk liku tubuhnya meski sekilas. Akupun berusaha menyembunyikan kecanggunganku.
Satu jam kemudian OB mengantar baju kami yang sudah kering dan rapi terlipat. begitu hujan reda aku berpamitan pada teh Wita.
Esok harinya aku berharap “ketiban rejeki” lagi. Tapi memang benar kata orang bijak. Tak ada kesempatan yang sama datang dua kali. Saat aku tiba di hotel sekitar jam 6 sore, teh Wita sudah rapi dan mengemasi barang-barangnya. Ia akan pulang dengan naik kereta api jam 8 malam. Setelah makan malam di restoran hotel, teh Wita check out lalu kuantar ke stasiun naik taksi, karena barang bawaannya tambah banyak.
Meskipun kejadian itu terjadi sekitar 10 tahun lalu, tapi aku tak pernah bisa lupa. Dan meskipun saat ini teh Wita makin gemuk dan chubby, tapi gurat kecantikannya masih jelas terlihat di wajahnya dan di ingatanku, lekuk liku tubuhnya adalah lekuk liku tubuh yang kulihat 10 tahun lalu. (*)



sipemuas.com







































